Tersebutlah sebuah monumen kayu di dekat pulau Corfu (Yunani) yang unik
namun jarang dikunjungi. Letaknya diatas kota kuno Nicopolis ("Kota
Kemenangan"). Dilihat dari bentuk potongan kayu-kayunya, arkeolog
menyimpulkan bahwa kayu-kayu ini pastilah bagian dari kapal tempur kayu
besar. Juga ditemukan bahwa waktu monumen ini masih utuh, dindingnya
diukir sangat indah dan ada relief buritan kapal besar. Ini pastilah
sebuah monumen kemenangan perang laut besar.
Dindingnya ala
Romawi, tahunnya diperkirakan menjelang 1 Masehi, yaitu pada masa
pemerinahan Kaisar Augustus. Inilah yang terjadi: Kapal yang diambil
kayunya untuk membangun monumen ini adalah kapal Marcus Antonius.
Monumen ini dibangun oleh mantan rekannya, yang lalu menjadi rival
memperebutkan kursi tunggal pemimpin tertinggi Romawi: Octavian, yang
kemudian dikenal sebagai Kaisar Augustus. Ini adalah peringatan
kemenangannya di Pertempuran Actium, 31 SM, dimana ia berhasil
mengalahkan Antonius dan Cleopatra VII, sekutu dan kekasihnya. Actium
adalah pertempuran yang menjadi salah satu titik balik besar dalam
sejarah dunia Barat. Lukisan modern pertempuran Actium:
Pertanyaan yang muncul: Begitu pentingkah pertempuran Actium? Apa saja
pengaruhnya? Untuk menjawab ini, baiklah kita bertanya: Bagaimana jika
kayu-kayu monumen itu adalah milik kapal-kapal Octavian? Dengan kata
lain, bagaimana jika Marcus Antonius yang menang?
Di Actium,
Octavian mengalahkan rivalnya yang terakhir, dan kemudian bisa
melaksanakan rencana besarnya: menghilangkan dominasi aristokrasi dalam
bentuk Senat, membangun tata kerajaan baru yang memusatkan kekuasaan
pada seorang manusia saja. Actium juga mengakhiri 300 tahun kekuasaan
dinasti peninggalan Alexander Agung atas Mesir, dan sekaligus mengakhiri
kerajaan besar Hellenistic yang terakhir. Melalui kemenangan Octavian,
lengkaplah pendudukan Romawi di timur Mediterania, dan dimulailah
berkuasanya para kaisar Romawi, dari yang baik (Marcus Aurelius) sampai
yang gila (Caligula, Nero).
Di film Cleopatra (dibintangi Liz
Taylor), digambarkan Cleopatra adalah sosok wanita yang sangat cantik
dan terkenal memiliki hidung yang sangat mancung. Sebuah kata mutiara
Mesir kuno berbunyi "Jika hidung Cleopatra lebih pesek sedikit saja,
maka bumi pun akan berubah bentuknya". Namun justru sumber-sumber primer
tentang Cleopatra tidak menyebutkan kecantikannya. Plutarch (penulis
biografi Julius Caesar dan Marcus Antonius), menulis bahwa daya tariknya
yang terutama adalah suara indahnya dan karakternya yang kuat dan
dicintai rakyat, namun tidak menyebut bahwa Cleopatra sangat cantik.
Apalagi sebuah koin bergambar Cleopatra VII yang ditemukan di
ALexandria, yang disahkan oleh sang Ratu, menggambarkan sang Ratu lebih
tepat sebagai "berhidung besar". Pada Ratu inilah Marcus Antonius (dan
sebelumnya Julius Caesar) jatuh hati, bahkan Marcus Antonius
berhubungan sangat intim dengannya. Baiklah kita mundur dulu untuk
mengikuti kisah Cleopatra, dari masa Julius Caesar.
Dalam sebuah
kunjungan ke Mesir tahun 48 SM, Julius Caesar, sang penakluk berumur
52 tahun bertemu dengan Cleopatra VII yang masih berusia 21 tahun. Pada
saat itu, Cleopatra sedang dalam keadaan perang saudara dengan
penguasa Mesir, Ptolemy XIII yang adalah saudara laki-lakinya dan
suaminya (!). Cleopatra dan Ptolemy keduanya adalah garis keturunan
langsung dari Ptolemy, jenderal yang berjuang bersama Alexander Agung
yang kemudian menduduki Mesir dengan kekerasan. Untuk menjaga kemurnian
tahta garis keturunan Ptolemy, mereka saling menikah antar saudara.
Meskipun berasal dari satu keluarga, perebutan kekuasaan tak jarang
terjadi. Caesar muncul sebagai pihak ketiga dalam perebutan kekuasaan
ini, memihak Cleopatra dan mengalahkan Ptolemy XIII. Jadilah Cleopatra
penguasa tunggal di Mesir.
Meskipun tidak dapat disangkal Caesar
menaruh hati pada Cleopatra (bukanlah kebetulan jika anak Cleopatra
yang lahir kemudian diberi nama Caesarion atau Caesar Kecil), jelas
motif Caesar memihak Cleopatra lebih jauh dari segi romantis. Caesar
ingin mencari seseorang berkarakter kuat untuk membantu tugasnya
sebagai pemimpin tunggal Romawi. Cleopatra sangatlah cocok untuk ini:
meskipun seorang wanita muda, ia memiliki semua syarat yang dibutuhkan
sebagai client-ruler di daerah yang merupakan pinggiran kekuasaan
Romawi. Ia adalah keturunan Ptolemy yang sah, ia diterima oleh rakyat
Mesir dan dihormati di daerah-daerah lainnya berkat kepandaiannya, dan
yang terutama, ia menunjukkan dirinya bisa melakukan apapun untuk
mengambilalih kekuasaan; ia tidak bisa diluluhkan oleh sentimen keluarga
untuk mencapai tujuannya. Di samping itu, ia pandai memimpin rakyat
Mesir yang sangat beragam: pribumi Mesir, Yunani-Macedonia, dan Yahudi
hanyalah tiga kelompok etnis yang terbesar. Pendeknya, seorang pemimpin
wanita yang ideal.
Cleopatra pun pintar membaca situasi politik
pada masa itu, dan ia tahu benar dua kunci penting untuk mempertahankan
dinastinya di Mesir. Pertama, ia harus mendapatkan dukungan dari pihak
Romawi, dan ini berarti mendapatkan dukungan dari orang-orang kuat
Romawi. Dengan baik ia berhasil memperoleh dukungan ini dengan mengikat
Caesar.
Kedua, ia mengerti bahwa bagi Roma, Mesir sangat berharga
namun bisa menjadi masalah karena kekayaan dan kondisi tanah Mesir yang
relatif aman terhadap invasi dari laut dan darat. Karena dua hal
inilah, dinasti Ptolemy di Mesir bisa bertahan. Kekayaan Mesir
sangatlah menggiurkan aristokrat-aristokrat Romawi yang senang
mengumpulkan kekayaan lalu menghamburkannya dalam berbagai bentuk.
Namun ini pun membahayakan, karena sekali seorang Roma menguasai Mesir,
petinggi-petinggi lain tahu bahwa ia potensial menjadi ancaman besar
bagi Roma dan perang tak akan terelakkan.
Jadilah Mesir tetap
merdeka, dan kemerdekaan ini terus dipelihara melalui "adu kelihaian"
dengan para politikus Romawi sambil menjelaskan bahwa kekayaan Mesir
selalu tersedia bagi "orang Roma yang benar" tanpa harus melalui jalur
aneksasi.
Intinya, hubungan Caesar dan Cleopatra menguntungkan
kedua belah pihak (tepatnya tiga: baik untuk Caesar, baik untuk Roma,
baik untuk Cleopatra). Bahwa Cleopatra seorang yang menarik hati secara
seksual, mungkin ada benarnya, tapi yang pasti itu bukan cerita
utamanya.
Pembunuhan Julius Caesar tahun 44 SM membawa
perkembangan baru, berujung dengan naiknya triumvirat Octavian, Marcus
Antonius, dan Marcus Lepidus. Pembunuh-pembunuh Caesar (Brutus, Cassius)
saat itu mengumpulkan kekuatan besar di Timur dengan cara mengenakan
pajak bagi provinsial-provinsial Romawi dan menekan client-kingdoms di
Timur, termasuk Mesir. Ini problematis bagi Cleopatra: haruskah ia
secara terbuka namun dengan halus menolak, ataukah menyetujui keinginan
mereka ini untuk menggunakan kekayaan Mesir? Ataukah diam dulu saat
ini, tunggu siapa yang memenangkan pertempuran, baru bertindak?
Ia
mengambil pilihan kedua, bukan karena ingatannya akan Caesar, tetapi
lebih karena kelaparan dan wabah penyakit yang tengah melanda Mesir. Ia
sendiri membangun armada dan memerintahkan mereka berlayar membantu
para konspirator, namun karena cuaca buruk, armada ini kembali ke
Alexandria sebelum bertemu kawan atau lawan. Dan karena cuaca buruk
ini, jadilah Cleopatra pihak yang pasif, yang hanya bisa menunggu nasib
dirinya dan Mesir; ia tidak bisa menentukan jalannya perang. Ini
membuatnya insaf: ia tidak akan lagi bertindak pasif, menunggu nasib.
Sementara itu, triumvirat berjaya di Phillippi berkat kepemimpinan
Antonius, kemudian membagi wilayah empire: Antonius di Timur, Octavian
di Barat.
Sekarang, triumvirat tersebut memutuskan untuk
mengganjar client-states di Timur: yang membantu para konspirator harus
dihukum, yang menolak membantu akan diberi hadiah. Namun bagaimana
dengan Cleopatra, yang bersikap "netral"? Untuk itu harus ada
persidangan sendiri dengan orang tertinggi Romawi timur (Marcus
Antonius), dan ini pun segera dilakukan: Antonius memanggil Cleopatra
untuk datang ke markasnya di Tarsus, meminta pertanggungjawaban atas
apa yang terjadi.
Dan terjadilah salah satu pertemuan paling
penting dalam sejarah: Cleopatra mendarat di Tarsus dengan rombongan
yang luar biasa mewah, mengundang Antonius ke makan malam mewah, dan
dengan cepat meyakinkannya bahwa apapun yang dilakukan Cleopatra dan
Mesir ketika perang terjadi, itu tidak penting; yang lebih penting
adalah bahwa berkuasanya Cleopatra di Mesir sangat penting bagi
Antonius. Mungkin setelah ini, mereka menjadi pasangan: Antonius
menjadi tamu kehormatan sang Ratu di Alexandria pada musim dingin.
Namun semua lakon tahu, ketertarikan seksual ini hanyalah bagian kecil
dari permainan politik yang jauh lebih besar, yang akan menentukan
nasib banyak pihak: Antonius, Cleopatra, Octavian, Romawi, Mesir, dan
(pada ujungnya) kebudayaan Barat.
Antonius menyadari bahwa dia
perlu dukungan kekayaan sang Ratu untuk mempertahankan dan mengejar
ambisi pribadinya dan Romawi di dua front. Di Timur, kerajaan Parthia
menunjukkan gejala ekspansionis yang mengkhawatirkan. Mereka mengambil
keuntungan dari Perang Saudara (42 SM), dengan menekan Syria yang
dikuasai Romawi, dan keberadaan Parthia makin mengancam keamanan Romawi
Timur. Mereka ini memiliki reputasi militer yang baik: tahun 52 SM,
mereka mengalahkan Marcus Crassus, rekan Julius Caesar, di Carrhae dan
ini adalah salah satu kekalahan paling memalukan dalam sejarah Romawi
sampai waktu itu. Panji-panji legiun Romawi berlambang elang, yang
hilang di Carrhae, belum direbut kembali. Jelas ini harus jadi
prioritas utama Antonius.
Tapi ada-ada saja yang mengganggu
rencana Antonius: sanak keluarga dan loyalis Marcus Antonius
mengumpulkan kekuatan dan menyerang kekuatan Octavian. Lebih parahnya,
kekuatan ini berhasil dikalahkan Octavian. Kerumitan ini masih ditambah
dengan masuknya Sextus Pompeius (salah satu anak Pompeius, triumvir
bersama Caesar). Ia membangun armada laut independen yang besarnya tak
dapat disepelekan, dan potensial mengacau jalur perdagangan Romawi di
Mediterania. Mengetahui ada keretakan antara Octavian dan Antonius, ia
coba mengompori: ia menawarkan bantuan pada Antonius untuk mengalahkan
Octavian. Namun mengetahui akal bulusnya, Antonius menolak dan
memutuskan untuk memperbarui hubungan dengan Octavian. Ia menikahi
Octavia, adik Octavian, dan pembagian tugas dipertegas: Octavian
mengurus masalah di Italia dan Antonius bertanggung jawab atas masalah
Parthia. Hubungan kedua orang ini pun membaik; apalagi ditambah dengan
keberhasilan Ventidius, komandan pasukan Antonius, menghalau Parthia
dari Syria pada saat yang sama. Terlihat seakan-akan Triumvirat Kedua
ini akan berlangsung lama.
Anggapan itu ternyata hanya dari luar
saja. Octavian ternyata memiliki ambisi menguasai seluruh Romawi, dan
untuk itu harus membuktikan diri sejajar dengan Marcus Antonius di mata
orang Romawi, terutama para legioner. Octavian tidak memiliki otak
militer se-brilian Antonius, tapi ia sangat lihai berpolitik dan
membentuk opini publik, dan terutama menarik orang berpihak padanya.
Salah satu orang terpenting yang berpihak padanya adalah Marcus
Vipsanius Agrippa, seorang jenderal yang luar biasa lihai dalam
mengorganisasi operasi militer skala besar.
Octavian segera
melihat peluang pembuktian itu pada armada Sextus Pompey: dengan
menghancurkan armada besar itu, namanya akan terangkat. Namun tidak
semudah itu: tanpa bantuan Antonius, kapal-kapal Octavian banyak yang
karam kena badai, dan Sextus menang dimana-mana. Melihat ini, Antonius
membuktikan diri sebagai rekan yang setia; ia datang ke Roma dan
menawarkan membantu Octavian dengan armadanya yang lebih berpengalaman.
Octavian justru dengan bangga menolak; ia tidak ingin nama Antonius ada
dalam kemenangan ini. Dan demikianlah pertempuran dengan Sextus terus
berlanjut, pajak di daerah kekuasaan Octavian ditingkatkan (yang
sedikit banyak membuat rakyat makin antipati), dan Antonius lama-lama
sadar: Triumvirat ini akan terus berlangsung sampai Octavian merasa
cukup kuat untuk menguasai seluruh Romawi, yang berarti mengalahkan
Antonius sendiri.
Tahun 37 SM, barulah Antonius mulai beroperasi
melawan Parthia (yang tertunda karena keinginan Antonius membantu
Octavian melawan Sextus). Meskipun Antonius dan Octavian setuju untuk
menggunakan orang-orang Italia sebagai tempat rekruitmen anggota
militer bersama, kenyataannya Octavian jelas berusaha
menghalang-halangi usaha Antonius membangun tentara sendiri yang
berdasarkan rekruitmen orang-orang Italia. Jika Antonius ingin melawan
orang Parthia, ia harus memiliki dana yang besar untuk merekrut dan
melatih tentara yang banyak. Ini berarti ia harus bergantung pada Mesir
dan Cleopatra.
Setelah berunding, diputuskan bahwa Cleopatra
bersedia mendanai legiuner Antonius, dan sebaliknya Antonius memberikan
Cleopatra kekuasaan atas beberapa wilayah kekuasaan Romawi di Timur,
dan yang terpenting: Antonius mengakui dua anak kembar hasil
hubungannya dengan Cleopatra. Akan makin kuatlah kedudukan Cleopatra:
ia adalah ibu dari dua anak orang Romawi yang tertinggi di Timur. Makin
tampaklah kelihaian Cleopatra dalam berpolitik: jika Antonius menepati
janji, masa depan Mesir yang merdeka, dipimpin oleh jalur keturunan
Romawi-Macedonia, sudah pasti.
Tahun 36 SM adalah saat-saat
menentukan. Secara bersamaan, Octavian bertempur melawan Sextus dengan
kekuatan barunya dan Antonius melaksanakan invasi besar-besaran
terhadap Parthia. Namun keduanya berlangsung diluar dugaan: Octavian
tanpa diduga berhasil menghancurkan armada Sextus yang jauh lebih kuat
dan berpengalaman (tentu berkat jasa besar Agrippa), sedangkan kampanye
Antonius di Parthia tidak disertai Dewi Fortuna: kampanyenya gagal
total, bahkan menjadi malapetaka. Pendeknya, Antonius kehilangan 32,000
orang (2/5 jumlah pasukannya) karena kelaparan, cuaca buruk, atau
penyakit. Kemenangan besar Octavian dan kekalahan besar Antony menjadi
titik balik hubungan kedua orang ini, sampai akhirnya final showdown di
Actium.
Kini Antonius tidak bisa lagi berperan ganda seperti
sebelumnya: sebagai rekan kooperatif Octavian dalam mengatur empire
Romawi, sebagai rival temporer Octavian sebagai pemegang kekuasaan
tertinggi Romawi, dan sebagai pemimpin bebas di Timur (Hellenistik).
Setelah pamornya jatuh, salah satu peran tersebut harus diprioritaskan
dan yang lain harus dilepaskan. Keputusan Antonius: ia tidak lagi
menjadi rekan kooperatif Octavian, dan ia memutuskan menjadi pemimpin
dinasti Hellenistik di Timur dengan dukungan Cleopatra. Rivalitas
dengan Octavian tetap ada, namun sekarang antara kekuatan Timur
(dipimpin Antonius dan dibiayai Cleopatra) melawan kekuatan Barat
(dipimpin Octavian dan dibiayai pembayar pajak Roma). Sebagai
finalisasi keputusan ini, Antonius menolak bantuan tentara dan logistik
dari istrinya Octavia: ia merasa bahwa yang bisa didapatkannya dari
Cleopatra jauh lebih baik daripada itu.
Bertindak sebagai
seorang pemimpin Hellenis, ia mengadakan aliansi dengan dinasti-dinasti
di Asia, misalnya kerajaan Media yang membantunya dalam perang melawan
Parthia. Ia juga mengalahkan raja Armenia yang memberontak, dan
menyelenggarakan pesta besar di Alexandria. Secara formal ia memberikan
kuasa wilayah-wilayah Asia bagi anak-anaknya dengan Cleopatra.
Tindakan-tindakan Antonius benar-benar dimanfaatkan oleh Octavian untuk
mengambil hati orang Romawi untuk memihak dirinya, menunjukkan bahwa
Antonius sudah tidak loyal lagi pada Roma. Mengetahui bahwa banyak
partisan Antonius di Roma yang masih yakin bahwa ia masih memihak
Romawi (terutama mengingat dirinya sebagai bawahan Caesar yang loyal),
Octavian menggeser pusat perhatian dari Antonius ke Cleopatra; Octavian
membuat seakan-akan Cleopatra ingin sendirian berkuasa atas Kekaisaran
Romawi, dan persekutuan Antonius dan Cleopatra dianggap sebagai
pengkhianatan. Akibat propaganda ini, senator-senator yang memihak
Antonius kabur ke Timur, dan Octavian pun makin menanamkan kekuasaan di
Roma.
(Bersambung)
Minggu, 05 Januari 2014
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar