Kamis, 23 Januari 2014

Filled Under:

Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat 1

Nagari Kasultanan Ngayogyakarta[1]
1755–1950
Praja Cihna, Lambang Kesultanan Yogyakarta

 Wilayah Yogyakarta pada 1830 (warna hijau)

Ibukota Kota Yogyakarta
Bahasa Jawa 1755-1950, Belanda 1755-1811; 1816-1942, Inggris 1811-1816, Jepang 1942-1945, Indonesia 1945-1950
Agama Islam, Kejawen
Pemerintahan Monarki (kesultanan)
Sultan
 -  Pertama (1755-1792) ISKS Hamengku Buwono I
 -  Sultan terakhir sebelum penurunan status negara (1940-1950; wafat 1988) ISKS Hamengku Buwono IX
 -  Sekarang (sejak 1989) ISKS Hamengku Buwono X
Pepatih Dalem (Menteri Pertama)
 -  Pertama (1755-1799) Danurejo I
 -  Terakhir (1933-1945) Danurejo VIII
Sejarah
 -  Pembentukan: Perjanjian Giyanti 13 Februari 1755
 -  Penurunan status: Pengundangan UU No. 3 Tahun 1950 4 Maret 1950
---
Status Politik:
  • De facto merdeka (1755-1830)
  • De jure negara dependen dari VOC (1755-1799)
  • De jure negara dependen dari Republik Bataav/Franco Nederland (1800-1811)
  • De jure negara dependen dari EIC (Inggris) (1811-1816)
  • De jure negara dependen dari Nederlands Indie (1816-1830)
  • Negara dependen dari Nederlands Indie (1830-1842)
  • Negara dependen dari Kekaisaran Jepang (1942-1945)
  • Negara dependen/daerah istimewa dari Republik Indonesia dengan bentuk monarki persatuan berparlemen (1945-1950)
  • Status negara diturunkan secara resmi menjadi status daerah istimewa setingkat dengan provinsi (1950)
    ---
    Lain-Lain
  • Hymne Sultan : Gending Monggang
  • Sebagian wilayah didirikan Negara Kepangeranan Pakualaman pada 1813
Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat (Hanacaraka: ꦤꦒꦫꦶ​ꦔꦪꦺꦴꦒꦾꦏꦂꦡ​ꦲꦢꦶꦤꦶꦔꦿꦠ꧀ - Nagari Ngayogyakarta Adiningrat) adalah negara dependen yang berbentuk kerajaan. Kedaulatan dan kekuasaan pemerintahan negara diatur dan dilaksanakan menurut perjanjian/kontrak politik yang dibuat oleh negara induk Kerajaan Belanda bersama-sama negara dependen Kesultanan Ngayogyakarta. Kontrak politik terakhir antara negara induk dengan kesultanan adalah Perjanjian Politik 1940 Wikisource-logo.svg (Staatsblad 1941, No. 47). Sebagai konsekuensi dari bentuk negara kesatuan yang dipilih oleh Republik Indonesia sebagai negara induk, maka pada tahun 1950 status negara dependen Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat (bersama-sama dengan Kadipaten Pakualaman) diturunkan menjadi daerah istimewa setingkat provinsi dengan nama Daerah Istimewa Yogyakarta.

Awal riwayat

Nama Yogyakarta adalah perubahan bentuk dari Yodyakarta. Yodyakarta berasal dari kata Ayodya dan Karta. Ayodya diambil dari nama kerajaan dalam kisah Ramayana, sementara karta berarti ramai.
Dengan ditandatanganinya Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755) antara Pangeran Mangkubumi dan VOC di bawah Gubernur-Jendral Jacob Mossel, maka Kerajaan Mataram dibagi dua. Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai Sultan dengan gelar Sultan Hamengkubuwana I dan berkuasa atas setengah daerah Kerajaan Mataram. Sementara itu Sunan Paku Buwono III tetap berkuasa atas setengah daerah lainnya dengan nama baru Kasunanan Surakarta dan daerah pesisir tetap dikuasai VOC.
Sultan Hamengkubuwana I kemudian segera membuat ibukota kerajaan beserta istananya yang baru dengan membuka daerah baru (jawa: babat alas) di Hutan Paberingan yang terletak antara aliran Sungai Winongo dan Sungai Code. Ibukota berikut istananya tersebut tersebut dinamakan Ngayogyakarta Hadiningrat dan landscape utama berhasil diselesaikan pada tanggal 7 Oktober 1756. Para penggantinya tetap mempertahankan gelar yang digunakan, Hamengku Buwono. Untuk membedakan antara sultan yang sedang bertahta dengan pendahulunya, secara umum, digunakan frasa " ingkang jumeneng kaping .... ing Ngayogyakarto " (Indonesia: "yang bertahta ke .... di Yogyakarta"). Selain itu ada beberapa nama khusus antara lain Sultan Sepuh (Sultan yang Tua) untuk Hamengku Buwono II.

Wilayah dan penduduk

Wilayah

Mengikuti kerajaan Mataram, wilayah Kesultanan Yogyakarta pada mulanya dibagi menjadi beberapa lapisan yaitu Nagari Ngayogyakarta (wilayah ibukota), Nagara Agung (wilayah utama), dan Manca Nagara (wilayah luar). Keseluruhan wilayah Nagari Ngayogyakarta dan wilayah Nagara Agung memiliki luas 53.000 karya (sekitar 309,864500 km persegi), dan keseluruhan wilayah Manca Nagara memiliki luas 33.950 karya (sekitar 198,488675 km persegi). Selain itu, masih terdapat tambahan wilayah dari Danurejo I di Banyumas, seluas 1.600 karya (sekitar 9,3544 km persegi).
  • Nagari Ngayogyakarta meliputi:
    (1) Kota tua Yogyakarta (di antara Sungai Code dan Sungai Winongo), dan
    (2) Daerah sekitarnya dengan batas Masjid Pathok Negara.
  • Nagara Agung meliputi:
    (1) Daerah Siti Ageng Mlaya Kusuma (wilayah Siti Ageng [suatu wilayah di antara Pajang dengan Demak] bagian timur yang tidak jelas batasnya dengan wilayah Kesunanan),
    (2) Daerah Siti Bumijo (wilayah Kedu dari Sungai Progo sampai Gunung Merbabu),
    (3) Daerah Siti Numbak Anyar (wilayah Bagelen antara Sungai Bagawanta dan Sungai Progo),
    (4) Daerah Siti Panekar (wilayah Pajang bagian timur, dari Sungai Samin ke selatan sampai Gunungkidul, ke timur sampai Kaduwang), dan
    (5) Daerah Siti Gadhing Mataram (wilayah Mataram Ngayogyakarta [suatu wilayah di antara Gunung Merapi dengan Samudera Hindia]).
  • Manca Nagara meliputi:
    (1) Wilayah Madiun yang terdiri dari daerah-daerah:
    (a) Madiun Kota,
    (b) Magetan,
    (c) Caruban, dan
    (d) Setengah Pacitan;
    (2) Wilayah Kediri yang meliputi daerah-daerah:
    (a) Kertosono,
    (b) Kalangbret, dan
    (c) Ngrowo (Tulung Agung);
    (3) Wilayah Surabaya yang meliputi daerah Japan (Mojokerto);
    (4) Wilayah Rembang yang meliputi daerah-daerah:
    (a) Jipang (Ngawen) dan
    (b) Teras Karas (Ngawen);
    (5) Wilayah Semarang yang meliputi daerah-daerah:
    (a) Selo atau Seselo (makam nenek moyang raja Mataram),
    (b) Warung (Kuwu-Wirosari), dan
    (c) Sebagian Grobogan.
Wilayah-wilayah Kesultanan tersebut bukan sebuah wilayah yang utuh, namun terdapat banyak enklave maupun eksklave wilayah Kesunanan dan Mangku Negaran. Wilayah-wilayah tersebut merupakan hasil dari Perjanjian Palihan Nagari yang ditandatangani di Giyanti. Perjanjian itu juga disebut Perjanjian Giyanti.
Dalam perjalanan waktu wilayah tersebut berkurang akibat perampasan oleh Daendels dan Raffles. Setelah Perang Diponegoro selesai pada 1830, pemerintah Hindia Belanda akhirnya merampas seluruh wilayah Manca Nagara. Pada tahun itu pula ditandatangani Perjanjian Klaten pada 27 September 1830 yang menegaskan wilayah dan batas-batas Kasultanan Yogyakarta dengan Kasunanan Surakarta. Wilayah Kasultanan Yogyakarta hanya meliputi Mataram dan Gunungkidul dengan luas 2.902,54 km persegi. Di wilayah tersebut terdapat enklave Surakarta (Kotagede dan Imogiri), Mangku Negaran (Ngawen), dan Paku Alaman (Kabupaten Kota Paku Alaman).

Penduduk

Pembagian wilayah menurut Perjanjian Palihan Nagari juga diikuti dengan pembagian pegawai kerajaan (abdi Dalem) dan rakyat (kawula Dalem) yang menggunakan atau memakai wilayah tersebut. Hal ini tidak terlepas dari sistem pemakaian tanah pada waktu itu yang menggunakan sistem lungguh (tanah jabatan). Diperkirakan penduduk kesultanan pada waktu perjanjian berjumlah 522.300 jiwa, dengan asumsi tanah satu karya dikerjakan oleh satu keluarga dengan anggota enam orang. Pada 1930 penduduk meningkat menjadi 1.447.022 jiwa.
Dalam strata sosial, penduduk dapat dibedakan menjadi tiga golongan yaitu bangsawan (bandara), pegawai (abdi Dalem) dan rakyat jelata (kawula Dalem). Sultan yang merupakan anggota lapisan bangsawan menempati urutan puncak dalam sistem sosial. Anggota lapisan bangsawan ini memiliki hubungan kekerabatan dengan Sultan yang pernah atau sedang memerintah. Namun hanya bangsawan keturunan 1-4 (anak, cucu, anak dari cucu, dan cucu dari cucu) dari Sultan yang termasuk Keluarga Kerajaan dalam artian mereka memiliki kedudukan dan peran dalam upacara kerajaan.
Lapisan pegawai mendasarkan kedudukan mereka dari surat keputusan yang dikeluarkan oleh Sultan. Lapisan ini dibedakan menjadi tiga yaitu pegawai Keraton, pegawai Kepatihan, Kabupaten, dan Kapanewon, serta pegawai yang diperbantukan pada pemerintah penjajahan. Lapisan rakyat jelata dibedakan atas penduduk asli dan pendatang dari luar. Selain itu terdapat juga orang-orang asing maupun keturunannya yang bukan warga negara Kasultanan Yogyakarta yang berdiam di wilayah kesultanan.

Pagelaran Kraton Yogyakarta

Sri Sultan Hamengkubuwono X



(Bersambung)

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright @ 2013 PEJUANG ISLAM.