Salah satu argumentasi yang kerap dilontarkan untuk menolak sistem Khilafah adalah alasan sejarah. Sejarah Khilafah digambarkan sebagai fragmen kehidupan yang penuh darah, kekacauan, dan konflik. Paling tidak, ada tiga argumentasi sejarah yang sering dilontarkan: (1) Khalifah yang otoriter dan diktator; (2) Pembunuhan yang terjadi pada masa Khulafaur Rasyidin; (3) Perlakuan yang diskriminatif terhadap non-Muslim dan wanita.
Berdasarkan argumentasi ini kemudian
disimpulkan bahwa sistem Khilafah adalah sistem yang tidak layak bagi
manusia; sistem yang diktator serta tidak memiliki mekanisme untuk
mencegah penyimpangan dan kekacauan; sistem yang tidak memperhatikan
non-Muslim dan merendahkan derajat wanita.
Secara mendasar, ada beberapa kesalahan mendasar dari argumentasi di atas. Pertama,
kesalahan dalam menempatkan posisi sejarah Islam. Perlu kita ketahui
bahwa kewajiban menegakkan Khilafah bukanlah didasarkan pada argumentasi
sejarah.
Artinya, sejarah bukanlah dalil untuk
menerima atau menolak sistem Khilafah. Dalam Islam, yang menjadi dalil
syariat adalah al-Quran, as-Sunnah, Ijma Sahabat, dan Qiyas. Karena itu,
kewajiban Khilafah haruslah merujuk pada empat dalil tersebut.
Namun, bukan berarti sejarah (târîkh)
tidak ada artinya sama sekali. Sejarah sebagai peristiwa masa lampau
bisa dijadikan pelajaran dan kajian tentang pelaksanaan dari hukum-hukum
syariat oleh manusia. Artinya, dari sejarah kita mengetahui apakah
hukum-hukum syariat tersebut dilaksanakan atau tidak; apa akibat kalau
hukum-hukum syariat tersebut tidak dilaksanakan. Sebab, manusia sebagai
pelaku hukum-hukum syariat tidaklah ma‘shûm (yang tidak mungkin salah).
Sebagai manusia bisa saja Khalifah melakukan kekeliruan dan menyimpang
dari ketentuan-ketentuan syariat. Satu-satunya yang ma‘shûm yang tidak
mungkin keliru adalah para nabi dan Rasululullah.
Sebagai sistem yang dipraktikkan oleh
manusia, sistem Khilafah adalah sistem politik yang manusiawi. Karena
itu, dalam berbagai praktik dalam sistem Khilafah, bisa saja terjadi
kekeliruan. Namun, yang penting dicatat di sini, penyimpangan
yang dilakukan oleh Khalifah atau pejabat negara, bukan berarti
menunjukkan bahwa sistem Khilafahnya salah dan keliru. Tidaklah relevan menyalahkan sistem yang ideal dengan melihat kesalahan dari pelaku sistem yang ideal tersebut.
Contoh sederhana adalah memandang Islam
sebagai agama yang buruk hanya karena melihat perilaku sebagian para
pemeluknya saat ini. Di Indonesia, misalnya, sebagai besar pelaku
kriminal adalah orang Islam; banyak pelaku korupsi juga orang Islam;
banyak orang Islam yang tidak menjaga kebersihan dan lingkungannya.
Namun, tentunya tidak disimpulkan bahwa Islam adalah agama yang
menganjurkan pemeluknya melakukan perilaku-perilaku negatif seperti itu.
Islam
harus dilihat dari sumber-sumbernya. Tidak ada satu dalil pun di dalam
al-Quran dan as-Sunnah yang memerintahkan seperti itu.
Sebaliknya, sistem Islam melarang dan menghukum para pelaku kriminal dan
korupsi. Islam juga mengajarkan pemeluknya untuk menjaga kebersihan
lingkungan. Artinya, fakta-fakta yang salah tersebut justru diakibatkan
karena pemeluk Islam meninggalkan ajaran Islam, bukan karena syariat
Islam itu sendiri. Sama halnya dengan fakta-fakta buruk dalam sistem
Khilafah, bukan disebabkan oleh sistem Khilafah itu sendiri, tetapi
justru bentuk penyimpangn dari syariat Islam yang seharusnya diterapkan
secara konsekuen dalam sistem Khilafah oleh rakyat dan penguasanya.
Sebagai contoh, ketika Muawiyah memaksa
rakyat untuk membaiat anaknya, Yazid, sebagai khalifah, maka itu
merupakan bentuk penyimpangan dari syariat Islam. Sebab, dalam Islam
Khalifah adalah hasil pilihan dan kerelaan rakyat. Jadi, yang menyimpang
adalah tindakan Muawiyahnya, bukan sistem Khilafahnya. Karena itu,
tidak bisa kemudian dikatakan bahwa sistem Khilafah adalah sistem yang
otoriter berdasarkan sejarah di era Muawiyah ini.
Kedua, terjebak pada generalisasi.
Menyimpulkan sistem Khilafah sebagai sistem yang buruk hanya dengan
mengungkap beberapa fakta sejarah adalah keliru. Beberapa fakta sejarah
tentang sikap Khalifah tidaklah mencerminkan keseluruhan dari sistem
Khilafah tersebut. Apalagi yang dilakukan oleh Khalifah tersebut adalah
bentuk penyimpangan dari sistem Khilafah yang ideal. Tentu keliru
menggambarkan masa pemerintahan Bani Umayah dengah hanya memfokuskan
sejarah seorang Yazid atau menggambarkan masa pemerintahan Bani Abbas
hanya dengan mengambil sebagian peristiwa dan tingkah laku para
khalifahnya. Apalagi yang menjadi fakta sejarah itu adalah buku-buku
sejarah yang dibuat oleh musuh-musuh Islam yang nyata kebenciannya
terhadap Islam.
Keliru juga menggambarkan pemerintahan
Bani Abbas dengan membaca kitab al-Aghani yang dikarang untuk
menceritakan tingkah laku para biduan, para pemabuk, penyair, dan
sastrawan; atau membaca buku-buku tasawuf yang tidak bisa
dipertanggungjawabkan. Yang perlu diperhatikan, cerita-cerita tentang
para penguasa dan pejabatnya banyak ditulis oleh pihak-pihak yang tidak
bisa dipertanggungjawabkan. Sebagian besar mereka adalah pencela atau
pemuja yang tidak bisa diterima periwayatannya.
Sumber sejarah yang bisa diterima adalah
yang bisa dipertanggungjawabkan periwayatnya sehingga sumber-sumbernya
layak diterima. Persis sama dengan cara yang ditempuh dalam periwayatan
hadis. Cara penulisan seperti ini antara lain bisa dilihat dalam kitab Târîkh ath-Thabari dan Sîrah Ibnu Hisyâm.
Ketiga, menjadikan sistem demokrasi sebagai standar
untuk menilai baik dan buruknya Khalifah atau sistem Khilafah. Sistem
Khilafah tidak bisa dinilai dari paradigma baik dan buruk menurut sistem
demokrasi. Jika Khilafah tidak sesuai dengan sistem demokrasi berarti
sistem itu adalah diktator, otoriter, dan jelek. Padahal, sistem
demokrasi sendiri adalah sistem yang buruk, yang tidak layak dijadikan
sebagai standar untuk menilai baik-buruk sistem lain. Sebagai contoh,
dalam sistem demokrasi, sebuah sistem dikatakan baik kalau menganut asas
trias politika. Berdasarkan asas ini, harus dipisahkan tiga fungsi
dalam sistem politik (legislatif, yudikasi, dan eksekutif). Alasannya,
kalau tiga fungsi ini tertumpu pada satu orang seperti dalam sistem
teokrasi di Eropa, penguasa itu akan cenderung menjadi diktator.
Padahal, dalam sistem Khilafah, selain
sebagai eksekutif (pelaksana pemerintahan), Khalifah juga memiliki
wewenang sebagai yudikatif untuk mengadili pelanggaran di tengah
masyarakat. Jelas, kalau berdasarkan cara pandang demokrasi ini, sistem
Khilafah ini berarti otoriter atau diktator. Apalagi muncul kesalahan
saat menganggap Khalifah juga memiliki fungsi legislasi seperti sistem
teokrasi, yang menganggap suara raja adalah suara Tuhan, yang berarti,
kata-kata raja adalah kebenaran itu sendiri. Karena itu, raja tidak
pernah salah. Kemudian disimpulkan bahwa sistem Khilafah akan sama
kondisinya dengan sistem teokrasi yang memunculkan penguasa yang
diktator dan otoriter.
Menyamakan sistem Khilafah dengan teokrasi seperti ini adalah keliru.
Sebab, kata-kata Khalifah bukanlah otomatis kata-kata Tuhan yang pasti
benar. Khalifah, dalam keputusan dan kebijakannya, tetap harus merujuk
pada syariat. Karena itu, Khalifah sangat mungkin salah dan menyimpang
dari syariat. Untuk itu, Islam mewajibkan umatnya untuk melakukan
koreksi terhadap penguasa yang menyimpang dari syariat. Adanya kewajiban
untuk mengoreksi Khalifah ini jelas menunjukan bahwa Islam melihat
kemungkinan bahwa Khalifah itu keliru. Kalau kata-kata Khalifah selalu
benar, untuk apa Islam mewajibankan mengkoreksi yang penguasa yang
menyimpang?
Keempat, menyimpulkan bahwa Khilafah tidak memiliki sistem tertentu
dengan melihat terjadinya konflik, pembunuhan, atau kekecauan di
beberapa bagian dari sejarah Khilafah, seperti terjadinya pembunuhan
terhadap Khalifah. Kemudian dengan sederhana disimpulkan bahwa karena
ada pembunuhan terhadap kepala negara berarti tidak ada mekanisme
politik yang menjamin keamanan kepala negara dan masyarakatnya. Padahal,
seharusnya kita harus meneliti lebih mendalam apakah hal tersebut
terjadi karena ketidakmampuan sistem idealnya atau karena penyimpangan
dari sistem ideal tersebut. Apa yang terjadi dalam konflik-konflik
berdarah dalam Islam justru karena menyimpang dari sistem ideal Islam
yakni syariat Islam, bukan karena akibat penerapan syariat Islam itu
sendiri.
Untuk menilai apakah tidak ada sistem
untuk mencegah itu seharusnya yang dijadikan rujukan adalah sumber
sistem itu, dalam hal ini syariat Islam. Dalam hal ini syariah Islam
jelas memiliki cara untuk mencegah dan menangani konflik tersebut.
Kalau semata-mata ada kekecauan dan
pembunuhan, mengapa tidak dikatakan bahwa sistem demokrasi tidak
memiliki sistem? Padahal pembunuhan kepala negara, politikus, juga terjadi dalam sejarah sistem demokrasi
seperti di Amerika Serikat dan Eropa. Sejarah negara-negara demokrasi,
seperti halnya sejarah Khilafah Islam, bukanlah tanpa konflik. AS yang
sering diklaim sebagai kampiun demokrasi pernah mengalami perang saudara
yang berdarah-darah. Kalau pembunuhan terhadap Khalifah sebagai kepala
negara menjadi soroton, apakah AS sepi dari hal itu? Bagaimana dengan
pembunuhan terhadap Kennedy, percobaan pembunuhan terhadap Reagen dan
pemimpin-pemimpin politik AS lainnya?
Revolusi Prancis sebagai peristiwa penting demokrasi juga penuh darah. Runtuhnya negara komunis
yang kemudian berubah menjadi negara demokrasi juga penuh dengan
pertumpahan darah dan konflik seperti yang terjadi di Balkan saat ini.
Hal ini secara mendalam dibahas Jack Snyder dalam From Voting
to Violence yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Dari
Pemungutan Suara ke Pertumpahan Darah (Jakarta: KPG, 2003).
Mekanisme Islam Mencegah Penyimpangan Khalifah
Dalam
syariat Islam, sudah ada mekanisme, yang kalau diterapkan, akan
mencegah konflik. Secara garis besar Islam, misalnya, mengharamkan
saling membunuh dan saling menzalimi antara penguasa dan rakyat; Islam
mewajibkan kaum Muslim menjaga persatuan dan melarang bughât
(memberontak). Secara lebih rinci, Islam juga mengatur bagaimana
mencegah penyimpangan Khalifah, antara lain:
(1) Dengan membangun kesadaran Politik
masyarakat. Dalam sistem apapun, penerapan sistem itu bergantung pada
orang-orangnya. Terjadinya kemunduran dalam masyarakat Islam disebabkan
karena buruknya penerapan Islam di tengah masyarakat. Lemahnya kesadaran
masyarakat akan membuat terjadinya penyimpangan. Karena itu, dalam
sistem Khilafah, upaya membangun dan memelihara kesadaran masyarakat
tentang Islam adalah sangat penting. Tugas negaralah untuk melakukan
pendidikan politik Islam di tengah masyarakat. Partai politik Islam juga
memiliki tanggung jawab yang sama. Inilah langkah mendasar yang
dilakukan untuk mencegah penyimpangan Khalifah. Lewat kesadaran politik
Islam ini, masyarakat akan tetap konsisten memelihara sistem Khilafah
dan tidak membiarkan sedikit pun penyimpangan terhadap syariat Islam
yang dilakukan oleh Khalifah.
(2) Dengan membaiat Khalifah atas dasar
kerelaan dan pilihan. Dalam Islam, Khalifah adalah pilihan rakyat yang
dilakukan bukan dalam kondisi tertekan. Karena itu, rakyat tidak boleh
dipaksa untuk memilih seseorang yang tidak dia senangi. Langkah ini
tentu saja bisa mencegah munculnya penguasa zalim yang diketahui oleh
rakyat memiliki tingkah laku yan buruk.
(3) Dengan mewajibkan kaum Muslim untuk
melakukan kontrol dan koreksi terhadap penguasa. (Lihat: Qs. Ali-Imran
[3]: 103). Islam mensejajarkan kedudukan orang yang mengkoreksi penguasa
yang menyimpang dengan dengan pemimpin para syuhada dan menyebutkannya
sebaik-baik jihad. Koreksi ini bisa dilakukan secara terorganisasi oleh
partai-partai politik yang bebas berdiri dalam sistem Khilafah, bisa
juga dilakukan secara individual. Tugas ini juga dilakukan oleh
wakil-wakil rakyat di Majelis Umat yang sentiasa memperjuangkan aspirasi
rakyatnya.
(4) Dengan keberadaan Mahkamah Mazhalim
yang mengadili perselisihan antara rakyat dan penguasa (Khalifah).
Mahkamah ini bahkan memiliki wewenang untuk memberhentikan Khalifah yang
dianggap telah melakukan pelanggaran berat, yang mengharuskan dirinya
layak diberhentikan sebagai khalifah.
(5) Dengan memerangi Khalifah jika proses
koreksi/kontrol tidak jalan, demikian juga fungsi Mahkamah Mazalim.
Dalam hal ini, rakyat berhak mengangkat senjata untuk menurunkan
Khalifah. Hanya saja syaratnya adalah bahwa Khalifah, tersebut terbukti
telah melakukan kekufuran yang nyata (kufran bawahan) seperti menolak
syariat Islam dan menggantikannya dengan sistem kufur. Bisa disebut
inilah benteng terakhir untuk mencegah munculnya penguasa yang zalim.
Lima mekanisme di atas, kalau benar-benar
dijalankan, tentu akan mencegah munculnya penguasa zalim yang
mensengsarakan rakyat. Karena itu, terjadinya penyimpangan bisa jadi
disebabkan karena kelima mekanisme di atas tidak berjalan dengan baik.
Jika ini terjadi, tentu bukan sistem Khilafahnya yang salah, tetapi
orang-orang yang melaksanakannya yang salah. Sistem seideal apapun kalau
tidak dilaksanakan oleh orang-orangnya secara konsekuen tentu saja akan
menyebabkan kekacauan.
Keberhasilan Sistem Khilafah
Menutup mata terhadap
keberhasilan sistem Khilafah adalah kebodohan yang nyata. Siapapun kalau
berpikir obyektif akan melihat keberhasilan dari sistem ini saat
dijalankan secara benar. Hal ini tidak bisa dipungkiri. Sistem Khilafah
yang mengemban qiyâdah fikriyah (kepemimpinan ideologis) Islam di
seluruh dunia telah berhasil mengubah bangsa Arab secara keseluruhan
dari yang memiliki taraf berpikir yang rendah menjadi bangsa yang
terpandang, bahkan di seluruh dunia.
Sistem Khilafah berhasil membawa
kesejahteraan bagi manusia di seluruh dunia, baik Muslim maupun
non-Muslim. Sistem Khilafah ini juga memainkan peranan penting dalam
membawa Islam ke seluruh pelosok dunia lewat dakwah dan jihad;
menyatukan jazirah Arab, Persia, Afrika, serta sebagian Eropa dan Asia.
Di bawah sistem Khilafah umat Islam menjadi umat yang terkemuka dalam peradabannya.
Hal ini tercatat dalam tinta emas para sejarawan yang jujur dan
obyektif. Ini dapat dibuktikan dari: banyaknya penemuan-penemuan sains
dan teknologi di era Kekhilafahan; banyaknya buku-buku yang bermutu yang
dikarang oleh ulama dan ilmuwan Muslim yang hingga kini masih bisa
dilihat; banyaknya peninggalan-peninggalan yang sifatnya fisik yang
masih bisa dilihat kemegahannya hingga kini.
Keagungan sistem Islam ini secara jujur disampaikan Carleton S, Chairman and Chief Executive Officer, Hewlett-Packard Company,
saat mengomentari peradaban Islam dari tahun 800 hingga 1600 (masa
Kekhilafahan). Dia menyatakan, “Peradaban Islam merupakan peradaban yang
paling besar di dunia. Peradaban Islam sanggup menciptakan sebuah
negara adidaya kontinental (continental super state) yang terbentang
dari satu samudera ke samudera lain; dari iklim utara hingga tropik dan
gurun, dengan ratusan juta orang tinggal di dalamnya; dengan perbedaan
kepercayaan dan asal suku….Tentaranya merupakan gabungan dari berbagai
bangsa yang melindungi perdamaian dan kemakmuran yang belum dikenal
sebelumnya. Sumber
0 komentar:
Posting Komentar