Kamis, 23 Januari 2014

Filled Under:

Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat 5

Pemangku adat Yogyakarta

Pada mulanya Keraton Yogyakarta merupakan sebuah Lembaga Istana Kerajaan (The Imperial House) dari Kesultanan Yogyakarta. Secara tradisi lembaga ini disebut Parentah Lebet (harfiah=Pemerintahan Dalam) yang berpusat di Istana (keraton) dan bertugas mengurus Sultan dan Kerabat Kerajaan (Royal Family). Dalam penyelenggaraan pemerintahan Kesultanan Yogyakarta disamping lembaga Parentah Lebet terdapat Parentah nJawi/Parentah Nagari (harfiah=Pemerintahan Luar/Pemerintahan Negara) yang berpusat di nDalem Kepatihan dan bertugas mengurus seluruh negara.
Sekitar setahun setelah Kesultanan Yogyakarta (khususnya Parentah nJawi) bersama-sama Kadipaten Paku Alaman diubah statusnya dari negara (state) menjadi Daerah Istimewa setingkat Provinsi secara resmi pada 1950, Keraton mulai dipisahkan dari Pemerintahan Daerah Istimewa dan di-depolitisasi sehingga hanya menjadi sebuah Lembaga Pemangku Adat Jawa khususnya garis/gaya Yogyakarta. Fungsi Keraton berubah menjadi pelindung dan penjaga identitas budaya Jawa khususnya gaya Yogyakarta.
Walaupun dengan fungsi yang terbatas pada sektor informal namun keraton Yogyakarta tetap memiliki kharisma tersendiri di lingkungan masyarakat Jawa khususnya di Prov. D.I. Yogyakarta. Selain itu keraton Yogyakarta juga memberikan gelar kebangsawanan kehormatan (honoriscausa) pada mereka yang mempunyai perhatian kepada budaya Jawa khususnya Yogyakarta disamping mereka yang berhak karena hubungan darah maupun karena posisi mereka sebagai pegawai (abdi-Dalem) keraton.
Namun demikian ada perbedaan antara Keraton Yogyakarta dengan Keraton/Istana kerajaan-kerajaan Nusantara yang lain. Sultan Yogyakarta selain sebagai Yang Dipertuan Pemangku Tahta Adat /Kepala Keraton juga memiliki kedudukan yang khusus dalam bidang pemerintahan sebagai bentuk keistimewaan daerah Yogyakarta. Dari permulaan DIY berdiri (de facto 1946 dan de yure 1950) sampai tahun 1988 Sultan Yogyakarta secara otomatis diangkat sebagai Gubernur/Kepala Daerah Istimewa yang tidak terikat dengan ketentuan masa jabatan, syarat, dan cara pengangkatan Gubernur/Kepala Daerah lainnya (UU 22/1948; UU 1/1957; Pen Pres 6/1959; UU 18/1965; UU 5/1974). Antara 1988-1998 Gubernur/Kepala Daerah Istimewa dijabat oleh Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa yang juga Penguasa Paku Alaman. Setelah 1999 keturunan Sultan Yogyakarta tersebut yang memenuhi syarat mendapat prioritas untuk diangkat menjadi Gubernur/Kepala Daerah Istimewa (UU 22/1999; UU 32/2004). Saat ini yang menjadi Yang Dipertuan Pemangku Tahta adalah Sultan Hamengku Buwono X

Upacara Jumenengan atau naik takhta Sultan Hamengkubuwono X, tampak melintas di depan Pagelaran didamping Gusti Kanjeng Ratu Hemas, 7 Maret 1989.

Para Abdi Dalem di depan Gedhong Kaca, Museum Hamengku Buwono IX Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat

Filosofi dan mitologi seputar Keraton

Keraton Yogyakarta atau dalam bahasa aslinya Karaton Kasultanan Ngayogyakarta merupakan tempat tinggal resmi para Sultan yang bertahta di Kesultanan Yogyakarta. Karaton artinya tempat dimana "Ratu" (bahasa Jawa yang dalam bahasa Indonesia berarti Raja) bersemayam. Dalam kata lain Keraton/Karaton (bentuk singkat dari Ke-ratu-an/Ka-ratu-an) merupakan tempat kediaman resmi/Istana para Raja. Artinya yang sama juga ditunjukkan dengan kata Kedaton. Kata Kedaton (bentuk singkat dari Ke-datu-an/Ka-datu-an) berasal dari kata "Datu" yang dalam bahasa Indonesia berarti Raja. Dalam pembelajaran tentang budaya Jawa, arti ini mempunyai arti filosofis yang sangat dalam[69].
Keraton Yogyakarta tidak didirikan begitu saja. Banyak arti dan makna filosofis yang terdapat di seputar dan sekitar keraton. Selain itu istana Sultan Yogyakarta ini juga diselubungi oleh mitos dan mistik yang begitu kental. Filosofi dan mitologi tersebut tidak dapat dipisahkan dan merupakan dua sisi dari sebuah mata uang yang bernama keraton. Penataan tata ruang keraton, termasuk pula pola dasar landscape kota tua Yogyakarta, nama-nama yang dipergunakan, bentuk arsitektur dan arah hadap bangunan, benda-benda tertentu dan lain sebagainya masing-masing memiliki nilai filosofi dan/atau mitologinya sendiri-sendiri.
Tata ruang dasar kota tua Yogyakarta berporoskan garis lurus Tugu, Keraton, dan Panggung Krapyak serta diapit oleh S. Winongo di sisi barat dan S. Code di sisi timur. Jalan P. Mangkubumi (dulu Margotomo), jalan Malioboro (dulu Maliyoboro), dan jalan Jend. A. Yani (dulu Margomulyo) merupakan sebuah boulevard lurus dari Tugu menuju Keraton. Jalan D.I. Panjaitan (dulu Ngadinegaran [?])merupakan sebuah jalan yang lurus keluar dari Keraton melalui Plengkung Nirboyo menuju Panggung Krapyak. Pengamatan citra satelit memperlihatkan Tugu, Keraton, dan Panggung Krapyak berikut jalan yang menghubungkannya tersebut hampir segaris (hanya meleset beberapa derajat). Tata ruang tersebut mengandung makna "sangkan paraning dumadi" yaitu asal mula manusia dan tujuan asasi terakhirnya[70].
Dari Panggung Krapyak menuju ke Keraton (Kompleks Kedaton) menunjukkan "sangkan" asal mula penciptaan manusia sampai manusia tersebut dewasa. Ini dapat dilihat dari kampung di sekitar Panggung Krapyak yang diberi nama kampung Mijen (berasal dari kata "wiji" yang berarti benih). Di sepanjang jalan D.I. Panjaitan ditanami pohon asam (Tamarindus indica [?]) dan tanjung (Mimusops elengi [?]) yang melambangkan masa anak-anak menuju remaja. Dari Tugu menuju ke Keraton (Kompleks Kedaton) menunjukkan "paran" tujuan akhir manusia yaitu menghadap penciptanya. Tujuh gerbang dari Gladhag sampai Donopratopo melambangkan tujuh langkah/gerbang menuju surga (seven step to heaven)[57].
Tugu golong gilig (tugu Yogyakarta) yang menjadi batas utara kota tua menjadi simbol "manunggaling kawulo gusti" bersatunya antara raja (golong) dan rakyat (gilig). Simbol ini juga dapat dilihat dari segi mistis yaitu persatuan antara khalik (Sang Pencipta) dan makhluk (ciptaan). Sri Manganti berarti Raja sedang menanti atau menanti sang Raja.
Pintu Gerbang Donopratopo berarti "seseorang yang baik selalu memberikan kepada orang lain dengan sukarela dan mampu menghilangkan hawa nafsu". Dua patung raksasa Dwarapala yang terdapat di samping gerbang, yang satu, Balabuta, menggambarkan kejahatan dan yang lain, Cinkarabala, menggambarkan kebaikan. Hal ini berarti "Anda harus dapat membedakan, mana yang baik dan mana yang jahat".
Beberapa pohon yang ada di halaman kompleks keraton juga mengandung makna tertentu. Pohon beringin (Ficus benjamina; famili Moraceae) di Alun-alun utara berjumlah 64 (atau 63) yang melambangkan usia Nabi Muhammad. Dua pohon beringin di tengah Alun-alun Utara menjadi lambang makrokosmos (K. Dewodaru, dewo=Tuhan) dan mikrokosmos (K. Janadaru, jana=manusia). Selain itu ada yang mengartikan Dewodaru adalah persatuan antara Sultan dan Pencipta sedangkan Janadaru adalah lambang persatuan Sultan dengan rakyatnya. Pohon gayam (Inocarpus edulis/Inocarpus fagiferus; famili Papilionaceae)bermakna "ayem" (damai,tenang,bahagia) maupun "gayuh" (cita-cita). Pohon sawo kecik (Manilkara kauki; famili Sapotaceae) bermakna "sarwo becik" (keadaan serba baik, penuh kebaikan)[71].
Dalam upacara garebeg, sebagian masyarakat mempercayai apabila mereka mendapatkan bagian dari gunungan yang diperebutkan mereka akan mendapat tuah tertentu seperti kesuburan tanah dan panen melimpah bagi para petani. Selain itu saat upacara sekaten sebagian masyarakat mempercayai jika mengunyah sirih pinang saat gamelan sekati dimainkan/dibunyikan akan mendapat tuah awet muda. Air sisa yang digunakan untuk membersihkan pusaka pun juga dipercaya sebagian masyarakat memiliki tuah. Mereka rela berdesak-desakan sekadar untuk memperoleh air keramat tersebut.
Benda-benda pusaka keraton juga dipercaya memiliki daya magis untuk menolak bala/kejahatan. Konon bendera KK Tunggul Wulung, sebuah bendera yang konon berasal dari kain penutup kabah di Makkah (kiswah), dipercaya dapat menghilangkan wabah penyakit yang pernah menjangkiti masyarakat Yogyakarta. Bendera tersebut dibawa dalam suatu perarakan mengelilingi benteng baluwerti. Konon peristiwa terakhir terjadi pada tahun 1947 (?). Dipercayai pula oleh sebagian masyarakat bahwa Kyai Jegot, roh penunggu hutan Beringan tempat keraton Yogyakarta didirikan, berdiam di salah satu tiang utama di nDalem Ageng Prabayaksa. Roh ini dipercaya menjaga ketentraman kerajaan dari gangguan.

Catatan kaki

  1. ^ Witton, P.; Elliott, M. (2003). Indonesia (ed. 7th). Footscray: Lonely Planet Publications. hlm. hlm. 217. ISBN 1740591542. (lihat di Penelusuran Buku Google)
  2. ^ Pesanggrahan bermakna 'istana kecil' atau 'vila'
  3. ^ Sultan Hamengku Buwono I pindah dari Pesanggrahan Ambar Ketawang ke Keraton Yogyakarta pada 7 Oktober 1756. Tanggal ini kemudian dijadikan tanggal berdirinya Kota Yogyakarta.
  4. ^ Murdani Hadiatmadja. Tulisan ini selain menggunakan bahan referensi yang diterbitkan juga menggunakan cerita-cerita rakyat yang berkembang di tengah masyarakat.
  5. ^ Penamaan kompleks/bagian dari Keraton Yogyakarta, begitu pula dengan bangunan maupun lain-lain yang terkait, sengaja menggunakan bahasa Jawa. Hal ini dikarenakan nama-nama tersebut merupakan suatu kesatuan makna. Untuk terjemahan dalam bahasa Indonesia, apabila ada/memungkinkan, akan diberikan di dalam tanda kurung (…). Terjemahan hanya dilakukan sekali saat bagian, gedung, atau yang lain disebutkan untuk pertama kalinya. Untuk seterusnya tidak diberikan keterangan mengingat keterbatasan tempat.
  6. ^ a b c Tulisan awal
  7. ^ Kota ini memiliki batas utara Tugu Yogyakarta, timur Sungai Code, selatan Panggung Krapyak, dan barat Sungai Winongo.
  8. ^ Plengkung bermakna gerbang lengkung (arched gate).
  9. ^ Chamamah Soeratno et. al. (Buku dari Chamamah Soeratno et. al. banyak berisi ilustrasi terutama foto yang sangat membantu dalam hal arsitektur dan kadang foto-foto tersebut menjelaskan lebih banyak detail arsitektur dibandingkan dengan teks yang ada. Banyak keterangan dari foto-foto tersebut yang digunakan dan diuraikan di sini).
  10. ^ Murdani Hadiatmadja. Murdani hanya menyebutkan bagian utama dari Keraton Yogyakarta mulai dari Siti Hinggil Ler sampai Siti Hinggil Kidul. Untuk arsitektur dan tata ruang, termasuk detailnya, buku dari Murdani dan Chamamah banyak digunakan.
  11. ^ Dalam bahasa jawa regol dapat dimaknai sebagai pintu yang besar/gerbang.
  12. ^ Semar Tinandu merupakan gerbang yang memiliki atap trapesium, seperti joglo, tanpa tiang dan hanya ditopang oleh dinding yang menjadi pemisah satu kompleks dengan kompleks berikutnya.
  13. ^ misal pada Bangsal Witono dan Bangsal Kencono
  14. ^ Pada bagian ini buku Chamamah Soeratno et. al. digunakan di sebagian besar tulisan. Deskripsi berasal dari teks maupun dari foto-foto yang ada. Selain itu juga digunakan buku Murdani Hadiatmadja.
  15. ^ Pangurakan berasal dari kata “urak” dapat dimaknai daftar jaga atau pengusiran.
  16. ^ Chamamah Soeratno et. al. begitu pula dengan Murdani Hadiatmadja.
  17. ^ a b Murdani Hadiatmadja.
  18. ^ a b c d Pocung episode Wewangunan Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat (Media).
  19. ^ a b c On location Desember 2007
  20. ^ Aslinya Alun-alun ditutupi dengan pasir dari pantai selatan (Pocung episode Wewangunan Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat [Media])
  21. ^ Gambaran dinding pagar di sekeliling alun-alun yang relatif masih seperti aslinya dapat dilihat di Alun-alun Kidul, dimana dinding yang mengelilingi masih dapat disaksikan lebih utuh (On location Desember 2007)
  22. ^ Versi lain bernama Kyai Dewadaru dan Kyai Jayadaru/Wijayadaru.
  23. ^ Pepatih Dalem adalah pegawai kerajaan tertinggi yang diangkat oleh Sultan untuk mengelola kerajaan.
  24. ^ Tapa Pepe bermakna menjemur diri. Tapa Pepe dapat dilihat sebagai sebuah cermin nilai-nilai demokrasi yang dibungkus oleh kearifan lokal dalam bentuk demonstrasi secara tertib, tidak anarkis, dan tunduk pada aturan main yang telah ditetapkan. Peristiwa terakhir konon terjadi pada zaman Sultan Hamengkubuwono VIII ketika rakyat tidak sanggup untuk membayar pajak yang ditetapkan oleh Pepatih Dalem bersama Gubernur Belanda di Yogyakarta.
  25. ^ Pisowanan ageng bermakna pertemuan besar. Dalam kegiatan ini rakyat dan pejabat menghadap/menemui Sultan sebagai tanda kesetiaan mereka kepada Sultan dan Kesultanan.
  26. ^ Jejak Boto secara harfiah bermakna menendang batu bata.
  27. ^ semacam Menteri Agama/Imam Agung/Mufti Kerajaan.
  28. ^ Dahulu Tratag Pagelaran merupakan kanopi dari anyaman bambu. Sultan HB VIII membuatnya menjadi sebuah bangsal yang besar pada 1934.
  29. ^ Nama/jenis kelompok pegawai Kesultanan Yogyakarta
  30. ^ Sebagian besar bagian ini merujuk pada Murdani Hadiatmadja dan Bangunan Keraton Kasultanan Yogyakarta (Pranala luar)
  31. ^ abdi-Dalem Mertolulut dan abdi-Dalem Singonegoro adalah kelompok pegawai kerajaan yang bertugas sebagai algojo/eksekutor putusan hakim pengadilan kerajaan.
  32. ^ Dahulu Tratag Siti Hinggil merupakan kanopi dari anyaman bambu. Sultan HB VIII membuatnya menjadi sebuah bangsal yang megah pada 1926.
  33. ^ Kedua bangsal ini direnovasi oleh Sultan HB VIII pada 1925.
  34. ^ KK singkatan dari Kangjeng Kyai, suatu derajat gelar bagi pusaka kerajaan. Untuk lebih jelasnya silakan lihat bagian pusaka kerajaan dibagian lain halaman ini.
  35. ^ Murdani Hadiatmadja, Chamamah et. al., Pocung episode Wewangunan Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat (Media), dan on location.
  36. ^ a b Murdani Hadiatmadja, Chamamah Soeratno et. al., Pocung episode Wewangunan Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat
  37. ^ Praja Cihna adalah Lambang Kesultanan Yogyakarta. Di bagian atas terdapat Songkok, mahkota Sultan, menggambarkan bentuk Monarki. Di bawah songkok sebelah kanan dan kiri terdapat Sumping, hiasan telinga, yang menggambarkan sifat waspada dan bijaksana. Di sebelah bawahnya terdapat sepasang sayap mengapit tulisan Ha Ba, singkatan dari Hamengku Buwono yaitu dinasti yang memerintah, dalam aksara Jawa.
  38. ^ Kraton Kilen bermakna Istana Barat
  39. ^ Suro adalah bulan pertama dalam kalender Jawa
  40. ^ Bangunan yang digunakan sebagai tempat menunggu para penari untuk pentas di bangsal Kencana
  41. ^ Bangunan yang digunakan sebagai tempat abdi-Dalem Musikan memainkan ansambel musik diatonis, misalnya Wilhelmus van Nassau, lagu kebangsaan Kerajaan Belanda
  42. ^ Bangunan yang digunakan sebagai tempat mempersiapkan minuman teh
  43. ^ Bangunan yang digunakan sebagai kantor Bendahara
  44. ^ Bangunan yang digunakan sebagai tempat menyimpan lampu/lentera
  45. ^ Bangunan yang digunakan sebagai tempat menyimpan peralatan makan dan minum
  46. ^ Bangunan yang digunakan sebagai tempat memainkan orkestra gamelan, misalnya Gendhing Monggang, suatu hymne khusus bagi Sultan
  47. ^ Mesjid Keputren
  48. ^ Tahun 1682 dalam perhitungan Kalender Jawa atau tahun 1756 menurut Kalender Gregorian
  49. ^ Murdani Hadiatmadja, Chamamah Soeratno et. al.
  50. ^ Murdani Hadiatmadja dan Pocung episode Wewangunan Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat
  51. ^ Murdani Hadiatmadja
  52. ^ Murdani Hadiatmadja dan on location.
  53. ^ Pocung episode Wewangunan Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat (Media) (?).
  54. ^ a b c On location
  55. ^ Cerita rakyat
  56. ^ a b c d e f g h i Chamamah Soeratno et. al.
  57. ^ a b Pocung episode Wewangunan Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat (Media)
  58. ^ On location dan Murdani Hadiatmadja
  59. ^ Chamamah Soeratno et. al. dan sebagian kecil dari on location
  60. ^ Pathok Negoro bermakna tapal batas Nagari Ngayogyakarta, sebutan Ibukota Kesultanan Yogyakarta
  61. ^ Sebagian besar bagian ini diambil dari pranala luar: Gunungan Ciri Khas Upacara Garebeg
  62. ^ Pawohan berasal dari kata “uwoh” yang berarti buah.
  63. ^ Sebagian besar bagian ini diambil dari pranala luar: Gunungan Ciri Khas Upacara Garebeg, cerita rakyat, dan on location
  64. ^ Cerita rakyat dan on location
  65. ^ Sebagian besar artikel ini diambil dari Pocung episode Wewangunan Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat (Media).
  66. ^ Sebagian besar artikel ini diambil dari Pocung episode Wewangunan Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat (Media).
  67. ^ Keterangan derajat kehormatan dan kepemilikan pusaka dalam paragraf ini dan dua paragraf berikutnya diterangkan sendiri oleh Sultan HB X dalam acara Jemparing yang ditayangkan oleh TVRI Stasiun Yogyakarta. Contoh dan keterangan lanjut dikembangkan penyusun/editor dengan analogi nama masing-masing pusaka dan kegunaannya
  68. ^ Macam/jenis pusaka pada paragraf ini dan tiga paragraf berikutnya sebagian besar diambil dari Chamamah Soeratno et. al.. Contoh detail dari masing-masing pusaka yang tidak diberikan dalam Chamamah Soeratno et. al. dikembangkan sendiri oleh penyusun/editor berdasarkan cerita rakyat yang berkembang.
  69. ^ Sebagian diambil dari Murdani Hadiatmaja.
  70. ^ Sebagian diambil dari Pocung episode Wewangunan Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat (Media)
  71. ^ Murdani Hadiatmaja



Sumber

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright @ 2013 PEJUANG ISLAM.