Kamis, 02 Januari 2014

Filled Under:

Persia (31)

B. Asal mula

Orang Yunani pada periode klasik percaya bahwa, pada zaman kegelapan yang terjadi setelah runtuhnya peradaban Mykenai, sejumlah besar orang Yunani berpindah ke Asia Kecil dan bermukim di sana.[22][23] Pada umumnya para sejarawan modern menerima migrasi ini sebagai sebuah peristiwa sejarah (tapi migrasi ini berbeda dari kolonisasi yang terjadi pada masa berikutnya di Mediterania oleh orang Yunani).[24][25] Namun, ada yang percaya bahwa migrasi Ionia tidak dapat dijelaskan sesederhana yang telah diklaim oleh orang Yunani kuno.[26] Para pemukim itu berasal dari tiga kelompok suku terbesar di Yunani, yaitu suku Aiolia, suku Doria, dan suku Ionia.[22] Suku Ionia bermukim di sekitar pesisir Lydia dan Karia, dan mendirikan dua belas kota yang membentuk Ionia.[22] Kota-kota itu di antaranya adalah Miletos, Myos, dan Priene di Karia; Ephesos, Kolophon, Lebedos, Teos, Klazomenae, Phokaia, dan Erythrai di Lydia; serta Pulau Samos dan Khios.[27] Meskipun kota-kota Ionia masing-masing berdaulat sendiri-sendiri, tapi mereka mengakui bahwa mereka mewarisi kebudayaan dan peradaban yang sama. Mereka diperkirakan memiliki satu kuil utama dan tempat pertemuan tetap, disebut Panionion.ii[›] Mereka dengan demikian telah membentuk 'perkumpulan kebudayaan', yang tidak boleh dimasuki oleh kota-kota lainnya, bahkan oleh suku Ionia lainnya.[28][29]
Kota-kota Ionia merdeka sampai mereka ditaklukkan oleh Bangsa Lydia dari Asia Kecil bagian timur. Raja Lydia Alyattes II, menyerang Miletos, dan konflik tersebut berakhir dengan perjanjian persekutuan antara Miletos dan Lydia, yang berarti bahwa Miletos bebas mengurusi urusan dalam negeri tapi harus menurut pada Lydia dalam masalah luar negeri.[30] Pada saat itu, Lydia juga sedang berperang dengan Kekaisaran Media, dan Kota Miletos mengirim pasukan untuk membantu Lydia dalam konflik itu. Pada akhirnya perjajian damai ditetapkan antara Media dan Lydia, dengan Sungai Halys menjadi pembatas antara kedua kerajaan itu.[31] Raja Lydia yang terkenal, Kroisos, menggantikan ayahnya, Alyattes, sekitar tahun 560 SM dan berencana menaklukkan kota-kota Yunani lainnya di Asia Kecil.[32]
Pangeran Persia, Koresh memimpin sebuah pemberontakan melawan Raja Media terakhir, Astyages, pada tahun 553 SM. Koresh adalah cucu Astyages dan didukung oleh sebagian aristokrat Media.[33] Pada tahun 550 SM, pemberontakan berakhir, dan Koresh meraih kemenangan, mendirikan Kekaisaran Persia Akhemeniyah untuk menggantikan Kekaisaran Media.[33] Kroisos melihat kekacauan di Kekaisaran Media dan Persia sebagai suatu kesempatan untuk memperluas kekuasaannya. Dia terlebih dahulu bertanya pada orakel Delphi mengenai apakah dia harus menyerang Persia atau tidak. Sang orakel memberikan jawaban ambigu yang kemudian menjadi terkenal, yaitu bahwa "jika Kroisos menyeberangi Halys, maka dia akan menghancurkan satu kerajaan besar."[34] Dibutakan oleh keambiguan ramalan itu, Kroisos pun menyerang Persia, dan akhirnya dia dikalahkan. Lydia kemudian jatuh ke tangan Koresh.[35]

Kota-kota Yunani di Asia Kecil, kota-kota Ionia berwarna biru, kota-kota Aiolia berwarna kuning, dan kota-kota Doria berwarna merah.

Ketika sedang berperang melawan Lydia, Koresh mengirim pesan kepada kota-kota Yunani di Ionia. Dia meminta mereka untuk memberontak terhadap kekuasaan Lydia. Permintaannya ditolak oleh orang-orang Ionia.[36] Setelah Koresh selesai menaklukkan Lydia, kota-kota Ionia kini menawarkan diri untuk berada di bawah kekuasaan Persia dengan kesepakatan yang sama seperti ketika dikuasai oleh Kroisos dari Lydia.[36] Koresh menolak dan mengungkit-ungkit keengganan bangsa Ionia ketika dulu mereka tidak mau membantunya. Bangsa Ionia dengan demikian bersiap-siap untuk mempertahankan diri, dan Koresh mengirim Jenderal Media, Harpagos, untuk menaklukkan mereka.[37] Dia pertama-tama menyerang Phokaia; orang-orang Phokaia memutuskan untuk meninggalkan kota mereka dan berlayar menyelamatkan diri ke Sisilia, daripada harus tunduk di bawah kekuasaan Persia (meskipun kemudian banyak pula yang kembali).[38] Beberapa orang Teos juga memilih untuk bermigrasi ketika Harpagos menyerang kota mereka, tapi bangsa Ionia di kota-kota lainnya tetap bertahan, dan satu demi satu kota-kota Ionia ditaklukkan oleh Persia.[39]
Setahun setelah penaklukan itu, Persia mendapati bahwa orang Ionia sulit diatur. Di wilayah lainnya di kekaisaran, Koresh memanfaatkan kelompok elite penduduk pribumi untuk membantunya mengatur daerah taklukan barunya, misalnya kelompok kependetaan Yudea.[40] Kelompok seperti itu tidak ada di kota-kota Yunani pada masa itu; meski biasanya ada aristokrasi, hal ini pada akhirnya berujung pada golongan-golongan yang saling bermusuhan.[40] Persia kemudian menempatkan seorang tiran di tiap kota di Ionia, meskipun ini menyeret mereka ke dalam konflik internal Ionia. Selain itu, tiran tertentu kemungkinan mengembangkan gagasan untuk merdeka dan harus diganti.[40] Para tiran itu sendiri menghadapi tugas yang sulit, mereka mesti mengalihkan kebencian terburuk warganya terhadap Persia, sambil tetap mengabdi kepada Persia.[40] Di masa lalu, kota-kota Yunani sering diperintah oleh tiran, tapi bentuk pemerintahan semacam itu sudah berlalu.[41] Para tiran pada masa lalu juga cenderung dan harus merupakan sosok pemimpin yang tangguh dan cakap, sementara para tiran yang ditunjuk oleh Persia adalah orang-orang yang kurang ahli memimpin. Karena didukung oleh kuatnya militer Persia, para tiran ini tidak memerlukan dukungan penduduk lokal, dan dengan demikian mereka dapat memerintah secara mutlak.[41] Menjelang Perang Yunani-Persia, ada kemungkinan bahwa penduduk Ionia merasa tidak puas dan sudah siap untuk memberontak.[42] Ionia, tidak seperti banyak daerah lainnya di Kekaisaran Persia, tidak memberontak pada masa perang saudara antara masa pemerintahan Koresh dan Darius I, dan maka dari itu ada kemungkinan bahwa orang Ionia sebenarnya tidak terlalu merasa tidak puas terhadap kekuasaan Persia.

Kekaisaran Persia pada tahun 490 SM.

Peperangan di Mediterania kuno

Dalam Perang Yunani-Persia, kedua belah pihak menggunakan infanteri bersenjatakan tombak dan pasukan misil ringan. Pasukan Yunani mengutamakan infanteri berat, sedangkan Persia lebih menyukai pasukan infanteri ringan.[43][44]

Persia

Militer Persia terdiri dari beragam prajurit yang didatangkan dari seluruh wilayah kekaisaran. Namun, menurut Herodotos, setidaknya ada kesamaan dalam persenjataan dan gaya bertempur.[43] Prajurit Persia biasanya dipersenjatai dengan busur dan anak panah, tombak pendek dan pedang (akinaka) atau kapak (sagaris), serta perisai tipis. Mereka mengenakan baju zirah dari kulit,[43][45] namun prajurit tingkat tinggi mengenakan baju zirah dari logam yang memiliki kualitas lebih baik. Persia biasanya menggunakan panah untuk mengurangi jumlah prajurit musuh, lalu mendekat dan melancarkan serangan dengan tombak dan pedang.[43] Barisan pertama dalam formasi infanteri Persia, disebut 'sparabara', tidak memiliki panah, membawa perisai yang lebih besar, dan kadang-kadang membawa tombak yang lebih panjang. Tugas mereka adalah melindungi barisan di belakang mereka.[46] Persia juga memiliki pasukan elite yang oleh Herodotos disebut sebagai Pasukan Abadi. Pasukan tersebut adalah pasukan infanteri khusus yang jumlahnya selalu tetap 10.000 prajurit. Sementara kavaleri Persia kemungkinan bertempur sebagai kavaleri misil ringan.[43][47]
Prajurit Pasukan Abadi Persia dalam posisi menyerang.

Yunani

Gaya peperangan di negara kota di Yunani, yang berasal sekitar tahun 650 SM (berdasarkan penanggalan dari 'Guci Chigi'), dipusatkan pada phalanx hoplites yang didukung oleh pasukan misil.[44][48] Hoplites adalah prajurit pejalan kaki yang biasanya berasal dari kelas sosial menengah (di Athena disebut zeugites), yang mampu membeli perlengkapan yang diperlukan untuk bertempur sebagai hoplites.[49] Perlengkapan pelindungnya biasanya meliputi pelindung dada atau linothorax, grev (pelindung kaki), helm, dan sebuah perisai bulat cekung yang besar dan disebut hoplon atau aspis.[44] Hoplites dipersenjatai dengan tombak panjang, disebut dory, yang lebih panjang daripada tombak Persia. Prajurit Yunani juga membawa senjata pendukung berupa sebilah pedang yang disebut xiphos.[44] Baju zirah dan perisai yang kuat serta tombak yang lebih panjang menjadikan pasukan Yunani lebih superior dalam pertarungan jarak dekat[44] dan memberi perlindungan yang besar dari serangan jarak jauh.[44] Penskirmis bersenjata ringan, disebut psiloi, juga terdapat dalam pasukan Yunani dan semakin lama semakin penting seiring berlangsungnya konflik melawan Persia; pada Pertempuran Plataia, misalnya, mereka kemungkinan meliputi setengah dari pasukan Yunani.[50] Tidak disebutkan adanya penggunakan kavaleri oleh pihak Yunani dalam Perang Yunani-Persia.

Prajurit Hoplites Yunani dalam posisi menyerang, dengan tusukan bawah dan tusukan atas.

Peperangan laut

Pada masa awal konflik, semua armada laut di daerah Mediterania timur memakai trireme, kapal perang yang digerakkan oleh tiga baris dayung. Siasat perang laut yang paling umum pada periode itu adalah menubrukkan haluan kapal ke kapal musuh, karena bagian depan trireme dilengkapi dengan senjata pendobrak. Siasat lainnya adalah dengan memasukkan prajurit ke kapal musuh.[51] Armada laut yang lebih berpengalaman pada masa itu juga mulai menggunakan manuver yang disebut diekplous. Tidak diketahui secara jelas siasat macam apa ini, tapi kemungkinan strategi ini melibatkan berlayar ke celah di antara kapal-kapal musuh dan kemudian menabrak kapal musuh di bagian pinggirnya.[51]
Armada laut Persia disediakan terutama oleh bangsa Fenisia, bangsa Mesir kuno, bangsa Kilikia, dan bangsa Siprus.[52][53] Daerah pesisir lainnya di Kekaisaran Persia ikut mengirimkan kapal selama peperangan berlangsung.[52]

 Kapal trireme yang digunakan oleh Yunani.

 (Bersambung)

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright @ 2013 PEJUANG ISLAM.