Senin, 23 Desember 2013

Filled Under:

Ibnu Hajar Al-Asqalani (773 – 852 H)

Beliau ialah al-Imam al-‘Allamah al-Hafiz Syihabuddin Abul Fadhl Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Ali bin Mahmud bin Hajar, al-Kinani, al-‘Asqalani, asy-Syafi’i, al-Mishri. Kemudian dikenal dengan nama Ibnu Hajar, dan gelarnya “al-Hafiz”. Adapun penyebutan ‘Asqalani adalah nisbat kepada ‘Asqalan’, sebuah kota yang masuk dalam wilayah Palestin, dekat Ghuzzah (Jalur Gaza).

Syaikhul Islam, pemegang bendera sunnah, pemimpin makhluq, Qadhi Al-Qudhat, Abu Al-Fadhl. Ayahnya adalah salah seorang ahli di bidang fiqh, bahasa Arab, qira’ah, dan sastra, cerdas, terhormat dan disegani. Ia pernah menjabat sebagai qadhi, suka menulis, dan profesional dalam hal mengajar dan berfatwa.
Imam Ibnu Hajar dilahirkan pada tanggal 12 Sya’ban 773 H. di Mesir. Ia tumbuh besar di Mesir setelah ibunya meninggal, lalu ia dipelihara oleh bapaknya dengan penuh penjagaan dan perlindungan yang ketat. Bapaknya tidak pernah membawanya ke maktab (tempat belajar anak-anak) kecuali setelah ia berumur lima tahun.
 
Jenjang Keilmuan Beliau
Ia hapal Al-Qur’an dalam usia sembilan tahun. Ia juga hapal Al-’Umdah, Al-Hawi Al-Shaghir, Mukhtashar Ibnu Hajib Al-Ashli, Mulhah Al-I’rab, dan sebagainya. Yang pertama kali ia tekuni adalah pembahasan kitab Al-’Umdah pada usia masih kecil kepada Al-Jamal bin Zhahirah di Mekkah. Kemudian ia belajar suatu ilmu kepada Al-Shadr Al-Ubsaithi di Kairo. Lalu semangatnya untuk menekuni bidang keilmuan terhenti karena tidak ada yang mendukungnya sampai ia berumur tujuh belas tahun. Kemudian ia belajar dengan tekun kepada salah seorang yang menerima wasiat untuk memeliharanya -yaitu Al-’Allamah Al-Syams bin Al-Qaththan- dalam bidang Fiqh, bahasa Arab, ilmu hitung, dan membaca sebagian besar dari Kitab Al-Hawi. Di samping itu, ia juga belajar fiqh dan bahasa Arab dengan tekun kepada An-Nur Al-Adami. Guru fiqh lainnya adalah Al-Anbasi. Dan selama beberapa saat ia juga belajar fiqh kepada Al-Bulqini dengan menghadiri beberapa kali kuliahnya tentang fiqh dan membaca sebagian besar kitab Al-Raudhah di hadapannya dengan catatan pinggir yang ditulis olehnya. Ia pernah belajar secara khusus kepada Ibnu Al-Mulaqqin dan membaca sebagian besar syarh yang ditulisnya atas kitab Al-Minhaj. Kemudian ia belajar kepada ‘Izzuddin bin Jama’ah dalam berbagai cabang ilmu dalam waktu yang cukup panjang, yaitu sejak tahun 790 H sampai Syekh ‘Izzuddin wafat pada tahun 819 H. Ia memberi komentar terhadap sebagian syarh Syekh ‘Izzuddin atas kitab Jam’ A1-Jawami’. Ia juga menghadiri sejumlah perkuliahan yang disampaikan oleh Al-Hammam Al-Khawarizmi, dan sebagainya. Ia belajar ilmu bahasa kepada Al-Fairuz Abadi, penyusun Al-Qamus Al-Muhith, belajar bahasa Arab kepada Al-Ghumari dan Al-Muhibb bin Hisyam, belajar ilmu qira’at sab’ah kepada Al-Burhan At-Tanukhi, dan menekuni berbagai bidang ilmu hingga mencapai titik puncaknya.

Belajar Ilmu Hadits
Allah menganugerahinya rasa cinta terhadap bidang hadits, sehingga ia memperhatikannya dalam berbagai aspeknya. Ia belajar hadits untuk pertama kalinya pada tahun 793 H. Akan tetapi baru mempelajarinya dengan penuh keseriusan dan kesungguhan pada tahun 796 H. Karena mempelajari hadits itu -menurut pengakuan dalam tulisannya- dapat menghilangkan hijab (penghalang), membukakan pintu, memacu semangat yang tinggi untuk berhasil, dan mendatangkan hidayah kepada jalan yang lurus. Oleh karena itu, ia mempelajarinya dari para guru yang ada waktu itu. Ia belajar di sisi Az-Zain Al-’Iraqi selama sepuluh tahun untuk mempelajari sebagian besar karyanya dan karya ulama lainnya. Ia juga mengadakan rihlah (perlawatan menuntut ilmu) ke negara-negara Syam dan Hijaz untuk belajar dari sejumlah guru, sehingga jumlah gurunya waktu tidak itu ada yang menyamainya. Para gurunya memberinya ijin untuk berfatwa, mengajar, dan menyebarluaskan hadits dengan menelaah, membacakan, dan menulis kitab. Kitab-kitab yang ditulisnya -kebanyakan dalam bidang hadits- lebih dari seratus lima puluh buah, dan semuanya mendapat sambutan yang baik dan diterima oleh umat, terutama kitab Fath Al-Bari Syarh Shahih Al-Bukhari sungguh luar biasa. Banyak guru dan teman-temannya begitu antusias untuk mendapatkan tulisan-tulisannya, demikian juga orang-orang setelahnya. Kitab-kitabnya yang besar tersebar luas dan diajarkan oleh banyak orang pada masa hidupnya. 
 
Menjadi Qadhi (Hakim Islam)
Ia teguh pendiriannya untuk tidak terlibat dalam dunia peradilan, sehingga ketika Al-Shadr Al-Munawi menawarkan kepadanya untuk menggantikan posisinya sebagai qadhi ia menolaknya, namun kemudian Sultan Al-Muayyad menyerahkan kepadanya peradilan dalam bidang tertentu, yang kemudian jabatan itu diminta oleh Jalaluddin Al-Bulqini, maka diserahkannya. Justru hal itu mendatangkan tawaran untuk mengganti posisi orang yang lain lagi. Kemudian la mendapat tawaran untuk menjabat Qadhi Akbar (Hakim Agung), maka akhirnya ia dilantik sebagai Hakim Agung pada hari Sabtu, 12 Muharram 827 H dalam upacara yang meriah. Akan tetapi ia kemudian menyesal dengan jabatan itu, dan penyesalannya bertambah ketika para penguasa tidak membedakan antara orang yang memiliki keutamaan dengan yang lain. Mereka mencela tanpa batas apabila usulan mereka ditolak, tanpa melihat kebenaran dan kesalahan usulan tersebut. Bahkan mereka memusuhi karenanya. Sehubungan dengan hal itu, maka seorang qadhi harus bisa membujuk orang kecil dan orang besar, yang menyebabkan bahwa dengan mengikuti keinginan mereka berarti ia telah melukai dirinya. Maka kemudian ia meninggalkan dunia peradilan setelah digelutinya selama satu tahun, yaitu tepatnya pada tanggal 7 atau 8 Dzul Qa’dah 828 H. Kemudian ia diangkat kembali dalam jabatan yang sama pada tanggal 2 Rajab 828 H. Berita kembalinya ia menjadi hakim disambut dengan gembira oleh seluruh manusia, karena kecintaan mereka sedemikian besar, bahkan kali ini wilayah kerjanya ditambah dengan negara-negara Syam. Jabatan ini diakhiri dengan pengunduran dirinya pada ahad Kamis tanggal 16 Shafar 833 H. Kemudian ia diangkat kembali untuk yang kesekian kalinya pada tanggal 26 Jumadil Ula 834 H. Jabatan yang terakhir ini ia geluti sampai hari Kamis tanggal 5 Syawal 840 H. Dan akhirnya ia mengundurkan diri pada hari Senin tanggal 15 Dzul Qa’dah 846 H, karena ia memutuskan hukum tidak sesuai dengan kehendak Sultan. Kemudian Sultan memanggilnya, maka ia menjelaskan argumentasinya, sehingga ia kembali diangkat dalam jabatan tersebut hingga akhirnya ia melakukan ‘uzlah (mengasingkan diri) pada tanggal 8 Muharram 849 H, karena adanya fitnah atas dirinya yang sampai kepada Sultan. Kemudian ia diangkat kembali dalam jabatannya pada tanggal 5 Shafar 850 H hingga ia tersisihkan pada akhir bulan Dzul Hijjah 850 H. Kemudian diangkat kembali pada tanggal 8 Rabi’ul Tsani 852 H, hingga tersisihkan kembali dan dipecat dari jabatan tersebut setelah tujuh puluh hari. Maka kemudian ia zuhud dengan sempurna karena banyaknya fitnah dan kesusahan dalam jabatan itu. 
 
Kegiatan Ilmiah Beliau
Secara keseluruhan ia menjadi hakim lebih dari dua puluh satu tahun. Beliau telah mengajar di berbagai tempat pendidikan di Kairo waktu itu, seperti di masjid-masjid, di madrasah-madrasah, dan sebagainya. Ia diberi kepercayaan untuk mengurus dan menjadi guru besar pada perguruan Al-Bibrisiyyah, memberi fatwa di Dar Al-’Adl, menyampaikan ceramah ilmiahnya di Al-Azhar dan Masjid Jami’ ‘Amr, dan kesempatan-kesempatan lainnya yang tidak didapatkan oleh orang lain pada waktu yang bersamaan. Ia mengajarkan hadits berdasarkan hapalannya kepada kurang lebih seribu majlis, sehingga ia sangat masyhur dan dikenal, dan para ulama pun berdatangan kepadanya. Sehingga para tokoh ulama dalam berbagai madzhab (waktu itu) pernah menjadi muridnya, dan para ulama pendahulunya mengakui hapalan, kepercayaan, pengetahuannya yang sempuma, semangatnya yang menyala, dan kecerdasannya yang tiada bandingnya. Al-’Iraqi mengakui bahwa ia adalah salah seorang rnuridnya yang paling tahu tentang hadits.
Banyak ulama dan huffazh menyusun buku secara khusus tentang riwayat hidupnya, yang terbaik di antaranya adalah Kitab Al-Jawahir wa Al-Durar fi Tarjamah A1-Hafizh Ibn Hajar karya seorang muridnya, As-Sakhawi. Sebagian dari naskah kitab ini terdapat di Dar Al-Kutub Al-Mishriyyah dalam bentuk fotografi, sedang aslinya terdapat di Paris. Tidak asing kalau orang yang posisi keilmuan, keutamaan, kesalehan, dan ketakwaannya seperti dijelaskan di depan, maka sangatlah pantas kalau kitabnya, Bulugh Al-Maram, menjadi pegangan bagi kaum muslim dan menjadi panutan bagi orang-orang yang mencari hidayah. Maka semoga Allah membalasnya dengan sebaik-baiknya balasan bagi orang alim atas ilmunya dan penasehat dari nasehatnya. Dan semoga Allah memberinya pahala dengan sebaik-baiknya, serta menyempurnakan limpahan rahmat dan ridha-Nya kepadanya. Dan semoga Allah memberi manfaat dan menunjukkan kita kepada jalan hidayah dan takwa berkat ilmu-ilmunya. Segala puji bagi Allah, Rabb seluruh alam. Semoga shalawat dan salam-Nya semoga dicurahkan kepada nabi-Nya yang paling baik dan rasul-Nya vang paling utama, yaitu Muhammad. Semoga dicurahkan juga kepada keluarganya dan sahabatnya, serta orang yang mengikutinya sampai hari pembalasan.
.
Wahhabi tentang Ibnu Hajar Atsqalani
Berikut adalah catatan para wahhabiyun tentang Ibnu Hajar. Saya kutib sebagaimana aslinya dari sumber,
Dan setelah ini semua, beliau –semoga Allah memaafkannya- memiliki aqidah yang tercampur dengan Asy’ariyah. Sehingga beliau Rahimahullah termasuk ulama yang menta’wilkan sifat-sifat Allah, yang terkadang dengan ketidak-pastian. Ini menyelisihi jalan salafush Shalih.*
Walaupun demikian, kita sama sekali tidak boleh menjadikan kesalahan-kesalahan ini sebagai alat untuk mencela dan merendahkan kedudukan al Hafizh. Karena jalan yang beliau tempuh adalah jalan Sunnah, bukan jalan bid’ah. Beliau membela Sunnah, menetapkan masalah-masalah berdasarkan dalil. Sehingga beliau tidak dimasukkan kepada golongan ahli bid’ah yang menyelisihi Salaf. Banyak ulama dahulu dan sekarang memuji Ibnu Hajar Rahimahullah, dan memegangi perkataan beliau yang mencocoki kebenaran, dan ini sangat baik. Adapun mengenai kesalahannya, maka ditinggalkan.
Syeikh al-Albani  mengatakan, Adalah merupakan kedzaliman jika mengatakan mereka (yaitu an-Nawawi dan Ibnu Hajar al ‘Asqalani) dan orang-orang semacam mereka termasuk ke dalam golongan ahli bid’ah. Menurut Syaikh al Albani, meskipun keduanya beraqidah Asy’ariyyah, tetapi mereka tidak sengaja menyelisihi al Kitab dan as Sunnah. Anggapan mereka, aqidah Asy’ariyyah yang mereka warisi itu adalah dua hal: Pertama, bahwa Imam al Asy’ari mengatakannya, padahal beliau tidak mengatakannya, kecuali pada masa sebelumnya, (lalu beliau tinggalkan dan menuju aqidah Salaf, Red). Kedua, mereka menyangka sebagai kebenaran, padahal tidak.**

Catatan Kaki:
*). Dapat diketahui dari pandangan Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz terhadap juz-juz awal kitab Fathul Bari. Demikian juga beberapa kesalahan berkaitan dengan aqidah yang di beri komentar oleh Syaikh Ali bin ‘Abdul ‘Aziz bin Ali asy-Syibl yang melanjutkan komentar Syaikh ‘Abdul Aziz bin Baaz. Komentar-komentar ini telah dibukukan dalam kitab at-Tanbih ‘alal Mukhalafat al ‘Aqidah fi Fathil Bari.

**). Kaset Man Huwa al Kafir wa Man Huwa al Mubtadi’? Dinukil dari catatam kaki kitab al Ajwibah al Mufidah min As’ilah al manahij al Jadidah, hal 221; Fatwa-fatwa Syaikh Shalih al fauzan yang dikumpulkan oleh Jamal bin Furaihan al Haritsi.


Sumber

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright @ 2013 PEJUANG ISLAM.