Masih ingat, nama Mbah Petruk yang
mendadak menjadi sangat populer ketika Gunung Merapi kembali bergejolak?
Di samping Mbah Petruk, ada juga Nyai Rara Kidul. Berkait dengan dua
tokoh jagading lelembut tadi, diadakanlah ritual sedekah gunung dan
sedekah laut yang menjadi ritual rutin masyarakat Jawa. Kebanyakan,
citra sinkretik seperti ini menjadi wajah tunggal ketika seseorang
berbicara tentang Jawa.
Juga, apabila kita mengamati buku-buku
mengenai kebudayaan Jawa, maka istilah seperti larung sesaji, kejawen,
pusaka keramat, adalah tema-tema dominan ketika berbicara kebudayaan
Jawa.
Pandangan seperti itulah sebenarnya yang
diinginkan dari gerakan jangka panjang orientalisme dan missionarisme di
Jawa di masa kolonial. Di mana mereka berusaha menghapus identitas
Islam di tanah itu dengan selalu mengkait-kaitkan antara Jawa dengan
Hindu atau Budha. Para misionaris dan orientalis berupaya memisahkan
identitas Islam dari Jawa untuk melancarkan misi kristenisasi.
Islam pada abad XIX menjadi inspirasi
utama perlawanan rakyat Indonesia terhadap pemerintah kolonial Belanda.
Baik yang berskala besar seperti Perang Diponegoro, Perang Padri, Perang
Aceh sampai perlawanan yang berskala kecil dalam pemberontakan petani
di Cilegon. Kejadian ini menyebabkan Belanda mengubah gaya politik
kolonialnya, dengan melakukan politik etis yang meliputi educatie, emigratie dan irrigatie (pendidikan, perpindahan dan pengairan).
Kerstening politiek (politik
pengkristenan) merupakan bagian tidak terpisahkan dari politik etis.
Sehingga kaum etisi mendapat sokongan penuh dari partai-partai agama di
Belanda. Pengkristenan Nusantara tetap merupakan panggilan rakyat
Kristen Eropa (Belanda).
Kisah yang Gagal
Setidaknya, ada dua macam penetrasi
Kristen ke dalam masyarakat Jawa, yakni penerjemahan Alkitab dan
pemakaian kebudayaan Jawa. Penerjemahan pertama kali dilakukan oleh
Johannes Emde pada 1811. Sedangkan yang memelopori pemakaian budaya Jawa
dalam penginjilan adalah Coenraad Laurens Colen. Konsep Colen inilah
yang kemudian berkembang dan disebut inkulturasi. Nama-nama seperti Paulus Tosari, Matius Niep, Kiai Sadrach, Ngibrahim Tunggul Wulung adalah buah dari inkulturasi dalam penginjilan.
Dari deretan nama tadi, Kiai Sadrach merupakan sosok yang paling populer. Ia seorang guru ngelmu (pinisepuh).
Dalam mengenalkan Kristen kepada masyarakat, Sadrach menyebut gerejanya
dengan masjid. Dan memang gereja itu gaya bangunannya mirip masjid
pada umumnya. Sebelum upacara peribadatan dimulai, sebuah bedhug
dipukul dan diakhiri dengan ritual slametan.
Bagi Kiai Sadrach, Bible adalah norma hidup yang mirip dengan pitutur (nasehat) dan wewaler (larangan, pantangan) orang Jawa dan syariat dalam pandangan Islam.
Sadrach bukan fenomena tunggal, sebab di Jawa Timur juga ada Ngibrahim Tunggul Wulung, yang memaknai kekristenannya menyerupai Muslim dan akhirnya dikafirkan oleh para pendeta Calvinis yang membaptisnya.
Kegagalan Kristen versi Sadrach dan
Tunggul Wulung yang dianggap berkepercayaan ganda, separo kristen dan
separo Islam, disebabkan integrasi yang sangat kuat pandangan metafisika
Islam ke dalam masyarakat Jawa. Selain itu, menjadi Kristen saat itu,
bagi orang Jawa adalah aib terbesar dalam
hidup. Di masyarakat, ia akan menyandang gelar “wong jawa ilang jawane”
(orang jawa hilang jawanya), atau “jawa wurung landa durung” (hilang
jawanya, tapi Belanda juga belum).
Karena itu, apa yang dilakukan Sadrach
maupun Ngabdullah Tunggul Wulung, bisa jadi untuk menghindari resistensi
sosial masyarakat sekitar.
Orientalisme dan Usaha Kudeta Kebudayaan
Seorang Misionaris Katolik ordo Yesuit,
Van Lith, sepertinya belajar dari kasus Sadrach tersebut. Setelah
korespondensi panjang dengan Sadrach, dan pengamatan mendalam di
lapangan, Van Lith mengubah pola penginjilannya. Dari individu menjadi
penginjilan kolektif dalam bentuk sekolah. Dengan mendidik anak-anak
Jawa sejak kecil, diharapkan akan menghasilkan kekatolikan/kekristenan
yang murni. Seiring dicanangkannya politik etis di bidang pendidikan di
kalangan pribumi, Van Lith lalu mendirikan sekolah calon guru.
Dalam mencari murid yang berkualitas, Van
Lith aktif melakukan kunjungan kepada para bangsawan kraton dan
priyayi, agar menyekolahkan anaknya di Kolese Xaverius (sekolah yang
didirikan Van Lith). Semua murid yang masuk awalnya adalah Muslim, lalu
menjadi Katolik ketika lulus. Tidak cukup menjadi guru, beberapa murid
Kolese Xaverius melanjutkan pendidikannya ke jenjang imamat. Sehingga
bila dilihat dari banyaknya jumlah imam pribumi yang dihasilkan, menurut
Steenbrink, usaha Van Lith ini paling sukses di dunia untuk kegiatan
serupa.
Dalam Kolese Xaverius, identitas kejawaan
sangat ditekankan, sedangkan segala hal yang berbau Islam dihilangkan.
Bahasa Melayu, yang dianggap identik dengan Islam tidak diajarkan, cukup
dua bahasa: bahasa Jawa dan bahasa Belanda. Dengan demikian diharapkan
proses integrasi kekatolikan dan kejawaan dapat berjalan sempurna.
Van Lith juga mendidik para muridnya
untuk serius mengkaji budaya Jawa. Hasil kajian dari para muridnya itu
diterbitkan dalam jurnal St Claverbond, yang diterbitkan di Belanda.
Satu karya tulis dari pastur Jesuit yang
dianggap mampu menangkap inti dari kebudayaan Jawa adalah disertasi dari
Petrus Joshepus Zoetmulder yang terbit pada 1935. Dalam disertasinya
yang berjudul Pantheisme en Monisme In de Javaansche
Soeloek-Litteratuur, Zoetmulder dianggap mampu mengungkap inti pandangan
ketuhanan masyarakat Jawa, melalui telaahnya terhadap Serat Centhini
dan pelbagai karya sastra suluk Jawa. Menurut Dick Hartoko, meskipun
penelitian ilmiah (mengenai kebudayaan Jawa) tidak pernah berhenti,
tetapi itu tidak menggoyahkan patokan-patokan yang ditancapkan oleh Dr
Zoetmulder setengah abad yang lalu.
Dalam pandangan Zoetmoelder, doktrin
manunggaling kawula gusti sama sekali tidak terkait dengan konsep
wihdatul wujud yang menjadi diskursus kontroversial kalangan ahli
tasawuf Islam. Menurutnya, manunggaling kawula gusti dalam budaya Jawa
adalah suatu bentuk pandangan monistis yang berasal dari ajaran Atman
Hindu. Bahkan pada karya sastra yang eksplisit, corak ke Islamannya pun
akan dianggap sebagai Islam yang telah terpengaruh alam religius India
maupun lewat alam religius Hindu Jawa.
Tetap Berlangsung Hingga Kini
Inkulturasi, pada perkembangannya tidak
hanya untuk kalangan internal, tapi juga untuk membentuk konsep tentang
Jawa. Sehingga dapat dilihat, saat ini pandangan Zoetmulder menjadi
mainstream dalam banyak penelitian mengenai agama Jawa atau kebudayaan
Jawa.
Beberapa buku tentang Jawa pada periode
berikutnya, masih mengacu pada kerangka berpikir Zoetmulder, bahkan
lebih menspesifikkan lagi tentang apa yang disebut sebagai agama Jawa.
Dan keseriusan ini terbukti mampu
menghasilkan nama-nama besar yang dalam berbagai sisi kebudayaan Jawa,
seperti Bagong Kusudiharjo di bidang tari Jawa, SH Mintarja dengan
novelnya, Api di Bukit Menoreh, YB Mangunwijaya di bidang arsitektur dan
pemberdayaan masyarakat.
Di kalangan antropolog ada nama Niels Mulder, penulis buku Mistisisme Jawa; Frans Magnis Suseno, “Etika Jawa, Sebuah Analisa Falsafi” tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Juga ada Sindhunata, “Anak Bajang Menggiring Angin”.
Di tingkat nasional kita mengenal Prof Drijarkara, yang terkenal dengan
konsep ’Indonesia bukan negara agama tapi juga bukan negara sekuler,’
WJS Poerwadarminto dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Karena itu, jika wajah sinkretik menjadi
wajah utama Muslim Jawa, Wali Sanga ”tertutupi” Siti Jenar dan
munculnya anggapan bahwa aqidah kejawen “Manunggaling Kawulo Gusti” versi
kebatinan dianggap sebagai wakil resmi Muslim Jawa, tidak lain dan
tidak bukan adalah buah dari gerakan jangka panjang orientalisme dan
misionarisme di Jawa. Setidaknya, bila masyarakat tidak berhasil
“ter-kristenkan”, paling tidak, mereka akan jauh dari agamanya, sebuah
wasiat suci Samuel Zwemmer untuk para penginjil.
Islam Sebagai Landasan Budaya Jawa
Eksodus masyarakat Jawa dari pusat-pusat
kerajaan Hindu dan Budha yang tidak memberinya kehidupan yang aman, ke
daerah-daerah pelabuhan mengantarkan mereka bersentuhan dengan para
pedagang Muslim dan para ulama.
Egalitarianisme Islam dan struktur
keimanan mudah dimengerti menyebabkan rakyat Jawa berbondong-bondong
masuk Islam. Periode ini merupakan gelombang pertama Islamisasi di Pulau
Jawa.
Dalam pandangan Zamakhsyari Dhofier, ada dua tahap penyebaran Islam di Pulau Jawa. Pertama, di mana orang menjadi Islam sekadarnya, yang selesai pada abad ke 16.
Kedua, tahap pemantapan untuk
betul-betul menjadi orang Islam yang taat secara pelan-pelan
menggantikan kehidupan keagamaan yang lama.
Sultan Agung Hanyokrokusumo, penguasa
Mataram (1613-1645) mengawali tahap pemantapan melalui pendidikan Islam
secara massal kepada masyarakat Jawa. Di setiap kampung diadakan tempat
untuk belajar membaca al-Qur`an, tata cara beribadah dan tentang ajaran
Islam: rukun iman dan rukun Islam.
Saat itu, apabila ada anak berusia 7
tahun belum bisa membaca al-Qur`an, ia akan malu bergaul dengan
teman-temannya. Para guru agama ini diberi gelar Kyahi Anom oleh pihak
kraton. Di tingkat kadipaten didirikan pesantren yang dipimpin oleh
Kyahi Sepuh.
Saat itu juga dilakukan penerjemahan
kitab-kitab besar berbahasa Arab dalam kajian yang bersistem bandungan
(halaqah). Kitab-kitab itu meliputi kitab fikih, tafsir, Hadits, ilmu
kalam dan tasawuf. Juga nahwu, sharaf dan falaq.
Sistem kalender juga disesuaikan dengan
sistem Islam. Sehingga budaya ilmu tidak hanya menjadi milik elit tapi
menjadi milik masyarakat secara keseluruhan.
Akselerasi pemahaman Islam melalui sistem
pendidikan massal inilah yang menyebabkan Islamisasi di segala sisi
kehidupan masyarakat. Konsep-konsep Islam telah menjadi landasan
kegiatan kemasyarakatan. Istilah upawasa (poso) sembahyang, suwargo dan neroko hanya bisa ditafsirkan dengan pengertian shaum, shalat, jannah dan naar.
Islam juga menancapkan budaya baru
seperti adil, mikir yang tidak bisa dicari padanannya dalam akar kata
asli bahasa Jawa. Taawun yang dijabarkan dalam budaya gotong royong
adalah ciri khas masyarakat asli Jawa, juga tasamuh yang diwujudkan
dalam budaya tepa salira.
Ritus-ritus penting dalam masyarakat Jawa
seperti kelahiran, perkawinan dan kematian juga didasarkan pada
prinsip-prinsip Islam. Masyarakat Jawa sudah tidak mengenal bagaimana
cara ijab qabul ala agama asli Jawa ataupun merawat jenazah ala kejawen.
Oleh karena itu, dikotomi antara Islam
dengan abangan yang dipropagandakan anak didik orientalis maupun
kalangan misionaris tidak pernah mendapatkan pijakan teoritis yang kuat.
Sebab, yang berlaku di Jawa kata Andrey Moller adalah ortopraks Islam,
yakni meski pelan namun pasti terus bergerak menuju Islam.
Oleh karena itu, orang Jawa, baik itu
dari kalangan priyayi maupun abangan di masa tuanya akan berubah menjadi
santri yang rajin ke masjid, yasinan dan khataman.
Wallahu a’lam bish shawab.
Tulisan ini merupakan ringkasan dari tesis Arif Wibowo di Program Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta
0 komentar:
Posting Komentar