Kamis, 23 Januari 2014

Filled Under:

Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta 2

Periode II:1946 - 1950

Pembentukan DIY oleh Kerajaan di Yogyakarta (1946)

Sambil menunggu UU yang mengatur susunan Daerah yang bersifat Istimewa sebagaimana pasal 18 UUD, maka Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII dengan persetujuan BP DPR DIY (Dewan Daerah) pada 18 Mei 1946 mengeluarkan Maklumat No. 18 yang mengatur kekuasaan legeslatif dan eksekutif (lihat Maklumat Yogyakarta No. 18 Wikisource-logo.svg)[2][6]. Maklumat ini adalah realisasi dari keputusan sidang KNI Daerah Yogyakarta pada 24 April 1946[2]. Setelah menyetujui rencana maklumat itu, KNID membubarkan diri dan digantikan oleh Dewan Daerah yang dibentuk berdasarkan rencana maklumat. Dalam sidangnya yang pertama DPR DIY mengesahkan rencana maklumat No 18 yang sebelumnya telah disetujui dalam sidang KNI Daerah Yogyakarta tersebut[6].
Dalam maklumat ini secara resmi nama Daerah Istimewa Yogyakarta digunakan menandai bersatunya dua monarki Kesultanan dan Pakualaman dalam sebuah Daerah Istimewa. Persatuan ditunjukkan dengan hanya ada sebuah Parlemen lokal untuk DIY dan Ibu Kota Yogyakarta (gabungan Kabupaten Kota Kasultanan dan Kabupaten Kota Paku Alaman) bukan dua buah (satu untuk Kesultanan dan satunya untuk Paku Alaman)[6]. Tidak dipungkiri juga terdapat perbedaan pendapat antara KNID dengan Monarki[2][6] yang tercermin dengan adanya dua tanggal pengumuman maklumat yaitu tanggal 13 dan 18 Mei 1946. Selain itu juga nampak dari materi maklumat dengan RUU. Dari sepuluh Bab yang diusulkan, sebanyak tiga bab tidak ditampung, yaitu Bab 1 tentang Kedudukan DIY, Bab 6 tentang Keuangan, dan Bab 7 tentang Dewan Pertimbangan[2].

 Wilayah DIY dan Kab/kota di lingkungannya tahun 1946

Penyelenggaraan Pemerintahan DIY (1946-1948)

Maklumat No. 18 tersebut menetapkan bahwa kekuasaan legislatif dipegang oleh DPRD (Dewan Daerah, Dewan Kota, Dewan Kabupaten, dan Dewan Kalurahan) sesuai dengan tingkatan pemerintahan masing-masing. Kekuasaan eksekutif dipangku secara bersama-sama oleh Dewan Pemerintah Daerah dan Kepala Daerah (Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII, Bupati Kota Kasultanan dan Bupati Kota, Bupati Pamong Praja Kabupaten) sesuai dengan tingkatannya. Pemerintahan yang dianut adalah collegial bestuur atau direktorium karena badan eksekutif tidak berada di tangan satu orang melainkan banyak orang. Alasan yang digunakan waktu itu adalah untuk persatuan dan menampung kepentingan dari berbagai pihak. Dewan Pemerintah ini dipilih dari dan oleh DPRD serta bertanggung jawab kepada DPRD. Namun demikian kedua raja tidak bertanggung jawab kepada DPRD, melainkan pada Presiden (lihat naskah lengkapMaklumat Yogyakarta No. 18 Wikisource-logo.svg).
Maklumat ini kemudian menjadi haluan jalannya Pemerintahan Daerah di Yogyakarta sampai ditetapkannya UU yang mengatur DIY. DPRD-DPRD dan Dewan Pemerintah segera dibentuk pada tiap tingkatan pemerintahan. Parlemen lokal tersebut bersama-sama Dewan Pemerintah pada masing-masing tingkatan menjalankan pemerintahan. Namun demikian otonomi belum diserahkan sepenuhnya ke tingkat kabupaten dan kota.

Pemda Kota Yogyakarta (1947-1950)

Pada 1947 Pemerintah Pusat mengeluarkan UU No. 17 Tahun 1947 tentang Pembentukan Haminte-Kota Yogyakarta atas usulan Dewan Kota Yogyakarta. Ini tidak mengherankan sebab sejak 5 Januari 1946 Yogyakarta menjadi Ibukota Indonesia. Dalam UU tersebut Kota Yogyakarta dikeluarkan dari DIY dan mempunyai hubungan langsung dengan Pemerintah Pusat. Keadaan demikian menimbulkan keberatan dari Sultan HB IX[6]. Sebagai penyelesaian, maka pada 22 Juli 1947 Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo diangkat menjadi Wali kota Haminte-Kota Yogyakarta dengan tiga SK sekaligus yaitu dari Presiden, Mendagri, dan Sultan HB IX, menggantikan M. Enoch (Wali kota Yogyakarta pertama) yang turut pergi mengungsi mendampingi Presiden karena terjadi Agresi Militer Belanda I[2].

Wilayah DIY dan kabupaten di lingkungannya pasca dibentuknya Haminte-Kota Yogyakarta tahun 1947

UU Pemerintahan Daerah 1948 (1948-1949)

Pada tahun 1948, Pemerintah Pusat mulai mengatur Pemerintah Daerah dengan mengeluarkan UU No. 22/1948 tentang UU Pokok Pemerintahan Daerah. Dalam UU tersebut diatur susunan dan kedudukan Daerah Istimewa baik dalam diktum[7][8] maupun penjelasannya[9][10]. Walaupun demikian, pemerintah pusat belum sempat mengeluarkan UU untuk membentuk pemerintahan daerah karena harus menghadapi Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948 yang menghajar Ibukota Yogyakarta. Pemerintahan DIY-pun ikut menjadi lumpuh. Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII meletakkan jabatan sebagai Kepala Daerah Istimewa sebagai protes kepada Belanda[2]. Pasca Serangan Oemoem 1 Maret 1949, Yogyakarta dijadikan Daerah Militer Istimewa dengan Gubernur Militer Sri Paduka Paku Alam VIII. Keadaan ini berlangsung sampai tahun 1950[2].

Periode III: 1950 - 1965

Landasan Hukum Pembentukan DIY (1950-1951)

Setelah pengakuan kedaulatan sebagai hasil KMB, Indonesia memasuki babakan sejarah yang baru. Negara Republik Indonesia yang beribukota di Yogyakarta sejak 1946, hanyalah sebuah negara bagian dari Republik Indonesia Serikat (RIS) yang berkedudukan di Jakarta sampai 17 Agustus 1950.

Pembentukan DIY (1950)

DIY secara formal dibentuk dengan UU No. 3 Tahun 1950 Wikisource-logo.svg (BN 1950 No. 3) yang diubah dengan UU No. 19 Tahun 1950 Wikisource-logo.svg (BN 1950 No. 48). Kedua UU tersebut diberlakukan mulai 15 Agustus 1950 dengan PP No. 31 Tahun 1950 Wikisource-logo.svg (BN 1950 No. 58). UU 3/1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta sangatlah singkat (hanya 7 pasal dan sebuah lampiran daftar kewenangan otonomi). UU tersebut hanya mengatur wilayah dan ibu kota, jumlah anggota DPRD, macam kewenangan, serta aturan-aturan yang sifatnya adalah peralihan. UU 19/1950 sendiri adalah perubahan dari UU 3/1950 yang berisi penambahan kewenangan bagi DIY. Status keistimewaan Yogyakarta tidak diatur lagi dalam UU pembentukan karena telah diatur dalam UU 22/1948 (lihat periode II di atas). Dalam UU 3/1950 disebutkan secara tegas Yogyakarta adalah sebuah Daerah Istimewa setingkat Popinsi B U K A N sebuah Provinsi[11]. Walaupun nomenklaturnya mirip, namun saat itu mengandung konsekuensi hukum dan politik yang amat berbeda terutama dalam hal kepala daerah dan wakil kepala daerahnya (lihat UU 22/1948 di atas). Walau begitu DIY bukan pula sebuah monarki konstitusional[12].

Wilayah DIY beserta pembagian Kab/Kota di lingkungannya tahun 1950

Pembentukan Kabupaten dan Kota (1950-1951)

Pembagian DIY menjadi kabupaten-kabupaten dan kota yang berotonomi diatur dengan UU No. 15 Tahun 1950 Wikisource-logo.svg (BN 1950 No. 44) dan UU No. 16 Tahun 1950 Wikisource-logo.svg (BN 1950 No. 45). Kedua undang-undang tersebut diberlakukan dengan PP No. 32 Tahun 1950 Wikisource-logo.svg (BN 1950 No. 59). Menurut undang-undang tersebut DIY dibagi menjadi kabupaten-kabupaten Bantul (beribukota Bantul), Sleman (beribukota Sleman), Gunung Kidul (beribukota Wonosari), Kulon Progo (beribukota Sentolo), Adikarto (beribukota Wates), dan Kota Besar Yogyakarta. Untuk alasan efisiensi, pada tahun 1951, kabupaten Adikarto yang beribukota Wates digabung dengan kabupaten Kulon Progo yang beribukota Sentolo menjadi Kabupaten Kulon Progo dengan ibu kota Wates. Penggabungan kedua daerah ini ditetapkan oleh UU Nomor 18 Tahun 1951 Wikisource-logo.svg (LN 1951 No. 101). Semua UU mengenai pembentukan DIY dan Kabupaten dan Kota di dalam lingkungannya, dibentuk berdasarkan UU 22/1948.

Wilayah DIY beserta pembagian Kab/Kota di lingkungannya tahun 1951


(Bersambung)

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright @ 2013 PEJUANG ISLAM.