Dalam bukunya “Daulah Utsmaniyah” Dr. Jamal Abdul Hadi,
salah seorang pakar sejarah dari Mesir, menyebutkan beberapa sarana
yang dimanfaatkan Yahudi Eropa untuk menghancurkan kekuatan pemerintahan
Islam di Turki waktu itu. Diantaranya adalah dengan menghidupkan faham
Nasionalisme.
Di dalam buku setebal 163 halaman tersebut, beliau menjelaskan permasalahan di atas sebagai berikut :
“ …mereka berusaha memporak-porandakan
negeri Islam ini dari dalam, ingin menghancurkannya lewat tangan
putra-putranya sendiri. Yaitu dengan cara mendukung dan membujuk
partai-partai oposan, agar membentuk tandzim-tandzim rahasia dengan
tujuan untuk menggulingkan pemerintahan Islam. Partai-partai oposan
tersebut diantaranya adalah: Partai Pemuda, Partai Persatuan dan
Pengembangan, dan Partai Kamaliyyun. Selain cara itu, mereka juga menghidupkan faham Nasionalisme di kalangan umat Islam,
serta menaburkan benih perselisihan antara umat Islam dan umat agama
lain. Karena dari situ akan terbuka jalan lebar bagi kekuatan asing
untuk ikut campur tangan dengan dalih keamanan”. (Dr. Jamal Hadi, Daulah Utsmaniyah, juz: 2, hal. 20)
Apa yang diungkapkan Dr. Jamal Hadi tersebut, dikuatkan dengan pendapat muwafik Bani Marjah. Di dalam tesisnya yang berjudul “Sultan Abdul Hamid (khilafah Islamiyah)”, penulis yang pernah melalang benua ke kota-kota di Eropa dan Arab untuk memburu data-data yang sah tentang Khilafah Utsmaniyah tersebut menjelaskan sebagai berikut :
Apa yang diungkapkan Dr. Jamal Hadi tersebut, dikuatkan dengan pendapat muwafik Bani Marjah. Di dalam tesisnya yang berjudul “Sultan Abdul Hamid (khilafah Islamiyah)”, penulis yang pernah melalang benua ke kota-kota di Eropa dan Arab untuk memburu data-data yang sah tentang Khilafah Utsmaniyah tersebut menjelaskan sebagai berikut :
“Eropa telah berpengalaman dalam
menebarkan faham Nasionalisme dan menyalakan api perselisihan antar
kelompok dan suku, terutama antara bangsa Turki, mereka membentuk
kedutaan dan konsulat di berbagai kota untuk mencapai tujuannya, seperti
di Istambul, Damaskus, Baghdad, Cairo, dan Jeddah.” (Muwafiq Bani Marjah, Sulthon Abdul Hamid wal Khilafah Utsmaniyah, hal. 174)
Begitu juga apa yang ditulis pakar sejarah Mahmud Syakir di dalam bukunya “Tarikh Islam” menunjukkan hal yang serupa. Di dalam juz ke-8, beliau menjelaskan:
Begitu juga apa yang ditulis pakar sejarah Mahmud Syakir di dalam bukunya “Tarikh Islam” menunjukkan hal yang serupa. Di dalam juz ke-8, beliau menjelaskan:
“… dan mungkin hal yang terpenting adalah
kelompok yang bergerak untuk menyebarkan paham Nasionalisme, mereka
tidak mempunyai gerakan yang berarti untuk meruntuhkan Daulah Islamiyah
kecuali dengan “menyebarkan paham Nasionalisme”. Oleh karena itu, mereka
bekerja keras untuk mencapai tujuan tersebut. Dan ternyata paham Nasionalisme tersebut merupakan unsur terpenting di dalam melemahkan kekuatan Daulah Islamiyah,
karena umat Islam dengan Nasionalisme akan tercerai-berai, saling
berselisih, masing-masing ingin bergabung dengan suku dan kelompoknya,
ingin melepaskan diri dari kekuasaan Daulah, dan cukuplah dengan gerakan
untuk memisahkan diri tersebut akan terkotak-kotaklah kekuatan umat,
dengan demikian Daulah akan melemah dan terputus jaringannya dan
akhirnya ambruk… begitulah yang terjadi.” (Mahmud Syakir, Tarikh Islam, Al-Maktab Islami, 1991 M, juz: 8, hal. 122)
Bermula dari munculnya berbagai propaganda ke arah Nasionalisme Thoriah,
yang dipelopori oleh Partai Persatuan dan Pengembangan, mereka memulai
gerakannya dengan men-Turki- kan Daulah Utsmaniah di Turki.
Untuk menopang dakwahnya ini, mereka
menjadikan serigala (sesembahan bangsa Turki sebelum datangnya Islam)
sebagai syiar dari gerakannya tersebut. (Muhammad Muhammad Husain, Ittijahat Wathoniyah, juz: 2, hal. 85)
Partai ini dipimpin oleh Ahmad Ridho dan berpusat di Paris.
Usaha-usaha yang dilakukan partai ini antara lain:
1. Membuka cabang-cabang di Berlin, Salonik, dan Istambul.
2. Menerbitkan majalah “ANBA”. Majalah tersebut disponsori gerakan Masuniah di Paris.
3. Menyebarkan paham Nasionalisme Thouroniah dan menghidupkan kebudayaan-kebudayaan Barat di negara Turki.
4. Menyebarkan rasa permusuhan dengan bangsa Arab, diantaranya dengan adanya usaha untuk mencopot kementrian Wakaf, Kementrian Dalam Negeri, dan kementrian Luar Negeri, yang waktu itu dipegang oleh orang-orang Arab, untuk diganti dengan orang Turki.
5. Berusaha membatasi keistimewaan yang diberikan Utsmaniah hanya kepada bangsa Turki saja.
1. Membuka cabang-cabang di Berlin, Salonik, dan Istambul.
2. Menerbitkan majalah “ANBA”. Majalah tersebut disponsori gerakan Masuniah di Paris.
3. Menyebarkan paham Nasionalisme Thouroniah dan menghidupkan kebudayaan-kebudayaan Barat di negara Turki.
4. Menyebarkan rasa permusuhan dengan bangsa Arab, diantaranya dengan adanya usaha untuk mencopot kementrian Wakaf, Kementrian Dalam Negeri, dan kementrian Luar Negeri, yang waktu itu dipegang oleh orang-orang Arab, untuk diganti dengan orang Turki.
5. Berusaha membatasi keistimewaan yang diberikan Utsmaniah hanya kepada bangsa Turki saja.
(Muwafiq Bani Marjah, Sulthon Abdul Hamid dan Khilafah Utsmaniah, hal. 174)
Gerakan itu membuat bangsa Arab berang, akibatnya dalam waktu singkat bermunculan gerakan “Fanatisme Arab” dan dengan cepat menyebar di seluruh wilayah pemerintahan Utsmaniah, seperti di Mesir, Syam, Iraq, dan Hijaz.
Gerakan itu membuat bangsa Arab berang, akibatnya dalam waktu singkat bermunculan gerakan “Fanatisme Arab” dan dengan cepat menyebar di seluruh wilayah pemerintahan Utsmaniah, seperti di Mesir, Syam, Iraq, dan Hijaz.
Bermula dari pelataran bumi Syam,
fanatisme ini berkembang dan membesar. Fanatisme ini bertujuan untuk
menumbangkan khilafah Utsmaniah yang dipegang oleh orang Turki. Lebih
ironis lagi, fanatisme ini dikendalikan oleh orang-orang Nasrani
Libanon, yang telah terbina dalam pendidikan Barat. Diantara para
tokohnya adalah Faris Namir dan Ibrahim Yasji.
Gerakan fanatisme arab ini didorong lebih
jauh lagi oleh Negib Azoury, seorang kristen pegawai pemerintahan
Utsmani di Palestina. Ia berhasil menerbitkan buku “Le Revell de la
nation arabe”. Di dalam bukunya tersebut, ia mengutarakan gagasannya
untuk membuat suatu arab empire yang mempunyai batas-batas alami, yaitu:
lembah Eufrat dan Tigris, Lautan India, Terusan Suez, dan Lautan
Tengah. Gagasan ini jelas akan mendorong lebih cepat terciptanya
separatisme wilayah arab dari kekuasaan Turki Utsmani. (Azyumardi Azra,
Islam dan Negara: Eksperimen Dalam Masa Modem)
Agar penyebaran fanatisme ini lebih aman
dan mendapat dukungan, mereka menggunakan nama Jam’iyah sebagai kedok.
Jam’iyah ini bergerak di dalam bidang keilmuan dan kesenian dengan
tujuan untuk menyebarkan ilmu-ilmu bahasa Arab dan mempromosikan
budaya-budaya barat di negara-negara Arab.
Dalam waktu dua tahun saja, Jam’iyah ini
mampu merekrut 50 anggota dari kalangan Nasrani semuanya. Jam’iyah ini
mendukung penuh gerakan Protestan yang berada di wilayah Syam.
Pada tahun 1914-1918 pecah Perang Dunia
I, kesempatan bagi bangsa-bangsa Arab untuk memisahkan diri dari
khilafah Utsmaniah, mereka ingin mendirikan “Khilafah Arabiyah” sebagai
tandingannya. Kesempatan ini tidak disia-siakan Inggris untuk
memporak-porandakan kekuatan Islam.
Eropa mengerti betul bahwa perpecahan antara Arab dan Turki akan mengakibatkan kekuatan Islam lemah, sebagaimana yang pernah diungkapkan oleh Muhammad Abduh :
“ Sesungguhnya bangsa Arab mampu untuk
mendepak orang-orang Turki dari kursi kekhalifahan, akan tetapi bangsa
Turki tidak rela begitu saja. Apalagi waktu itu bangsa Turki mempunyai
kekuatan militer yang tidak dimiliki oleh pihak lain, dengannya mereka
akan menyerang dan membunuh bangsa Arab. Maka apabila kedua kekuatan itu
melemah, Eropalah yang menjadi kuat –mereka sudah lama menunggu antara
pertarungan umat Islam tersebut-, kemudian berusaha untuk menguasai
kedua bangsa tersebut atau salah satunya yang terlemah. Padahal waktu
itu bangsa Arab dan bangsa Turki merupakan bangsa yang terkuat di dalam
tubuh umat Islam. Oleh karenanya, akibat dari pertarungan kedua bangsa
itu, jelas akan melemahkan kekuatan Islam sekaligus merupakan jalan
pintas meunuju kehancurannya.” (Dr. Muhammad Imaroh, Al-Jam’iyah Al-Islamiyah wal Fikroh Al-qoumiyah, Daar Assyuruq 1414-1994, hal. 53, 54)
Mengetahui yang demikian, diutuslah “Lawrence”, spionis Inggris didikan Yahudi, yang dikemudian hari dikenal dengan Lawrence Arab. Setelah mempersiapkan segala sesuatunya, akhirnya Revolusi Arab berhasil menghantam kekuatan khilafah Utsmaniah di Turki, tentunya di bawah bimbingan dan arahan Lawrence Arab ini. Tentara-tentara Arab dalam hal ini berkumpul dan bersatu dengan kekuatan-kekuatan asing.
Mengetahui yang demikian, diutuslah “Lawrence”, spionis Inggris didikan Yahudi, yang dikemudian hari dikenal dengan Lawrence Arab. Setelah mempersiapkan segala sesuatunya, akhirnya Revolusi Arab berhasil menghantam kekuatan khilafah Utsmaniah di Turki, tentunya di bawah bimbingan dan arahan Lawrence Arab ini. Tentara-tentara Arab dalam hal ini berkumpul dan bersatu dengan kekuatan-kekuatan asing.
Jauh-jauh sebelum persekongkolan untuk menghancurkan Khilafah Utsmaniah itu dilakukan, Inggris telah menjanjikan Syarif Husain, pembesar Makkah waktu itu, apabila khalifah Utsmaniah jatuh maka Syarif Husain akan menjadi kholifah pengganti.
Namun kenyataannya, setelah rencana itu
berhasil dan perang telah usai, seperti kebiasaannya, Inggris
menyelisihi janjinya, dua perwakilan yang diundang Syarif Husain dalam
acara penyerahan kekuasaan yang diadakan di Jeddah tak mau hadir, bahkan
pada waktu itu Inggris membuka kartu yang selama ini disimpan. Ternyata
tiga negara besar telah berkolusi untuk membagi wilayah Khilafah
Utsmaniah pada perjanjian rahasia antara Inggris, Perancis, dan Rusia.
Pada waktu itu juga, Musthafa Kamal sang
pengkhianat itu, berhasil merebut tampuk kepemimpinan dari keluarga
Utsmaniah. Tampaknya hal itu telah direncanakan jauh-jauh sebelumnya,
yaitu ketika Ia memimpin gerakan Kamailun, yang melakukan aktifitasnya di bawah tanah. Gerakan ini mendapat dukungan penuh dari gerakan Masuniah (Mason) Internasional. (Dr. Jamal Abdul Hadi, Al-Mujtama’ Al-Islamy Al-Mu’ashir, Al-Wafa’, juz I, hal. 59)
Puncaknya pada muktamar “Luzone”, yang akhirnya, Musthafa Kamal menerima 4 syarat yang diajukan Inggris untuk mengakui kekuasaan barunya di Turki. Ke-empat syarat itu adalah :
1. Menghapus sistem khilafah.
2. Mengasingkan keluarga Utsmaniah di luar perbatasan.
3. Memproklamirkan berdirinya negara sekuler.
4. Pembekuan hak milik dan harta milik keluarga Utsmaniah.
(Mahmud Syakir, Tarikh Islam, juz: 8, hal. 233)
Puncaknya pada muktamar “Luzone”, yang akhirnya, Musthafa Kamal menerima 4 syarat yang diajukan Inggris untuk mengakui kekuasaan barunya di Turki. Ke-empat syarat itu adalah :
1. Menghapus sistem khilafah.
2. Mengasingkan keluarga Utsmaniah di luar perbatasan.
3. Memproklamirkan berdirinya negara sekuler.
4. Pembekuan hak milik dan harta milik keluarga Utsmaniah.
(Mahmud Syakir, Tarikh Islam, juz: 8, hal. 233)
Pada waktu itu secara resmi, “The
SickMan” telah tumbang, setelah enam abad lamanya berkuasa. Khilafah
Utsmaniah harus tumbang, menghembuskan nafasnya yang terakhir pada
Perang Dunia I yang berlangsung selama 4 tahun (1914-1918) itu.
Setelah berdiri tegar berabad-abad
lamanya membela kemuliaan, akhirnya bangunan yang kokoh itu runtuh.
Runtuh bukan saja karena serangan dari musuh-musuh luarnya, akan tetapi juga runtuh di tangan putra-putranya sendiri.
Setelah keruntuhan benteng terakhir umat
Islam itu, bangsa Arab baru sadar, bahwa mereka telah terkecoh rayuan
Inggris dan secara tidak sadar ikut andil di dalam meruntuhkan Khilafah
Utsmaniah, akan tetapi mereka tidak mampu berbuat apa-apa lagi.
Kegagalan mereka untuk mendirikan
Khilafah Arobiyah, membuat mereka kehilangan nyali untuk mulai bergerak
lagi, mereka telah menjadi bangsa yang lemah, bangsa yang kehilangan
induknya. Kalaupun ada usaha-usaha mereka, yang sempat ditulis sejarah
untuk mengembalikan kemuliaan mereka kembali, itupun hanya sebatas surat
menyurat antara Syarif Husain dan Musthafa Kamal.
Akan tetapi apa yang diharapkan bangsa
Arab dari seorang fanatik Turki yang membenci bangsa Arab itu sendiri?
Begitulah permisalan syaithan ketika Ia berkata kepada manusia
“kafirlah” tatkala Ia telah kafir tiba-tiba syaithan berlepas diri.
Pada detik-detik keruntuhan Khlafah
Utsmaniah, nun jauh di sana orang-orang Nasrani berpesta-pora,
kesempatan yang mereka tunggu berabad-abad telah tiba, kedengkian dan
kesumat selama ini telah tersampaikan. Jendral Ghordh, pimpinan
pasukan Prancis telah berdiri di depan makam Sholahudin Al-Ayyubi
seraya berteriak: “Wahai Sholahudin kami datang kembali”.
Alam Islami diselimuti kabut tebal, tak tahu kapan kabut itu akan sirna.
India merintih. Mesir merunduk sedih, menangis terisak atas kematianmu,
Syam tertegun bertanya-tanya, Iraq dan Persia telah hilang dari bumi
khilafah.
Sumber
0 komentar:
Posting Komentar