Kamis, 23 Januari 2014

Filled Under:

Kasunanan Surakarta 2

Pakubuwana V dan VI

Pengganti Pakubuwana IV adalah Sri Susuhunan Pakubuwana V, yang oleh masyarakat saat itu dijuluki sebagai Sunan Ngabehi, karena baginda yang sangat kaya, baik kaya harta maupun kesaktian. Setelah wafat, pengganti Pakubuwana V adalah Sri Susuhunan Pakubuwana VI. Pakubuwana VI adalah pendukung perjuangan Pangeran Diponegoro, yang memberontak terhadap Kesultanan Yogyakarta dan pemerintah Hindia Belanda sejak tahun 1825. Penulis naskah-naskah babad waktu itu sering menutupi pertemuan rahasia Pakubuwana VI dengan Pangeran Diponegoro menggunakan bahasa simbolis. Misalnya, Pakubuwana VI dikisahkan pergi bertapa ke Gunung Merbabu atau bertapa di Hutan Krendawahana. Padahal sebenarnya, ia pergi menemui Pangeran Diponegoro secara diam-diam. Dalam perang melawan Pangeran Diponegoro, Pakubuwana VI menjalankan aksi ganda. Di samping memberikan bantuan dan dukungan, ia juga mengirim pasukan untuk pura-pura membantu Belanda. Pujangga besar Ranggawarsita mengaku semasa muda dirinya pernah ikut serta dalam pasukan sandiwara tersebut. Setelah menangkap Pangeran Diponegoro, Belanda tetap saja menangkap Pakubuwana VI dan membuangnya ke Ambon pada tanggal 8 Juni 1830 dengan alasan bahwa Mas Pajangswara sudah membocorkan semuanya, dan kini ia hidup nyaman di Batavia.
Fitnah yang dilancarkan pihak Belanda ini kelak berakibat buruk pada hubungan antara putra Pakubuwana VI, yaitu Pakubuwana IX dengan putra Mas Pajangswara, yaitu Ranggawarsita. Pakubuwana IX sendiri masih berada dalam kandungan ketika Pakubuwana VI berangkat ke Ambon. Takhta Surakarta kemudian jatuh kepada paman Pakubuwana VI, yang bergelar Sri Susuhunan Pakubuwana VII.

 SISKS Pakubuwana VI.

Pakubuwana VII

Saat itu Perang Diponegoro baru saja berakhir. Masa pemerintahan Pakubuwana VII relatif damai apabila dibandingkan masa raja-raja sebelumya. Keadaan yang damai itu mendorong tumbuhnya kegiatan sastra secara besar-besaran di lingkungan keraton. Masa pemerintahan Pakubuwana VII dianggap sebagai puncak kejayaan sastra di Kasunanan Surakarta dengan pujangga besar Ranggawarsita sebagai pelopornya. Pemerintahannya berakhir saat wafatannya dan karena tidak memiliki putra mahkota maka Pakubuwana VII digantikan oleh kakaknya (lain ibu) bergelar Sri Susuhunan Pakubuwana VIII yang naik tahta pada usia 69 tahun.

Pakubuwana VIII dan IX

Pemerintahan Pakubuwana VIII berjalan selama tiga tahun hingga akhir hayatnya. Pakubuwana VIII digantikan putra Pakubuwana VI sebagai raja Surakarta selanjutnya, yang bergelar Sri Susuhunan Pakubuwana IX. Hubungan antara Pakubuwana IX dengan Ranggawarsita sendiri kurang harmonis karena fitnah pihak Belanda bahwa Mas Pajangswara (ayah Ranggawarsita yang menjabat sebagai juru tulis keraton) telah membocorkan rahasia persekutuan antara Pakubuwana VI dengan Pangeran Diponegoro. Akibatnya, Pakubuwana VI pun dibuang ke Ambon. Hal ini membuat Pakubuwana IX membenci keluarga Mas Pajangswara, padahal juru tulis tersebut ditemukan tewas mengenaskan karena disiksa dalam penjara oleh Belanda. Ranggawarsita sendiri berusaha memperbaiki hubungannya dengan raja melalui persembahan naskah Serat Cemporet. Pemerintahan Pakubuwana IX berakhir saat kematiannya pada tanggal 16 Maret 1893. Ia digantikan putranya sebagai raja Surakarta selanjutnya, bergelar Sri Susuhunan Pakubuwana X.

Pakubuwana X

Masa pemerintahan Pakubuwana X ditandai dengan kemegahan tradisi dan suasana politik kerajaan yang stabil. Pada masa pemerintahannya yang cukup panjang, Kasunanan Surakarta mengalami transisi, dari kerajaan tradisional menuju era modern, sejalan dengan perubahan politik di Hindia Belanda. Meskipun berada dalam tekanan politik pemerintah kolonial Hindia Belanda, Pakubuwana X memberikan kebebasan berorganisasi dan penerbitan media massa. Ia mendukung pendirian organisasi Sarekat Islam, salah satu organisasi pergerakan nasional pertama di Indonesia. Kongres Bahasa Indonesia I di Surakarta (1938) diadakan pada masa pemerintahannya.
Infrastruktur moderen kota Surakarta banyak dibangun pada masa pemerintahan Pakubuwana X, seperti bangunan Pasar Gede, Stasiun Solo Jebres, Stasiun Solo-Kota (Sangkrah), Stadion Sriwedari, kebun binatang ("Taman Satwataru") Jurug, Jembatan Jurug yang melintasi Bengawan Solo di timur kota, Taman Balekambang, gapura-gapura di batas Kota Surakarta, rumah pemotongan hewan ternak di Jagalan, rumah singgah bagi tunawisma, dan rumah perabuan (pembakaran jenazah) bagi warga Tionghoa. Beliau meninggal dunia pada tanggal 1 Februari 1939. Ia disebut sebagai Sunan Panutup atau raja besar Surakarta yang terakhir oleh rakyatnya. Pemerintahannya kemudian digantikan oleh putranya yang bergelar Sri Susuhunan Pakubuwana XI.

SISKS Pakubuwana X, raja terbesar Kasunanan Surakarta, bersama permaisuri Ratu Hemas dan putri, GKR Pembajoen.

Pakubuwana XI

Pemerintahan Pakubuwana XI terjadi pada masa sulit, yaitu bertepatan dengan meletusnya Perang Dunia Kedua. Ia juga mengalami pergantian pemerintah penjajahan dari tangan Belanda kepada Jepang sejak tahun 1942. Pihak Jepang menyebut Surakarta dengan nama Solo Koo.Ia digantikan Sri Susuhunan Pakubuwana XII.

Masa Perjuangan Kemerdekaan

Pakubuwana XII

Awal pemerintahan Pakubuwana XII hampir bersamaan dengan lahirnya Republik Indonesia. Di awal masa kemerdekaan (1945 - 1946), Kasunanan Surakarta dan Praja Mangkunegaran sempat menjadi Daerah Istimewa. Akan tetapi karena kerusuhan dan agitasi politik saat itu maka pada tanggal 16 Juni 1946 oleh Pemerintah Indonesia statusnya diubah menjadi Karesidenan, menyatu dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Penetapan status Istimewa ini dilakukan Presiden Soekarno sebagai balas jasa atas pengakuan raja-raja Kasunanan Surakarta dan Praja Mangkunagaran yang menyatakan wilayah mereka adalah bagian dari Republik Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945. [1]
Kemudian pada tanggal 1 September 1945, Kasunanan Surakarta dan Praja Mangkunegaran mengirimkan maklumat kepada Presiden Soekarno perihal pernyataan dari Susuhunan Pakubuwana XII dan KGPAA Mangkunegara VIII yang menyatakan bahwasanya Negeri Surakarta Hadiningrat yang bersifat kerajaan adalah Daerah Istimewa dari Negara Republik Indonesia, dimana hubungan antara Negeri Surakarta dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia bersifat langsung. Atas dasar semua itulah, maka Presiden Soekarno memberikan pengakuan resmi kepada Susuhunan Pakubuwana XII dan KGPAA Mangkunegara VIII dengan diberikannya piagam kedudukan resmi[2].
Sebagaimana diketahui, barulah sekitar empat hari setelahnya, yaitu pada tanggal 5 September 1945, Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman mengeluarkan maklumat serupa, yang menjadi dasar dari pembentukan dari Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Belanda yang tidak merelakan kemerdekaan Indonesia berusaha merebut kembali negeri ini dengan kekerasan. Pada bulan Januari 1946 ibu kota Indonesia terpaksa pindah ke Yogyakarta karena Jakarta jatuh ke tangan Belanda. Kemudian, pada Oktober 1945, muncul gerakan Anti swapraja/anti monarki/anti feodal di Surakarta, di mana salah seorang pimpinannya adalah Tan Malaka, pimpinan Partai Murba. Barisan Banteng berhasil menguasai Surakarta sedangkan pemerintah Indonesia tidak menumpasnya karena pembelaan Jendral Sudirman. Bahkan, Jendral Sudirman juga berhasil mendesak pemerintah sehingga mencabut status Daerah Istimewa Surakarta. Tujuan gerakan ini adalah penghapusan DIS, serta pembubaran Mangkunegara dan Susuhunan. Motif lain dari gerakan ini adalah perampasan tanah-tanah pertanian yang dikuasai Mangkunegara dan Susuhunan untuk dibagi-bagikan sesuai dengan kegiatan landreform oleh golongan sosialis.
Tanggal 17 Oktober 1945, Pepatih Dalem (perdana menteri) Kasunanan KRMH Sosrodiningrat diculik dan dibunuh oleh gerombolan Anti swapraja. Aksi ini diikuti pencopotan Bupati-bupati yang umumnya kerabat raja dan diganti orang-orang yang pro gerakan Anti swapraja. Maret 1946, Pepatih Dalem yang baru KRMT Yudonagoro juga diculik dan dibunuh. April 1946, 9 pejabat Kepatihan mengalami hal yang sama.
Karena banyaknya kerusuhan, penculikan dan pembunuhan, maka untuk sementara waktu Pemerintah RI membekukan status DIS dan menurunkan kekuasaan raja-raja Kasunanan dan Mangkunegaran dan daerah Surakarta yang bersifat istimewa sebagai karesidenan sebelum bentuk dan susunannya ditetapkan undang-undang. Status Susuhunan Surakarta dan Adipati Mangkunegara hanya sebagai simbol saja di masyarakat dan warga negara Republik Indonesia, serta Keraton diubah menjadi pusat pengembangan seni dan budaya Jawa.
 SISKS Pakubuwana XII.

 Baliho Piagam Maklumat Keistimewaan Negeri Surakarta oleh SISKS Pakubuwana XII, di Siti Hinggil Lor, Keraton Surakarta.


(Bersambung)

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright @ 2013 PEJUANG ISLAM.