KH Hasyim Al Asy’ari adalah seorang ulama pendiri Nahdlatul Ulama
(NU), organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia. Ia juga pendiri
pesantren Tebuireng, Jawa Timur dan dikenal sebagai tokoh pendidikan
pembaharu pesantren. Selain mengajarkan agama dalam pesantren, ia juga
mengajar para santri membaca buku-buku pengetahuan umum, berorganisasi,
dan berpidato.
Karya dan jasa Kiai Hasyim Asy’ari yang lahir di Pondok Nggedang,
Jombang, Jawa Timur, 10 April 1875 tidak lepas dari nenek moyangnya yang
secara turun-temurun memimpin pesantren. Ayahnya bernama Kiai Asyari,
pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Ibunya
bernama Halimah. Dari garis ibu, Kiai Hasyim Asy’ari merupakan keturunan
Raja Brawijaya VI, yang juga dikenal dengan Lembu Peteng, ayah Jaka
Tingkir yang menjadi Raja Pajang (keturunan kedelapan dari Jaka
Tingkir).
Kelahiran Dan Masa Kecil
Tidak jauh dari jantung kota Jombang ada sebuah dukuh yang bernama
Ngedang Desa Tambak Rejo yang dahulu terdapat Pondok Pesantren yang
konon pondok tertua di Jombang, dan pengasuhnya Kiai Usman. Beliau
adalah seorang kiai besar, alim dan sangat berpengaruh, istri beliau
Nyai Lajjinah dan dikaruniai enam anak:
Halimah (Winih)
Muhammad
Leler
Fadli
Arifah
Halimah kemudian dijodohkan dengan seorang santri ayahandanya yang
bernama Asy’ari, ketika itu Halimah masih berumur 4 tahun sedangkan
Asy’ari hampir beruisa 25 tahun. Mereka dikarunia 10 anak:
Nafi’ah
Ahmad Saleh
Muhammad Hasyim
Radiyah
Hasan
Anis
Fatonah
Maimunah
Maksun
Nahrowi, dan
Adnan.
Muhammad Hasyim, lahir pada hari Selasa Tanggal 24 Dzulqo’dah 1287 H,
bertepatan dengan tanggal 14 Pebruari 1871 M. Masa dalam kandungan dan
kelahiran KH.M. Hasyim Asy’ari, nampak adanya sebuah isyarat yang
menunjukkan kebesarannya. diantaranya, ketika dalam kandungan Nyai
Halimah bermimpi melihat bulan purnama yang jatuh kedalam kandungannya,
begitu pula ketika melahirkan Nyai Halimah tidak merasakan sakit seperti
apa yang dirasakan wanita ketika melahirkan.
Di masa kecil beliau hidup bersama kakek dan neneknya di Desa
Ngedang, ini berlangsung selama enam tahun. Setelah itu beliau mengikuti
kedua orang tuanya yang pindah ke Desa Keras terletak di selatan kota
Jombang dan di desa tersebut Kiai Asy’ari mendirikan pondok pesantren
yang bernama Asy’ariyah.
Principle of early learning, mungkin teori ini layak disandang oleh
beliau, berdasarkan kehidupan beliau yang mendukung yaitu hidup
dilingkungan pesantren, sehingga wajar kalau nilai-nilai pesantren
sangat meresap pada dirinya, begitu pula nilai-nilai pesantren dapat
dilihat bagaimana ayahanda dan bundanya memberikan bimbingan kepada
santri, dan bagaimana para santri hidup dengan sederhana penuh dengan
keakraban dan saling membantu..
Belajar Pada Keluarga
Perjalanan keluarga beliau pulalah yang memulai pertama kali belajar
ilmu-ilmu agama baik dari kakek dan neneknya. Desa Keras membawa
perubahan hidup yang pertama kali baginya, disini mula-mula ia menerima
pelajaran agama yang luas dari ayahnya yang pada saat itu pendiri dan
pengasuh Pondok Pesantren Asy’ariyah. Dengan modal kecerdasan yang
dimiliki dan dorongan lingkungan yang kondusif, dalam usia yang cukup
muda, beliau sudah dapat memahami ilmu-ilmu agama, baik bimbingan
keluarga, guru, atau belajar secara autodidak. Ketidakpuasannya terhadap
apa yang sudah dipelajari, dan kehausan akan mutiara ilmu, membuatnya
tidak cukup hanya belajar pada lingkungan keluarganya. Setelah sekitar
sembilan tahun di Desa Keras (umur 15 tahun) yakni belajar pada
keluarganya, beliau mulai melakukan pengembaraanya menuntut ilmu.
Mengembara ke Berbagai Pesantren
Dalam usia 15 tahun, perjalanan awal menuntut ilmu, Muhammad Hasyim
belajar ke pondok-pondok pesantren yang masyhur di tanah Jawa, khususnya
Jawa Timur. Di antaranya adalah Pondok Pesantren Wonorejo di Jombang,
Wonokoyo di Probolinggo, Tringgilis di Surabaya, dan Langitan di Tuban
(sekarang diasuh oleh K.H Abdullah Faqih), kemudian Bangkalan, Madura,
di bawah bimbingan Kiai Muhammad Khalil bin Abdul Latif (Syaikhuna
Khalil).
Ada cerita yang cukup mengagumkan tatkala KH.M. Hasyim Asy’ari
“ngangsu kawruh” dengan Kiai Khalil. Suatu hari, beliau melihat Kiai
Khalil bersedih, beliau memberanikan diri untuk bertanya. Kiai Khalil
menjawab, bahwa cincin istrinya jatuh di WC, Kiai Hasyim lantas usul
agar Kiai Khalil membeli cincin lagi. Namun, Kiai Khalil mengatakan
bahwa cincin itu adalah cincin istrinya. Setelah melihat kesedihan di
wajah guru besarnya itu, Kiai Hasyim menawarkan diri untuk mencari
cincin tersebut didalam WC. Akhirnya, Kiai Hasyim benar-benar mencari
cincin itu didalam WC, dengan penuh kesungguhan, kesabaran, dan
keikhlasan, akhirnya Kiai Hasyim menemukan cincin tersebut. Alangkah
bahagianya Kiai Khalil atas keberhasilan Kiai Hasyim itu. Dari kejadian
inilah Kiai Hasyim menjadi sangat dekat dengan Kiai Khalil, baik semasa
menjadi santrinya maupun setelah kembali ke masyarakat untuk berjuang.
Hal ini terbukti dengan pemberian tongkat saat Kiai Hasyim hendak
mendirikan Jam’iyah Nahdlatul Ulama’ yang dibawa KH. As’ad Syamsul
Arifin (pengasuh Pondok Pesantren Syafi’iyah Situbondo).
Setelah sekitar lima tahun menuntut ilmu di tanah Madura (tepatnya
pada tahun 1307 H/1891 M), akhirnya beliau kembali ke tanah Jawa,
belajar di pesantren Siwalan, Sono Sidoarjo, dibawah bimbingan K. H.
Ya’qub yang terkenal ilmu nahwu dan shorofnya. Selang beberapa lama,
Kiai Ya’qub semakin mengenal dekat santri tersebut dan semakin menaruh
minat untuk dijadikan menantunya.
Pada tahun 1303 H/1892 M., Kiai Hasyim yang saat itu baru berusia 21
tahun menikah dengan Nyai Nafisah, putri Kiai Ya’qub. Tidak lama setelah
pernikahan tersebut, beliau kemudian pergi ke tanah suci Mekah untuk
menunaikan ibadah haji bersama istri dan mertuanya. Disamping menunaikan
ibadah haji, di Mekah beliau juga memperdalam ilmu pengetahuan yang
telah dimilkinya, dan menyerap ilmu-ilmu baru yang diperlukan. Hampir
seluruh disiplin ilmu agama dipelajarinya, terutama ilmu-ilmu yang
berkaitan dengan hadits Rasulullah SAW yang menjadi kegemarannya sejak
di tanah air.
Perjalanan hidup terkadang sulit diduga, gembira dan sedih datang
silih berganti.demikian juga yang dialami Kiai Hasyim Asy’ari di tanah
suci Mekah. Setelah tujuh bulan bermukim di Mekah, beliau dikaruniai
putra yang diberi nama Abdullah. Di tengah kegembiraan memperoleh buah
hati itu, sang istri mengalami sakit parah dan kemudian meninggal dunia.
empat puluh hari kemudian, putra beliau, Abdullah, juga menyusul sang
ibu berpulang ke Rahmatullah. Kesedihan beliau yang saat itu sudah mulai
dikenal sebagai seorang ulama, nyaris tak tertahankan. Satu-satunya
penghibur hati beliau adalah melaksanakan thawaf dan ibadah-ibadah
lainnya yang nyaris tak pernah berhenti dilakukannya. Disamping itu,
beliau juga memiliki teman setia berupa kitab-kitab yang senantiasa
dikaji setiap saat. Sampai akhirnya, beliau meninggalkan tanah suci,
kembali ke tanah air bersama mertuanya.
Kematangan Ilmu di Tanah Suci
Kerinduan akan tanah suci rupanya memanggil beliau untuk kembali lagi
pergi ke kota Mekah. Pada tahun 1309 H/1893 M, beliau berangkat kembali
ke tanah suci bersama adik kandungnya yang bernama Anis. Kenangan indah
dan sedih teringat kembali tatkala kaki beliau kembali menginjak tanah
suci Mekah. Namun hal itu justru membangkitkan semangat baru untuk lebih
menekuni ibadah dan mendalami ilmu pengetahuan. Tempat-tempat
bersejarah dan mustajabah pun tak luput dikunjunginya, dengan berdoa
untuk meraih cita-cita, seperti Padang Arafah, Gua Hira’, Maqam Ibrahim,
dan tempat-tempat lainnya. Bahkan makam Rasulullah SAW di Madinah pun
selalu menjadi tempat ziarah beliau. Ulama-ulama besar yang tersohor
pada saat itu didatanginya untuk belajar sekaligus mengambil berkah, di
antaranya adalah Syaikh Su’ab bin Abdurrahman, Syaikh Muhammad Mahfud
Termas (dalam ilmu bahasa dan syariah), Sayyid Abbas Al-Maliki al-Hasani
(dalam ilmu hadits), Syaikh Nawawi Al-Bantani dan Syaikh Khatib
Al-Minang Kabawi (dalam segala bidang keilmuan).
Upaya yang melelahkan ini tidak sia-sia. Setelah sekian tahun berada
di Mekah, beliau pulang ke tanah air dengan membawa ilmu agama yang
nyaris lengkap, baik yang bersifat ma’qul maupun manqul, seabagi bekal
untuk beramal dan mengajar di kampung halaman.
Mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng
Sepulang dari tanah suci sekitar Tahun1313 H/1899 M, beliau memulai
mengajar santri, beliau pertama kali mengajar di Pesantren Ngedang yang
diasuh oleh mediang kakeknya, sekaligus tempat dimana ia dilahirkan dan
dibesarkan. Setelah itu belaiu mengajar di Desa Muning Mojoroto Kediri.
Disinilah beliau sempat menikahi salah seoarang putri Kiai Sholeh Banjar
Melati. Akungnya, karena berbagai hal, pernikahan tersebut tidak
berjalan lama sehingga Kiai Hasyim kembali lagi ke Jombang.
Ketika telah berada di Jombang beliau berencana membangun sebuah
pesantren yang dipilihlah sebuah tempat di Dusun Tebuireng yang pada
saat itu merupakan sarang kemaksiatan dan kekacauan. Pilihan itu tentu
saja menuai tanda tanaya besar dikalangan masyarakat, akan tetapi semua
itu tidak dihiraukannaya.
Nama Tebuireng pada asalnya Kebo ireng (kerbau hitam). Ceritanya, Di
dearah tersebut ada seekor kerbau yang terbenam didalam Lumpur, dimana
tempat itu banyak sekali lintahnya, ketika ditarik didarat, tubuh kerbau
itu sudah berubah warna yang asalnya putih kemerah-merahan berubah
menjadi kehitam-hitaman yang dipenuhi dengan lintah. Konon semenjak
itulah daerah tadi dinamakan Keboireng yang akhirnya berubah menjadi
Tebuireng.
Pada tanggal 26 Robiul Awal 1317 H/1899 M, didirikanlah Pondok
Pesantren Tebuireng, bersama rekan-rekan seperjuangnya, seperti Kiai
Abas Buntet, Kiai Sholeh Benda Kereb, Kiai Syamsuri Wanan Tara, dan
beberapa Kiai lainnya, segala kesuliatan dan ancaman pihak-pihak yang
benci terhadap penyiaran pendidikan Islam di Tebuireng dapat diatasi.
KH. M. Hasyim Asya’ri memulai sebuah tradisi yang kemudian menjadi
salah satu keistimewaan beliau yaitu menghatamkan kitab shakhihaini
“Al-Bukhori dan Muslim” dilaksanakan pada setiap bulan suci ramadlan
yang konon diikuti oleh ratusan kiai yang datang berbondong-bondong dari
seluruh jawa. Tradisi ini berjalan hingga sampai sekarang (penggasuh
PP. Tebuireng KH. M.Yusuf Hasyim). Para awalnya santri Pondok Tebuireng
yang pertama berjumlah 28 orang, kemudian bertambah hingga ratusan
orang, bahkan diakhir hayatnya telah mencapai ribuan orang,
alumnus-alumnus Pondok Tebuireng yang sukses menjadi ulama’ besar dan
menjadi pejabat-pejabat tinggi negara, dan Tebuireng menjadi kiblat
pondok pesantren.
Mendirikan Nahdlatul Ulama’
Disamping aktif mengajar beliau juga aktif dalam berbagai kegiatan,
baik yang bersifat lokal atau nasional. Pada tanggal 16 Sa’ban 1344 H/31
Januari 1926 M, di Jombang Jawa Timur didirikanlah Jam’iyah Nahdlotul
Ulama’ (kebangkitan ulama) bersama KH. Bisri Syamsuri, KH. Wahab
Hasbullah, dan ulama’-ulama’ besar lainnya, dengan azaz dan tujuannya:
“Memegang dengan teguh pada salah satu dari madzhab empat yaitu Imam
Muhammad bin Idris Asyafi’i, Imam Malik bin Anas, Imam Abu Hanifah
An-Nu’am dan Ahmad bin Hambali. Dan juga mengerjakan apa saja yang
menjadikan kemaslahatan agama Islam”. KH. Hasyim Asy’ari terpilih
menjadi rois akbar NU, sebuah gelar sehingga kini tidak seorang pun
menyandangnya. Beliau juga menyusun qanun asasi (peraturan dasar) NU
yang mengembangkan faham ahli sunnah waljama’ah.
Nahdlatul ulama’ sebagai suatu ikatan ulama’ seluruh Indonesia dan
mengajarkan berjihad untuk keyakinan dengan sistem berorganisasi. Memang
tidak mudah untuk menyatukan ulama’ yang berbeda-beda dalam sudut
pandangnya, tetapi bukan Kiai Hasyim kalau menyerah begitu saja, bahwa
beliau melihat perjuangan yang dilakukan sendiri-sendiri akan lebih
besar membuka kesempatan musuh untuk menghancurkannya, baik penjajah
atau mereka yang ingin memadamkan sinar dan syi’ar Islam di Indonesia,
untuk mengadudomba antar sesama. Beliau sebagai orang yang tajam dan
jauh pola pikirnya dalam hal ini, melihat bahaya yang akan dihadapkannya
oleh umat Islam, dan oleh karena itu beliau berfikir mencari jalan
keluarnya yaitu dengan membentuk sebuah organisasi dengan dasar-dasar
yang dapat diterima oleh ulama’ulama lain.
Jam’iyah ini berpegang pada faham ahlu sunnah wal jama’ah, yang
mengakomodir pada batas-batas tertentu pola bermadzhab, yang belakangan
lebih condong pada manhaj dari pada sekedar qauli. Pada dasawarsa
pertama NU berorentasi pada persoalan agama dan kemasyarakatan. Kegiatan
diarahkankan pada persoalan pendidikan, pengajian dan tabligh. Namun
ketika memasuki dasawarsa kedua orentasi diperluas pada
persoalan-persolan nasional. Hal tersebut terkait dengan keberadaannya
sebagai anggota federasi Partai dan Perhimpunan Muslim Indonesia (MIAI)
NU bahkan pada perjalanan sejarahnya pernah tampil sebagai salah satu
partai polotik peserta pemilu, yang kemudian menyatu dengan PPP, peran
NU dalam politik praktis ini kemudian diangulir dengan keputusan
Muktamar Situbono yanh menghendaki NU sebagai organisasi sosial
keagamaan kembali pada khitohnya.
Pejuang Kemerdekaan
Peran KH. M. Hasyim Asy’ari tidak hanya terbatas pada bidang keilmuan
dan keagamaan, melainkan juga dalam bidang sosial dan kebangsaan,
beliau terlibat secara aktif dalam perjuangan membebaskan bangsa dari
penjajah belanda.
Pada tahun 1937 beliau didatangi pimpinan pemerintah belanda dengan
memberikan bintang mas dan perak tanda kehormatan tetapi beliau
menolaknya. Kemudian pada malam harinya beliau memberikan nasehat kepada
santri-santrinya tentang kejadian tersebut dan menganalogkan dengan
kejadian yang dialami Nabi Muhammad SAW yang ketika itu kaum Jahiliyah
menawarinya dengan tiga hal, yaitu:
Kursi kedudukan yang tinggi dalam pemerintahan
Harta benda yang berlimpah-limpah
Gadis-gadis tercantik
Akan tetapi Nabi SAW menolaknya bahkan berkata: “Demi Allah, jika
mereka kuasa meletakkan matahari ditangan kananku dan bulan ditangan
kiriku dengan tujuan agar aku berhenti dalam berjuang, aku tidak akan
mau menerimanya bahkan nyawa taruhannya”. Akhir KH.M. Hasyim Asy’ari
mengakhiri nasehat kepada santri-santrinya untuk selalu mengikuti dan
menjadikan tauladan dari perbuat Nabi SAW.
Masa-masa revolusi fisik di Tahun 1940, barang kali memang merupakan
kurun waktu terberat bagi beliau. Pada masa penjajahan Jepang, beliau
sempat ditahan oleh pemerintah fasisme Jepang. Dalam tahanan itu beliau
mengalami penyiksaan fisik sehingga salah satu jari tangan beliau
menjadi cacat. Tetapi justru pada kurun waktu itulah beliau menorehkan
lembaran dalam tinta emas pada lembaran perjuangan bangsa dan Negara
republik Indonesia, yaitu dengan diserukan resolusi jihad yang beliau
memfatwakan pada tanggal 22 Oktober 1945, di Surabaya yang lebih dikenal
dengan hari pahlawan nasional.
Begitu pula masa penjajah Jepang, pada tahun 1942 Kiai Hasyim
dipenjara (Jombang) dan dipindahkan penjara Mojokerto kemudian ditawan
di Surabaya. Beliau dianggap sebagai penghalang pergerakan Jepang.
Setelah Indonesia merdeka Pada tahun 1945 KH. M. Hasyim Asy’ari
terpilih sebagai ketua umum dewan partai Majlis Syuro Muslimin Indonesia
(MASYUMI) jabatan itu dipangkunya namun tetap mengajar di pesantren
hingga beliau meninggal dunia pada tahun 1947.
Keluarga Dan Sisilah
Hampir bersamaan dengan berdirinya Pondok Pesantren Tebuireng (1317
H/1899 M), KH. M. Hasyim Asya’ri menikah lagi dengan Nyai Nafiqoh putri
Kiai Ilyas pengasuh Pondok Pesantren Sewulan Madiun. Dari perkawinan ini
kiai hasyim dikaruniai 10 putra dan putri yaitu:
Hannah
Khoiriyah
Aisyah
Azzah
Abdul Wahid
Abdul hakim (Abdul Kholiq)
Abdul Karim
Ubaidillah
Mashurroh
Muhammad Yusuf.
Menjelang akhir Tahun 1930, KH. M. Hasyim Asya’ri menikah kembali
denagn Nyai Masruroh, putri Kiai Hasan, pengasuh Pondok Pesantren
Kapurejo, Kecamatan Pagu Kediri, dari pernikahan tersebut, beliua
dikarunia 4 orang putra-putri yaitu:
Abdul Qodir
Fatimah
Chotijah
Muhammad Ya’kub
Garis keturunan KH. M. Hasyim Asy’ari (Nenek ke-sembilan )
Muhammad Hasyim bin Asy’ari bin Abdul Wahid (Pangeran Sambo) bin
Abdul Halim (Pangeran Benowo) bin Abdul Rahman (Mas Karebet/Jaga
Tingkir) yang kemudian bergelar Sultan Hadiwijaya bin Abdullah (Lembu
Peteng) yang bergelar Brawijaya VI
Wafatnya Sang Tokoh
Pada Tanggal 7 Ramadhan 1366 H. jam 9 malam, beliau setelah mengimami
Shalat Tarawih, sebagaimana biasanya duduk di kursi untuk memberikan
pengajian kepada ibu-ibu muslimat. Tak lama kemudian, tiba-tiba
datanglah seorang tamu utusan Jenderal Sudirman dan Bung Tomo. Sang Kiai
menemui utusan tersebut dengan didampingi Kiai Ghufron, kemudian tamu
itu menyampaikan pesan berupa surat. Entah apa isi surat itu, yang jelas
Kiai Hasyim meminta waktu semalam untuk berfikir dan jawabannya akan
diberikan keesokan harinya.
Namun kemudian, Kiai Ghufron melaporkan situasi pertempuran dan
kondisi pejuang yang semakin tersudut, serta korban rakyat sipil yang
kian meningkat. Mendengar laporan itu, Kiai Hasyim berkata, “Masya
Allah, Masya Allah…” kemudian beliau memegang kepalanya dan ditafsirkan
oleh Kiai Ghufron bahwa beliau sedang mengantuk. Sehingga para tamu
pamit keluar. Akan tetapi, beliau tidak menjawab, sehingga Kiai Ghufron
mendekat dan kemudian meminta kedua tamu tersebut untuk meninggalkan
tempat, sedangkan dia sendiri tetap berada di samping Kiai Hasyim
Asy’ari. Tak lama kemudian, Kiai Ghufron baru menyadari bahwa Kiai
Hasiyim tidak sadarkan diri. Sehingga dengan tergopoh-gopoh, ia
memanggil keluarga dan membujurkan tubuh Kiai Hasyim. Pada saat itu,
putra-putri beliau tidak berada di tempat, misalnya Kiai Yusuf Hasyim
yang pada saat itu sedang berada di markas tentara pejuang, walaupun
kemudian dapat hadir dan dokter didatangkan (Dokter Angka Nitisastro).
Tak lama kemudian baru diketahui bahwa Kiai Hasyim terkena pendarahan
otak. Walaupun dokter telah berusaha mengurangi penyakitnya, namun
Tuhan berkehendak lain pada kekasihnya itu. KH.M. Hasyim Asy’ari wafat
pada pukul 03.00 pagi, Tanggal 25 Juli 1947, bertepatan dengan Tanggal
07 Ramadhan 1366 H. Inna LiLlahi wa Inna Ilaihi Raji’un.
Kepergian belaiu ketempat peristirahatan terakhir, diantarkan bela
sungkawa yang amat dalam dari hampir seluruh lapisan masyarakat,
terutama dari para pejabat sipil maupun militer, kawan seperjuangan,
para ulama, warga NU, dan khususnya para santri Tebuireng. Umat Islam
telah kehilangan pemimpin besarnya yang kini berbaring di pusara beliau
di tenggah Pesantrn Tebuireng. Pada saat mengantar kepergianya, shahabat
dan saudara beliau, KH. Wahab hazbulloh, sempat mengemukakan kata
sambutan yang pada intinya menjelaskan prinsip hidup belaiu, yakni,
“berjuang terus dengan tiada mengenal surut, dan kalau perlu zonder
istirahat”.
Karya Kitab Klasik
Peninggalan lain yang sangat berharga adalah sejumlah kitab yang
beliau tulis disela-sela kehidupan beliau didalam mendidik santri,
mengayomi ribuan umat, membela dan memperjuangkan bumi pertiwi dari
penjajahan. Ini merupakan bukti riil dari sikap dan perilakunya,
pemikirannya dapat dilacak dalam beberapa karyanya yang rata-rata
berbahasa Arab.
Tetapi sangat disayangkan, karena kurang lengkapnya dokumentasi,
kitab-kitab yang sangat berharga itu lenyap tak tentu rimbanya.
Sebenarnya, kitab yang beliau tulis tidak kurang dari dua puluhan judul.
Namun diakungkan yang bisa diselamatkan hanya beberapa judul saja,
diantaranya:
Al-Nurul Mubin Fi Mahabati Sayyidi Mursalin. Kajian kewajiban
beriman, mentaati, mentauladani, berlaku ikhlas, mencinatai Nabi SAW
sekaligus sejarah hidupnya
Al-Tanbihat al-Wajibat Liman Yashna’u al-Maulida Bi al-Munkarat. Kajian
mengenai maulid nabi dalam kaitannya dengan amar ma’ruf nahi mungkar
Risalah Ahli Sunnah Wal Jama’ah. Kajian mengenai pandangan terhadap
bid’ah, Konsisi salah satu madzhab, dan pecahnya umat menjadi 73
golongan
Al-Durasul Muntasyiroh Fi Masail Tis’a ‘asyaraoh. Kajian tentang wali
dan thoriqoh yang terangkum dalam sembilan belas permasalahan.
Al-Tibyan Fi Nahyi’an Muqatha’ah al-Arham Wa al-Aqrab Wa al-Akhwal.
Kajian tentang pentingnya jalinan silaturahmi antar sesama manusia
Adabul ‘Alim Wa Muata’alim. Pandangan tentang etika belajar dan mengajar didalam pendidikan pesantrren pada khususnya
Dlau’ al-Misbah Fi Bayani Ahkami Nikah. Kajian hukum-hukum nikah, syarat, rukun, dan hak-hak dalam perkawinan
Ziyadah Ta’liqot. Kitab yang berisikan polemic beliau dengan syaikh Abdullah bin yasir Pasuruaan
Sumber
Senin, 23 Desember 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar