Meskipun peperangan antara Romawi dan Parthia/Sassaniyah berlangsung selama tujuh abad, garis depan kedua pihak cenderung tetap stabil. Tarik-menarik berlangsung: kota, benteng, dan provinsi terus-menerus diserang, ditaklukkan, dihancurkan, dan dipindahtangankan. Kedua belah pihak tidak memiliki kekuatan logistik dan tenaga manusia untuk menghadapi kampanye yang panjang dan jauh di luar perbatasan mereka, dan kedua belah pihak tidak mampu melaju terlalu jauh tanpa mengambil risiko membuat garis depan menjadi terlalu tipis. Kedua pihak memang melakukan penaklukan di luar perbatasan masing-masing, namun keseimbangan selalu kembali seperti semula. Garus kebuntuan bergeser pada abad ke-2 M: batasnya awalnya adalah di sepanjang Efrat; batas baru ada di timur, atau kemudian di timur laut, di seberang Mesopotamia sampai Tigris utara. Ada pula beberapa pergeseran penting lebih jauh di utara, yakni di Armenia dan Kaukasus.
Penghabisan sumber daya selama Perang Romawi–Persia pada akhirnya berujung bencana pada kedua Kekaisaran itu. Peperangan yang berkepanjangan dan meningkat pada abad ke-7 dan ke-6 SM menyebabkan kedua pihak menjadi lemah dan rentan ketika terjadi kebangkitan dan ekspansi yang tiba-tiba dari Kekhalifahan Muslim Arab, yang pasukannya menginvasi kedua kekaisaran itu hanya beberapa tahun setelah Perang Romawi–Persia berakhir. Memanfaatkan keadaan mereka yang melemah, pasukan Muslim Arab dengan cepat menaklukkan keseluruhan Kekaisaran Sassaniyah. Pasukan Arab juga merampas wilayah Kekaisaran Romawi Timur yang ada di Levant, Kaukasus, Mesir, dan Afrika Utara. Pada abad-abad berikutnya, sebagian besar Kekaisaran Romawi Timur berhasil dikuasai oleh Muslim.
Latar belakang
Menurut James Howard-Johnston, "sejak abad ke-3 SM hingga abad ke-7 M, pemain yang bersaing [di Timur] adalah pihak yang kuat dengan ambisi besar, yang mampu mendirikan dan mengamankan wilayah yang melampaui daerah-daerah yang terbagi-bagi".[1] Romawi dan Parthia mulai melakukan kontak melalui penaklukan masing-masing terhadap Kekaisaran Seleukia. Selama abad ke-3 SM, orang-orang Parthia mulai bermigrasi dari stepa Asia Tengah ke Iran utara. Meskipun dikuasai untuk sementara waktu oleh Seleukia, pada abad ke-2 SM mereka berhasil bebas dan mendirikan negara merdeka yang secara perlahan-lahan meluas, menaklukkan Persia dan Mesopotamia. Dipimpin oleh Dinasti Arcasiyah, Parthia menghalau beberapa usaha Seleukia untuk merebut kembali bekas wilayah kekausaan mereka, dan Parthia malah terus memperluas kekuasaan mereka sampai ke India (lihat Kerajaan India-Parthia).[2][3] Sementara itu Romawi mengusir Seleukia dari wilayah kekuasaan mereka di Anatolia pada awal abad ke-2 SM, setelah mengalahkan Antiokhos III yang Agung pada Pertempuran Thermopylae dan Pertempuran Magnesia. Pada akhirnya, pada tahun 64 SM Pompeius menaklukkan sisa-sisa kekuasaan Seleukia di Suriah, memusnahkan negara tersebut dan memajukan batas timur Romawi sampai ke Efrat, yang berbatasan langsung dengan wilayah kekuasaan Parthia.[2]
Romawi (ungu), Parthia (kuning) dan Seleukia
(biru) pada 200 SM. Romawi dan Parthia menginvasi wilayah kekuasaan
Seleukia, dan keduanya kemudian menjadi negara terkuat di Asia barat.
Perang Romawi–Parthia
Republik Romawi vs. Parthia
Hubungan Parthia dengan Barat dimulai pada masa Mithridates I dan dilakukan kembali oleh Mithridates II, yang melakukan negosiasi dengan Lucius Cornelius Sulla mengenai kemungkinan persekutuan Romawi–Parthia (sek. 105 SM) meski akhirnya gagal.[4][5] Ketika Lucullus menginvasi Armenia Selatan dan memimpin sebuah serangan terhadap Tigranes pada 69 SM, dia menghubungi Phraates III guna memintanya supaya tidak ikut campur. Meskipun Parthia bersikap netral, Lucullus sempat mempertimbangkan untuk menyerang mereka.[6] Pada 66–65 SM, Pompeius mencapai kesepakatan dengan Phraates, dan pasukan Romawi–Parthia menginvasi Armenia, namun kemudian muncul percekcokan di perbatasan Efrat. Akhirnya, Phraates menegaskan kekuasaannya atas Mesopotamia, kecuali untuk distrik barat Osroene, yang menjadi tanah jajahan Romawi.[7]Jenderal Romawi Marcus Licinius Crassus memimpin sebuah invasi ke Mesopotamia pada 53 SM yang berakhir dengan bencana; dia dan putranya Publius dibunuh pada Pertempuran Carrhae oleh pasukan Parthia di bawah Jenderal Surena; ini adalah kekalahan pertama Romawi sejak Pertempuran Cannae.[8] Parthia menggempur Suriah setahun kemudian, dan melakukan invasi besar pada 51 SM, tetapi pasukan mereka disergap di dekat Antigonea oleh Romawi, dan mereka pun dipukul mundur.[9]
Parthia tetap bersikap netral selama perang saudara Caesar, yang berlangsung antara pasukan pendukung Julius Caesar dan pasukan pendukung Pompeius dan faksi tradisional di Senat Romawi. Akan tetapi, Parthia tetap menjaga hubungan baik dengan Pompeius, dan setelah kekalahan serta kematian Pompeius, pasukan Parthia di bawah Pacorus I menolong jenderal Pompeius, Q. Caecilius Bassus, yang sedang dikepung di Lembah Apamea oleh pasukan Caesar. Setelah memenangkan perang saudara, Julius Caesar mempersiapkan kampanye melawan Parthia, namun dia keburu meninggal akibat dibunuh sehingga rencananya tidak jadi dilaksanakan. Parthia mendukung Brutus dan Cassius selama perang saudara Liberator dan mengirim satu kontingen untuk bertempur dalam Pertempuran Philippi pada 42 SM.[10] Setelah kekalahan para Liberator, Parthia menginvasi wilayah Romawi pada 40 SM bekerja sama dengan Quintus Labienus, orang Romawi mantan pendukung Brutus dan Cassius. Mereka dengan cepat menguasai provinsi Romawi Suriah dan bergerak menuju Yudea, mengalahkan klien Romawi Hyrcanus II dan menempatkan keponakannya Antigonus. Untuk sesaat, seluruh bagian timur Romawi tampaknya telah diambil oleh Parthia atau akan jatuh ke tangan mereka. Namun, hasil dari perang saudara Romawi dengan segera memulihkan kekuatan Romawi di Asia.[11] Markus Antonius mengirim Ventidius untuk menghadang Labienus, yang telah menginvasi Anatolia. Labienus dengan cepat dipukul mundur ke Suriah oleh pasukan Romawi, dan, meskipun dibantu oleh Parthia, dia dikalahkan, ditawan, dan dibunuh. Setelah kembali mengalami kekalahan di dekat Gerbang Suriah, Parthia menarik pasukannya dari Suriah. Mereka kembali pada 38 SM namun secara telak dikalahkan oleh Ventidius, dan Pacorus terbunuh. Di Yudaea, Antigonus digulingkan dengan bantuan Romawi oleh Herod pada 37 SM.[12][13][14] Setelah Romawi kembali menguasai Suriah dan Yudea, Markus Antonius memimpin pasukan besar menuju Atropatene (Azerbaijan modern), namun kereta kepung dan pasukan pengiringnya diisolir dan disapu habis, sementara sekutu Armenianya meninggalkannya. Gagal memperoleh perkembangan berarti melawan posisi Parthia, Romawi akhirnya mundur dengan kerugian yang besar. Antonius kembali ke Armenia pada 33 SM untuk bergabung dengan raja Media melawan Octavianus dan Parthia. Dia pada akhirnya terpaksa harus mundur dan keseluruhan wilayah itu dikuasai oleh Parthia.[15]
Kekaisaran Romawi vs. Parthia
Karena ketegangan antara kedua pihak dapat berujung pada perang lagi, maka Gaius Caesar dan Phraates berusaha melakukan perundingan pada 1 M. Berdasarkan perjanjian yang mereka sepakati, Parthia bersedia menarik pasukannya dari Armenia dan mengakui protektorat de facto Romawi di sana. Meskipun demikian, persaingan Romawi–Persia atas kendali dan pengaruh di Armenia terus berlangsung selama beberapa dekade berikutnya.[16] Keputusan raja Parthia Artabanus II untuk menempatkan putranya pada takhta Armenia yang kosong, memiu perang dengan Romawi pada 36 M, yang berakhir setelah Artabanus melepaskan pengaruh Parthia di Armenia.[17] Perang kembali meletus pada 58 M, setelah raja Parthia Vologases I memaksa menempatkan saudaranya Tiridates di takhta Armenia.[18][19] Pasukan Romawi menggulingkan Tiridates dan menggantikannya dengan seorang pangeran Kappadokia, memicu perang yang inkonklusif. Perang ini berakhir pada 63 M setelah Romawi setuju untuk membiarkan Tiridates dan keturunannyan untuk memerintah Armenia dengan syarat bahwa mereka menerima hak meraja dari kaisar Romawi.[20][21]Serangkaian konflik baru terjadi pada abad ke-2 SM, ketika itu Romawi terus-menerus menang melawan Parthia. Kaisar Trajanus menginvasi Armenia dan Mesopotamia pada 114 dan 115 M. Dia menjadikan kedua wilayah itu sebagai provinsi Romawi. Dia juga menaklukkan ibu kota Parthia, Ktesiphon, sebelum akhirnya berlayar ke Teluk Persia.[22] Akan tetapi, pemberontakan meletus pada 115 M di tanah Parthia yang terjajah, ketika pemberontakan Yahudi yang besar terjadi di wilayah Romawi, sangat menguras sumber daya Romawi. Pasukan Parthia menyerang posisi-posisi kunci Romawi, dan garnisun Romawi di Seleukia, Nisibis dan Edessa diusir oleh penduduk lokal. Trajanus berhasil memadamkan pemberontakan di Mesopotamia, namun setelah menempatkan pangeran Parthia Parthamaspates di takhta Parthia sebagai penguasa klien Romawi, Trajanus pun menarik mundur pasukannya dan kembali ke Suriah. Trajanus meninggal pada 117 M, sebelum dia sempat mengatur ulang dan mengkonsolidasi kendali Romawi di provinsi-provinsi Parthia.[23][24]
Perang Parthia Trajanus menandai "pergeseran penekanan dalam 'strategi utama Kekaisaran Romawi' ", namun penerusnya, Hadrianus, memutuskan bahwa Romawi harus kembali menjadikan Efrat sebagai batas kekuasaan langsungnya. Hadrianus kembali pada keadaan status quo ante, dan menyerahkan wilayah Armenia, Mesopotamia, dan Adiabene, masing-masing kepada para penguasa dan raja di wilayah itu sebelumnya.[25][26]
Perang memperebutkan Armenia kembali pecah pada 161 M, ketika Vologases IV mengalahkan pasukan Romawi di sana, menaklukkan Edessa dan menggempur Suriah. Pada 163 M, serangan balik Romawi di bawah Statius Priscus mengalahkan Parthia di Armenia dan menempatkan kandidat yang didukung Romawi di takhta Armenia. Setahun kemudian Avidius Cassius menginvasi Mesopotamia, memenangkan pertempuran di Dura-Europos dan Seleukia, serta menjarah Ktesiphon pada 165 M. Sebuah epidemik di Parthia ketika itu, kemungkinan cacar, menular ke pasukan Romawi dan memaksa mereka untuk mundur;[27] Ini adalah asal mula Wabah Antoninus yang menjangkiti Kekaisaran Romawi selama satu generasi. Pada 195–197 M, Romawi melakukan serangan di bawah kaisar Septimius Severus dan berujung pada penguasaan Romawi atas Mesopotamia utara sampai sejauh daerah sekitar Nisibis, Singara. Romawi juga berhasil menaklukkan Ktesiphon untuk kedua kalinya.[28][29][30] Perang terakhir melawan Parthia dilancarkan oleh kaisar Caracalla, yang berhasil menaklukkan Arbela pada 216 M. Setelah dia dibunuh, penerusnya, Macrinus, dikalahkan oleh Parthia pada Pertempuran Nisibis. Supaya dapat memperoleh perdamaian, dia terpaksa harus membayar segala kerugian yang disebabkan oleh Caracalla kepada Parthia.[31][32]
Parthia, subkerajaan, dan negara tetangganya pada 1 M.
(Bersambung)
0 komentar:
Posting Komentar