Kamis, 23 Januari 2014

Filled Under:

(Geger Pecinan) Jatuhnya Kasunanan Kartasura

Chen Huang Er Xian Sheng

Chen Huang Er Xian Sheng (Hokkien: Tan Oei Ji Sian Seng) atau Yi Yong Gong (Hokkien: Gi Yong Kong) adalah kedua orang pejuang yang dipuja di Kota Juana, Rembang, dan Lasem. Mereka ikut serta dalam perjuangan pada tahun 1741-1742 yang dikenal sebagai Geger Pecinan.[1]

Nama dan etimologi

Chen dan Huang merupakan nama Marga. Er memiliki arti Dua; Xian Sheng memiliki arti Tuan. Secara keseluruhan, gelar Chen Huang Er Xian Sheng (Hokkien: Tan Oei Ji Sian Seng) memiliki arti "Dua Tuan Terhormat dari Keluarga Chen dan Sheng.[1]
Masyarakat setempat mengenal nama mereka sebagai Tan Pan Ciang dan Oei Ing Kiat. Dalam Babad Tanah Jawi, mereka disebut sebagai Encik Macan dan Muda Tik.

Sejarah

Latar belakang

Babad Tanah Jawi menyebutkan bahwa keduanya adalah pengusaha genting dari Desa Klotok. Pada saat terjadi Geger Pacinan di Batavia pada Tahun 1741, banyak warga China di Jawa yang mengangkat senjata dan bergabung di Batavia melawan VOC.[1]
Oei Ing Kiat diberi gelar Tumenggung Widyaningrat oleh Pakubowono II dan menjadi administrator di Lasem pada tahun 1727.[2] Menurut kitab Sabda Badra Santi, Raden Panji Margono adalah putra sulung Adipati Lasem Pangeran Tejokusumo V. Ia dan ayahnya tidak senang kepada Sunan Pakubuwono I yang berpihak kepada Belanda. Oleh karena itu, ketika ayahnya wafat, Margono tidak mau menjadi adipati Lasem, tetapi lebih memilih menjadi petani dan berdagang dengan orang-orang Cina di Lasem dan sekitarnya.[3]

Pengungsian warga China dari Batavia

Ketika terjadi pengungsian besar-besaran warga Cina ke Lasem, Raden Panji Margono membantu pemimpin orang Cina di Lasem yang bernama Tumenggung Widyaningrat (Oei Ing Kiat) untuk membantu para pengungsi. Keduanya mengorganisir rencana untuk melakukan perlawanan terhadap Kompeni bersama orang-orang Cina di Lasem dengan dibantu seorang juragan kaya bernama Tan Ki Wie. Raden Panji Margono bahkan menyamar sebagai orang Cina bernama Tan Pan Ciang.[3]
Bersama Tan Kee Wie, seorang pendekar kungfu dan pengusaha di Lasem, Oei Ing Kiat dan Tan Pan Ciang mengangkat sumpah sebagai tiga saudara angkat. Ketiganya menjadi pemimpin pemberontakan Tionghoa–Mataram terhadap VOC di Lasem.
Temenggung Martopura memanggil Tan Pan Ciang dan Oei Ing Kiat yang menjadi pemimpin Laskar Cina. Ia menasihati bahwa jika Laskar Cina bermaksud akan perang, mereka diharapkan jangan melawan Pemerintah Kartosuro, karena pemerintahan Susuhunan Kartosuro ada milik negara. Kalau sampai Laskar Cina berniat akan merebut kekuasaan dari Susuhunan Kartosuro, maka terpaksa pemerintah Susuhunan Kartosuro akan menumpas mereka hingga ke akar-akarnya. Ia kemudian mengutus Cik Macan dan Muda Tik untuk menemui pimpinan di Tanjung Welahan yang bernama Sing She secara rahasia untuk menanyakan apakah ia sanggup melawan Kompeni Belanda dan menjadi komandan mereka. Jika Sing She siap melawan kompeni di Semarang, Temenggung Martopuro tidak segan lagi untuk mengumumkan bahwa dirinya akan melawan kompeni. Cik Macan dan Muda Tik menyanggupi dengan senang hati dan berpesan dengan Temenggung Martopuro, jika mereka kalah dalam peperangan, maka Laskar Cina dengan rela mewariskan harta benda dan keluarga mereka hanya kepada orang jawa.[4]
Atas perantaraan Tumenggung Martopuro yang memerintah wilayah Grobogan dan restu dari Sri Susuhunan Kertasura, Tan Pan Ciang dan Oei Ing Kiat membentuk pasukan di Kota Lasem. Mereka bermarkas di Desa Puwun kemudian bergerak menuju Welahan untuk bergabung dengan pemimpin perlawanan pasukan China. Pasukan berjumlah sekitar 200 orang tersebut menyerang Semarang, dikenal sebagai Perang Kuning.[1]
Kerjasama laskar Cina dengan pribumi berhasil menghancurkan tangsi Kompeni di Rembang pada tanggal 21 Juli 1741. Namun, setelah pasukan Belanda memperoleh bantuan tentara dan persenjataan dari Semarang, perlawanan ini dapat dikalahkan.[3] Mereka kalah dalam hal persenjataan dan terdesak hingga Tanjung Mondoliko (Welahan).[1] Oei Ing Kiat dicurigai Belanda terlibat dalam peperangan sehingga pangkatnya diturunkan dan gelar Tumenggungnya dicopot. Ia hanya diperkenankan menjadi administrator masyarakat Tionghoa saja.[2]

Akhir pertempuran

Pada tahun 1750, Raden Panji Margono kembali merencanakan pemberontakan terhadap VOC dengan didukung oleh warga Tionghoa.[2] Karena berniat melindungi Semarang, Pakubowono II membocorkan rencana penyerangan mereka ke pihak Belanda sehingga Raden Margono dan Oei Ing Kiat tewas dalam pertempuran.[5] Namun, tindakan Pakubuwono II justru membuatnya ditinggalkan para pengikutnya yang anti-VOC dan akhirnya Kasunanan Kartasura hancur diserang pasukan pemberontak.

Kultus

Untuk memperingati Tan Pan Ciang dan Oei Ing Kiat, masyarakat mendirikan Kelenteng Tan Oei Ji Siang Sen atau Gi Yong Kong Bio (lit. Kelenteng Kebenaran dan Keberanian).[2]
Tan Kee Wie yang juga seorang ahli ukir, bermimpi bahwa di sungai Juana terdapat dua batang kayu yang terapung. Kedua batang kayu tersebut tidak bisa diambil oleh siapapun meskipun banyak yang menginginkan. Tan Kee Wie diperintahkan dalam mimpi tersebut untuk mengambil kedua batang kayu dan mengukirnya menjadi patung Tan Pan Tjiang dan Oei Ing Kiat sebagai pengingat bagi anak dan cucunya.[4]
Makam Oei Ing Kiat dipercaya berada di kompleks pemakaman Gunung Bugel, Desa Warugunung, Pancur, Rembang. Makam tersebut dikeramatkan oleh masyarakat sekitar, bahkan sering dikunjungi oleh penduduk berbagai daerah, terutama setiap malam Jumat dan Minggu pagi.[6]

Kultur populer

  • Kisah Tan Pan Ciang dan Oei Ing Kiat muncul dalam novel berjudul Sembilan Oktober 1740: Drama Sejarah karya Remy Sylado.
  • Drama musikal karya Remy Sylado berjudul Tan Uy Ji Sian Seng (Tuan Terhormat dari Marga Tan dan Uy) dipentaskan pada Mal Ciputra Jakarta dalam rangka menyambut Tahun Baru Imlek 2560. Drama musikal tersebut menceritakan perjuangan tokoh Tionghoa Tan Pan Ciang dan Oey Ing Kiat dalam melawan penjajahan Belanda yang dikenal dengan Perang Kuning di Semarang pada tahun 1742.[7]

Catatan kaki

  1. ^ a b c d e Yayasan Kelenteng Sam Po Kong. "Dewa-Dewi Kelenteng". Semarang.
  2. ^ a b c d Sam Setyautama. Tokoh-Tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia.
  3. ^ a b c Mas Kin. 29 September 2012. OBYEK WISATA UTAMA DI LASEM (3) KOMPLEKS MAKAM RADEN PANJI MARGONO.
  4. ^ a b TITD Tri Murti Lasem. Sejarah Klenteng Gie Yong Kong Babagan. Terjemahan ringkas dari buku Babad Tanah Jawi, Jilid 23, hal. 11-16. Percetakan Balai Pustaka, 1940, Seri No. 1289 V, oleh Temenggung Martopura.
  5. ^ Suara Pembaruan. 24 Januari 2009. Tionghoa dalam Sejarah Indonesia.
  6. ^ jl-80. 24 Mei 2003. Ratusan Orang Kunjungi Makam Kuno. Harian Umum Suara Merdeka.
  7. ^ JPPN. 23 Januari 2009. Akses=12 Mei 2013. Drama Musikal Menyambut Imlek.

Sumber
========================================================================

Panji Margono

Raden Mas Panji Margono (wafat: 1751M) adalah seorang Adipati Lasem dan merupakan salah satu dari Pahlawan Lasem dalam pertempuran melawan VOC yang biasa dikenal dengan Perang Kuning. Beliau merupakan putra dari seorang Adipati Lasem bernama Tejakusuma V (Raden Panji Sasongko).
Bersama Raden Ngabehi Widyadiningrat dan Tan Kee Wie, mereka bertiga mengangkat senjata untuk melawan pasukan Belanda yang saat itu menjajah Indonesia. Meskipun perlawanannya melawan Belanda tidak berhasil, kisah heroiknya membuat Yayasan Tri Murti Lasem menghormati Raden Panji Margono dalam bentuk kongco di kelenteng Gie Yong Bio.[1]
Saat beliau wafat, istri dan anaknya yang masih bayi (Raden Panji Witono) diungsikan ke dukuh Narukan, desa Dorokandang.

Penghormatan oleh etnis Tionghoa

Saat beliau wafat, banyak masyarakat Lasem yang berduka terutama kaum Tionghoa Lasem yang amat simpatik kepada beliau walaupun beliau adalah seorang muslim-Jawa. Ini merupakan salah satu bentuk rasa toleransi dan tepo seliro yang sudah mengakar pada masyarakat Lasem. Untuk menghormati beliau, dibuatlah Rupang Raden Panji Margono yang sekarang ini ada di altar suci Klenteng Gie Yong Bio di desa Babagan.
 Rupang Raden Panji Margono di altar Klenteng Gie Yong Bio

Klenteng Gie Yong Bio di desa Babagan, Lasem

Referensi



Sumber
========================================================================

Ze Hai Zhen Ren

Ze Hai Zhen Ren (Hokkien: Tey Hai Cin Jin; Hanzi: 澤海真人), menurut Klenteng Keluarga Tek di Semarang, beliau memiliki bernama Guo Liu Guan (Hokkien: Kwee Lak Kwa). Beliau juga dipanggil Liu Guan Ye (Hokkien: Lak Kwa Ya) atau Kakek Liu Guan. Dewa Pelindung Perdagangan di Laut.
Guo Liu Guan diperkirakan merupakan salah satu pejuang dalam peristiwa Geger Pecinan, seorang pedagang, dan memiliki kekuasaan atas alam. Ze Hai Zhen Ren dipuja di berbagai Klenteng di Jakarta, Tegal, Pekalongan, dan Semarang.

Sejarah dan Legenda

Perkiraan sejarah

Beberapa sejarawan menganggapnya sebagai salah satu tokoh pejuang China melawan VOC di Batavia (1741-1742) bersama dengan Kwee An Say, Oei Ing Kiat, Tan Pan Jiang, dan sebagainya (peristiwa Geger Pecinan). Awalnya pasukan Guo bergerilya di Batavia tetapi mengalami kekalahan dan terdesak hingga ke Tegal. Dalam kondisi pasukan tercerai-berai, Guo Liu Guan menghilang. Kwee An Say tertangkap, sementara Tan Pan Jiang dan Oei Ing Kiat gugur di Welahan. Setelah menghilang di Tegal, Guo Liu Guan sering menampakkan diri secara bersamaan di beberapa tempat yang berjauhan secara bersamaan. Ia juga sering menampakkan diri pada nelayan-nelayan di Tegal untuk memberi petunjuk. Kaisar China memberinya gelar Ze Hai Zhen Ren. Ia dihormati sebagai pahlawan sekaligus Dewa Pelindung Perdagangan di Laut [1].

Kisah Guo Liu Guan dengan bajak laut

Guo Liu Guan merupakan duta perdagangan Negeri China yang sering melakukan perjalan dagang antar kota di pesisir utara Pulau Jawa. Ia lahir pada tahun 1695 pada saat pemerintahan Kaisar Khong Hie pada tahun yang ke-34.
Suatu hari, ia ingin mengunjungi sahabat karibnya, Bupati pertama Pekalongan yang bernama Tan Kwie Djan. Pada saat berada di pesisir Tegal, sekelompok bajak laut menyergap kapal yang milik Guo yang beliau tumpangi bersama dengan kedua orang pegawainya. Guo dengan tenang meminta izin untuk mandi dan berganti pakaian, kemudian turun dari kapal bersama kedua pegawainya. Tiba-tiba berhembus angin keras dan ombak yang menggulung kapal bersama dengan Guo, kedua pegawainya, dan beberapa bajak laut yang tidak sempat menyingkir [2]. Dikisahkan bahwa para kenalan Guo di berbagai tempat mengaku bertemu dengannya pada waktu yang bersamaan. Kisah lain mengatakan bahwa Guo Liu Guan sendiri yang memanggil badai tersebut untuk menenggelamkan para perompak. Barang-barang dagangannya diangkat oleh angin ke angkasa. Hal tersebut yang membuat masyarakat mempercayai bahwa Guo Liu Guan sebenarnya telah mencapai tingkatan Tao berlevel tinggi.
Versi lain mengatakan bahwa Guo bersama pegawainya tidak ikut tersapu ombak karena telah turun ke daratan. Versi lainnya lagi menyebutkan bahwa Guo menggelar tikar di laut kemudian melompat ke atasnya bersama dengan pegawainya, lalu menghilang disertai tiupan angin yang harum. Selanjutnya, ia bertapa di suatu tempat yang tidak diketahui keberadaannya bersama dengan pegawainya tersebut.

Kisah Guo Liu Guan di Tegal

Dikisahkan bahwa Guo Liu Guan sempat tinggal di Tegal dan membantu masyarakat mengembangkan wilayah tersebut. Ia mengajari metode bercocok tanam dan mencari ikan yang baik. Pada suatu senja, Guo teringat masa lalunya dan ingin kembali berlayar. Akhirnya, di kemudian hari ia benar-benar berlayar dan tidak pernah kembali lagi. Atas jasa-jasa beliau yang besar bagi penduduk Tegal, mereka membangun sebuah Klenteng untuk memperingati beliau. Klenteng tersebut direnovasi pada tahun 1873 oleh Kapten Tan Kun Hway. Setiap tahunnya umat mengadakan festival mengarak efigi Ze Hai Zhen Ren ke pantai untuk memperingati kejadian tersebut [3].

Kultus

Zhe Hai Zhen Ren ditampilkan mengenakan pakaian pejabat tinggi Ming sambil diapit oleh dua orang pegawai. Pegawai pertama ditampilkan berkebangsaan Jawa dengan pakaian adat dan blangkon, pegawai kedua digambarkan berkebangsaan China.

Jumlah pegawai

Terdapat dua versi mengenai jumlah pegawai yang mengikuti Guo pada saat kapalnya dibajak. Versi pertama menyebutkan bahwa jumlah pegawai Tuan Guo hanyalah satu orang berkebangsaan Jawa, sementara versi lain menyatakan bahwa terdapat pegawai kedua yang berkebangsaan China tetapi sangat jarang disebutkan dalam cerita. Versi lain menyebutkan bahwa pegawainya yang berkebangsaan China hanya digunakan sebagai pelengkap, sehingga Zhe Hai Zhen Ren diapit oleh dua pegawai di sisi kanan dan kiri.

Daftar Klenteng

  • Klenteng Jin De Yuan (Kim Tek Ie/ Cin Tek Yen), Jakarta.
  • Klenteng Ze Hai Gong (Tek Hay Kong/ Cek Hay Kung), Jalan Gurami, Tegal.
  • Klenteng Bao An Dian (Po An Tiam/ Phao An Thian), Pekalongan.
  • Klenteng Ze Hai Miao (Tek Hay Bio - Kuil Penenang Samudera), Sebandaran, Semarang.
  • Indramayu.
  • Klenteng Ze Hai Zhen Ren, Banjar.

Catatan Kaki

  1. ^ Buddhist Temple Jin De Yuan. 2012. [1]
  2. ^ Po An Thian. Tek Hay Cin Jin (Ze Hai Zhen Ren) - Klenteng Po An
  3. ^ Siutao. 2000. [2]



Sumber

1 komentar:

Copyright @ 2013 PEJUANG ISLAM.