Selasa, 24 Desember 2013

Filled Under:

Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah (sebuah analisis)

Pengantar

Banyak —kalau bukan mayoritas— aktifis Islam kontemporer yang mengaitkan kelemahan dan kemunduran umat Islam saat ini dengan keruntuhan khilafah Utsmaniyah tahun 1924 M. Dan tentu saja, gerakan zionisme internasional, salibis internasional serta sekulerisme Kamal Pasha dianggap sebagai sutradara dan aktor utama yang paling bertanggung jawab di belakang tragedi sejarah tersebut. Oleh karena itu, menurut mereka jalan untuk mengembalikan kejayaan Islam adalah dengan menegakkan kembali khilafah Islamiyah. Tidak heran bila akhirnya isu penegakkan khilafah menjadi tema sentral kajian dan wacana pemikiran di banyak kalangan aktifis Islam.

Wacana pemikiran seperti ini sebenarnya tidak seratus persen salah, meskipun juga tidak seratus persen benar. Yang jelas, tegaknya kembali kekhilafahan Islam –terutama dalam kondisi umat Islam seperti saat ini —, tidak akan otomatis membalik nasib umat Islam seratus delapan puluh derajat, dari kemunduran dan keterbelakangan menjadi kejayaan dan kemajuan.

Jauh sebelum daulah ‘Utsmaniyah runtuh pada tahun 1342 H (1924 M), umat Islam telah lama tengelam dalam kubangan lumpur kemunduran. Bahkan saat daulah ‘Utsmaniyah masih tegak dengan kokoh, umat Islam telah mengalamai kemunduran dan keterbelakangan yang parah. Hal ini bisa dilihat dari beberapa kerusakan dan penyelewengan dari bimbingan syariah Islam, di hampir seluruh aspek kehidupan umat Islam.

Realita Umat Islam Abad XII dan XIII Hijriyah
Perjalanan sejarah umat Islam selama beberapa abad sebelum runtuhnya daulah ‘Utsmaniyah, terutama sekali abad XII dan XIII Hijriyah, diwarnai dengan penyimpangan aspek aqidah dan ilmiah (al-inhirafat al-‘aqdiyah wa al-‘ilmiyyah) yang sangat parah. Secara global, penyimpangan aqidah tersebut bisa disebutkan sebagai berikut  [1] :

A. Penyimpangan Akidah

1 – Membatasi konsep ibadah hanya dalam ritual peribadahan (al-sya’a’ir al-ta’abudiyah) yang sempit.
Ibadah hanya dimaknai dalam bentuk sholat, zakat, shaum, haji, membaca Al-Qur’an, dzikir dan seterusnya. Aktivitas-aktivitas ibadah yang berdimensi sosial —amar ma’ruf nahi munkar, jihad fi sabilillah, pendidikan, pertahanan dan militer— atau aktivitas-aktivitas ibadah yang lebih kental nuansa duniawinya —seperti aktivitas ekonomi, politik, ilmu pengetahuan dan penelitian, sosial budaya dan seterusnya — tidak dianggap sebagai bagian tak terpisahkan dari konsep ibadah. Walhasil, pelan namun pasti, secara tidak sadar syarat ikhlas dan mutaba’ah mulai lepas dari sebagian besar aktifitas hidup umat Islam. Pelan dan pasti, kerusakan merembet ke berbagai bidang kehidupan. Fenomena yang telah mewabah ini menimbulkan dampak buruk :

Pertama. Ritual-ritual ibadah dilaksanakan dengan cara taqlid, tidak mempunyai pengaruh dan faedah karena dipisahkan dari ajaran-ajaran Islam yang lain.

Kedua. Kaum muslimin meremehkan aktivitas-aktivitas ibadah yang lain, karena menganggapnya bukan ibadah.

Ketiga. Memusatkan perhatian kepada aspek personal (kesalehan pribadi) dan mengabaikan aspek sosial (kesalehan masyarakat).

Keempat. Membuat ibadah-ibadah yang bid’ah.

Kelima. Ibadah (dalam artian ritual-ritual peribadahan) telah menggantikan kedudukan amal. Ritual membaca Al-Qur’an dan Al-hadits sudah menggantikan posisi mengamalkan isi Al-Qur’an, membaca sejarah ketinggian akhlak salaf sholih sudah menggantikan posisi beramal dengan akhlak yang mulia. Dan seterusnya.[2]

2 – Pemikiran sekte sesat Murjiah menyebar luas di kalangan umat Islam.

Akidah sekte sesat Murjiah dengan seluruh alirannya, telah meracuni umat islam sehingga menghambat kemajuan umat Islam. Secara umum, ketiga aliran Murjiah telah menyerang akidah umat Islam. Ketiga aliran Murjiah[3] tersebut adalah :

Murjiah Fuqaha’ yang menyatakan iman hanyalah keyakinan dalam hati dan ucapan dalam lisan, sedang amal fisik hanyalah pelengkap semata.

Murjiah Jahmiyah (Murji’ah Ghulat) yang menyatakan iman hanyalah meyakini (al-yakin) atau mengetahui (al-ma’rifah) dalam hati. Tanpa perlu mengucapkan dua kalimat syahadat dan mengamalkan amal fisik.

Murjiah Karamiyah yang menyatakan iman hanyalah mengucapkan dua kalimat syahadat dengan lisan, tanpa perlu meyakini dalam hati dan mengamalkan amalan fisik.

Murjiah Jahmiyah yang mengalahkan kedua aliran Murjiah lainnya, sebenarnya mulai redup dan turun pamornya. Sayang, keyakinan sesat mereka lantas diadopsi dan diteruskan oleh sekte sesat Asy’ariyah dan Maturidiyah, yang saat itu menjadi madzhab akidah resmi sebagian besar dunia Islam, bahkan menjadi madzhab resmi daulah ‘Ustmaniyah. Dengan dukungan negara dan dunia pendidikan, akidah sesat ini semakin mencengkeram dunia Islam.

Keyakinan mereka sangat meracuni akidah umat Islam. Mereka meyakini, seorang yang meyakini dalam hati akan keberadaan Allah dan Rasulullah, maka di sisi Allah ia telah menjadi seorang mukmin, sekalipun ia tidak mengucapkan dua kalimat syahadat. Bila ia meyakini dalam hati dan mengucapkan dua kalimat syahadat, sekalipun sama sekali tidak beramal fisik, maka ia seorang mukmin di sisi Allah dan berlaku atasnya hukum-hukum yang berlaku atas seorang muslim di dunia. Demikianlah pernyataan tegas para ulama mereka, seperti imam Abu Manshur al-Baghdadi, Sa’dudien al-Taftazani, al-Dasuqi, Al-Bajuri dan lainnya. Buku-buku mereka diajarkan di seantero sekolah dunia Islam dan dijadikan aqidah resmi negara.

Menyebarluasnya akidah sesat ini menyebabkan mayoritas umat Islam di dunia Islam meyakini hakekat iman adalah meyakini dalam hati, tanpa perlu amalan lisan dan fisik. Menurut keyakinan mereka, itulah ukuran keselamatan di akhirat nanti. Akibatnya ajaran-ajaran Islam tinggal sebuah wacana dalam benak pemikiran dan keyakinan hati mereka, tidak perlu dilaksanakan. Hakekat sholat, zakat, shaum, haji, jihad, amar ma’ruf, menuntut ilmu dan seterusnya adalah meyakini adanya perintah, bukan melaksanakannya. Akibatnya, setiap orang bisa saja berbuat syirik akbar dan kufur akbar tanpa perlu takut akan keluar dari Islam (murtad), karena hatinya masih meyakini adanya Allah Ta’ala. Walhasil, berbagai syirik akbar dan kufur akbar, loyalitas kepada orang-orang kafir dan pembatal-pembatal Islam lainnya diterjang begitu saja, dengan hati yang tenang karena masih meyakini dirinya sebagai seorang muslim di sisi Allah Ta’ala !!!!!

[3]- Lemahnya akidah al-wala’ dan al-bara’.
Al-wala’ dan al-bara’ merupakan kewajiban paling penting, setelah kewajiban tauhid dan haramnya syirik. Namun akidah ini mulai memudar dari aqidah umat Islam, terutama sekali dari aqidah para penguasa umat Islam saat itu.

Sultan Mahmud II (1808-1839 M) merupakan sultan daulah Utsmaniyah yang pertama kali mengadakan gerakan “reformasi” yang berintikan menghapus aqidah wala’ dan bara’ dari aqidah umat Islam. Ia menjadikan budaya Eropa sebagai standar kemajuan, dan berusaha keras menggiring umat Islam untuk berkiblat kepada budaya Barat. Mulai masa pemerintahannya, semua warga negara baik muslim, Nasrani maupun Yahudi mempunyai hak yang sama di hadapan hukum selama taat kepada sultan. Pada masa itu, orang-orang Nasrani mempunyai kebebasan yang luar biasa luasnya. Sekolah-sekolah Yunani, Armenia dan Katolik bertebaran di semua kawasan dunia Islam dengan perlindungan dan dorongan dari sultan. Berbagai identitas yang selama ini diatur Islam untuk orang-orang ahlu dzimah dihapuskan oleh sultan, sebaliknya tentara diperintahkan untuk berpakaian ala tentara salib Eropa. Sultan juga mendatangkan para pelatih militer Rusia untuk melatih tentara Utsmani. Akibatnya banyak rahasia militer bocor ke tangan Rusia dan Turki Utsmani mengalamai banyak kekalahan perang melawan Rusia.[4]

Pada masa pemerintahan Ibrahim Bek dan Murad Bek dari daulah mamalik, orang-orang nasrani mendapat kedudukan yang mulia di bidang militer. Mereka menjabat berbagai posisi penting. Kelak, ketika Perancis masuk ke Mesir tahun 1213 H, orang-orang nasrani inilah yang akan menghinakan dan membantai umat Islam.

Pada masa Mesir dibawah daulah ‘Utsmaniyah, gubernur Muhammad Ali Basya (memerintah selama 45 tahun), orang-orang nasrani kembali menempati posisi-posisi strategis di bidang pemerintahan. Sebagian besar pejabat negara adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani. Gubernur memang seorang yang kebarat-baratan dan bangga dengan peradaban Eropa. Ia rapat dan lemah lembut dengan orang-orang Barat, namun keras dan bengis terhadap umat Islam. Pada masa itu, orang-orang Islam terkena pajak 10 % namun orang-orang kafir justru hanya 2,5 %. Gubernur membuka Mesir seluas-luasnya kepada pendatang kafir Eropa, juga penelitian seluas-luasnya bagi peneliti Inggris. Lewat penelitian mendalam terhadap seluruh kondisi Mesir, dengan mudah Inggris bisa menduduki Mesir pada tahun 1882 M.

Tentara daulah ‘Utsmaniyah di Mesir pada gubernur Muhammad Ali Basya adalah angkatan perang modern yang terlatih bentukan Perancis. Perancis mendidik angkatan perang daulah ‘Utsmaniyah ini dengan tujuan memperalat gubernur dan pasukannya untuk memerangi Islam. Dengan pasukan yang dipimpin oleh jendral Perancis bernama Sulaiman, Muhammad ‘Ali Basya memberontak dan menyatakan merdeka dari daulah Utsmaniyah. Inggris turut campur dengan pura-pura membela daulah Utsmaniyah, namun sebenarnya mendukung Muhammad ‘Ali Basya untuk merdeka. Akhirnya Muhammad ‘Ali Basya di atas kertas tetap mengakui daulah Utsmaniyah, namun sebenarnya telah lepas dari Turki Utsmani. Keterlibatan Inggris ini sekedar politik belaka, agar niat jahat Muhammad ‘Ali Basya tetap terlaksana dan di sisi lain Inggris mempunyai pengaruh di Mesir seperti Perancis. Inggris menjamin kekuasaan Mesir akan turun temurun di tangan keluarga Muhammad ‘Ali Basya. Meski begitu, Muhammad ‘Ali tetap dikeroyok oleh negara-negara salib Eropa ketika menyerang Yunani. Kelak, tentara Muhammad Ali Basya inilah yang memerangi sampai ke akar-akarnya gerakan dakwah salafiyah syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan murid-murid beliau. Muhammad ‘Ali Basya menumpas gerakan dakwah salafiyah ini dengan kedok mentaati sultan Turki Utsmani, padahal sebenarnya demi merealisasikan kepentingan Inggris dan Perancis.

Untuk program sekulerisasi dan westernisasi, Muhammad ‘Ali Basya menempuh dua hal :

- Mengirim para mahasiswa muslim belajar di Barat. Pada tahun 1842 M, mahasiswa yang dikirim ke Barat sudah mencapai jumlah 100 orang. Pada masa Khudaiwi Ismail, kedua anaknya Abbas Hilmi (12 tahun) dan Muhammad ‘Ali (10 tahun) sudah dikirim ke Swis. Sejak saat itu, anak-anak di bawah umur sudah mulai dikirim ke Barat.

- Menerapkan pendidikan Barat di Mesir dengan memakai kurikulum Barat dan meminggirkan peranan Al Azhar.

Para penggantinya, seperti Sa’id Basya mendukung dan membiayai gerakan kristenisasi sepenuhnya. Pada tahun 1859 M, ia memberi bantuan 30.000 frank kepada gerakan kristenisasi. Sekolah-sekolah Yahudi dan Nasrani mulai tumbuh bertaburan di seantero Mesir dengan dukungan pemerintah. Sekolah Yahudi pertama kali berdiri pada masa Muhammad ‘Ali Basya, sekolah Nasrani berdiri pada masa Khudaiwi Ismail, sekolah Yunani berdiri pada tahun 1847 dan sekolah Italia berdiri pada tahun 1860 M. Pada masa Khudaiwi, tepatnya 1869 M, seluruh agama yang ada telah mempunyai sekolah gratis. Pada tahun 1875 M, jumlah sekolah asing (non Islam) telah mencapai 93 buah dengan 8916 murid, sementara sekolah negeri hanya 36 buah dengan jumlah murid 4878 anak.  Pada tahun 1887 M, jumlah sekolah negeri sebanyak 40 buah dengan murid sebanyak 5500 anak, sementara sekolah asing sebanyak 191 buah dengan murid sebanyak 22764 anak.[5]

Inilah cikap bakal sekulerisme, westernisasi dan liberalisme yang saat ini mencengkeram dunia Islam. Jelas, akidah wala’ dan bara’ telah jauh ditinggalkan oleh para penguasa negeri-negeri Islam, bahkan saat daulah ‘Utmaniyah masih berdiri. Sebagiannya bahkan dipelopori oleh para penguasa daulah ‘Utsmaniyah.

[4]- Asingnya umat Islam dari aqidah shahihah. Bahkan, aqidah shahihah diperangi.

Secara umum, dunia Islam saat itu telah terasing dari aqidah shahihah. Berbagai kesyirikan dan kekufuran melanda dan merajalela. Ketika sebagian umat Islam mendakwahkan aqidah yang benar, permusuhan dari daulah ‘Utsmaniyah dan umat Islam sangat keras. Dakwah syaikh Muhammad bin Abdul Wahab adalah salah satu contoh nyata atas hal ini.

Ketika gerakan dakwah syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab merebut Makkah dan Madinah dari penguasa sebelumnya yang melindungi berbagai kesyirikan, bid’ah dan khurafat merajalela, maka orang-orang sufi dan para pengikut kesyirikan memendam kemarahan, kebencian dan dendam yang mendalam. Mereka menyiarkan berita-berita bohong tentang dakwah beliau, antara lain gerakan ini menghalangi ummat Islam untuk menunaikan ibadah haji. Mereka juga menghalangi mengalirnya dana bantuan umat Islam seluruh dunia untuk kemakmuran kedua masjid suci, sehingga terjadi krisis ekonomi di kedua kota suci. Lebih jauh mereka menyiapkan tentara untuk memerangi gerakan ini.

Daulah ‘Utsmaniyah yang berada dibawah kendali kaum shufi berhasil menghasut sultan untuk memerangi gerakan ini. Berdasar fatwa para ulama saat itu, sultan menganggap gerakan dakwah ini sebagai gerakan kafir dan khawarij yang harus diperangi.

Pada tanggal 19 Shafar 1223 H, gubernur Syam Kanj Yusuf mengirim surat kepada gubernur Mesir Muhammad ‘Ali Basya mendorongnya untuk segera melaksanakan perintah sultan Daulah ‘Utsmaniyah. Menurut pakar sejarah Mesir imam Abdurahman al-Jibrati, ketika pada akhir Jumadil Tsaniyah 1228 H pasukan Mesir berhasil mengalahkan gerakan dakwah dan menguasai kembali dua kota suci, maka sultan Daulah ‘Utsmaniyah masa itu yaitu sultan Mahmud Khan bin sultan Abdul Hamid Khan bin sultan Ahmad Khan al-Maghazi mendapat gelar yang diakui oleh segenap umat Islam “Khadimu al-Haramain al-Syarifain” atas keberhasilannya mengusir gerakan khawarij dan kafir ini.

Dengan bantuan Inggris dan Perancis, Muhammad ‘Ali Basya terus menerus mendesak gerakan dakwah salafiyah ini. Para ulama di Al-Azhar Mesir diperintahkan untuk membaca shahih Bukhari demi kemenangan pasukan Mesir yang dipimpin oleh Ibrahim Basya. Setelah kemenangan diraih, mereka mengadakan pesta besar-besaran. Kota Kairo dihias selama tujuh hari (27 Dzulhijah 1228 H – 4 Muharram 1229 H), sebanyak 110 meriam dikeluarkan di muka umum, pada setiap jamnya ditembakkan tak kurang dari 80.000 peluru. Ini belum terhitung tembakan senapan ringan. Masyarakat tenggelam dalam pesta dan begadang siang malam.Yang lebih mengherankan lagi, para ulama dan fuqaha’ ikut meramaikan seluruh pesta ini bersama para pejabat Mesir.

Dalam peperangan menghadapi dakwah syaikh Muhammad bin Abdul Wahab ini, sultan ‘Utsmaniyah telah bekerja sama dengan Napoleon Bonaparte. Dalam perang ini, daulah ‘Utsmaniyah telah melakukan sejumlah kekejian, antara lain :

-          Setiap prajurit yang membunuh pengikut syaikh Muhammad akan mendapat bonus, dengan syarat membawa bukti telinga si korban. Maka pasukan ‘Utsmaniyah memotong telinga para syuhada’ pengikut syaikh Muhammad di kota Madinah, Qunfudzah, Qashim, Dharma dan lain-lain.

-          Menghancurkan kota dan desa, dan bahkan membakar masjid-masjid.

-          Menawan kaum wanita dan anak-anaka pengikut dakwah syaikh Muhammad, dan menjual mereka sebagai budak. Ini terjadi pada bulan Shaafar 1235 H, pasca perang.

Pada bulan Desember 1234 H (1818 M), imam Abdullah bin Su’ud, imam terakhir dari pengikut dakwah syaikh Muhammad digiring sebagai tawanan bersama dua orang tangan kanan beliau. Mereka diborgol, dibawa ke Istambul lewat Kairo. Kepala mereka dipenggal, dipertontonkan di hadapan rakyat dan setelah tiga hari dilemparkan ke laut. Sultan ‘Utsmani merayakan kemenangan ini dengan sholat syukur dan sejak saat itu ia digelari “Khadimu al-Haramain” (pelayan dua kota suci).

Penumpasan terhadap gerakan dakwah salafiyah ini adalah buah dari akidah yang menyeleweng yang dianut oleh sebagian besar sultan dan umat Islam saat itu. Perang ini juga bukan timbul karena kesalahpahaman. Perang ini murni perang antara penganut tradisi kesyirikan sufi-Murjiah dengan pengikut dakwah salafiyah. Perang ini didahului oleh fatwa dan rekomendasi para ulama masa itu yang mengkafirkan dakwah salafiyah. Tercatat di antara para ulama besar yang ikut mengkafirkan gerakan dakwah ini adalah imam Ibnu Abidin Al Hanafi, pengarang Ar Raddul Mukhtar (Hasyiyah Ibnu Abidin). Ulama lain yang paling getol memerangi gerakan ini dan menyebarkan berita-berita bohong tentang gerakan ini ke seluruh dunia adalah mufti Makkah, syaikh Ahmad Zaini Dahlan (wafat 1304 H).

Pada saat itu, orang-orang yang menampakkan tauhid dan memusuhi syirik, bid’ah dan shufi akan mendapat perlawanan keras seluruh masyarakat dan negaa dengan tuduhan menjadi pengikut Wahhabi. Di mana-mana para ulama yang mendakwahkan dakwah salafiyah ini diperangi. Pada masa berkuasanya Syarif Husain bin ‘Ali di Makkah,  syaikh Abu Bakar bin Muhammad Khauqir seorang mufti madzhab Hambali (wafat 1349 H) dipenjara selama 18 bulan dan dilepas kemudian dipenjara lagi selama tujuh puluh bulan (7 tahun tiga bulan) dikarenakan beraqidah salaf dan mengingkari para penyembah kuburan.

Di Qazan, Rusia seorang ulama besar Syaikh Abdu Nashir Abu Nashr bin Ibrahim al-Qaurashawi (wafat 1227 H) menyebarkan aqidah salaf dan terang-terangan mengingkari perbuatan syirik dan bid’ah. Ketika pada tahun 1223 H ia berdakwah di Bukhara, seluruh ulama Bukhara menentang dan mengkafirkannya. Ia dihadapkan kepada gubernur Bukhara, Haidar bin Ma’shum al-Bukhari. Terjadi debat terbuka, sampai akhirnya syaikh Abdu Nashir harus berpura-pura meninggalkan aqidah salaf karena ancaman gubernur untuk membunuhnya. Meski sudah demikian, gubernur tetap menyesal karena tidak membunuhnya.

Di India, gerakan dakwah salaf ini mendapat tantangan hebat. Syaikh Ahmad Ridha al-Brilwi dalam bukunya Al-Kawakib al-Syihabiyah fi Kufriyati Abi Wahabiyah” mengatakan,” Sesungguhnya kelompok Wahhabi telah jelas kekafiran mereka berdasar ribuan alasan.” Ia juga menulis ,” Sesungghnya orang-orang Wahhabi lebih buruk dan lebih berbahaya dari orang-orang yang kafir asli yaitu orang-orang Yahudi, penyembah berhala dan lain-lain.”[6] Di Indonesia sendiri, para pengikut tradisi kesyirikan ini memerangi para pengikut dakwah salafiyah dalam perang besar yang dikenal dengan nama “Perang Paderi”, sebuah penamaan yang bermakna pelecehan dari penjajah salibis Belanda.

[5]- Filsafat dan ilmu kalam mewarnai buku-buku akidah karya para ulama.

Hal ini dimulai dengan penerjemahan buku-buku filsafat Yunani dan Romawi kuno pada masa pemerintahan khalifah al-Ma’mun (wafat 218 H), pada masa daulah ‘Abbasiyah. Khalifah al-ma’mun sendiri yang secara langsung menjadi pembina dan penanggung jawab penerjemahan secara resmi dan besar-besaran buku-buku filsafat ini. Menurut penelitian ustad Abu Hasan Ali al-Nadawi, penerjemahan ini terus berlangsung sampai sekitar abad IV Hijriyah. Pada masa itu, pembelajaran filsafat Yunani kuno sangat digalakkan oleh negara. Herannya, gerakan penerjemahan ini dilakukan oleh para pekerja beragama Yahudi, Nasrani dan Majusi yang menguasai bahasa Yunani kuno. Awalnya, gerakan ini mendapat tantangan dan penolakan keras para ulama ahlu sunah. Namun perlahan dan pasti, pada abad VIII Hijriyah, filsafat Yunani telah menguasia akal sebagian besar ulama dan umat Islam saat itu.

Meski beberapa ulama besar, seperti imam Ibnu Shalah dan Ibnu Taimiyah telah berjuang keras membantah filsafat Yunani dan membersihkan akidah umat, namun buku-buku filsafat Yunani dan ilmu kalam telah terlanjur begitu dalam merasuki buku-buku akidah umat, yang mayoritas dikarang para ulama Asya’ariyah dan Maturidiyah. Mereka tetap bersemangat mengajarkan buku-buku akidah yang bercampur baur dengan filsafat tersebut. Tidak saja mengajarkannya, mereka juga mengarang buku-buku yang berfungsi memberi syarah, hasyiyah dan ikhtishar. Di antara tokoh-tokohnya yang terkenal adalah imam al-Dardir al-Maliki (wafat 1201 H), syaikh ulama Malikiyah di al-Azhar, Mesir ; imam al-Shaban (wafat 1206 H), ulama al-Azhar yang sejawat dengan imam al-Dardir ; imam Muhammad bin Muhammad bin Abdu al-Qadir al-Maliki al-Azhari, imam Sa’dudien al-Taftazani,  imam al-Habib bin ‘Ali al-Buslimani al-Susi al-Maghribi (wafat 1352 H), syaikh Habibu al-rahman al-Hindi, syaikh Muhammad al-Sanusi, syaikh Ibrahim bin Muhammad al-Tadili (wafat 1311 H). Demikianlah, pemaparan akidah yang telah bercampur baur dengan filsafat dan ilmu mantiq ini menjadi tradisi pembelajaran aqidah di seantero dunia Islam, termasuk di al-Azhar.

____________________
Footnote :
[1] – Ali bin Bakhit al-Zahrani, Al-Inhiraafat al-‘Aqdiyah wa al-‘Ilmiyyah fi al-Qarnaini al-Tsalitsi ‘Asyar wa al-Rabi’i al-‘Asyar al-Hijriyaini, Makah, Daru al-Risalah, 1415 H, hal 79-619.
[2] – Untuk memahami dengan baik hubungan ritual ibadah dan berbagai aktifitas kehidupan manusia dalam konsep ibadah, silahkan membaca Muhammad Qutub, Mafahimu Yanbaghi an Tushahahu, Kairo, Daru al-Syuruq, dan Sayid Qutub, Khashaishu al-Tashawur al-Islami wa Muqawwimatuhu, Kairo, Daru al-Syuruq.
[3] – Tulisan para ulama kontemporer yang banyak membahas tuntas Murjiah kontemporer dan menjawab syubhat-syubhat mereka, antara lain DR. Safar al-Hawali (Dzahiratu al-Irja’ fi al-Fikr al-Islami), syaikh Abu Bashir Al-Syami (Al-intishar li Ahli al-Tauhid; Mulahadhat wa Rudud ‘ala ‘ala Mujmali Masaili al-Iman al-Ilmiyah fi Ushuli al-‘Aqidah al-Salafiyah; Munaqasyatu Qauli Ibni Bazz wa Ibni ‘Utsaimin fi Isytiratihima al-Istihlal li-Kufri man Baddala Syari’ati al_Rahman; Al-‘Udzru bi al-Jahli wa Qiyami al-Hujah), syaikh Abu Muhammad al-Maqdisi (Imta’u al-Nadzar fi Kasyfi Syubuhati Murji’ati al-‘Ashr; Tabshiratu al-‘Uqala’ bi-Talbisati Ahli al-Tajahum wa al-Irja’; Kasyfu Syubuhati al-Mujadilin ’an ‘Asakiri al-Syirki wa al-Qawanin; Al-Risalah al-Tsalatsiniyah fi al-tahdzir min al-Ghulu fi al-Takfir), syaikh Hamid Abdullah al-‘Ali (Bayahu Haqiqati al-Iman wa Al-Raddu ‘ala Murji’ati al-‘Ashr fima Khalafu fihi Muhkama al-Qur’an), syaikh Abdur al-Rahman bin Abdu al-Khaliq (Al-Burhan fi Anna Tarika al-‘Amal Ikhtiyaran Faqidun li-Ashli al-Iman), syaikh Abu Qatadah al-Filisthini  (Haula Murji-ati al-‘Ashr), syaikh Alwi bin Abdu Al-Qadir al-Saqaf (Al-tawasuthu wa al-Iqtishadu fi Anna al-Kufra Yakunu bi al-Fi’li wa al-Qauli wa al-I’tiqad), syaikh Nashr bin Hamd al-Fahd (Risalatun fi Al-Raddi ‘Ala Syubhatin li al-Murji’ah Min Kalami Syaikhil Silam Ibni Taimiyah), syaikh Abdullah bin Abdu al-Rahman Ab Bathin (Hukmu Takfiri al-Mu’ayyan), syaikh Ishaq bin Abdurahman bin Hasan Alu Syaikh (Takfiru al-Mu’ayan wa al-Farqu Baina Qiyami al-Hujah wa fahmi al-Hujah), syikah Muhammad bin Salim al-dausari (Raf’u al-Laimah ‘an Fatwa al-Lajnah al-Daimah), syaikh DR. Muhammad Abu Rahim (Haqiqatu al-khilaf Baina al-Salafiyah al-Syar’iyah wa Ad’iyaiha fi Masaili al-Iman), syiakh Hamud bin ‘Uqla al-Syu’aibi (al-Raddu ‘ala Iftira-ati al-‘Anbari) dan lain-lain.
[4] – Ali bin Bakhit Al-Zahrani, ibid, hal 147-149.
[5] – Ali bin Bakhit Al-Zahrani, ibid, hal 158-191.
[6] – Ali Bakhit al-Zahrani, ibid, hal 211-234.



1 komentar:

Copyright @ 2013 PEJUANG ISLAM.