Beberapa waktu yang lalu kita dihebohkan dengan berita tentang seorang pendeta di Manado, Herman Kemala, yang melakukan kekerasan terhadap jemaat gerejanya. Video yang diputar di media-media elektronik memperlihatkan betapa si pendeta begitu ringannya mengayunkan tangan dan menampar pipi beberapa orang yang menghadiri khotbahnya. Kabarnya ia memang cenderung emosional dan mudah marah hanya karena persoalan-persoalan yang sepele.
Kekerasan yang dilakukan pendeta tersebut
tentu saja bukan merupakan sikap umum para pemimpin gereja pada masa
sekarang ini. Hanya saja, pada kurun waktu tertentu gereja (Katholik)
pernah menerapkan praktik kekerasan dan penyiksaan di luar apa yang bisa
dibayangkan masyarakat modern sekarang ini. Gereja pernah membentuk
sebuah lembaga yang memiliki otoritas untuk menyiksa dan menghukum mati
orang-orang yang dianggap menyimpang (heretics). Kekejamannya serta korban yang berjatuhan, benar-benar membuat kita bergidik. Institusi ini dikenal dengan nama inkuisisi (inquisition).
Inkuisisi adalah sebuah lembaga gerejawi (ecclesiastical institution),
sekaligus lembaga kehakiman gereja Katholik (Roman Catholic tribunal)
yang bertujuan untuk menyelidiki dan menghukum penyimpangan teologi
Kristen (heresy, bid’ah). Lembaga ini dibentuk langsung oleh
lembaga kepausan (papal), terutama setelah dikeluarkannya Excommunicamus
oleh Paus Gregory IX pada tahun 1231. Dewan inkuisisi ketika itu
dibentuk untuk membersihkan Kekristenan dari bahaya penyimpangan kaum
Cathar dan Albigensian. Sejak itu, dewan yang didominasi ordo Dominikan
dan Fransiskan ini menjadi suatu alat yang ampuh untuk menghancurkan
aliran-aliran teologi yang berseberangan dengan gereja Katholik.
Aktivitas dewan inkuisisi meliputi
pembentukan dewan yang permanen ataupun temporal pada wilayah tertentu
yang dicurigai terdapat kaum bid’ah. Orang-orang yang dituduh menyimpang
ini kemudian diminta, atau dipaksa hadir menghadap dewan. Dua orang
saksi saja sudah cukup untuk menjatuhkan vonis bersalah terhadap si
tertuduh. Bagaimanapun, si tertuduh akan menjalani proses interogasi,
yang sejak tahun 1252 melibatkan metode penyiksaan (torture),
hingga mereka mengakui kesalahan mereka atau dibebaskan karena tak
terbukti bersalah. Pelaku bid’ah yang serius akan menerima vonis mati
dengan dibakar hidup-hidup (auto da fe) di depan umum.
Inkuisisi berkembang di negara-negara
yang menganut Katholik. Namun tidak ada yang lebih bersemangat dalam
menerapkan inkuisisi ketimbang Spanyol. Spanyol memiliki tempat yang
sangat spesial dalam sejarah inkuisisi.
Reconquista Spanyol dan Inkuisisi
Kaum Muslimin telah masuk ke Spanyol
(Andalusia) dan memajukan negeri itu sejak awal abad ke-8 masehi. Sejak
itu, wilayah tersebut berkembang menjadi peradaban yang sangat maju di
dunia. Kendati demikian, kalangan Kristen yang berhasil eksis di Utara
Spanyol bertekad untuk merebut kembali negeri mereka dari tangan kaum
Muslimin. Mereka membalas futuhat (pembukaan wilayah) kaum Muslimin dengan reconquista,
proses penaklukkan kembali. Para penguasa Muslim yang kini terlena
dengan kemegahan menjadi lemah dan tak berdaya menghadapi ancaman lawan.
Akibatnya, satu demi satu wilayah Muslim berhasil direbut kembali.
Kekuatan Kristen di Utara terus mendesak kaum Muslimin semakin jauh ke
Selatan.
Ketika kaum Muslimin semakin jauh dari
Islamnya dan berpecah-belah, musuh-musuh mereka justru merapatkan
barisan dan terbakar oleh semangat Kristiani. Dampaknya sudah bisa
diduga, lonceng kematian kaum Muslimin di Andalusia tinggal menunggu
waktu untuk berdentang. Setelah Toledo, Cordova, dan berbagai kota
lainnya jatuh ke tangan musuh, kini tinggal secuil Granada di ujung
Selatan Iberia yang masih mampu bertahan hingga di penghujung abad
ke-15. Isyarat kehancuran benar-benar menjadi kuat ketika Aragon dan
Castile, dua kerajaan Kristen yang besar di Utara bergabung melalui
pernikahan raja dan ratunya, Ferdinand dan Isabella, pada tahun 1469.
Kerajaan gabungan ini dikenal sebagai Los Reyes Catolicos (the Catholic Monarchs).
Lembaga inkuisisi sendiri mulai diperkenalkan di Spanyol pada tahun 1478.
Ketika itu Alonso de Hojeda, seorang pendeta Dominican, berhasil
meyakinkan Ratu Isabella bahwa di wilayah kekuasaannya ada sebagian conversos (orang-orang
yang pindah agama) dari kalangan Yahudi yang diam-diam tetap memelihara
keyakinan dan tradisi Yahudi mereka. Mereka ini belakangan dikenal
sebagai crypto-jews atau marranos.
Dewan inkuisisi kemudian dibentuk secara terbatas di Seville dan Cordova. Dan sebagai hasilnya, enam orang pelaku bid’ah
dibakar hidup-hidup di Seville pada awal tahun 1981. Sejak itu,
dewan-dewan inkuisisi semakin hidup dan berkembang di wilayah-wilayah
Castile, walaupun masih harus menunggu beberapa tahun sebelum diterapkan
juga di wilayah Aragon.
Kerajaan Aragon-Castile akhirnya
memutuskan untuk merebut Granada, wilayah Muslim terakhir di Andalusia.
Negeri yang sudah terlalu lama larut dalam kemewahan ini tak mampu
bertahan, malah pemimpinnya memilih untuk menyerah tanpa perlawanan
berarti. Bersamaan dengan bermulanya tahun baru masehi 1492, Boabdil,
Sultan terakhir Granada, menyerahkan kunci kota itu kepada penguasa
Kristen. Saat menjauhi istananya, Boabdil menangis. Tentang ini ibunya
berkomentar, “Kamu menangis seperti perempuan untuk sesuatu yang tak
pernah kamu pertahankan selaiknya laki-laki!”
Granada menyerah dengan syarat
penduduknya tetap diizinkan menjalankan keyakinan dan agama mereka.
Ferdinand dan Isabella menyetujuinya, tapi atas pengaruh gereja mereka
segera mengingkarinya tak lama setelah menguasai negeri itu. Orang-orang
Yahudi kemudian diusir keluar dari Spanyol. Kaum Muslimin dipaksa masuk
Kristen, atau terpaksa hijrah keluar dari Spanyol. Mereka memberontak,
tapi pada akhirnya dikalahkan. Banyak dari orang-orang Islam ini
akhirnya setuju untuk dibaptis. Hanya saja mereka tetap mempertahankan
tradisi Arab-Muslim mereka, dan sebagian lainnya tetap menjalankan
ajaran Islam secara sembunyi-sembunyi. Orang-orang ini dikenal sebagai Moriscos, kaum yang mirip orang-orang Islam (Moor-like). Mereka inilah yang kemudian menjadi sasaran utama dewan inkuisisi Spanyol.
Kaum Moriscos terus mendapat
tekanan dan siksaan. Mereka kembali memberontak, namun pada akhirnya
tetap kalah. Pada tahun 1609 mereka dipaksa keluar secara masif dari
Spanyol. Jumlah mereka mencapai 300.000 orang. Sejak saat itu, sejarah Moriscos
di Spanyol boleh dikatakan sudah habis. Bagaimanapun, inkuisisi masih
terus berjalan hingga abad 19, bahkan abad 20, dengan orang-orang
Kristen sendiri sebagai korbannya.
Kekejaman Inkuisisi
Proses interogasi dan eksekusi hukuman
pada inkuisisi sangat berbeda dengan proses pada pengadilan modern.
Penyiksaan pada inkusisi memang diizinkan dengan tujuan mendapatkan
kebenaran dari si tertuduh. Masalahnya, dengan penyiksaan semacam itu
orang yang mengaku tentunya bukan hanya mereka yang benar-benar
’bersalah,’ tapi juga mereka yang tidak tahan menghadapi siksaan.
Siksaan dan hukuman pada inkuisisi memang tidak ditujukan untuk kebaikan
si tertuduh, tapi demi membuat takut masyarakat umum dan mencegah
mereka dari kejahatan.
Ini jelas berbeda dengan konsep qishah di dalam Islam, setidaknya dalam tiga hal mendasar.
Pertama,
inkuisisi secara aktif mencari dan menghukum pelaku penyimpangan,
bahkan seringkali cenderung ’mencari-cari’ kesalahan. Sementara jika
kita mengacu pada qishah yang diterapkan Nabi saw, beliau tidak
mau mencari-cari kesalahan orang, bahkan cenderung enggan untuk
langsung menghukum ketika ada yang mengakui kesalahannya (seperti pada
kasus pezina yang datang pada Nabi dan melaporkan kesalahan dirinya).
Kedua, pada Islam tidak ada proses penyiksaan untuk memaksa tertuduh mengaku. Ketiga,
menurut Islam ketika seorang terbukti bersalah dan dihukum di depan
umum, maka kebaikannya bukan hanya bagi masyarakat umum, tapi juga bagi
si tersalah, karena itu merupakan bentuk taubatnya dan akan
menghindarkannya dari hukuman di akhirat.
Menurut Henry Kamen dalam bukunya Spanish Inquisition (diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi Para Algojo Tuhan),
penyiksaan dalam proses inkuisisi tidak seserius yang dituduhkan
pihak-pihak yang memusuhi inkuisisi dan tidak sekejam penyiksaan pada
pengadilan sekuler abad pertengahan.
Setidaknya ada tiga bentuk siksaan utama pada inkuisisi: garrucha, toca, dan potro. Garrucha berarti
kerekan yang diikatkan ke pinggang tertuduh yang mengangkatnya ke
langit-langit ruangan. Kaki tertuduh diikat dengan pemberat besi. Korban
diangkat ke atas dan dijatuhkan ke bawah secara mengejutkan dan
berulang-ulang. Hal ini bisa menyebabkan otot tangan dan kaki putus.
Toca adalah kain linen yang
dimasukkan ke mulut tertuduh secara paksa. Kemudian air dituangkan
secara pelahan-lahan ke dalam perut tertuduh melalui kain linen tersebut
hingga ia merasa tersiksa karenanya. Potro adalah bentuk
siksaan di mana tubuh tertuduh diikat kuat-kuat ke sebuah tiang.
Kemudian para algojo menarik tali yang melilit tubuh korban dari arah
berlawanan secara bertahap hingga tali-tali itu menembus daging. Pada
semua bentuk penyiksaan ini, para tertuduh, baik laki-laki maupun
perempuan, selalu ditelanjangi.
Betapapun pembelaan yang diberikan atas
inkuisisi Spanyol, proses yang berlangsung di dalamnya tetap saja tidak
berperikemanusiaan. Proses pada lembaga ini bersifat tertutup (hanya
hukuman akhirnya yang dipertontonkan secara terbuka), saksi-saksinya
dirahasiakan, dan pengacara yang membela pun dari pihak yang ditetapkan
oleh pihak inkuisisi. Semua itu sangat memberatkan dan menyulitkan pihak
yang dituduh bersalah.
Seorang tertuduh biasanya ditangkap dan
dipenjara selama berminggu-minggu tanpa diberitahu apa sebabnya ia
ditangkap. Ia dibiarkan menduga sendiri kesalahannya dan mengaku secara
sukarela. Setelah dibiarkan dalam kondisi bingung seperti itu, barulah
kepadanya disodorkan tuduhan-tuduhan dan ia diinterogasi untuk mengaku
(biasanya disertai siksaan).
Tidak seperti pengadilan modern di mana
tertuduh dianggap tidak bersalah sampai ia dibuktikan bersalah di sebuah
pengadilan yang terbuka, pada inkuisisi seorang tertuduh dianggap
bersalah dan ia mesti membuktikan kalau dirinya tidak bersalah pada
suatu pengadilan tertutup tanpa pembelaan yang memadai. Adanya siksaan
membuat para tertuduh ini menjadi lebih sulit lagi untuk mempertahankan
diri.
Inkuisisi Spanyol berlangsung selama empat abad lebih dan menelan banyak korban. Keinginan gereja dan masyarakat Katholik di sana untuk memurnikan darah (limpieza de sangre)
masyarakatnya telah menyebabkan wajah peradabannya yang dulunya toleran
dan damai menjadi berdarah-darah. Semoga hal semacam ini tidak pernah
terulang lagi dalam sejarah kita.
Alwi Alatas
Penulis adalah mahasiswa PhD pada bidang sejarah di Universiti Islam Antarabangsa, Malaysia
0 komentar:
Posting Komentar