Kamis, 23 Januari 2014

Filled Under:

Sejarah Surakarta 2 (Habis)

Serangan Umum 7 Agustus 1949

Dari tahun 1945 sampai 1948, Belanda berhasil menguasai kembali sebagian besar wilayah Indonesia (termasuk Jawa), kecuali Yogyakarta, Surakarta dan daerah-daerah sekitarnya.
Pada Desember 1948, Belanda menyerbu wilayah RI yang tersisa, mendudukinya dan menyatakan RI sudah hancur dan tidak ada lagi. Jendral Soedirman menolak menyerah dan mulai bergerilya di hutan-hutan dan desa-desa di sekitar kota Yogyakarta dan Surakarta.
Untuk membantah klaim Belanda, maka Jendral Soedirman merencanakan "Serangan Oemoem" yaitu serangan besar-besaran yang bertujuan menduduki kota Yogyakarta dan Surakarta selama beberapa jam. "Serangan Oemoem" di Surakarta terjadi pada tanggal 7 Agustus 1949 dipimpin oleh Letnan Kolonel Slamet Riyadi. Untuk memperingati peristiwa ini maka jalan utama di kota Surakarta dinamakan "Jalan Slamet Riyadi".
Kepemimpinan Slamet Riyadi - yang gugur di pertempuran melawan gerakan separatis RMS - pada Serangan Umum ini sangat mengejutkan pimpinan tentara Belanda (Van Ohl ?), yang sempat berkata Slamet Riyadi lebih pantas menjadi anaknya, ketika acara penyerahan kota Solo.

1998-sekarang

Pada tahun Kerusuhan Mei 1998, tepatnya tanggal 14-15 Mei, terjadi pembakaran dan pengrusakan rumah-rumah penduduk serta fasilitas-fasilitas umum sehingga menyebabkan kota Solo lumpuh selama beberapa hari. Berbagai bangunan di Jalan Slamet Riyadi menjadi sasaran anarki massa. Kantor-kantor, bank-bank, serta kawasan pertokoan, antara lain Matahari Beteng, dirusak dan dijarah massa. Mobil-mobil di jalanan dibakar dan dihancurkan. Di sejumlah kawasan Solo lainnya seperti di Nusukan, Gading, Tipes, Jebres, serta hampir seluruh penjuru kota juga meletus aksi serupa. Kerusuhan kian meluas. Massa di hampir seantero kota turun ke jalan melakukan pelemparan dan pembakaran bangunan maupun mobil dan motor. Bahkan juga penjarahan. Asap mengepul di mana-mana. Di Jalan Slamet Riyadi yang semula hanya terjadi pelemparan, berganti pembakaran. Di antaranya Wisma Lippo Bank dan Toko Sami Luwes. Supermarket Matahari Super Ekonomi (SE), serta Cabang Pembantu (Capem) Bank BCA di Purwosari, yang semula hanya dilempari, akhirnya dibakar. Di Solo bagian utara, massa membakar Terminal Bus Tirtonadi. Tak kurang dari empat bus ikut dibakar. Di Solo bagian barat, amuk massa juga menerjang Kantor Samsat, Jajar. Selain itu, Plasa Singosaren berlantai tiga turut pula dihanguskan. Monza Dept Store di sebelahnya, diremuk, juga toko sepatu Bata dan beberapa toko lain. Peristiwa kerusuhan juga terjadi di kawasan Gading dan sekitarnya.[5][6]
Kerusuhan tak hanya di Solo. Massa di barat Kampus UMS bergerak ke barat dan melakukan kerusuhan di Kartasura. Mereka membakar Kantor Bank BCA, Lippo, Danamon serta ATM BII, di samping pertokoan serta sebuah supermarket di Jalan Raya Kartasura, Sukoharjo, Toserba Mitra. Diler Suzuki, salon, toko kain, toko elektronik serta toko mebel dibakar. Pada Jumat 15 Mei, aksi perusakan dan pembakaran masih berlanjut. Sekitar pukul 07.00 WIB masyarakat dikejutkan oleh asap hitam tebal yang membubung ke angkasa dari kawasan Gladak. Ternyata, Plasa Beteng telah dibakar massa. Setelah itu berturut-turut sejumlah tempat yang semula luput dari amukan massa pada hari sebelumnya, akhirnya disasar juga. Toserba Ratu Luwes, Luwes Gading, pabrik plastik di Sumber serta puluhan tempat lain dibakar dan dijarah massa. Begitu juga pembakaran terhadap kendaraan roda dua dan empat masih terjadi di beberapa jalanan. [5]
Kerusuhan kemudian merambat menjadi kerusuhan rasial, para perusuh itu menyerang pertokoan yang kebanyakan milik orang Tionghoa, tergambar dengan hampir semua toko di eks Karesidenan Surakarta (Solo Raya) tertulis ‘Milik Pribumi’, sekalipun tulisan itu bukan cara ampuh untuk menghindari perusakan, penjarahan hingga pembakaran. [5]
Siang hari tanggal 14 Mei peristiwa tersebut selesai. Banyak toko-toko besar yang hangus terbakar seperti Pasar Singosaren, SE Purwosari hingga rumah Harmoko dan bioskop di Solo Baru juga tidak luput dari bidikan massa. Menurut saksi mata, amuk massa di Solo, 14-15 Mei itu, ada yang memprovokasi. Dua saksi, seorang guru dan seorang alumnus sebuah PTS menyatakan pelaku kerusuhan adalah sekelompok orang dengan dandanan khas. ”Mereka berkelompok 10 sampai 20 orang, menutup muka dengan sapu tangan dan melakukan provokasi sepanjang jalan agar warga ikut merusak.” Kedua orang itu menyatakan kesaksian mereka dalam dialog kerusuhan yang diadakan SMPT UMS, 12 Juni. Ketika asap kebakaran mulai sirna dan emosi massa mulai menurun, baru diketahui bahwa kerusuhan selama dua hari itu ternyata telah menelan korban jiwa 33 orang. Mayat mereka yang telah dalam keadaan hangus diketahui setelah dilakukan bersih-bersih atas puing-puing amuk massa. Dari 33 mayat itu, 14 di antaranya ditemukan terpanggang di dalam bangunan Toserba Ratu Luwes Pasar Legi. Sedangkan 19 lainnya terpanggang di Toko Sepatu Bata kawasan Coyudan. Di sisi lain, akibat banyaknya toko, swalayan, dan tempat usaha lain (lebih dari 500 buah) dirusak massa, mengakibatkan sekitar 50.000 hingga 70.000 tenaga kerja Solo menganggur. Menurut catatan Akuntan Publik Drs Rachmad Wahyudi Ak MBA, yang juga Managing Partner KAP Djaka Surarsa & Rekan Solo, kerugian fisik usaha yang ada di plasa dan supermarket mencapai sekitar Rp 189 miliar. Sementara, nilai total kerugian di Solo total Rp 457,5 miliar[7][5], sementara sumber lain memperkirakan kerugian mencapai 600 miliar[8]
Dua bulan setelah kerusuhan lewat, Solo di malam hari masih seperti kota mati, seperti di hari-hari dekat setelah kerusuhan. Toko-toko, juga kantor bank, masih poranda dan sebagian atau seluruhnya hangus bekas dibakar–Toko Serba-ada Super Ekonomi, Bank Central Asia, Bank Bill, warung Pizza Hut, Pasar Swalayan Gelael, Toko Serba-ada Sami Luwes, Toko Elektronik Idola, dan sejumlah toko kecil. Pascatragedi tersebut, berbagai wajah bangunan dan pertokoan di beberapa wilayah Kota Solo juga tampak mengalami perubahan. Perubahan itu bisa ditandai dengan berubahnya wajah bangunan itu menjadi bangunan yang lebih rapat, tertutup dan dihiasi oleh terali-terali besi. Bangunan yang secara arsitektur dulunya terbuka dan berwarna transparan tersebut, kini menjadi tertutup. Wajah lain yang tampak adalah mulai banyak hadirnya pintu dan portal di mulut gang-gang kampung. Pintu dan portal itu kebanyakan terbuat dari besi, dan di beberapa tempat dilengkapi oleh pos jaga/pos satpam, dan pada jam-jam tertentu bahkan ditutup rapat-rapat, sehingga tak memungkinkan orang bebas keluar masuk. Tak hanya perumahan elite, namun kampung-kampung juga. Jika ada yang masuk dan keluar, semuanya bisa terpantau, terawasi dan terkontrol.[5]
Beberapa bulan usai kerusuhan Mei, di penghujung tahun 1998, Kota Solo kembali menderita kerusakan meski tidak begitu parah. Pos-pos polisi dan rambu-rambu jalan dirusak dan dibakar anak-anak muda yang marah karena ditertibkan polisi saat balapan liar di jalan umum. [5]

 Mal Ratu Luwes di Pasar Legi yang terbakar

Data kerusuhan Mei 1998 di Solo[9]
No. Jenis Tingkat kerusakan Jumlah
1 Perkantoran/Bank Dibakar/dirusak 56
2 Pertokoan/ swalayan Dibakar 27
3 Toko Dibakar/dirusak 217
4 Rumah makan Dibakar 12
5 Showroom motor/mobil Dibakar/dirusak 24
6 Tempat pendidikan Dirusak 1
7 Pabrik Dibakar 8
8 Mobil/truk Dibakar 287
9 Sepeda Motor Dibakar 570
10 Bus Dibakar 10
11 Gedung bioskop Dibakar 2
12 Hotel Dibakar 1

Kerusuhan kembali terjadi pada Oktober 1999 seiring gagalnya Megawati memenangi pemilihan presiden dalam SU MPR. Balaikota, kantor pembantu gubernur, sejumlah kantor bank, serta fasilitas-fasilitas publik lainnya rata dengan tanah setelah dibakar massa pada hari itu juga. Julukan kota sumbu pendek semakin melekat bagi Solo. Sejarawan Solo Sudarmono, mencatat sejak 1965 hingga 1999 telah terjadi 8 kali kerusuhan berskala kecil maupun besar di kota pusat kebudayaan Jawa tersebut.[5]
Hingga saat ini tidak ada dibangun monumen untuk memperingati hal ini, dan lembaran hitam sejarah ini mulai dilupakan penduduk kota Solo.
Pada tanggal 29 Oktober 2000, dan kembali pada 23 September 2001, menyusul serangan 11 September, kelompok garis keras "Laskar Islam Surakarta" melancarkan aksi penyisiran warna negara asing yang tinggal di Solo.
Sehubungan dengan terorisme, wilayah di sekitar Solo dikenal sebagai basis beberapa kelompok garis keras, seperti pesantren di Ngruki yang dipimpin oleh Abu Bakar Baasyir. Pada tanggal 3 Desember 2002, Ali Ghufron atau "Mukhlas", seorang tersangka Bom Bali dan pemimpin Jemaah Islamiyah, ditangkap di dekat Surakarta bersama dengan beberapa orang lainnya.
Kecelakaan transportasi yang terjadi di wilayah Solo antara lain: Lion Air Penerbangan 538 (30 November 2004) yang menyebabkan 26 orang meninggal dunia dan Kecelakaan kereta api di Solo 2010 yang menyebabkan satu orang meninggal di rumah sakit.
Sejak 2005, setelah Joko Widodo terpilih menjadi Wali Kota Solo, kota Solo perlahan-lahan bangkit kembali dan bangunan-bangunan yang terbakar yang dibiarkan tidak terurus mulai satu per satu dibersihkan.

 Balaikota Surakarta yang baru

Referensi

  1. ^ Noorduyn J. 1968. [www.kitlv-journals.nl/index.php/btlv/article/view/2567/3328 Further topographical notes on the Ferry Charter of 1358, with appendices on Djipang and Bodjanegara]. BTL 124:460-481
  2. ^ Lihat, misalnya, Ann Kumar. 1980. Javanese court society and politics in the late eighteenth century: the record of a lady soldier. Part I. The religious, social, and economic life of the court. Indonesia 29:1-46. Artikel ini mengkaji suatu catatan harian mengenai kehidupan keraton Kasunanan pada masa Pakubuwana IV. Pembukaan pada Serat Babad Mangkunagaran (1779) juga menyebut Pémut tatkala wiwit tinulis, wonten nagari ing Salakarta.
  3. ^ a b c d e Imam Samroni, dkk. "Daerah Istimewa Surakarta", Pura Pustaka Yogyakarta, Februari 2010
  4. ^ Ramadhan K.H. "Soeharto: Ucapan, Pikiran dan Tindakan Saya"
  5. ^ a b c d e f g Kerusuhan Mei 1998 di Solo
  6. ^ Restrukturisasi Kota Solo Pasca Kerusuhan Mei 1998 Menuju Masyarakat Madani
  7. ^ Litbang SOLOPOS
  8. ^ Wasino, Wong Jawa dan Wong Cina: Liku-liku Hubungan Sosial antara Etnis Tionghoa dengan Jawa di Solo tahun 1911-1998 (Semarang: Unnes Press, 2006), 68-74
  9. ^ Sumber: Kompilasi data Korem dan Pemda Solo (Dikutip dari Tunjung, 1999) [1]


Sumber

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright @ 2013 PEJUANG ISLAM.