Selasa, 24 Desember 2013

Filled Under:

Ali bin Abi Thalib

A. Riwayat Hidup Ali bin Abi Thalib

Ali bin Abi Thalib dilahirkan di Mekkah pada tahun 602 M. Ia adalah putra dari paman Nabi Muhammad saw. Abu Thalib sangat berjasa pada masa awal perjuangan Islam. Ia selalu melindungi Nabi Muhammad saw, dari usaha-usaha jahat kaum kafir Quraisy. Abu Thalib adalah kakak kandung ayah Nabi Muhammad saw yaitu Abdullah bin Abdul Muttalib.
Sewaktu lahir, ia diberi nama Haidarah oleh ibunya, Fatimah binti As’ad bin Hasyim bin Abdul Manaf. Nama itu kemudian diganti oleh ayahnya dengan Ali. Ketika berusia 6 tahun, ia diambil sebagai anak asuh oleh Nabi Muhammad saw. Pada waktu Nabi Muhammad saw, diangkat sebagai Rasul, Ali baru berusia 8 tahun. Ia adalah orang kedua yang menerima dakwah Islam setelah Khadijah binti Khuwailid, istri Nabi Muhammad saw. Setelah masuk Islam, ia selalu brsama Nabi Muhammad saw. Ia selalu menaati setiap perintah Nabi Muhammad saw. Ali bin Abi Thalib juga banyak menyaksikan Nabi Muhammad saw menerima wahyu. Oleh karena itu, ia banyak menimba rahasia ilmu ketuhanan dan berbagai persoalan keagamaan.


Ketika Nabi Muhammad saw, hijrah ke Madinah bersama Abu Bakar as-Siddiq, Ali bin Abi Thalib diperintahkan tetap tinggal di rumah Nabi Muhammad saw. Hal itu dilakukan agar kaum Quraisy mengira bahwa Nabi Muhammad saw, masih berada di rumahnya. Padahal tindakan itu sangat membahayakan dirinya. Orang-orang kafir Quraisy bisa saja membunuhnya karena mengira dirinya Nabi Muhammad saw. Dengan demikian, ia menjadi orang pertama yang menjadi fida’ atau tebusan bagi Nabi Muhammad saw. Ia kemudian menyerahkan sejumlah titipan Nabi Muhammad saw kepada para pemiliknya masing-masing. Ali bin Abi Thalib mampu mengerjakan tugas yang penuh resiko itu dengan baik. Dengan cara itu, Nabi Muhammad saw dan Abu Bakar as-Siddiq berhasil meninggalkan kota Mekkah dengan selamat tanpa diketahui orang Quraisy. Tidak berapa lama kemudian, Ali bin Abi Thalib menyusul hijrah ke Madinah.


Setahun setelah hijrah, Nabi Muhammad saw, mengawinkannya dengan Fatimah, putri kesayangan beliau. Sebenarnya, Ali bin Abi Thalib tidak berani melamar Fatimah karena kemiskinannya. Akan tetapi, Nabi Muhammad memberikan dorongan dengan memberikan bantuan sekedarnya untuk persiapan rumah tangga mereka. Ali bin Abi Thalib kemudian menjual baju besinya seharga 500 dirham (kurang lebih 10 gram emas) sebagai mas kawin. Ketika itu, Ali bin Abi Thalib berusia 20 tahun, sedangkan Fatimah berusia 15 tahun. Nabi Muhammad saw memilihnya sebagai suami Fatimah karena ia adalah seorang pemuda yang arif dan terpelajar. Di samping itu, Ali bin Abi Thalib, merupakan orang yang pertama memeluk islam.


Ali bin Abi Thalib adalah orang yang sangat sederhana. Tidak tampak perbedaan dalam kehidupan rumah tangganya antara sebelum dan sesudah diangkat sebagai khalifah. Kehidupan sederhana ini juga yang ia ajarkan kepada putra-putrinya.
Ali bin Abi Thalib juga terkenal sebagai panglima yang gagah berani. Keberaniannya menggetarkan lawan-lawannya. Nabi Muhammad saw mewariskan sebilah pedang yang bernama zul-faqar kepadanya. Ali bin Abi Thalib turut serta dalam hampir semua peperangan pada masa Rasulullah saw. Bahkan, ia selalu menjadi andalan di barisan terdepan.
Selain itu Ali bin Abi Thalib juga dikenal cerdas dan menguasai banyak masalah keagamaan. Nabi Muhammad saw pernah bersabda,” Aku kota ilmu pengetahuan, sedangkan Ali pintu gerbangnya.” Oleh karena itu, nasehat dan fatwanya selalu didengar khalifah sebelumnya. Ali bin Abi Thalib juga ditempatkan pada posisi kadi atau mufti. Ketika Nabi Muhammad saw wafat, Ali bin Abi Thalib menunggui jenazah beliau dan mengurus pemakamannya. Sementara itu, sahabat-sahabat yang lain sibuk memikirkan soal pengganti Nabi Muhammad saw.


Pada masa akhir pemerintahan Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib termasuk salah satu orang yang ditunjuk menjadi anggota majlis asy-syura. Majlis itu bertugas memilih pengganti Umar bin Khattab sebagai khalifah. Majlis tersebut juga beranggotakan Usman bin Affan, Talhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqas, dan Abdurrahman bin Auf, serta Ali bin Abi Thalib sendiri. Majlis ini kemudian memilih Usman bin Affan sebagai khalifah.


Ali bin Abi Thalib banyak mengeritik Usman bin Affan yang terlalu memperhatikan kepentingan keluarganya. Ia meminta Usman bin Affan bersikap tegas terhadap kerabatnya yang menyeleweng. Akan tetapi, Usman bin Affan kurang menerima nasihat Ali bin Abi Thalib. Akibatnya, terjadilah kekacauan dan peristiwa-peristiwa fitnah lainnya. Dalam keadaan seperti itu, Usman bin Affan meminta bantuan Ali bin Abi Thalib. Akan tetapi, keadaan sudah sedemikian kacau sehingga Usman bin Affan tidak bisa diselamatkan lagi.


B. Masa Pemerintahan Ali bin Abi Thalib

Setelah terbunuhnya Usman bin Affan, kaum muslimin meminta kesedian Ali bin Abi Thalib untuk menjadi khalifah. Mendengar permintaan itu, Ali bin Abi Thalib berkata “Urusan ini bukan urusan kalian. Ini adalah perkara yang amat penting. Ini adalah urusan tokoh-tokoh ahl asy-syura bersama para pejuang Perang Badar.” Ali bin Abi Thalib akhirnya diangkat sebagai khalifah. Pembaiatan mula-mula dilakukan oleh sahabat-sahabat besar, yaitu Talhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqas, dan para sahabat lainnya. Mereka diikuti oleh rakyat banyak. Pembaiatan itu dilaksanakan pada tanggal 27 Zulhijjah 33 H di mesjid Madinah.


Setelah diangkat menjadi khalifah, Ali bin Abi Thalib mengambil langkah-langkah, yaitu :

1. Mengganti para pejabat yang diangkat oleh Usman bin Affan;

2. Mengambil tanah yang telah dibagikan oleh Usman bin Affan yang telah dibagikan kepada kerabatnya tanpa tujuan yang jelas;

3. Memberikan tunjangan kepada kaum muslimin yang diambilkan dari Baitul Mal;

4. Mengatur urusan pemerintahan;

5. Meninggalkan kota Madinah dan menjadikan kota Kufah sebagai pusat pemerintahan.


Hal itu dilakukannya untuk mengatasi perlawanan Bani Umayyah yang ketika itu mulai membangkang serta tidak membaiatnya.


C. Beberapa Pemberontakan

Terbunuhnya Usman bin Affan menjadi permasalahan yang sangat sulit bagi Ali bin Abi Thalib. Banyak pihak, terutama dari keluarganya yang menuntut agar pembunuh Usman bin Affan segera ditemukan dan dihukum. Apabila Ali bin Abi Thalib tidak bersedia, maka ia dianggap sebagai pembunuhnya. Tentu saja hal itu tidaklah mudah bagi Ali bin Abi Thalib.


Keadaan itu memunculkan beberapa pemberontakan berikut ini.

1. Pemberontakan Talhah, Zubair, dan Aisyah (36 H/656 M)

Pemberontakan ini adalah yang pertama pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Ketiga orang itu menuntut bela atas kematian Usman bin Affan.

Talhah adalah sahabat Nabi Muhammad saw yang tertua dan sangat dihormati. Ia juga merupakan salah seorang kerabat Abu Bakar as-Siddiq. Adapun Zubair bin Awwam adalah kerabat Usman bin Affan dan menantu Abu Bakar as-Siddiq. Ia menikahi putri Abu Bakar as-Siddiq yang bernama Asma’.


Pada mulanya mereka membaiat Ali bin Abi Thalib. Karena tuntutannya tidak dikabulkan Ali bin Abi Thalib, mereka mencabut baiatnya dan pergi menuju Basra. Mereka memiliki banyak pengikut di kota itu. Dalam perjalanan mereka bertemu dengan Aisyah. Mereka kemudian menyampaikan kabar terbunuhnya Usman bin Affan kepada Aisyah. Aisyah sangat terkejut mengetahui hal itu. Ia lebih terejut lagi ketika diberi tahu bahwa Ali bin Abi Thalib belum bersedia menghukum para pemberontak. Aisyah kemudian bergabung dengan Talhah dan Zubair. Sesampainya di Basra, mereka merebut kekuasaan. Gubernur Basra yang dianggat oleh Ali bin Abi Thalib, Usman bin Hanif, ditawan. Keadaan segera meruncing.


Ali bin Abi Thalib segera menyelesaikan persoalan ini. Akan tetapi ia menghindari cara-cara kekerasan. Ia mengirim surat kepada Talhah dan Zubair agar bersedia berunding. Ajakan tersebut tidak ditanggapi oleh Talhah dan Zubair. Akhirnya peperangan dahsyat tidak dapat dihindari lagi.


Dalam peperangan itu Aisyah mengendarai unta untuk menghadapi musuhnya. Oleh karena itu, peperangan tersebut terkenal dalam sejarah sebagai Perang Jamal. Sebagai salah seorang panglima perang yang tangguh, Ali bin Abi Thalib berhasil segera mengalahkan lawannya. Talhah dan Zubair terbunuh. Sementara itu, 20.000 orang Islam lainnya gugur dalam pertempuran itu. Adapun Aisyah ditawan. Ali bin Abi Thalib memulangkannya kembali ke Madinah dengan ditemani saudaranya, Muhammad bin Abu Bakar as-Siddiq.


Aisyah tetap dihormati sebagai ummul-mu’minin.

Sejak itu, Basra masuk secara penuh dalam pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Setelah itu, Ali bin Abi Thalib berangkat menuju Kufah untuk menyelesaikan pemberontakan Mu’awiyah bin Abu Sufyan.


2. Pemberontkan Mu’awiyah bin Abu Sufyan

Mu’awiyah bin Abu Sufyan tidak pernah mengakui kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Mereka menganggap Ali bin Abi Thalib bersekongkol dengan pemberontak untuk membunuh Usman bin Affan. Oleh karena itu mereka menuntut Ali bin Abi Thalib menghukum para pembunuh Usman bin Affan segera mungkin. Hal itu tentu saja tidak dapat disanggupi Ali bin Abi Thalib.


Permasalahan makin sulit ketika Mu’awiyah menolak perintah Ali bin Abi Thalib untuk mengundurkan diri dari jabatannya sebagai gubernur. Mu’awiyah bahkan mempersiapkan pasukan perang untuk melawan Ali bin Abi Thalib.


Setelah selesainya Perang Jamal, Ali bin Abi Thalib segera berangkat menuju Damaskus. Ternyata, Mu’awiyah telah siaga menghadangnya di sebuah tempat di luar Damaskus yang bernama Siffin. Sekali lagi, Ali bin Abi Thalib mengusulkan perjanjian damai kepada Mu’awiyah. Perjanjian itu gagal dilaksanakan dan meletuslah peperangan dengan sengitnya. Perang tersebut terkenal dengan sebutan Perang Siffin. Ali bin Abi Thalib adalah panglima perang yang sangat piawai. Dalam waktu singkat, pasukan Mu’awiyah berada di ambang kehancuran. Pada saat itu, Amru bin As meminta kepada Mu’awiyah untuk meminta damai kepada Ali bin Abi Thalib. Ia adalah penasehat Mu’awiyah yang terkenal cerdik dan licik. Ia kemudian meminta prajuritnya untuk mengikat Al-Qur’an di ujung tombak serta menyeru perdamaian. Ali bin Abi Thalib mngerti hal itu hanyalah tipuan. Ia berniat untuk terus melanjutkan peperangan. Akan tetapi, sebagian prajuritnya meminta agar peperangan dihentikan. Peperangan pun berhenti.


Setelah itu, perundingan dilaksanakan. Dalam sejarah, peristiwa ini terkenal dengan sebutan tahkim atau arbitrasi. Pihak Mu’awiyah diwakili oleh Amru bin As, sedangkan dari pihak Ali bin Abi Thalib diwakili oleh Abu Musa al-Asy’ari. Mula-mula Amru bin As mengatakan bahwa Mu’awiyah dan Ali bin Abi Thalib meletakkan jabatan. Barulah setelah itu kaum muslimin memilih khalifah yang baru. Oleh karena itu, Amru bin As meminta kepada Abu Musa al-As’ari mengumumkan pengunduran khalifah Ali bin Abi Thalib. Setelah itu, Amru bin As menyatakan Mu’awiyah sebagai khalifah untuk mengisi kekosongan jabatan itu. Melihat kecurangan itu, pihak Ali bin Abi Thalib marah. Merka meminta Ali bin Abi Thalib untuk melnjutkan perang kembali. Akan tetapi, Ali bin Abi Thalib menolaknya karena ia telah berjanji untuk menerima hasil perundingan. Akhirnya, orang-orang itu memisahkan diri dari kelompok Ali bin Abi Thalib. Mereka ini kemudian disebut Khawarij, artinya orang yang keluar. Demikianlah, persoalan itu akhirnya tidak terselesaikan dan malah memunculkan persoalan yang baru.


3. Pemberontakan Kaum Khawarij

Kaum Khawarij kemudian menyatakan perang terhadap kelompok Ali bin Abi Thalib dan kelompok Mu’awiyah. Mereka kemudian menyingkir ke Harurah, sebuah desa di dekat Kufah. Mereka kemudian mengangkat Syibi bin Rubi’at-Tamimi sebagai panglima perang dan Abdullah bin Wahhab ar-Rasibi sebagai pemimpin keagamaan. Di Harurah mereka segera menyusun kekuatan untuk menggempur semua pihak yang menyetujui tahkim dan tokoh-tokohnya. Tokoh-tokoh yang hendak mereka bunuh adalah Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abu Sufyan, Amru bin As, dan Abu Musa al-Asy’ari.


Keadaan Ali bin Abi Thalib menjadi sulit. Di satu pihak, ia ingin segera menghancurkan Mu’awiyah yang makin kuat. Di pihak lain, kekuatan kaum Khawarij sangat berbahaya jika tidak segera ditumpas. Akhirnya, Ali bin Abi Thalib memutuskan untuk menyerang Khawarij terlebih dahulu. Kemudian, barulah ia menyerang Damaskus.


Pada tahun 658 M, Ali bin Abi Thalib menyerang kaum Khawarij di Nahrawan. Perang ini dikenal dengan sebutan Perang Nahrawan. Kaum Khawarij berhasil dihancurkan. Abdullah bin Wahhab ikut terbunuh.


D. Akhir Pemerintahan Ali bin Abi Thalib

Kekalahan kaum Khawarij dalam Perang Nahrawan membuat mereka makin dendam. Mereka terus-menerus menghancurkan kehidupan kaum muslimin. Di pihak lain, kekuatan Mu’awiyah makin bertambah. Pada tahun 658 M, Amru bin As berangkat ke Mesir dan menaklukkannya.



Hal itu membuat kekuasaan Mu’awiyah makin luas. Secara diam-diam, kaum Khawarij merencanakan untuk membunuh Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah, dan Amru bin As. Mereka dianggap sebagai orang yang menyebabkan perpecahan umat Islam. Mereka menetapkan tiga orang untuk melaksanakan tugas tersebut. Mereka adalah :

1. Abdurrahman bin Muljam bertugas membunuh Ali bin Abi Thalib di Kufah;

2. Barak bin Abdillah at-Tamimi ditugaskan membunuh Mu’awiyah di Damaskus;

3. Amr bin Bakar at-Tamimi bertugas membunuh Amru bin As di Mesir.


Di antara ketiga orang itu, hanya Abdurrahman bin Muljam yang berhasil melaksanakan tugas. Ia menusuk Ali bin Abi Thalib ketika melaksanakan salat subuh. Ali bin Abi Thalib akhirnya meninggal pada bulan Ramadhan tahun 40 H (661 M). Masa pemerintahannya berlangsung selama kurang lebih 4 tahun. Ia meninggal dalam usia 60 tahun.


Dilihat dari hasilnya, pemerintahan Ali bin Abi Thalib dapat dianggap mengalami kegagalan. Kegagalan ini terutama disebabkan sikap kompromi Ali bin Abi Thalib terhadap Mu’awiyah. Selain itu, Ali bin Abi Thalib harus menghadapi pemberontakan Talhah bin Zubair, sreta kaum Khawarij. Peperangan melawan mereka sangat melemahkan kekuatan Ali bin Abi Thalib.
Di pihak lain, Mu’awiyah berhasil meningkatkan kekuatannya. Ia memiliki pendukung, keuangan, dan sumber kekayaan yang jaun lebih besar dibandingkan Ali bin Abi Thalib. Bani Umayyah dan orang-orang Arab Suriah selalu memasoknya dengan sumber kekuatan yang tidak ada habisnya.


Ali bin Abi Thalib merupakan Khulafaur Rasyidin yang terakhir. Ia hidup sesuai tuntunan Nabi Muhammad saw yang sangat sederhana dan suci. Ia sangat cermat dalam melaksanakan prinsip-prinsip Baitul Mal. Ia tidak pernah membelanjakan atau mengizinkan orang lain membelanjakan perbendaharaan negara satu sen pun. Masa Khulafar Rasyidin merupakan puncak kegemilangan Islam. Mereka memiliki jasa yang sangat besar dalam mengembangkan Islam. 
 
 
 

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright @ 2013 PEJUANG ISLAM.