Kamis, 23 Januari 2014

Filled Under:

Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat 4

Warisan budaya

Selain memiliki kemegahan bangunan Keraton Yogyakarta juga memiliki suatu warisan budaya yang tak ternilai. Diantarannya adalah upacara-upacara adat, tari-tarian sakral, musik, dan pusaka (heirloom). Upacara adat yang terkenal adalah upacara Tumplak Wajik, Garebeg, upacara Sekaten dan upacara Siraman Pusaka dan Labuhan. Upacara yang berasal dari zaman kerajaan ini hingga sekarang terus dilaksanakan dan merupakan warisan budaya Indonesia yang harus dilindungi dari klaim pihak asing.

Tumplak Wajik

Upacara tumplak wajik adalah upacara pembuatan Wajik (makanan khas yang terbuat dari beras ketan dengan gula kelapa) untuk mengawali pembuatan pareden yang digunakan dalam upacara Garebeg. Upacara ini hanya dilakukan untuk membuat pareden estri pada Garebeg Mulud dan Garebeg Besar. Dalam upacara yang dihadiri oleh pembesar Keraton ini di lengkapi dengan sesajian. Selain itu upacara yang diselenggarakan dua hari sebelum garebeg juga diiringi dengan musik ansambel lesung-alu (alat penumbuk padi), kenthongan, dan alat musik kayu lainnya. Setelah upacara selesai dilanjutkan dengan pembuatan pareden.[61]

Garebeg

Upacara Garebeg diselenggarakan tiga kali dalam satu tahun kalender/penanggalan Jawa yaitu pada tanggal dua belas bulan Mulud (bulan ke-3), tanggal satu bulan Sawal (bulan ke-10) dan tanggal sepuluh bulan Besar (bulan ke-12). Pada hari-hari tersebut Sultan berkenan mengeluarkan sedekahnya kepada rakyat sebagai perwujudan rasa syukur kepada Tuhan atas kemakmuran kerajaan. Sedekah ini, yang disebut dengan Hajad Dalem, berupa pareden/gunungan yang terdiri dari Pareden Kakung, Pareden Estri, Pareden Pawohan, Pareden Gepak, dan Pareden Dharat, serta Pareden Kutug/Bromo yang hanya dikeluarkan 8 tahun sekali pada saat Garebeg Mulud tahun Dal.
Gunungan kakung berbentuk seperti kerucut terpancung dengan ujung sebelah atas agak membulat. Sebagian besar gunungan ini terdiri dari sayuran kacang panjang yang berwarna hijau yang dirangkaikan dengan cabai merah, telur itik, dan beberapa perlengkapan makanan kering lainnya. Gunungan estri berbentuk seperti keranjang bunga yang penuh dengan rangkaian bunga. Sebagian besar disusun dari makanan kering yang terbuat dari beras maupun beras ketan yang berbentuk lingkaran dan runcing. Kedua gunungan ini ditempatkan dalam sebuah kotak pengangkut yang disebut Jodhang.
Gunungan pawohan[62] terdiri dari buah-buahan segar yang diletakkan dalam keranjang dari daun kelapa muda (Janur) yang berwarna kuning. Gunungan ini juga ditempatkan dalam jodhang dan ditutup dengan kain biru. Gunungan gepak berbentuk seperti gunungan estri hanya saja permukaan atasnya datar. Gunungan dharat juga berbentuk seperti gunungan estri namun memiliki permukaan atas yang lebih tumpul. Kedua gunungan terakhir tidak ditempatkan dalam jodhang melainkan hanya dialasi kayu yang berbentuk lingkaran. Gunungan kutug/bromo memiliki bentuk khas karena secara terus menerus mengeluarkan asap (kutug) yang berasal dari kemenyan yang dibakar. Gunungan yang satu ini tidak diperebutkan oleh masyarakat melainkan dibawa kembali ke dalam keraton untuk di bagikan kepada kerabat kerajaan.
Pada Garebeg Sawal Sultan menyedekahkan 1-2 buah pareden kakung. Jika dua buah maka yang sebuah diperebutkan di Mesjid Gedhe dan sebuah sisanya diberikan kepada kerabat Puro Paku Alaman. Pada garebeg Besar Sultan mengeluarkan pareden kakung, estri, pawohan, gepak, dan dharat yang masing-masing berjumlah satu buah. Pada garebeg Mulud/Sekaten Sultan memberi sedekah pareden kakung, estri, pawohan, gepak, dan dharat yang masing-masing berjumlah satu buah. Bila garebeg Mulud diselenggarakan pada tahun Dal, maka ditambah dengan satu pareden kakung dan satu pareden kutug.[63]

 Upacara Garebeg pada masa kolonial Hindia Belanda (kurun 1925-1942).

Sekaten

Sekaten merupakan sebuah upacara kerajaan yang dilaksanakan selama tujuh hari. Konon asal usul upacara ini sejak kerajaan Demak. Upacara ini sebenarnya merupakan sebuah perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad. Menurut cerita rakyat kata Sekaten berasal dari istilah credo dalam agama Islam, Syahadatain. Sekaten dimulai dengan keluarnya dua perangkat Gamelan Sekati, KK Guntur Madu dan KK Nagawilaga, dari keraton untuk ditempatkan di Pagongan Selatan dan Utara di depan Mesjid Gedhe. Selama tujuh hari, mulai hari ke-6 sampai ke-11 bulan Mulud, kedua perangkat gamelan tersebut dimainkan/dibunyikan (jw: ditabuh) secara bergantian menandai perayaan sekaten.
Pada malam kedelapan Sultan atau wakil yang beliau tunjuk, melakukan upacara Udhik-Udhik, tradisi menyebar uang logam (koin). Setelah itu Sultan atau wakil beliau masuk ke Mesjid Gedhe untuk mendengarkan pengajian maulid nabi dan mendengarkan pembacaan riwayat hidup nabi. Akhirnya pada hari terakhir upacara ditutup dengan Garebeg Mulud. Selama sekaten Sego Gurih (sejenis nasi uduk) dan Endhog Abang (harfiah=telur merah) merupakan makanan khas yang banyak dijual. Selain itu terdapat pula sirih pinang dan bunga kantil (Michelia alba; famili Magnoliaceae). Saat ini selain upacara tradisi seperti itu juga diselenggarakan suatu pasar malam yang dimulai sebulan sebelum penyelenggaraan upacara sekaten yang sesungguhnya.[64]

Upacara Siraman/Jamasan Pusaka dan Labuhan

Dalam bulan pertama kalender Jawa, Suro, Keraton Yogyakarta memiliki upacara tradisi khas yaitu Upacara Siraman/Jamasan Pusaka dan Labuhan. Siraman/Jamasan Pusaka adalah upacara yang dilakukan dalam rangka membersihkan maupun merawat Pusaka Kerajaan (Royal Heirlooms) yang dimiliki. Upacara ini di selenggarakan di empat tempat. Lokasi pertama adalah di Kompleks Kedhaton (nDalem Ageng Prabayaksa dan bangsal Manis). Upacara di lokasi ini 'tertutup untuk umum dan hanya diikuti oleh keluarga kerajaan.
Lokasi kedua dan ketiga berturut turut di kompleks Roto Wijayan dan Alun-alun. Di Roto Wijayan yang dibersihkan/dirawat adalah kereta-kereta kuda. Kangjeng Nyai Jimat, kereta resmi kerajaan pada zaman Sultan HB I-IV, selalu dibersihkan setiap tahun. Kereta kuda lainnya dibersihkan secara bergilir untuk mendampingi (dalam setahun hanya satu kereta yang mendapat jatah giliran). Di Alun-alun dilakukan pemangkasan dan perapian ranting dan daun Waringin Sengker yang berada di tengah-tengah lapangan. Lokasi terakhir adalah di pemakaman raja-raja di Imogiri. Di tempat ini dibersihkan dua bejana yaitu Kyai Danumaya dan Danumurti. Di lokasi kedua, ketiga, dan keempat masyarakat umum dapat menyaksikan prosesi upacaranya.
Labuhan adalah upacara sedekah yang dilakukan setidaknya di dua tempat yaitu Pantai Parang Kusumo dan Lereng Gunung Merapi. Di kedua tempat itu benda-benda milik Sultan seperti nyamping (kain batik), rasukan (pakaian) dan sebagainya di-larung (harfiah=dihanyutkan). Upacara Labuhan di lereng Gunung Merapi (Kabupaten Sleman) dipimpin oleh Juru Kunci Gunung Merapi (sekarang Januari 2008 dijabat oleh Mas Ngabehi Suraksa Harga atau yang lebih dikenal dengan Mbah Marijan) sedangkan di Pantai Parang Kusumo Kabupaten Bantul dipimpin oleh Juru Kunci Cepuri Parang Kusumo. Benda-benda tersebut kemudian diperebutkan oleh masyarakat.[65] tertutup untuk umum dan hanya diikuti oleh keluarga kerajaan.
Lokasi kedua dan ketiga berturut turut di kompleks Roto Wijayan dan Alun-alun. Di Roto Wijayan yang dibersihkan/dirawat adalah kereta-kereta kuda. Kangjeng Nyai Jimat, kereta resmi kerajaan pada zaman Sultan HB I-IV, selalu dibersihkan setiap tahun. Kereta kuda lainnya dibersihkan secara bergilir untuk mendampingi (dalam setahun hanya satu kereta yang mendapat jatah giliran). Di Alun-alun dilakukan pemangkasan dan perapian ranting dan daun Waringin Sengker yang berada di tengah-tengah lapangan. Lokasi terakhir adalah di pemakaman raja-raja di Imogiri. Di tempat ini dibersihkan dua bejana yaitu Kyai Danumaya dan Danumurti. Di lokasi kedua, ketiga, dan keempat masyarakat umum dapat menyaksikan prosesi upacaranya.
Labuhan adalah upacara sedekah yang dilakukan setidaknya di dua tempat yaitu Pantai Parang Kusumo dan Lereng Gunung Merapi. Di kedua tempat itu benda-benda milik Sultan seperti nyamping (kain batik), rasukan (pakaian) dan sebagainya di-larung (harfiah=dihanyutkan). Upacara Labuhan di lereng Gunung Merapi (Kabupaten Sleman) dipimpin oleh Juru Kunci Gunung Merapi (sebagaimana pernah dijabat Mas Ngabehi Suraksa Harga atau lebih dikenal dengan nama Mbah Marijan) sedangkan di Pantai Parang Kusumo Kabupaten Bantul dipimpin oleh Juru Kunci Cepuri Parang Kusumo. Benda-benda tersebut kemudian diperebutkan oleh masyarakat.[66]

Pusaka kerajaan

Pusaka di Keraton Yogyakarta disebut sebagai Kagungan Dalem (harfiah=milik Raja) yang dianggap memiliki kekuatan magis atau peninggalan keramat yang diwarisi dari generasi-generasi awal. Kekuatan dan kekeramatan dari pusaka memiliki hubungan dengan asal usulnya, keadaan masa lalu dari pemilik sebelumnya atau dari perannya dalam kejadian bersejarah[56].
Dalam lingkungan Keraton, pusaka dapat dalam bentuk baik benda nyata ataupun pesan yang terdapat dalam sesuatu yang lebih abstrak seperti penampilan. Baik nilai sejarah spiritual dan fungsional berdekatan dengan Sultan dan kebijaksanaanya. Pusaka merupakan sebuah aspek budaya Keraton Yogyakarta. Sebagai sebuah lembaga yang terdiri dari Sultan dan keluarganya, termasuk keluarga besarnya yang disebut dengan trah, dan pejabat/pegawai kerajaan/istana, Keraton memiliki peraturan mengenai hak resmi atas orang yang akan mewarisi benda pusaka. Pusaka memiliki kedudukan yang kuat dan orang luar selain di atas tidak dapat dengan mudah mewarisinya. Keberadaaannya sebanding dengan Keraton itu sendiri[56].
Benda-benda pusaka keraton memiliki nama tertentu. Sebagai contoh adalah Kyai Permili, sebuah kereta kuda yang digunakan untuk mengangkut abdi-Dalem Manggung yang membawa Regalia. Selain nama pusaka tersebut mempunyai gelar dan kedudukan tertentu, tergantung jauh atau dekatnya hubungan dengan Sultan. Seluruh pusaka yang menjadi inventaris Sultan (Sultan’s property) dalam jabatannya diberi gelar Kyai (K) jika bersifat maskulin atau Nyai (Ny) jika bersifat feminin, misalnya K Danumaya sebuah guci tembikar, yang konon berasal dari Palembang, yang berada di Pemakaman Raja-raja di Imogiri.
Apabila pusaka tersebut sedang/pernah digunakan oleh Sultan, maupun dipinjamkan kepada orang tertentu karena jabatannya diberi tambahan gelar Kangjeng sehingga selengkapnya bergelar Kangjeng Kyai (KK) atau Kangjeng Nyai (KNy). Sebagai contoh adalah Kangjeng Nyai Jimat, sebuah kereta kuda yang dipergunakan oleh Sultan HB I - Sultan HB IV sebagai kendaraan resmi (sebanding dengan mobil dengan plat nomor polisi Indonesia 1 sebagai kendaran resmi Presiden Indonesia) dan merupakan kereta terkeramat dari Keraton Yogyakarta.[67]
Beberapa pusaka yang menempati kedudukan tertinggi dan dipercaya memiliki kekuatan paling magis mendapat tambahan gelar Ageng sehingga selengkapnya bergelar Kangjeng Kyai Ageng (KKA). Salah satu pusaka tersebut adalah KKA Pleret, sebuah tombak yang konon pernah digunakan oleh Panembahan Senopati untuk membunuh Arya Penangsang. Tombak ini kini menjadi pusaka terkeramat di keraton Yogyakarta dan mendapat kehormatan setara dengan kehormatan Sultan sendiri. Penghormatan terhadap KKA Pleret ini telah dimulai sejak Panembahan Senopati.
Wujud benda pusaka di Keraton Yogyakarta bermacam-macam. Benda-benda tersebut dapat dikelompokkan menjadi: (1) Senjata tajam; (2) Bendera dan Panji kebesaran; (3) Perlengkapan Kebesaran; (4) Alat-alat musik; (5) Alat-alat transportasi; (6) Manuskrip, babad (kronik) berbagai karya tulis lain; (7) Perlengkapan sehari-hari; dan (8) Lain-lain. Pusaka dalam bentuk senjata tajam dapat berupa tombak (KK Gadatapan dan KK Gadawedana, pendamping KKA Pleret); keris (KKA Kopek); Wedhung, (KK Pengarab-arab, untuk eksekusi mati narapidana dengan pemenggalan kepala) ataupun pedang (KK Mangunoneng, pedang yang digunakan untuk memenggal seorang pemberontak, Tumenggung Mangunoneng).
Pusaka dalam bentuk bendera/panji misalnya KK Pujo dan KK Puji. Pusaka yang digunakan sebagai perlengkapan kebesaran terdiri dari satu set regalia kerajaan yang disebut KK Upocoro dan satu set lambang kebesaran Sultan yang disebut KK Ampilan serta perlengkapan baju kebesaran (mahkota, sumping [hiasan telinga], baju kebesaran, akik [cicin dengan mata dari batu mulia] dan lain sebagainya). Pusaka dalam kelompok alat-alat musik dapat berupa set gamelan (misal KK Kancil Belik) maupun alat musik tersendiri (misal cymbal KK Udan Arum dan KK Tundhung Mungsuh).
Pusaka dalam golongan alat-alat transportasi dapat berupa kereta kuda maupun yang lain (misal tandu yang pernah digunakan oleh Sultan HB I, KK Tandu Lawak, dan pelana kuda yang disebut KK Cekathak). Benda pusaka dalam kelompok Manuskrip antara lain adalah KK Suryaraja (buku matahari raja-raja) yang dikarang oleh Sultan HB II semasa beliau masih menjadi putra mahkota, KK Alquran yang berupa manuskrip kitab suci Alquran, dan KK Bharatayudha yang berupa ceritera wayang.
Pusaka dalam bentuk perlengkapan sehari-hari misalnya Ny Mrico, sebuah periuk yang hanya digunakan untuk menanak nasi saat upacara Garebeg Mulud tahun Dal (terjadi hanya delapan tahun sekali). Pusaka kelompok lain-lain misalnya wayang kulit tokoh tertentu (misalnya KK Jayaningrum [tokoh Arjuna], KK Jimat [tokoh Yudhistira], dan KK Wahyu Kusumo [tokoh Batara Guru]) maupun tembikar (misalnya K Danumurti sebuah enceh/kong (guci tembikar), yang konon berasal dari Aceh, yang juga terdapat di pemakaman Imogiri) dan lain sebagainya.[68]

Regalia

Regalia merupakan pusaka yang menyimbolkan karakter Sultan Yogyakarta dalam memimpin negara berikut rakyatnya. Regalia yang dimiliki oleh terdiri dari berbagai benda yang memiliki makna tersendiri yang kesemuanya secara bersama-sama disebut KK Upocoro. Macam benda dan dan maknanya sebagai berikut:
  1. Banyak (berwujud angsa) menyimbolkan kelurusan, kejujuran, serta kesiap siagaan serta ketajaman;
  2. Dhalang (berwujud kijang) menyimbolkan kecerdasan dan ketangkasan;
  3. Sawung (berwujud ayam jantan) menyimbolkan kejantanan dan rasa tanggung jawab;
  4. Galing (berwujud burung merak jantan) menyimbolkan kemuliaan, keagungan, dan keindahan;
  5. Hardawalika (berwujud raja ular naga) menyimbolkan kekuatan;
  6. Kutuk (berwujud kotak uang) menyimbolkan kemurahan hati dan kedermawanan;
  7. Kacu Mas (berwujud tempat saputangan emas) menyimbolkan kesucian dan kemurnian;
  8. Kandhil (berwujud lentera minyak) menyimbolkan penerangan dan pencerahan; dan
  9. Cepuri (berwujud nampan sirih pinang), Wadhah Ses (berwujud kotak rokok), dan Kecohan (berwujud tempat meludah sirih pinang) menyimbolkan proses membuat keputusan/kebijakan negara.
KK Upocoro selalu ditempatkan di belakang Sultan saat upacara resmi kenegaraan (state ceremony) dilangsungkan. Pusaka ini dibawa oleh sekelompok gadis remaja yang disebut dengan abdi-Dalem Manggung.[56]

Lambang kebesaran

KK Ampilan sebenarnya merupakan satu set benda-benda penanda martabat Sultan. Benda-benda tersebut adalah Dampar Kencana (singgasana emas) berikut Pancadan/Amparan (tempat tumpuan kaki Sultan di muka singgasana) dan Dampar Cepuri (untuk meletakkan seperangkat sirih pinang di sebelah kanan singgasana Sultan); Panah (anak panah); Gendhewa (busur panah); Pedang; Tameng (perisai); Elar Badhak (kipas dari bulu merak); KK Alquran (manuskrip Kitab Suci tulisan tangan); Sajadah (karpet/tikar ibadah); Songsong (payung kebesaran); dan beberapa Tombak. KK Ampilan ini selalu berada di sekitar Sultan saat upacara resmi kerajaan (royal ceremony) diselenggarakan. Berbeda dengan KK Upocoro, pusaka KK Ampilan dibawa oleh sekelompok ibu-ibu/nenek-nenek yang sudah menopause.[56]

Gamelan

Gamelan merupakan seperangkat ansambel tradisional Jawa. Orkestra ini memiliki tangga nada pentatonis dalam sistem skala slendro dan sistem skala pelog. Keraton Yogyakarta memiliki sekitar 18-19 set ansambel gamelan pusaka, 16 diantaranya digunakan sedangkan sisanya (KK Bremara dan KK Panji) dalam kondisi yang kurang baik. Setiap gamelan memiliki nama kehormatan sebagaimana sepantasnya pusaka yang sakral. Tiga buah gamelan dari berasal dari zaman sebelum Perjanjian Giyanti dan lima belas sisanya berasal dari zaman Kesultanan Yogyakarta. Tiga gamelan tersebut adalah gamelan monggang yang bernama KK Guntur Laut, gamelan kodhok ngorek yang bernama KK Maeso Ganggang, dan gamelan sekati yang bernama KK Guntur Madu. Ketiganya merupakan gamelan terkeramat dan hanya dimainkan/dibunyikan pada even-even tertentu saja.
Gamelan monggang KK Guntur Laut konon berasal dari zaman Majapahit. Gamelan yang dapat dikatakan paling sakral di Keraton ini merupakan sebuah ansambel sederhana yang terdiri dari tiga buah nada dalam sistem skala slendro. Pada zamannya gamelan ini hanya dimainkan dalam upacara kenegaraan yang sangat penting yaitu upacara pelantikan/pemahkotaan Sultan, mengiringi keberangkatan Sultan dari istana untuk menghadiri upacara penting, perayaan maleman (upacara pada malam tanggal 21,23,25, dan 29 bulan Ramadan), pernikahan kerajaan, upacara garebeg, dan upacara pemakaman Sultan. Gamelan ini memiliki nilai sejarah penting. Atas perkenan Sunan PB III, KK Guntur laut dimainkan saat penyambutan Sri Sultan Hamengkubuwono I pada penandatanganan Perjanjian Giyanti pada tahun 1755.
KK Maeso Ganggang juga merupakan gamelan kuno yang konon juga berasal dari zaman Majapahit. Gamelan kodhok ngorek ini juga menggunakan sistem skala slendro. Gamelan ini didapatkan oleh Pangeran Mangkubumi dari Perjanjian Giyanti. Penggunaannya juga sangat sakral dan selalu dimainkan pada upacara kenegaraan seperti upacara pemahkotaan Sultan dan pernikahan kerajaan. Gamelan nomor dua di Keraton ini juga dimainkan dalam peringatan ulang tahun Sultan, upacara sunatan putra Sultan, dan untuk megiringi prosesi Gunungan ke Masjid Besar.
Gamelan sekati KK Guntur Madu dimainkan di Pagongan Kidul saat Upacara Sekaten, serta dalam upacara sunatan dan pernikahan Putra Mahkota. Konon gamelan ini berasal dari zaman Kesultanan Demak. Versi lain mengatakan alat musik ini buatan Sultan Agung saat memerintah kerajaan Mataram. Gamelan ini menjadi milik Kesultanan Yogyakarta setelah perjanjian Giyanti sementara pasangannya KK Guntur Sari menjadi milik Kesunanan Surakarta. Agar gamelan sekati ini tetap berjumlah sepasang maka dibuatlah duplikatnya (jw. dipun putrani) dan diberi nama KK Naga Wilaga yang dibunyikan di Pagongan Utara. Kekhususan gamelan ini adalah bentuknya yang lebih besar dari gamelan umumnya dan instrumen kendhang (gendang) yang mencerminkan Hinduisme digantikan oleh bedug kecil (dianggap mencerminkan Islam).
KK Guntur Sari dipergunakan untuk mengiringi Beksan Lawung, sebuah tarian sakral, pada upacara pernikahan putra Sultan. KK Surak diperdengarkan untuk mengiringi uyon-uyon (lagu-lagu tradisional Jawa), tari-tarian, dan wayang kulit. Gamelan-gamelan ada yang berpasangan secara khusus antara lain KK Harja Nagara (dalam skala slendro) dengan KK Harja Mulya (dalam skala pelog) dan KK Madu Murti (dalam skala slendro) dengan KK Madu Kusumo (dalam skala pelog).[56]

Kereta kuda pilihan

Pada zamannya kereta kuda merupakan alat transportasi penting bagi masyarakat tak terkecuali Keraton Yogyakarta. Keraton Yogyakarta memiliki bermacam kereta kuda mulai dari kereta untuk bersantai dalam acara non formal sampai kereta kebesaran yang digunakan secara resmi oleh raja. Kereta kebesaran tersebut sebanding dengan mobil berplat nopol Indonesia 1 atau Indonesia 2 (mobil resmi presiden dan wakil presiden Indonesia). Kebanyakan kereta kuda adalah buatan Eropa terutama Negeri Belanda walaupun ada beberapa yang dibuat di Roto Wijayan (misal KK Jetayu).
KNy Jimat merupakan kereta kebesaran Sultan HB I sampai dengan Sultan HB IV. Kereta kuda ini merupakan pemberian Gubernur Jenderal Jacob Mossel. KK Garudho Yakso merupakan kereta kebesaran Sultan HB VI sampai HB X (walaupun dalam kenyataannya Sultan HB IX dan HB X sudah menggunakan mobil). Kereta kuda buatan Den Haag tahun 1861 ini terakhir kali digunakan pada tahun 1989, saat prosesi Kirab Jumenengan Dalem (perarakan pemahkotaan raja). KK Wimono Putro adalah kereta yang digunakan oleh Pangeran Adipati Anom (Putra Mahkota). KK Jetayu merupakan kendaraan yang digunakan Sultan untuk menghadiri acara semi resmi. KK Roto Praloyo merupakan kereta jenazah yang hanya digunakan untuk membawa jenazah Sultan. Konon kereta ini baru digunakan dua kali yaitu pada saat pemakaman Sultan HB VIII dan HB IX.
K Harsunaba adalah kendaraan yang digunakan dalam resepsi pernikahan, sementara K Jongwiyat, K Manik Retno, K Jaladara dan K Mondro Juwolo kadang-kadang digunakan oleh Pangeran Diponegoro. Selain itu juga terdapat kereta, K Noto Puro, K Roto Biru, K Kutho Kaharjo, K Puspo Manik, Rejo Pawoko, Landower, Landower Surabaya, Landower Wisman, Kus Gading, Kus nomor 10, dan lain-lain. Masing-masing kereta tersebut memiliki kegunaan sendiri-sendiri.[56]

Tanda jabatan

Beberapa pusaka, khususnya keris, juga digunakan sebagai penanda/simbol jabatan orang yang memakainya. Sebagai contoh adalah keris KKA Kopek. Keris utama Keraton Yogyakarta ini merupakan keris yang hanya diperkenankan untuk dipakai Sultan yang sedang bertahta yang melambangkan martabatnyanya sebagai pemimpin spiritual sebagaimana beliau menjadi kepala kerajaan. oleh Sultan sendiri. Keris KK Joko Piturun merupakan keris yang dipinjamkan oleh Sultan kepada Pangeran Adipati Anom, Putra Mahkota Kerajaan, sebagai tanda jabatannya. Keris KK Toyatinaban merupakan keris yang dipinjamkan oleh Sultan kepada Gusti Pangeran Harya Hangabehi, putra tertua Sultan, sebagai lambang kedudukannya selaku Kepala Parentah Hageng Karaton (Lembaga Istana). Keris KK Purboniyat merupakan keris yang dipinjamkan oleh Sultan kepada Kangjeng Pangeran (h)Adipati (h)Aryo Danurejo, sebagai simbol jabatannya sebagai Pepatih Dalem.[56]

(Bersambung)

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright @ 2013 PEJUANG ISLAM.