Perang Kaukasus
Perang kembali pecah ketika Armenia dan Iberia memberontak terhadap pemerintahan Sassaniyah pada 571 M, menyusul bentrokan yang melibatkan proksi Romawi dan Persia di gurun Yaman dan Suriah, dan perundinagn Romawi untuk bersekutu dengan Suku Turk melawan Persia.[114] Justinus II menjadikan Armenia di bawah perlindungannya, sementara pasukan Romawi di bawah keponakan Justinus, Marcianus menggempur Arzanene dan menginvasi Mespotamia Persia, mereka mengalahkan pasukan lokal di sana.[115] Pemberhentian Marciaus yang mendadak serta kedatangan pasukan Persia di bawah Khosrau berujung pada penggempuran Suriah oleh Persia, serta gagalnya kepungan Romawi di Nisibis dan jatuhnya Dara ke tangan Persia.[116] Romawi bersedia membayar 45,000 solidi dan gencatan senjata selama satu tahun akhirnya disepakati di Mesopotamia (kemudian diperpanjang sampai lima tahun).[117][118] Akan tetapi di Kaukasus dan di perbatasan gurun lainnya peperangan terus berlanjut.[119][120] Pada 575 M, Khosrau I berupaya untuk menggabungkan agresi di Armenia dengan diskusi terkait perdamaian permanen. Dia menginvasi Anatolia dan menjarah Sebasteia, namun setelah bentrokan di dekat Melitene, pasukan Persia menderita kerugian yang besar ketika berusaha mundur menyeberangi Efrat di bawah serangan Romawi.[121][122]
Kekaisaran Sassaniyah dan negara-negara tetangganya (termasuk Kekaisaran Romawi Timur) pada tahun 600 M.
Romawi memanfaatkan kekacauan Persia, dan jenderal Justinianus menginvasi wilayah Persia dan menyerang Atropatene.[121] Khosrau awalnya meminta berdamai, namun mengabaikan inisiatif ini setelah Tamkhusro meraih kemenangan di Armenia, di sana tindakan Romawi tidak mendapat dukungan dari penduduk lokal.[123][124] Pada musim semi 578 M perang di Mesopotamia berlanjut dengan serangan Persia terhadap wilayah Romawi. Jenderal Romawi Mauricius membalas dengan menyerang Mesopotamia Persia, merebut benteng Aphumon, dan menjarah Singara. Khosrau sekali lagi meminta perundingan damai namun dia keburu meninggal pada 579 M dan penerusnya Hormizd IV lebih suka melajutkan peperangan.[125][126]
Perbatasan Romawi-Persia pada abad ke-4 dan ke-7 M.
Selama tahun 580-an M, perang berlanjut inkonklusif dengan kemenangan di kedua pihak. Pada 582 M, Mauricius memenangkan pertempuran di Konstantia atas Adarmahan dan Tamkhusro, yang terbunuh, namun jenderal Romawi itu tidak menindaklanjuti kemenangannya; dia harus cepat-cepat pergi ke Konstantinopel untuk mengejar ambisi menjadi penguasa Romawi.[127][128][129] Kemenangan Romawi lainnya dalam Pertempuran Solakhon pada 586 M juga tidak berhasil memecah kebuntuan.[130]
Persia merebut Martyropolis melalui pengkhianatan pada 589 M, namun tahun tersebut kebuntuan hancur ketika jenderal Persia Bahram Chobin, setelah dipecat dan dan dihina oleh Hormizd IV, bangkit memimpin pemberontakan. Hormizd digulingkan dalam sebuah kudeta di istana pada 590 M dan digantikan oleh putranya Khosrau II, namun Bahram tetap saja meneruskan pemberontakannya dan mengalahkan Khosrau, yang terpaksa harus menyelamatkan diri ke wilayah Romawi, sementara Bahram merebut takhta dengan gelar Bahram VI. Dengan dukungan dari Mauricius, Khosrau memimpin pemberontakan melawan Bahram, dan pada 591 M, pasukan gabungan Romawi dan Khosrau berhasil mengalahkan Bahram dan dengan demikian Khosrau dapat kembali bertakhta. Sebagai imbalan karena telah membantunya, Khosrau tidak hanya mengembalikan Dara dan Martyrooplis, namun dia juga menyerahkan paruh barat Iberia dan lebih dari setengah Armenia Persia kepada Romawi.[131][132][133]
Klimaks
Pada 602 M pasukan Romawi yang sedang melakukan kampanye militer di Balkan memberontak di bawah pimpinan Phocas, yang kemudian berhasil merebut takhta dan membunuh Mauricius beserta keluarganya. Khosrau II memanfaatkan pembunuhan itu sebagai pembenaran untuk dapat kembali menyerang Romawi.[134] Pada awal perang, Persia menikmati kesuksesan yang luar biasa dan belum pernah terjadi sebelumnya. Mereka dibantu oleh siasat Khosrau yang menggunakan seseorang yang berpura-pura sebagai putra Mauricius, juga oleh pemberontakan terhadap Phocas yang dipimpin oleh seorang jenderal Romawi, Narses.[135][136] Pada 603 M Khosrau mengalahkan dan membunuh jenderal Romawi, Germanus, di Mesopotamia dan kemudian mengepung Dara. Meskipun pasukan bantuan Romawi datang dari Eropa, Khosrau kembali memperoleh kemenangan lainnya pada 604 M, sementara Dara takluk setelah dikepung selama sembilan bulan. Selama tahun-tahun berikutnya, satu demi satu kota-kota benteng di Mesopotamia takluk setelah dikepung oleh Persia.[137][138] Pada saat yang sama, Persia juga meraih kemenangan di Armenia dan secara sistematis menguasai garnisun Romawi di Kaukasus.[139]
Koin perak Romawi akhir yang bertuliskan kata-kata Deus adiuta Romanis.
Phocas digulingkan pada 610 M oleh Heraclius, yang berlayar ke Konstantinopel dari Karthago.[140] Pada saat yang sama Persia telah menyelesaikan penaklukan mereka di Mesopotamia dan Kaukasus, dan pada 611 M mereka menyerbu Suriah dan memasuki Anatolia, serta menduduki Caesarea.[141] Setelah mengusir Persia dari Anatolia pada 612 M, Heraclis melancarkan serangan balasan ke Suriah pada 613 M. Dia secara telak dikalahkan di dekat Antiokhia oleh Shahrbaraz dan Shahin dan dengan demikian posisi Romawi pun semakin rawan.[142] Selama beberapa dekade berikutnya, Persia berhasil menaklukkan Palestina dan Mesir,[143] serta meluluhlantakkan Anatolia.[144] Sementara itu, suku Avar dan bangsa Slav mengambil keuntungan dari situasi ini untuk menyerbu Balkan, yang pada gilirannya ikut menambah kehancuran pada Kekaisaran Romawi.[145]
Selama masa tersebut, Heraclius berusaha membangun kembali pasukan Romawi. Dia memotong pengeluaran nonmiliter yang tidak penting, mendevaluasi mata uang dan melebur lempeng gereja, dengan dukungan Patriark Sergius, untuk memperoleh dana yang dibutuhkan untuk melanjutkan peperangan.[146] Pada 622 M, Heraclius berangkat dari Konstantinopel, memercayakan kota kepada Sergius dan jenderal Bonus sebagai wali anaknya. Dia menghimpun pasukannya di Asia Kecil dan, setelah melakukan latihan untuk meningkatkan moral mereka, dia melancarkan serangan balasan, yang mengambil ciri perang suci.[147][148] Di Kaukasus dia mengalahkan pasukan Arab sekutu Persia, dan kemudian meraih kemenangan atas Persia di bawah Shahrbaraz.[149][150] Menyusul masa tenang pada 623 M, ketika Heraclius merundingkan kesepakatan damai dengan suku Avar, dia melanjutkan kampanyenya di Timur pada 624 M dan mengusir pasukan pimpinan Khosrau di Ganzak, Atropatene.[151][152] Pada 625 M, dia mengalahkan jenderal Shahrbaraz, Shahin dan Shahraplakan di Armenia, dan dalam sebuah serangan kejutan pada musim dingin pada tahun yang sama dia menggempur markas Shahrbaraz dan menyerang pasukannya dalam bilet musim dingin mereka.[153][154] Didukung oleh pasukan Persia pimpinan Shahrbaraz, suku Avar dan Slav mencoba mengepung Konstantinopel pada 626 namun gagal,[155][156] sementara pasukan Persia kedua di bawah Shahin kembali menderita kekalahan di tangan saudara Heraclius, Theodore.[157][158]
Sementara itu, Heraclius membentuk persekutuan dengan suku Turk, yang mengambil keuntungan ketika kekuatan Persia melemah. Suku Turk memorak-perandakan wilayah Persia di Kaukasus.[159] Pada akhir 627 M, Heraclius melancarkan serangan musim dingin ke Mesopotamia, di sana, meskipun kontingen Turk tidak mau ikut menyerang, Heraclius tetap dapat mengalahkan Persia dalam Pertempuran Nineweh. Dia terus bergerak ke selatan di sepanjang Tigris dan menjarah istana agung Khosrau di Dastagird. Dia sebenarnya hendak menyerang Ktesiphon juga namun gagal karena jembatan di Kanal Nahrawan dihancurkan. Karena terus mengalami kekalahan, Khosrau digulingkan dan dibunuh dalam sebuah kudeta oleh putranya sendiri Kavadh II, yang langsung saja meminta perdamaian. Supaya dapat berdamai, Kavadh bersedia menarik pasukan Persia dari semua wilayah yang sebelumnya mereka rebut.[160][161] Heraclius mengembalikan Salib Suci ke Yerusalem dengan perayaan yang megah pada 629.[162][163][164]
Ilustrasi pembunuhan Khosrau II dalam sebuah manuskrip Mughal dari sekitar tahun 1535. Sajak Persianya berasal dari Shahnameh karya Ferdowsi.
Akibat
Dampak yang menghancurkan dari perang terakhir ini, menambah efek kumulatif dari konflik seabad yang hampir tanpa henti, membuat kedua kekaisaran menjadi sangat lemah. Ketika Kavadh II meninggal hanya beberapa bulan setelah naik takhta, Persia dilanda kekacauan dinasti dan perang saudara selama beberapa tahun. Sassaniyah menjadi makin lemah dengan adanya penurunan dalam bidang ekonomi, pajak yang berat untuk membiayai kampanye Khosrau II, kerusuhan agama, dan meningkatnya kekuasaan tuan tanah provinsi.[165] Kekaisaran Romawi juga sangat terpengaruh, dengan cadangan keuangannya terkuras oleh perang, dan Balkan kini sebagian besar dikuasai oleh bangsa Slav.[166] Selain itu, Anatolia juga porak-poranda akibat invasi berulang oleh Persia; kekuasaan Romawi di wilayah yang baru saja diperolehnya di Kaukasus, Suriah, Mesopotamia, Palestina, dan Mesir mulai goyah akibat pendudukan Persia selama bertahun-tahun.[167]Kedua pihak tidak memiliki kesempatan untuk memulihkan diri, karena hanya beberapa tahun kemudian mereka diserbu oleh oleh orang Arab, yang telah disatukan oleh Islam. Menurut Howard-Johnston, serbuan orang Arab itu "hanya dapat disamakan dengan tsunami manusia".[168][169] Menurut George Liska, "Konflik panjang yang tidak perlu antara Bizantium dan Persia telah memberi jalan bagi Islam".[170] Kekaisaran Sassaniyah dengan cepat menyerah terhadap serangan ini dan pada akhirnya benar-benar takluk. Selama Perang Bizantium–Arab, wilayah provinsi timur dan selatan Kekaisaran Romawi, yang sudah lemah, yang baru saja diperoleh kembali oleh Romawi, yaitu Suriah, Armenia, Mesir dan Afrika Utara, pada akhirnya lepas kembali, mengurangi wilayah Romawi menjadi tinggal sebagian Anatolia serta daerah-daerah dan pulau-pulau yang terpencar-pencar di Balkan dan Italia.[171] Wilayah Romawi yang tersisa itu juga terus-menerus diserang, menandai peralihan dari peradaban perkotaan klasik ke bentuk masyarakat abad pertengahan yang lebih bersifat pedesaan. Akan tetapi, tidak seperti Persia, Kekaisaran Romawi (dalam bentuk Kekaisaran Bizantium) berhasil bertahan dari gelombang serangan Arab. Romawi bertahan di sisa-sisa wilayahnya dan dua kali secara telak berhasil memukul mundur pengepungan Arab atas ibu kotanya, yaitu pada 674–678 M dan 717–718 M.[172][173] Kekaisaran Romawi juga kehilangan wilayahnya di Kreta dan Italia selatan akibat direbut oleh Arab dalam konflik berikutnya, meskipun wilayah-wilayah tersebut berhasil diambil kembali oleh Romawi.
(Bersambung)
0 komentar:
Posting Komentar