Kamis, 23 Januari 2014

Filled Under:

(Kesultanan Yogyakarta) Perjanjian Politik 1940 (1)

Perjanjian Politik Kesultanan Yogyakarta dengan Hindia Belanda tertanggal 18 Maret 1940 merupakan perjanjian politik terakhir yang dilakukan oleh Kesultanan Yogyakarta dengan Pemerintah Hindia Belanda dan ditempatkan dalam Staatsblad 1941, No. 47. Perjanjian ini juga "diakui" dan digunakan oleh Pemerintah Indonesia sebagai bahan pertimbangan - walau tidak tertulis - dalam menetapkan daerah Kesultanan Yogyakarta (dan juga daerah Paku Alaman) menjadi Daerah Istimewa Setingkat Provinsi pada tahun 1950. Selain itu jabatan Sultan HB IX sebagai Kepala Daerah Istimewa sampai beliau wafat di tahun 1988 juga tidak terlepas dari perjanjian ini - selain dari piagam penetapan yang dikeluarkan Presiden Ir. Soekarno pada 1945.
Naskah ini diambil dari terjemahan surat perjanjian yang terdapat dalam buku "Tahta Untuk Rakyat: celah-celah kehidupan sultan hamengku buwono ix" (Atmakusumah, 1982), dengan perubahan seperlunya. Naskah Perjanjian Politik ini aslinya dibuat dalam bahasa Belanda dan bahasa Jawa dengan huruf Jawa.

Indonesia

SURAT PERJANJIAN
Antara Pemerintah Hindia Belanda dan Kesultanan Yogyakarta tertanggal 18 Maret 1940

Kami yang bertanda tangan dibawah ini,
Dr. Lucien Adam, Gubernur Yogyakarta, dalam hal ini mewakili Gubernur Jenderal Hindia Belanda
dan
Hamengku Buwono Senopati Ingalaga Abdurrakhman Sayidin Panatagama Kalifatullah IX, Sultan Yogyakarta, dalam hal ini bertindak baik untuk diri sendiri maupun untuk dan atas nama Kesultanan Yogyakarta, selanjutnya disebut Kesultanan;
Menimbang bahwa, untuk mencegah keragu-raguan dan untuk memperlancar pembangunan Kesultanan, perlu ditetapkan beberapa pengaturan lebih lanjut;
Menyatakan telah mencapai kata sepakat sebagaimana kami sepakati sebagai berikut:
TENTANG KESULTANAN
Pasal 1
  1. Kesultanan merupakan bagian dari wilayah Hindia Belanda dan karenanya berada di bawah kedaulatan Baginda Ratu Belanda yang diwakili oleh Gubernur Jenderal.
  2. Kekuasaan atas Kesultanan Yogyakarta diselenggarakan oleh seorang Sultan yang diangkat oleh Gubernur Jenderal.
Pasal 2
Kesultanan merupakan sebuah badan hukum yang diwakuli oleh Sultan, oleh Pepatih Dalem (Rijkbestruurder [pejabat yang mengurus/mengelola kerajaan-red]), atau oleh yang ditunjuk olehnya.
Pasal 3
  1. Kesultanan meliputi wilayah yang batas-batasnya telah diketahui oleh kedua belah pihak yang menandatangani Surat Perjanjian ini.
  2. Kesultanan tidak meliputi daerah laut.
  3. Dalam hal timbul perselisihan tentang batas-batas wilayah, maka keputusan berada di tangan Gubernur Jenderal.
Pasal 4
Yang dapat diangkat menjadi Sultan hanyalah, kecuali jika oleh Gubernur Jenderal dinilai tidak memenuhi syarat-syarat kecakapan, putra-putra laki-laki dari Yang Mulia Sultan Hamengku Buwono VIII, dengan pengertian bahwa, mengenai pengangkatan ini, para putra laki-laki dari Sultan yang terakhir berkuasa selalu mempunyai hak prioritas di atas putra-putra laki-laki Yang Mulia Sultan Hamengku Buwono VIII lainnya dan bahwa pada tingkatan yang sama, putra laki-laki dari permaisuri (garwa padmi) harus di dahulukan terhadap putra laki-laki selir (garwa ampeyan).
Pasal 5
  1. Selama, sesudah kosongnya kedudukan Sultan, belum diangkat seorang penganti dalam kedudukan ini, begitu pula dalam hal tiadanya atau berhalangannya Sultan, maka wewenangnya dengan persetujuan Gubernur Jenderal dijalankan: (a). oleh Pepatih Dalem, sejauh mengenai pemerintahan kerajaan; (b). oleh Pangeran Adipati Anom, atau jika ia berhalangan, oleh satu panitia yang ditunjuk oleh Gubernur Yogyakarta, sedapat mungkin dengan persetujuan Sultan, yang terdiri dari sekurang-kurangnya tiga anggota dari antara mereka yang dimaksud dalam pasal empat, sejauh mengenai kekuasaan dalam keraton.
  2. Gubernur Jenderal berwenang, sejauh dan selama dipandangnya perlu, mengatur secara lain hal-hal yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini dalam hal pelaksanaan kekuasaan Sultan.
  3. Apabila perlu maka Gubernur Jenderal dapat memutuskan bahwa Sultan berhalangan untuk menjalankan wewenangnya.
Pasal 6
  1. Sultan akan dipertahankan dalam kedudukannya selama ia patuh dan tetap menjalankan kewajiban-kewajibannya yang diakibatkan oleh perjanjian ini ataupun yang akan ditandatangani kemudian berikut perubahan-perubahannya ataupun penambahan-penambahannya, dan ia bertindak sebagaimana layaknya seorang Sultan.
  2. Apabila Sultan, menurut pendapat Gubernur Jenderal, tidak mampu lagi menjalankan kekuasaannya karena cacat badaniah atau rohaniah, maka Gubernur Jenderal dapat, bilamana mungkin setelah mendengar pendapat ahli-ahli kedokteran, membebaskan Sultan dari kedudukannya.

TENTANG KEDUDUKAN PANGERAN ADIPATI ANOM
Pasal 7
Seorang dari keturunan seperti yang dimaksud dalam pasal empat dapat, dengan memperhatikan ketentuan yang ditetapkan dalampsal itu mengenai hak prioritas, diangkat menjadi Pangeran Adipati Anom [Putra Mahkota-red].

TENTANG PENGHASILAN SULTAN
Pasal 8
  1. Sultan berhak, sepanjang keuangan Kesultanan memungkinkan, menikmati penghasilan atas beban Perbendaharaan Kesultanan, suatu penghasilan setinggi-tingginya f 1000.000,- (satu juta gulden) setahun. Jumlah ini dapat ditambah dengan sebanyak-banyaknya f 60.000,-(enam puluh ribu gulden) bilamana ada seorang Pangeran Adipati Anom.
  2. Dari penghasilan ini, Sultan harus membiayai pengeluaran-pengeluaran untuk keperluan seluruh Keraton, termasuk para pejabat kerajaan dan pegawai mereka, dan harus pula dibiayai gaji atau tunjangan kepada para kerabat serta kaum yang, berdasarkan adat sejauh mungkin masih dipertahankan dengan mengingat pengaruh dan perubahan jaman serta pertimbangan-pertimbangan Sultan, berhak atas itu.
  3. Sepanjang pengeluaran-pengeluaran untuk para pejabat kerajaan berikut pegawai mereka tidak sepenuhnya dapat ditutup oleh keuangan Sultan, maka atas anggaran Kesultanan dapat, bilamana dan sejauh dimungkinkan, sampai dengan selambat-lambatnya tahun 1960, dibebankan suatu jumlah untuk mencukupi penghasilan Sultan, jumlah mana tidak boleh melebihi sekedar seperlunya saja dan pada awalnya tidak boleh melebihi jumlah f 120.000,-(seratus dua puluh ribu gulden), di mana jumlah ini berangsur-angsur harus dikurangi sesuai dengan pengurangan berikut penghematan dalam bentuk lain atas jumlah pejabat kerajaan beserta pegawai mereka, dan setiap tahun ditetapkan dengan persetujuan Gubernur Yogyakarta berdasarkan anggaran yang terperinci mengenai kebutuhan-kebutuhan pengeluaran bagi para pejabat kerajaan serta pegawai mereka.
  4. Selain itu maka sampai dengan tahun 1954 Sultan berhak menikmati atas beban Perbendaharaan Kesultanan, suatu tunjangan pribadi sebesar, sampai tahun 1944, f 110.000,-(seratus sepuluh ribu gulden) setahun, yang dalam tahun 1945 dikurangi dengan f 60.000,-(enam puluh ribu gulden) dan selanjutnya setiap tahun dikurangi lagi dengan f 5.000,-(lima ribu gulden).
Pasal 9
  1. Dengan mengingat ketentuan yang dimaksud dalam ayat tiga pasal di muka ini, maka Sultan harus berangsur-angsur mengurangi jumlah anggota dan punggawa Keratonnya dan tidak pula mengisi jabatan-jabatan atau pelayanan-pelayanan di dalam Keraton yang tidak diperlukan lagi.
  2. Selama jumlah pangeran --- tidak termasuk diantaranya Pangeran Adipati Anom serta Pepatih Dalem bilamana berkedudukan sebagai pangeran atau diangkat sebagai pangeran --- melebihi sepuluh orang, maka untuk tiap-tiap dua orang pangeran yang meninggal atau yang diturunkan dari kedudukannya, Sultan hanya diperkenankan mengangkat satu orang pangeran baru.

TENTANG PERLENGKAPAN KEBESARAN KERAJAAN dan GEDUNG-GEDUNG KERATON SERTA BANGUNAN-BANGUNAN LAIN
Pasal 10
  1. Harta kekayaan Kesultanan meliputi antara lain: (a). perlengkapan kebesaran kerajaan (rijkssieraden); (b). gedung-gedung serta bangunan-bangunan Keraton, termasuk istana-istana peristirahatan --- kecuali istana peristirahatan di Kaliurang ---, satu dan lain berikut inventaris yang termasuk pada gedung-gedung serta istana-ostana peristirahatan itu sejauh pengunaannya mempunyai sangkut paut dengan pelaksanaan kebesaran Sultan; (c). rumah-rumah dinas yang ditempati Pepatih Dalem, Bupati Patih Kahadipaten dan Bupati Patih Kepatihan; (d). semua gedung dan bangunan lain yang bukan milik Negara atau pihak ketiga, sejauh penggunaannya adalah untuk keperluan umum.
  2. Perlengkapan kebesaran Keraton berada di bawah wewenang Sultan.
Pasal 11
Untuk keperluan perawatan dan perbaikan gedung-gedung serta bangunan-bangunan Keraton dan istana-istana peristirahatan berikut inventarisnya seperti termaksud dalam pasal 10 ayat (1) di bawah huruf b, maka setiap tahun dapat dibebankan kepada Kesultanan sejumlah tidak lebih dari f 35.000,-(tiga pulih lima ribu gulden). Perawatan dan perbaikan ini harus dilakukan di bawah pimpinan dan pengawasan Kepala Dinas Teknik Kesultanan.

TENTANG BENDERA
Pasal 12
  1. Bendera Kesultanan, Sultan dan penduduk Kesultanan adalah bendera Negeri Belanda.
  2. Pengibaran bendera Kesultanan ataupun bendera atau panji-panji lain pengenal kebesaran Sultan di samping bendera Belanda tunduk di bawah ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh atau atas nama Gubernur Jenderal.

TENTANG PEPATIH DALEM
Pasal 13
  1. Dalam menjalankan kekuasaanya atas Kesultanan, maka Sultan dibantu oleh seorang Pepatih Dalem yang, setelah mendengar pertimbangan-pertimbangan Sultan, diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur Jenderal. Pejabat tinggi ini dalam melaksanakan tugas-tugasnya bertanggung jawab baik kepada Pemerintah Hindia Belanda maupun kepada Kesultanan.
  2. Pepatih Dalem menerima gaji, atas beban Perbendaharaan Negara, yang ditetapkan oleh Gubernur Jenderal dan disamping itu menerima pula penghasilan-penghasilan, berdasarkan anggaran Kesultanan atas beban Perbendaharaan Kesultanan, yang menjadi haknya.
  3. Tugas-tugas, kewajiban-kewajiban serta wewenangnya, sejauh belum ternyata dari Surat Perjanjian ini, bilamana perlu diatur dengan peraturan-peraturan Sultan.

TENTANG PARA PEGAWAI
Pasal 14
  1. Sultan senantiasa akan berusaha untuk membentuk suatu korps pegawai yang cakap dalam melaksanakan tugas-tugasnya.
  2. Sesuai dengan kebutuhan atau tuntutan keadaan, maka Sultan akan melepas tenaga-tenaga yang kurang cakap atau kelebihan.
  3. Pengangkatan serta pemberhentian Bupati-Bupati yang bertugas dalam Kesultanan harus mendapat persetujuan lebih dulu dan penskorsan Bupati-Bupati itu harus mendapat pengesahan dari Gubernur Yogyakarta.
Pasal 15
Para pegawai Kesultanan dan para pegawai negeri wajib saling bantu-membantu dalam melaksanakan tugas-tugasnya, menurut bidangnya masing-masing.

TENTANG PEMBENTUKAN SUATU BADAN PERWAKILAN
Pasal 16
Pembentukan suatu badan perwakilan, begitu pula pengaturan sususnan serta wewenangnya, harus mendapat persetujuan terlebih dulu dari Gubernur Jenderal.

TENTANG KEKUASAAN SULTAN
A-KETENTUAN UMUM
Pasal 17
  1. Hak untuk memerintah sendiri bagi Kesultanan meliputi wewenang untuk menyelenggarakan kekuasaan atas orang-orang, yang oleh Negara dinamakan penduduk negeri, dengan pengertian bahwa, kecuali jika Gubernur Jenderal menentukan lain, kekuasaan ini mencakup hal-hal yang wewenang pengaturannya di daerah Pulau Jawa dan Madura yang berada di bawah pemerintahan langsung, diserahkan kepada pejabat-pejabat yang lebih rendah.
  2. Di luar itu maka hak memerintah sendiri atas Kesultanan tunduk pada pembatasan-pembatasn yang diatur atau akan ditetapkan dalam atau berdasarkan Surat Perjanjian ini.
  3. Kekuasaan Sultan tidak meliputi daerah di luar batas-batas Kesultanan.
Pasal 18
Sultan secara langsung dan pribadi akan turut serta dalam menjalankan pemerintahan atas Kesultanan dan untuk itu akan secara teratur melakukan perundingan-perundingan dengan Gubernur Yogyakarta.
Pasal 19
  1. Sultan berhak mewakili kepentingan-kepentingan Kesultanan dan penduduknya di depan Gubernur Jenderal.
  2. Setiap kali Sultan akan mempergunakan haknya sebagai mana dimaksud dalam ayat kesatu, maka hal itu akan diberitahukannya kepada Gubernur dengan menyerahkan salinan surat-surat yang telah dikirimkannya atau dengan memberitahukan tentang apa yang hendak dikemukakannya secara lisan.
Pasal 20
  1. Segala Perjanjian yang diadakan oleh Pemerintahan Tertinggi dengan negara-negara asing dan yang berlaku bagi Hindia Belanda, juga mengikat Kesultanan.
  2. Hak untuk memerintah sendiri tidak mencakup hal-hal yang telah atau akan diatur dalam perjanjian-perjanjian seperti yang dimaksud dalam ayat (1), dan tidak pula mencakup wewenang untuk menetapkan peraturan-peraturan tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang ditimbulkan oleh hak-hak asasi rakyat.
  3. Ketentuan dalam ayat (2) pasal ini tidak berlaku apabila dan sejauh hal-hal serta pokok-pokok yang ditetapkan Gubernur Jenderal dan yang termasuk ayat ini, seluruhnya atau sebagian diserahkan pengaturannya kepada Sultan.
Pasal 21
  1. Hak untuk memerintah sendiri tidak meliputi hal-hal yang selam aini berdasarkan Perjanjian ini, kebiasaan ataupun ketentuan Pemerintahan Tertinggi, diatur oleh Negara --- kecuali jika Perjanjian ini menyatakan sebaliknya --- dan tidak pula meliputi apa yang disebutkan pada lampiran Perjanjian ini.
  2. Apa yang ditentukan dalam ayat di muka tidak berlaku sejauh menyangkut hal-hal yang pengaturannya diserahkan oleh Gubernur Jenderal kepada Sultan.
  3. Berdasarkan kekuasaan tertinggi dari Sri Baginda Ratu Belanda maka kepentingan-kepentingan yang diakui sebagai termasuk dalam hak memerintah tertinggi tetapi yang menurut pertimbangan Gubernur Jenderal tidak atau tidak lagi layak diatur oleh daerah, dapat diatur oleh Negara. Dalam hal itu maka dapat ditetapkan peraturan-peraturan, dan untuk itu maka apa yang disebut dalam lampiran yang dimaksud dalam ayat (1) dapat ditambah oleh GUbernur Jenderal, namun satu dan lain tidak sebelum dirundingkan dengan Sultan.
  4. Apabila karena keadaan mendesak yang menghendaki penyelesaian yang cepat atau segera, hasil-hasil dari perundingan yang dimasud dalam ayat (3) tidak dapat ditunggu, ataupun perundingan itu tidak dapat dilakukan, maka Gubernur Jenderal berwenang mengambil langkah-langkah yang diperlukan serta menetapkan peraturan-peraturan untuk itu. Hasil-hasilnya kemudian diberitahukan kepada Sultan.
Pasal 22
  1. Sultan atau pejabat yang ditunjuknya bertanggung jawab atas dilaksanakannya ketentuan-ketentuan yang dikeluarkan oleh Negara dan yang mengikat Kesultanan, sampai batas seperti yang ditetapkan dalam ketentuan-ketentuan itu.
  2. Apabila apa yang ditetapkan dalam ayat (1) tidak dilaksanakan atau tidak dilakukan sebagaimana mestinya, maka Gubernur Yogyakarta dapat meminta agar Sultan mengambil tindakan-tindakan seperlunya.
  3. Apabila ketentuan-ketentuan yang dimaksud ayat (1) tetap tidak dilaksanakan, maka setelah mendapat kuasa dari Gubernur Jenderal atau, dalam keadaan mendesak, setelah mendapat persetujuan dari Gubernur Jenderal, Gubernur dapat melaksanakannya atas beban Kesultanan.
Pasal 23
  1. Sultan dapat bersama-sama dengan Swapraja-Swapraja di daerah-daerah Yogyakarta dan Surakarta serta dengan masyarakat-masyarakat otonom di daerah yang berbatasan, menyelenggarakan hal-hal, kepentingan-kepentingan, lembaga-lembaga, atau pekerjaan-pekerjaan yang menyangkut kepentingan bersama.
  2. Pengaturan-pengaturannya dengan daerah-daerah Swapraja itu, demikian pula perubahan-perubahan atau pembatalannya, harus mendapat persetujuan Gubernur Yogyakarta, dan jika menyangkut pula Swapraja-Swapraja di daerah Solo, juga dari Gubernur Surakarta.
  3. Pengaturan-pengaturan dengan daerah-daerah otonom lain seperti dimaksud dalam ayat (1), begitu pula dengan perubahan-perubahan atau pembatalannya, memerlukan persetujuan Gubernur Jenderal.
  4. Apabila tidak dicapai kata sepakat mengenai perubahan atau pembatalan suatu pengaturan seperti dimaksud dalam ayat (1), maka keputusannya berada di tangan Gubernur Jenderal.

(Bersambung)

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright @ 2013 PEJUANG ISLAM.