Demokrasi Modern menurut definisi aslinya adalah bentuk pemerintahan yang di dalamnya banyak keputusan pemerintah atau di belakang kebijakan yang menimbulkan keputusan itu lahir dari suara terbanyak yakni dari mayoritas di pemerintahan (consent of a majority of adult governed).
Demokrasi sebagai proses politik dapat
memuat muatan-muatan lokal sesuai area yang melingkarinya (seperti
pengalaman politik dan definisi orang-orang yang duduk dalam
pemerintahan). Karena itu, tidak pernah ada sistem demokrasi ideal yang pernah terwujud.
Disamping itu, karena banyaknya area yang mempengaruhi dan
melingkupinya, maka dalam ilmu politik seringkali sulit membedakan
antara pemerintahan demokrasi dan pemerintahan tirani.
Apa yang dimaksud dengan suara terbanyak?
Ahli-ahli politik mengajukan beberapa syarat. Diantaranya tidak tampak
adanya pemaksaan atau ancaman untuk menggolkan suatu opini tertentu,
tidak ada pembatasan kebebasan berbicara, tidak terdapat monopoli
propaganda dan tidak ada control institutional terhadap
fasilitas-fasilitas komunikasi massa. Pada kenyataannya definisi dari
pemaksaan, ancaman, pembatasan, monopoli, propaganda dan control
institutional tidak pernah diterjemahkan kecuali oleh pemerintah apapun
namanya.
Karena itu, Aristoteles menyebut
pemberlakuan demokrasi sebagai suatu kemerosotan. Alasannya
ketidakmungkinan orang banyak untuk memerintah yang kecil jumlahnya.
Bahkan Plato seorang pemikir yang diagung-agungkan oleh barat juga
melancarakan kritik terhadap demokrasi. Katanya kebanyakan orang adalah
bodoh atau jahat atau kedua-duanya dan cenderung berpihak kepada diri
sendiri. Jika orang banyak ini dituruti, maka muncullah kekuasaan yang
bertumpu pada ketiranian dan terror. Karena itu pula diyakini hanya
segelintir orang yang diuntungkan dari sistem pemerintahan yang
demokratis ini.
Plato dan Aristoteles, dua tokoh kritisi
tentang demokrasi tersebut berdasarkan pengamatan mereka atas praktek
demokrasi di Athena berpendapat “demokrasi justru merupakan sistem yang
berbahaya dan tidak praktis”. Bahkan Aristoteles menambahkan, “Pemerintahan
yang didasarkan pada pilihan orang banyak dapat mudah dipengaruhi oleh
para demagog dan akhirnya akan merosot jadi kediktatoran.”
Melihat ke sejarah Revolusi Prancis yang
merupakan salah satu pelajaran diperkudanya kata demokrasi bagi
kepentingan segelintir orang. Banyak rakyat miskin di Prancis kala itu
mendukung revolusi tersebut dikarenakan terkagum-kagum pada semboyan
“Liberte, Egalite, Franite”. Mereka berharap setelah usai revolusi,
kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan akan tercipta di antara mereka
semua. “Prancis akan menjadi pelopor bagi kehidupan negara paling
demokratis” demikian kira-kira harapan mereka. Namun sejarah membuktikan
angan-angan tersebut tak pernah terjadi. Rakyat miskin terlalu naif
untuk bisa memahami bahwa kemerdekaan yang dimaksud adalah kemerdekaan
kaum borjuis untuk berdagang bebas. Tentu saja bebas memonopoli pasar
dan daerah pemasaran, bebas bersaing dengan pengusaha kecil dan
kesemuanya yang ada pada akhirnya hanya akan menggulung habis semua
potensi pengusaha lemah.
Semboyan-semboyan “persaudaraan” yang
terdengar luhur itu sesungguhnya hanyalah persaudaraan antar kaum
borjuis yang satu dengan yang lainnya yang tidak dibatasi sekat
geografis. Sebab itu Revolusi Prancis sesungguhnya hanyalah revolusi
kaum borjuis (bangsawan) bukan revolusi bagi keseluruhan bangsa demi
demokrasi. Kehidupan rakyat kecil sebelum dan setelah revolusi tidak
mengalami perubahan yang berarti, bagaikan jalan di tempat.
Telaah tajam diberikan oleh Abul A’la Al
Maududi seperti yang dinukil Amien Rais dalam pengantar buku “Khilafah
dan Kerajaan”. Bagi Maududi, demokrasi yang sering dianggap sebagai
sistem politik paling modern gagal menciptakan keadilan sosio ekonomi
dan juga keadilan hukum.
Jurang lapisan kaya dan miskin, hak-hak
politik rakyat yang terbatas pada formalitas empat atau lima tahunan
hanya “Siapapun yang sedikit mendalami memang akan menyadari bahwa yang
sering berlaku adalah hukum besi oligarki dimana sekelompok penguasa
saling bekerja sama untuk menentukan kebijakan politik sosial dan
ekonomi negara tanpa harus menanyakan bagaimana sesungguhnya aspirasi
rakyat sebenarnya.”
Dan cacat demokrasi yang paling fatal
adalah terdapat pada landasan konsepsinya sendiri. Prinsip kedaulatan di
tangan rakyat yang diwujudkan dalam suara terbanyak. Prinsip mayoritas
ini amat rentan tatkala penguasa atau sekelompok orang dapat merekayasa
masyarakat melalui propaganda, Money Politic, tindak persuasif hingga
represif agar mendukungnya. Dengan propaganda terus-menerus rakyat dapat
menganggap surga adalah neraka, dan neraka adalah surga, benar jadi
salah, salah jadi benar, begitu seterusnya seperti yang ditunjukkan
Adolf Hitler dalam “Mein Kampf”. Sisi lain yang perlu dicatat bahwa
rakyat sendiri adalah individu yang tak lepas dari tarikan hawa nafsu
dan godaan setan. Timbangan baik buruk yang diserahkan pada rakyat
adalah sebuah kekacaubalauan.
Dalam kasus The Prohobition Law of America,
mula-mula rakyat Amerika secara rasional dan logis berpendapat bahwa
minuman keras berdampak negatif bagi kemampuan mental dan intelektual
manusia serta mendorong timbulnya kekacauan masyarakat. Hukum ini
disetujui suara mayoritas. Namun ketika hukum ini mulai diberlakukan,
rakyat yang terlanjur mencandu tak dapat melepaskan ketergantungan itu.
Akhirnya undang-undang itu dicabut oleh rakyat sendiri.
DR. Adnan Ali Ridho An Nahwi dalam buku
“Asy Syura La Ad Dimuqratiyah” (Syura Bukan Demokrasi) berpendapat bahwa
demokrasi hanyalah sarana musuh Islam untuk menghacurkan ummat Islam.
Demokrasi Perancis di Aljazair, demokrasi Inggris di Mesir, Palestina,
India dan demokrasi Amerika di Lebanon dan Turki justru menghembuskan
kehinaan bagi rakyat dan bangsa Muslim. Beberapa fakta modern
jelas-jelas menunjukkan Barat tidak pernah memberi tempat bagi kaum
muslimin untuk memenangkan demokrasi di banyak tempat, dari mulai Mesir
dengan Ikhwanul Musliminnya, Aljazair dengan FIS nya sampai Turki dengan
Refahnya karena menurut barat ada ketidakselarasan antara demokrasi
dengan Islam.
“Barangsiapa dari kalian yang hidup
(setelah masaku), akan banyak melihat perselisihan yang banyak, maka
kalian wajib berpegang-teguh dengan sunnahku dan sunnah para
khulafaurasyidin, gigitlah dengan kuat dan jauhilah perkara-perkara
baru.” (HR. Abu Dawud)
Manhaj Perjuangan Islam
Dunia Islam saat ini telah memasuki era
yang sangat berbahaya dan menentukan yaitu penghancuran identitas diri
di negara-negara kaum muslimin yang merupakan bukti gagalnya seluruh
eksperimen terutama di negara-negara Arab terdahulu yang telah terlepas
dari keIslamannya, lalu mengambil pemikiran-pemikiran yang bersifat
eksperimen dan spekulatif serta tidak sesuai dengan sejarah kebangkitan
Islam dan diennul Islam itu sendiri. Sayangnya sebagian besar kaum
muslimin yang insya Allah mempunyai niat yang mulia untuk menegakkan
Islam justru malah mengikuti pola dan cara yang disusupkan oleh Barat
dan Yahudi (Protocol of Zion) dalam memperjuangkan Islam atau mungkin
mereka belum juga sadar dan mau kembali merujuk kepada cara manhaj Islam
yang benar dalam memperjuangkan dien ini.
Maka sungguh benarlah sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam:
“Sungguh kalian akan mengikuti jejak umat-umat sebelum kalian (yahudi dan nasrani ) sejengkal demi sejengkal, sehingga kalau mereka masuk ke lubang dhob, niscaya kalian pun akan ikut masuk ke dalamnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
“Sungguh kalian akan mengikuti jejak umat-umat sebelum kalian (yahudi dan nasrani ) sejengkal demi sejengkal, sehingga kalau mereka masuk ke lubang dhob, niscaya kalian pun akan ikut masuk ke dalamnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Maka perhatikanlah kaum muslimin hari ini
dalam politik mereka sibuk dengan demokrasinya. Dalam ekonomi mereka
enjoy dengan bunga dan sistem ribawi lainnya, dalam budaya mereka meniru
kebudayaan-kebudayaan nenek moyang mereka dalam perilaku mereka meniru
orang-orang barat. Sungguh sebuah musibah besar bagi dienul Islam.
Sayangnya hal ini tidak disadari oleh kebanyakan kaum muslimin dan
sayangnya lagi sebagian kaum muslimin yang diharapkan dapat menyongsong
Shahwah Islamiyah justru mengambil dienul Islam ini secara parsial dan
meninggalkan sebagian yang lain. Permasalahan demokrasi akan semakin
jelas jika kita mengetahui maknanya, dan kita tidak akan merujuk kepada
Lisanul Arab dan juga Ash Shahihah untuk membahasnya karena si empunya
rumah lebih faham tentang isi rumahnya.
Demokrasi Bukan Syuro
Demokrasi berasal dari asal kata “demo”
yang bermakna rakyat, sedangkan lafal kedua adalah “kratia” yang artinya
aturan hukum atau kekuasaan yang apabila digabung maka menjadi
kekuasaan rakyat dan untuk rakyat (As Syuura Laa Ad Dimuqratiyah, hal 34
).
Dalam kamus para pemuja demokrasi, yaitu
Kams Collins cetakan London tahun 1979 disebutkan bahwa makna demokrasi
adalah hukum dengan perantara rakyat atau yang mewakilinya (Ad
demokratiyyah wa Mauqifil Islami Minha). Merupakan salah satu sistem
liberal yang memisahkan antara agama dengan politik. Hal ini sangat
bertentangan dengan Al Qur an, karena di dalam syariat Islam hukum hanya
milik Allah dan rakyat tidak mempunyai hukum dan tidak juga
mewakilinya, Allah taala berfirman:
“Hukum itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia.” (QS. Yusuf: 40)
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah.” (QS Al Maidah: 49)
Allah Ta ala telah menjelaskan dalam dua
ayat ini bahwa hukum tidak menjadi milik rakyat dan juga wakilnya di
parlemen. Dan Allah memerintahkan RasulNya untuk memutuskan perkara
dengan apa yang Allah turunkan berupa syariat, maka bagaimana mungkin
demokrasi disebut Siyasah Syar’iah, bahkan menyamakan demokrasi dengan
Syura dalam Islam, padahal pada dasarnya demokrasi bertentangan dengan
syariat Islam.
Jelas sekali perbedaan demokrasi dengan
syura dalam Islam dengan perbedaan-perbedaan yang mendasar laksana
langit dan bumi. Perbedaan tersebut antara lain, syura adalah aturan
Ilahi sedangkan demokrasi merupakan aturan orang-orang kafir, syura
dipandang sebagai bagian dari agama, sedangkan demokrasi adalah aturan
sendiri. Di dalam syura ada orang-orang berakal yaitu ahlul halli wal
aqdi (yang berhak bermusyawarah) dari kalangan ulama ahli fikih dan
orang-orang yang mempunyai kemampuan spesialisasi dan pengetahuan,
merekalah yang mempunyai kapabilitas menentukan hukum yang disodorkan
kepada mereka dengan syariat Islam, sedangkan demokrasi meliputi
orang-orang yang di dalamnya dari seluruh rakyat sampai yang bodoh dan
pandir bahkan kafir sekalipun. Dalam demokrasi semua orang sama
posisinya; orang alim dan bertakwa pun sama dengan pelacur, orang shalih
sama dengan orang bejat dll, sedangkan dalam syura maka semuanya
diposisikan secara proporsional.
Allah berfirman:
“Maka apakah patut Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir). Mengapa kamu (berbuat demikian) bagaimanakah kamu mengambil keputusan?” (QS. Al Qalam: 35-36)
“Maka apakah patut Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir). Mengapa kamu (berbuat demikian) bagaimanakah kamu mengambil keputusan?” (QS. Al Qalam: 35-36)
Yang lebih parah lagi demokrasi
melecehkan hukum Allah dengan masih membahas permasalahan yang sudah
jelas hukumnya karena dalam demokrasi bukan mengacu pada Al Qur’an dan
sunnah shahihah tapi kepada suara terbanyak, padahal kebenaran tidak
diukur dengan jumlah banyaknya orang.
Tapi kesesuaian dengan Al Qur’an dan sunnah. Maka jelaslah demokrasi memang merupakan syariat orang-orang kafir tapi masih saja sebagian dari kita mau menjadi pejuang-pejuang demokrasi bahkan yang lebih parahnya lagi dengan mengatasnamakan perjuangan Islam -naudzubillah min dzalik, nas allullaha salam walafiyah- padahal jelas dalam hadist bahkan dalam perilaku sehari-hari saja kita diperintahkan untuk menyelisihi orang kafir.
Tapi kesesuaian dengan Al Qur’an dan sunnah. Maka jelaslah demokrasi memang merupakan syariat orang-orang kafir tapi masih saja sebagian dari kita mau menjadi pejuang-pejuang demokrasi bahkan yang lebih parahnya lagi dengan mengatasnamakan perjuangan Islam -naudzubillah min dzalik, nas allullaha salam walafiyah- padahal jelas dalam hadist bahkan dalam perilaku sehari-hari saja kita diperintahkan untuk menyelisihi orang kafir.
“Dari Abu Hurairah ia berkata bahwa
Rasullullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Potonglah kumis
kalian dan biarkanlah jenggot kalian, berbedalah kalian dari golongan
majusi (kafir).” (HR. Muslim)
Bahkan lebih tegas lagi sabda beliau
yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar, “Barang siapa meniru suatu kaum, maka
dia adalah bagian dari mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sayangnya ayat Al Qur an dan hadist
shahih yang dibawakan oleh para ulama ini diabaikan oleh sebagian besar
aktivis Islam yang kenyataannya justru mereka masih hijau sekali dalam
ilmu dien ini, dengan anggapan bahwa para ulama itu tidak faham dan
mengerti masalah politik bahkan mereka berani mencela para ulama salaf
dengan tuduhan ulama haid dan nifas (celana dalam wanita) dan sebagian
yang lain bahkan menuduh dakwah para ulama salaf sebagai antek-antek
zionis (baca: Majalah Suara Hidayatullah).
“Beginilah kamu, kamu sekalian
adalah orang-orang yang berdebat untuk (membela) mereka (kebatilan)
dalam kehidupan dunia ini. Maka siapakah yang akan mendebat Allah untuk
(membela) mereka pada hari kiamat? Atau siapakah yang jadi pelindung
mereka (terhadap siksa Allah).” (QS. An Nisa: 109)
Sungguh sebuah musibah yang amat besar
sekali karena ummat ini dijauhkan dari ilmu dan para ulamanya. Sebagian
yang lain menganggap hal ini masalah perbedaan ijtihad saja padahal
jelas ijtihad pun dilakukan dengan dasar Al Qur an dan sunnah shahihah
bukan dengan akal dan perasaan saja atau hanya karena pertimbangan
keduniaan.
“Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah, Al Qur’an,
dan Rasul (sunnahnya) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari akhir. Yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisaa: 59)
Atau mereka berkata “Kami masuk ke dalam
demokrasi karena darurat”. Darurat berasal dari kata “Ad Dharar” yang
berarti bahaya. Adapun secara istilah, berkata Az Zarkasi, “Darurat
adalah sampainya kepada batasan, jika tidak menunaikan yang terlarang
niscaya akan binasa. Istilah ini banyak dijumpai dalam ilmu fiqh. Adapun
dalil dari Al qur an tentang hal ini.”
“…Maka barangsiapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Penyayang.” (QS. Al Maidah: 3)
Allah telah menjelaskan syariatNya atas
dasar kemudahan, namun pertanyaannya apakah kita akan mati atau binasa
jika kita tidak memakai demokrasi sebagai hukum? Malah kenyataannya di
Mesir di akhir pemerintahan Anwar Sadat, puluhan ribu Muslim
dipenjarakan, begitu juga di Sudan tatkala Numeri menangkapi para
Aktivis Islam, padahal di parlemen Mesir dan Sudan banyak terdapat wakil
rakyat dari kaum Muslimin, akan tetapi mereka tidak mampu berbuat
sesuatu pun.
Para ulama sepakat tentang haramnya
demokrasi dengan dalil-dalil yang tegas dan sharih, mengenai kewajiban
menyelisih orang kafir dalam sistem hidup mereka. Ingatlah wahai
saudaraku, Islam akan tegak dengan manhaj Islam, dan bukan dengan
cara-cara kafir, dan Islam akan tegak di atas landasan yang benar,
aqidah yang kuat bukan aqidah dan metodologi campur aduk. Takutlah
kalian akan ayat Allah:
“Hai orang-orang beriman masuklah
kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya dan jangan kamu turut
langkah-langkah syetan, sesungguhnya syetan itu musuh yang nyata
bagimu.” (QS. Al Baqarah: 208 )
Semoga Allah merahmati kita semua dan
mempersatukan hati kita di atas aqidah yang benar. Karena hanya Allahlah
yang dapat mempersatukan hati dan hanya dengan tauhidlah hati-hati ini
dapat bersatu dalam kebenaran. Janganlah kau hitung kebenaran dari
banyaknya jumlah, namun kenalillah kebenaran itu sendiri (Al Qur’an dan
Sunnah shahihah dengan pemahaman para sahabat nabi) maka engkau akan
mengetahui siapakah orangnya.
Wallahu A’lam bissowab
0 komentar:
Posting Komentar