Kamis, 23 Januari 2014

Filled Under:

Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta 4 (Habis)

Periode V: 1998-2008

Pro Kontra Suksesi Gubernur I (1998)

Meninggalnya Sri Paduka PA VIII menimbulkan masalah bagi Pemerintahan Provinsi DIY dalam hal kepemimpinan. Terjadi perdebatan antara Pemerintah Pusat, DPRD Provinsi DIY, Pihak Keraton Yogyakarta dan Puro Paku Alaman, serta masyarakat. Keadaan ini sebenarnya disebabkan oleh kekosongan hukum yang ditimbulkan UU No. 5/1974 yang hanya mengatur jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DIY saat dijabat oleh Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII, dan tidak mengatur masalah suksesinya. Atas desakan rakyat, Sultan HB X ditetapkan sebagai Gubernur/Kepala Daerah Istimewa oleh Pemerintah Pusat untuk masa jabatan 1998-2003[23].
Karena suksesi di Puro Paku Alaman untuk menentukan siapa yang akan bertahta menjadi Pangeran Adipati Paku Alam tidak berjalan mulus, maka Sultan HB X tidak didampingi oleh Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa. Pada tahun 1999 Sri Paduka Paku Alam IX naik tahta, namun beliau belum menjabat sebagai Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa.

Pengaturan DIY Pada Masa Reformasi I (1999-2004)

Untuk menanggulangi masalah tersebut, Pemerintah Pusat dalam UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah (LN 1999 No 60; TLN 3839) mengatur masalah suksesi bagi kepemimpinan di Provinsi DIY[24]. Sedangkan masalah birokrasi dan tata pemerintahan Provinsi DIY adalah sama dengan provinsi-provinsi lainnya .[25].
Pada tahun 2000, MPR RI melakukan perubahan kedua UUD 1945. Pada perubahan ini, status daerah istimewa diperjelas dalam pasal 18B. Dalam pasal ini keistimewaan suatu daerah diatur secara khusus dalam suatu undang-undang[26].

Pengusulan RUU Keistimewaan (2002)

Pihak Provinsi DIY pernah mengajukan usul UU Keistimewaan Yogyakarta untuk menjalankan aturan pasal 18B konstitusi pada 2002[27]. Namun usul tersebut tidak mendapat tanggapan positif bila dibandingkan dengan Prov NAD dan Prov Papua dengan dikembalikan lagi ke daerah[27]. Kedua provinsi tersebut telah menerima otonomi khusus masing-masing dengan UU No 18/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Aceh (LN 2001 No.114; TLN 4134) dan UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (LN 2001 No 135; TLN 4151).

Pro Kontra Suksesi Gubernur II (2003)

Ketika masa jabatan Sultan HB X berakhir pada tahun 2003, kejadian pada tahun 1998 terulang kembali. DPRD Prov DI Yogyakarta menginginkan pemilihan Gubernur sesuai UU 22/1999. Namun kebanyakan masyarakat menghendaki agar Sultan HB X dan Sri Paduka PA IX ditetapkan menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur. Sekali lagi Sultan HB X dan Sri Paduka PA IX diangkat menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur dengan masa jabatan 2003-2008.

Pengaturan DIY Pada Masa Reformasi II (2004-sekarang[2012])

Tahun 2004, masalah keistimewaan kembali bergolak. Dalam UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah (LN 2004 No 125; TLN 4437), status keistimewaan Provinsi DIY tetap diakui, namun diisyaratkan akan diatur secara khusus[28][29][30] seperti provinsi-provinsi: NAD, DKI Jakarta, dan Papua[31]. Namun sebelum UU yang mengatur status keistimewaan Provinsi DIY diterbitkan, seluruh pelaksanaan pemerintahan mengacu pada UU tersebut. Sama seperti daerah provinsi yang lain, kecuali Aceh dan Papua, Pemerintahan Provinsi DIY dibagi menjadi Dinas, Badan, Kantor, Rumah Sakit, serta Sekretariat PemProv dan DPRD. Pada 2006 sekali lagi Provinsi DIY mengajukan usul namun sekali lagi pula usul itu dikembalikan seperti usulan empat tahun sebelumnya[27].

Periode VI (Peralihan): 2007 - sekarang (2012)

Pernyataan Pengunduran Diri Sultan HB X

Di tengah silang pendapat masyarakat mengenai keistimewaan DIY, pada 7 April 2007, Sultan HB X mengeluarkan pernyataan bersejarah[32] lewat orasi budaya pada perayaan ulang tahunnya yang ke-61, yang pada intinya tidak bersedia lagi untuk dipilih sebagai Gubernur DIY setelah masa jabatannya selesai tahun 2008[33].
Pernyataan Sultan HB X itu mendapat tanggapan dari berbagai pihak. Sofian Effendi[34] (rektor UGM pada saat itu) menyampaikan bahwa keraton memang tidak perlu ikut kegiatan dalam pemerintahan sehari-hari, Sultan atau Keraton harus harus di atas itu tetapi keuangan keraton harus dijamin anggaran daerah. Sedangkan keistimewaan DIY menurutnya dapat meniru kesultanan di Malaysia atau sistem monarki parlementer Inggris. Sementara itu Purwo Santoso[34] pakar otda UGM menilai sebagai langkah positif bagi perkembangan demokrasi dan tidak menyalahi keistimewaan.
Bagi Roy Suryo[35] pakar telematika yang juga kerabat Paku Alaman pernyataan Sultan HB X merupakan “sabdo pandhito ratu” dan memerlukan penelaahan lebih lanjut. Roy berharap keistimewaan DIY tidak dirusak dengan adanya pilkada. Herry Zudianto[36] (Wali kota Yogyakarta) tidak setuju keraton dan raja dipisahkan sama sekali dari sistem pemerintahan.
Warga Bantul[37] siap menggelar Pisowanan Agung untuk meminta kejelasan tentang pernyataan Sultan serta menyampaikan aspirasi agar Sultan HB X tetap bersedia memimpin. Para lurah yang tergabung dalam Asosiasi Pemerintahan Desa Indonesia juga akan menemui Sultan untuk menyampaikan keberatan[36].
Akhirnya pada 18 April 2007, Sultan HB X menegaskan kembali untuk tidak menjadi Gubernur DIY dalam Pisowanan Agung yang dihadiri sekitar 40.000 warga Yogyakarta[38].

 Prov. DIY tahun 2007 beserta Kab/Kota di lingkungannya

Ambiguitas Sikap Masyarakat DIY

Sebuah jajak pendapat yang dilakukan oleh Kompas[38] pada 13 April 2007 menunjukkan 74,9% responden setuju jika jabatan Gubernur di pegang oleh kerabat Keraton Yogyakarta. Persentase ini lebih besar dari pada responden yang setuju dipegang oleh Masyarakat Umum (63,5%) maupun oleh Kerabat Pura Paku Alaman (59,1%). Terlihat dalam jajak pendapat ambiguitas sikap masyarakat Yogyakarta. Senada dengan itu jajak pendapat yang dilakukan oleh PSPA selama bulan maret (sebelum statement dikeluarkan) menunjukkan 70,3 persen responden menyetujui jika Gubernur DIY dipilih secara langsung[39].
Dalam sebuah jajak pendapat berseri yang dilakukan oleh Kompas[40] pada 21-22 Desember 2006 dan 13 April 2007 menyangkut persepsi masyarakat mengenai nilai keistimewaan DIY terjadi sebuah pergeseran. Pada Desember 2006 keberadaan Sultan Yogyakarta sebagai gubernur masih menjadi hal utama yang menentukan keistimewaan DIY (32,2%) disusul oleh keberadaan keraton, pusat kebudayaan dan seniman, kota pariwisata (27,7%). Setelah pernyataan ketidaksediaan Sultan sebagai gubernur pada April 2007 porsi terbesar ditunjukkan oleh Nilai historis DIY yang berperan dalam sejarah perjuangan bangsa (41,4%; sebelumnya hanya 15,7%) disusul oleh keberadaan Sultan sebagai gubernur (32,0%; sebelumnya 32,2%). Sedangkan opsi keberadaan keraton melorot menempati urutan empat (7,6%).

RUU Keistimewaan dan Pro Kontra Suksesi Gubernur III (2008)

Untuk mengakomodir keistimewaan DIY yang tidak jelas arahnya, PAH I Dewan Perwakilan Daerah membentuk Tim Kerja yang diketuai oleh Subardi (anggota DPD perwakilan DIY) untuk menjaring aspirasi[41]. Sementara itu Depdagri mempercayakan Jurusan Ilmu Pemerintahan (JIP) FISIPOL UGM untuk menyusun RUU Keistimewaan (RUUK) yang telah memaparkan hasilnya di depan DPRD DIY pada 14 Juni 2007[42]. Akhirnya pada 2 Juli 2007 diadakan uji sahih RUUK[43]. Sebagai narasumber dalam ujisahih tersebut adalah wakil Kraton GBPH Joyokusumo[44], tim RUU JIP Bambang Purwoko, Dosen FH UGM Aminoto dan Ketua Tim Perumus Naskah Akademik dan PAH I DPD RI Jawahir Thontowi. Dalam uji sahih terungkap bahwa pihak keraton tidak menginginkan adanya sebuah lembaga baru, cukup dua lembaga: Keraton beserta Puro di satu kelompok dan Pemda (pemprov dan DPRD) di kelompok satunya.
Walaupun Depdagri menarget sebelum akhir 2007 RUU Keistimewaan DIY sudah diserahkan kepada DPR[45], namun kenyataannya sampai Juni 2008 RUU Keistimewaan masih terkatung-katung di Setneg dan Depkumham[46]. Sementara itu DPD telah melangkah lebih jauh dengan mengesahkan RUU Perubahan Ketiga UU No 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan DIY[47]. RUU ini sudah diterima oleh Bamus DPR dan telah disetujui pada 6 Maret 2008 dalam surat bernomor TU.04/1871/DPR RI/III/2008 serta telah diserahkan ke Komisi II DPR untuk dibahas[46]. Sementara itu di daerah terjadi pergolakan terkait RUU Keistimewaan maupun pro kontra suksesi Gubernur Yogyakarta. Pada 25 Maret 2008 sekitar 10 ribu orang dari berbagai kabupaten di DIY menggelar “Sidang Rakyat” di halaman Gedung DPRD DIY. Acara tersebut pada intinya dimaksudkan untuk menyerukan agar DPRD DIY segera menyelenggarakan Rapat Paripurna Khusus untuk membuat keputusan politik sesuai aspirasi masyarakat DIY dan menolak Rancangan Undang-undang Keistimewaan (RUUK) yang bertentangan dengan aspirasi masyarakat[48]. Sehari sebelumnya tanggal 24 juga terjadi aksi masa yang serupa. Menindak lanjuti berbagai aksi masa baik yang mendukung penetapan (baca: kubu konservatif) maupun yang mendukung pemilihan gubernur (baca: kubu liberal) Rapat Gabungan Pimpinan DPRD DIY pada 10 April 2008 sepakat untuk menggelar Rapat Paripurna Dewan yang direncanakan digelar 17 April 2008[49]. Setelah sempat tertunda DPRD DIY memutuskan membentuk Panitia Khusus (Pansus) Akselerasi (percepatan) Keistimewaan Yogyakarta. Keputusan tersebut diambil dalam Rapat Paripurna (Rapur) DPRD DIY yang dipantau utusan Departemen Dalam Negeri pada 23 April 2008[50].
Secara substansi, terkait kepemimpinan DIY, Pansus sudah sepakat mengangkat kembali Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Sri Paduka Paku Alam IX sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY periode 2008-2013. Namun substansi RUUK belum selesai dirumuskan[51]. Sementara itu Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat menolak bicara soal usulan materi RUU Keistimewaan DIY. Selain ingin tetap berada di tengah, juga posisi kraton sudah tunduk pada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Selain itu Sultan menegaskan, sejak Maklumat 5 September 1945, posisi kraton sudah menjadi bagian dari republik. Karena itu, kraton akan tunduk dengan perundang-undangan. Terkait dengan RUUK, memang bisa muncul pro dan kontra. Namun demikian aspirasi masyarakat harus dapat diperhatikan, karena kedaulatan ada di tangan rakyat[52]. Pansus Percepatan RUU Keistimewaan DPRD DIY akhirnya menyelesaikan tugasnya pada 30 Juni 2008 dengan penyampaian laporan di hadapan Rapat Paripurna DPRD. Rapat Paripurna DPRD DIY pun menyepakati (dengan catatan) rekomendasi Pansus menjadi Keputusan Politik Dewan yang antara lain mendesak Pemerintah Pusat agar menetapkan Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Sri Paduka Paku Alam IX sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY 2008-2013 dan agar mempercepat pembahasan RUU Keistimewaan DIY[53][54].
Akhirnya RUU Keistimewaan DIY diserahkan oleh Pemerintah (Depdagri) kepada DPR RI pada pertengahan Agustus 2008 untuk dibahas[55]. Sementara itu pihak Keraton Yogyakarta (baca: keluarga keraton/adik-adik Sultan) juga menyiapkan dan mengirimkan draf RUU Keistimewaan DIY kepada DPR RI sebagai bahan masukan di samping berbagai draf yang ada[56].

Beberapa pemikiran rakyat

Substansi istimewa bagi Daerah Istimewa Yogyakarta

Substansi istimewa bagi Daerah Istimewa Yogyakarta dapat dilihat dalam kontrak politik antara Nagari Kasultanan Yogyakarta & Kadipaten Puro Pakualaman dengan Pemimpin Besar Revolusi Soekarno sebagaimana dituangkan dalam Pidato Penobatan HB IX, 18 Maret 1940; Piagam Kedudukan Sri Sultan Hamengku Buwono IX & Sri Paduka Pakualam VIII tanggal 19 Agustus 1945; Amanat 5 September 1945; Amanat 30 Oktober 1945; Amanat Proklamasi Kemerdekaan NKRI-DIY, 30 Mei 1949; Penjelasan pasal 18,UUD 1945; Pasal 18b (ayat 1 & 2), UUD NKRI 1945; Pasal 2, UU NO. 3/1950; Amanat Tahta Untuk Rakyat, 1986.
Subtsansi Istimewa bagi Daerah Istimewa Yogyakarta terdiri dari tiga hal : Pertama, Istimewa dalam hal Sejarah Pembentukan Pemerintahan Daerah Istimewa (sebagaimana diatur UUD 45, pasal 18 & Penjelasannya mengenai hak asal usul suatu daerah dalam teritoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbestuurende-landschappen & volks-gemeenschappen serta bukti - bukti authentik/fakta sejarah dalam proses perjuangan kemerdekaan, baik sebelum maupun sesudah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 hingga sekarang ini dalam memajukan Pendidikan Nasional & Kebudayaan Indonesia; Kedua, Istimewa dalam hal Bentuk Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta yang terdiri dari penggabungan dua wilayah Kasultanan & Pakualaman menjadi satu daerah setingkat provinsi yang bersifat kerajaan dalam satu kesatuan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (sebagaimana disebutkan dalam Amanat 30 Oktober 1945, 5 Oktober 1945 & UU No.3/1950); Ketiga, Istimewa dalam hal Kepala Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta yang dijabat oleh Sultan & Adipati yang bertahta (sebagaimana amanat Piagam Kedudukan 19 Agustus 1945 yang menyatakan Sultan & Adipati yang bertahta TETAP DALAM KEDUDUKANNYA dengan ditulis secara lengkap nama, gelar, kedudukan seorang Sultan & Adipati yang bertahta sesuai dengan angka urutan bertahtanya).
Polemik keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta ini makin berlarut - larut disebabkan oleh : Pertama, manuver politik terkait konvensi pencalonan Presiden PEMILU 2004 & PEMILU 2009 (radar jogja,28/9/10) serta penolakan HB X menjadi gubernur yang tertuang dalam orasi budaya pada saat ulang tahun ke 61 pada tanggal 7 April 2007, setelah melakukan melakukan laku spiritual memohon petunjuk Tuhan memutuskan untuk tidak bersedia menjabat gubernur setelah periode kedua masa jabatannya berakhir 2008 (radar jogja, 29/9/10);
Kedua, setiap produk undang - undang yang mengatur tentang pemerintah daerah (UU No. 5/1969, UU 5/1974, UU No. 22/99, UU No. 32/2004) tidak mampu menjangkau, mengatur dan melindungi hak asal - usul suatu daerah sebagaimana diamanatkan oleh Undang - undang Dasar 1945, pasal 18 & penjelasannya maupun amanat UUD 1945 (hasil amandemen), pasal 18 b (ayat 1 & 2);
Ketiga, pemahaman posisi serta substansi bagi Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia belum dipahami secara utuh dan benar oleh penerus tahta Kasultanan & Pakualaman (pasca HB IX & PA VIII) maupun oleh penerus tahta kepresidenan (pasca Soekarno & Hatta) maupun oleh masyarakat luas;
Keempat, ketidak pahaman para penerus & pengisi kemerdekaan karena perubahan orientasi tata pemerintahan dari geo-cultural (ranah kebudayaan) yang bernama Nusantara menjadi geo-politics (ranah politik) yang bernama Indonesia sebagaimana disebutkan dalam Bhineka Tunggal Ika belum dioperasionalisasikan secara yuridis formal dalam tata kehidupan sosial masayarakat & pemerintahan NKRI;
Kelima, perpindahan orientasi politik atau mazhab politik berdirinya negara dengan Sistem Continental menjadi Anglo Saxon dalam pelaksanaan pemerintah pasca Reformasi semakin mengkacaukan sistem & hukum tata negara Indonesia, hal ini dibuktikan dengan adanya amandemen UUD 1945 tanpa melalui Referendum sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 10/1985 dan perubahan sistem demokrasi dari Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan menjadi sistem pemilihan langsung & ternyata Pilihan Langsung ini lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya karena secara diam - diam telah terbukti bertentangan dengan sila ke IV Pancasila;
Keenam, proses demokratisasi di Daerah Istimewa Yogyakarta masih terus bergulat dan berlangsung sesuai dinamika politik lokal yang menekankan substansi demokrasi (musyawarah untuk mencapai mufakat), sehingga sampai dengan detik ini belum melaksanakan Pilgub & Pilwagub secara langsung karena sesuai UU No.3/1950 & Kontrak Politik antara Kasultanan & Pakualaman dengan Bung Karno memang Posisi Gubernur DIY adalah wakil pemerintah pusat (bertanggung-jawab langsung kepada presiden), sebagaimana halnya Camat yang melakukan tugas medewewind (tugas pembantuan) dan tidak masuk ranah desentralisasi sebagaimana wali kota, bupati, lurah yang dipilih secara langsung dipilih oleh rakyat sesuai amandemen UUD 45 & UU No. 32/2004.

September - Oktober 2011

Masa jabatan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta yang sudah diperpanjang selama tiga tahun (2008-2011) kembali diperpanjang untuk kedua kalinya (2011-2012).

Mei - Agustus 2012

Pada 10 Mei 2012, Sultan Hamengku Buwono X, dengan didampingi Adipati Paku Alam IX mengeluarkan dekrit kerajaan "Sabdatama". Dekrit tersebut pada intinya berisi, antara lain, Sultan Yogyakarta yang bertahta menjadi Gubernur dan Adipati Paku Alam yang bertahta menjadi Wakil Gubernur. Dekrit ini merupakan dekrit pertama yang dikeluarkan oleh Monarki Yogyakarta semenjak, terakhir, 30 Oktober 1945. Dengan dikeluarkannya dekrit ini sikap Pemerintah cq Kementerian Dalam Negeri agak melunak. Selain pengeluaran dekrit kerajaan terjadi pertemuan tertutup antara Sultan Yogyakarta dengan Presiden Republik Indonesia. Beberapa kesepahaman yang penting adalah menetapkan Sultan Yogyakarta yang bertahta sebagai Gubernur lima tahun sekali dan Adipati Paku Alam yang bertahta menjadi Wakil Gubernur lima tahun sekali. Selain itu disepakati bahwa Undang-undang Keistimewaan Yogyakarta akan diselesaikan dan diundangkan sebelum masa perpanjangan jabatan pada Oktober 2012 selesai.

Catatan kaki

  1. ^ a b Saafrudin Bahar et. al. (ed), 1993
  2. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q PJ Suwarno, 1994
  3. ^ Achiel Suyanto, 2007
  4. ^ a b c d e f g Joyokusumo, 2007
  5. ^ Pasal 18 UUD Indonesia yang pertama yang disahkan sehari sebelumnya berbunyi: “Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa.”
  6. ^ a b c d e f g h i j k Soedarisman P, 1984
  7. ^ Daerah-daerah yang mempunyai hak-hak asal usul dan di zaman sebelum Republik Indonesia mempunyai pemerintahan sendiri yang bersifat istimewa, dengan undang-undang pembentukan yang termaksud dalam ayat (3) dapat ditetapkan sebagai daerah istimewa yang setingkat dengan Provinsi, Kabupaten, atau Desa yang berhak mengatur dan mengurus rumah-tangganya sendiri. (Pasal 1 ayat (2) UU No 22/1948)
  8. ^ (5) Kepala Daerah Istimewa diangkat oleh Presiden dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu di zaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih menguasai daerahnya, dengan syarat-syarat kecakapan, kejujuran dan kesetiaan, dan dengan mengingat adat istiadat di daerah itu. (6) Untuk Daerah Istimewa dapat diangkat seorang Wakil Kepala Daerah Istimewa dengan mengingat syarat-syarat tersebut dalam ayat (5). Wakil Kepala Daerah Istimewa adalah anggota Dewan Pemerintah Daerah. (Pasal 18 ayat (5) dan (6) UU No 22/1948)
  9. ^ Tentang dasar pemerintahan di daerah istimewa adalah tidak berbeda dengan pemerintahan di daerah biasa; kekuasaan ada ditangan rakyat (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah). Yang berbeda ialah tentang angkatan Kepala Daerahnya. Juga yang mengenai angkatan Wakil Kepala Daerah, jikalau ada dua daerah istimewa dibentuk menjadi satu menurut Undang-undang Pokok ini, maka perlulah diadakan Wakil Kepala Daerah dari keturunan Raja dari salah satu daerah yang digabungkan tadi. Tingkatan daerah istimewa sama dengan tingkatan daerah biasa. Hasil penyelidikan itu akan menentukan apakah Daerah Istimewa itu masuk tingkat Provinsi, Kabupaten, atau Desa. Djikalau masuk tingkatan Kabupaten, maka Daerah Istimewa ini masuk ke dalam lingkungan Provinsi biasa. (Petikan Penjelasan umum UU No 22/1948 sub 29 dan 30)
  10. ^ Yang dimaksud dalam pasal 1 ayat (2) ialah yang pada zaman pemerintahan Hindia Belanda dinamakan Zelfbestuurende landschappen. Karena daerah-daerah itu menjadi bagian pula dari Negara Republik Indonesia maka daerah-daerah istimewa itu diatur pula dan cara pemerintahannyapun diatur sama dengan lain-lain daerah, berdasarkan kedaulatan rakyat. Ke-istimewaan peraturan untuk daerah istimewa hanya mengenai Kepala Daerahnya ditentukan bahwa Kepala (Wakil Kepala) Daerah Istimewa diangkat oleh Pemerintah dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu. Sesudah berlakunya undang-undang pokok ini maka daerah-daerah istimewa dulu dapat dibentuk menjadi daerah biasa otonom atau daerah istimewa otonom; lain kemungkinan tidak ada. (Petikan Penjelasan pasal 1 UU No 22/1948)
  11. ^ (1) Daerah yang meliputi daerah Kesultanan Yogyakarta dan daerah Paku Alaman ditetapkan menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta. (2) Daerah Istimewa Yogyakarta adalah setingkat dengan Provinsi. (Pasal 1 ayat (1) dan (2) UU No 3 Tahun 1950)
  12. ^ a b c d e Joyokusumo dalam Kedaulatan Rakyat 03 Juli 2007
  13. ^ Pembentukan Daerah Swatantra, demikian pula Daerah Istimewa termaksud dalam pasal 2 ayat (2), termasuk perubahan wilayahnya kemudian, diatur dengan Undang-undang. (Pasal 3 UU No 1/1957)
  14. ^ (1) Kepala Daerah Istimewa diangkat dari calon yang diajukan oleh DPRD dari keturunan keluarga yang berkuasa di zaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih mengusai daerahnya, dengan memperhatikan syarat-syarat kecakapan, kejujuran, kesetiaan serta adat istiadat dalam daerah itu, dan diangkat dan diberhentikan oleh: a. Presiden bagi Daerah Istimewa tingkat I. (2) Untuk Daerah Istimewa dapat diangkat calon yang diajukan oleh DPRD, seorang Wakil Kepala Daerah Istimewa yang diangkat dan diberhentikan oleh penguasa yang yang mengangkat/memberhentikan Kepala Daerah Istimewa, dengan memperhatikan syarat-syarat tersebut dalam ayat (1). (3) Kepala dan Wakil Kepala Daerah Istimewa karena jabatannya adalah berturut-turut menjadi Ketua serta anggota dan Wakil Ketua serta anggota Dewan Pemerintah Daerah. (Petikan Pasal 25 ayat (1), (2), dan (3) UU no 1/1957)
  15. ^ Kepala Daerah Istimewa tidak dipilih oleh dan dari anggota DPRD melainkan diangkat oleh Pemerintah Pusat. Jadi keistimewaannya dari suatu Daerah Istimewa masih tetap terletak dalam kedudukan Kepala Daerahnya. Karena Kepala Daerah Istimewa ini diangkat oleh penguasa Pemerintah Pusat yang berwajib maka: a. ia tidak dapat ditumbangkan oleh DPRD, sedangkan: b. mengenai gaji dan segala emolumenten ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. (Petikan Penjelasan Umum Ad 4 UU No 1/1957)
  16. ^ Provinsi/Daerah Istimewa setingkat Provinsi dan Kabupaten/Daerah Istimewa setingkat Kabupaten yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan UU RI No 22 tahun 1948 tidak perlu dibentuk lagi sebagai Daerah Swatantra akan tetapi sejak berlakunya UU ini berturut-turut menjadi Daerah Tingkat ke I/Daerah Istimewa Tingkat I dan Daerah Tingkat ke II/Daerah Istimewa Tingkat II termaksud dalam UU ini. (Petikan Pasal 73 ayat (1) UU No 1/1957)
  17. ^ (1) Kepala Daerah Istimewa diangkat dari keturunan keluarga yang berkuasa menjalankan pemerintahan daerah itu di zaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih berkuasa menjalankan pemerintahan di daerahnya, dengan memperhatikan syarat-syarat kecakapan, kejujuran, kesetiaan pada Pemerintah Republik Indonesia serta adat istiadat dalam daerah itu dan diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. (2) Untuk Daerah Istimewa dapat diadakan seorang Wakil Kepala Daerah Istimewa, yang diangkat dan diberhentikan dengan memperhatikan syarat-syarat tersebut dalam ayat (1) pasal ini. (Pasal 6 ayat (1) dan (2) PenPres No 6/1959)
  18. ^ Pada saat berlakunya UU ini, maka: Daerah tingkat I dan Daerah Istimewa Yogyakarta yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan UU No 1 tahun 1957 serta Daerah Istimewa Aceh berdasarkan Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia No. 1/Missi/1959 adalah “Provinsi” termaksud dalam pasal 2 ayat (1) sub a UU ini. (Pasal 88 ayat (1) sub a UU No 18/1965)
  19. ^ Daerah-daerah swapraja yang de facto maupun de jure dinyatakan hapus. (Petikan Pasal 88 ayat (3) UU No 18/1965)
  20. ^ Sifat istimewa suatu daerah berlaku terus hingga dihapuskan. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta yang sekarang, pada saat berlakunya UU ini, adalah Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, yang tidak terikat pada jangka waktu masa jabatan dimaksud dalam pasal 17 ayat (1) dan pasal 21 ayat (5). (Petikan Pasal 88 ayat (2) sub a dan b UU No 18/1965)
  21. ^ Daerah yang bersifat istimewa disebut Daerah Istimewa. Karena itu, maka sebutan Daerah Yogyakarta dan sebutan Daerah Istimewa Aceh berlaku terus hingga dihapuskan atau diganti dengan peraturan-peraturan perundangan yang sah. Pada saatnya diharap bahwa status atau sifat istimewa bagi Yogyakarta dan Aceh akan hapus. (Petikan Penjelasan pasal 1 dan 2 UU No 18/1965)
  22. ^ Pada saat berlakunya UU ini: Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta yang sekarang adalah Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah menurut UU ini dengan sebutan Kepala Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta, yang tidak terikat pada ketentuan masa jabatan, syarat, dan cara pengangkatan bagi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah lainnya. (Pasal 91 sub b UU No 5/1974)
  23. ^ a b c Ariobimo Nusantara (ed), 1999
  24. ^ Pengakuan keistimewaan Provinsi Istimewa Yogyakarta didasarkan pada asal usul dan peranannya dalam sejarah perjuangan nasional, sedangkan isi keistimewaanya adalah pengangkatan Gubernur dengan mempertimbangkan calon dari keturunan Sultan Yogyakarta dan Wakil Gubernur dengan mempertimbangkan calon dari keturunan Paku Alam yang memenuhi syarat sesuai UU ini. (Petikan Penjelasan Pasal 122 UU No 22/1999)
  25. ^ Keistimewaan untuk Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 5 Tahun 1974, adalah tetap dengan ketentuan bahwa penyelenggaraan pemerintahan Provinsi Istimewa Aceh dan Provinsi Istimewa Yogyakarta didasarkan atas UU ini. (Pasal 122 UU No 22/1999)
  26. ^ Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-undang. (Pasal 18B ayat (1) UUD 1945[kedua/setelah perubahan 1-4])
  27. ^ a b c HB X dalam Kedaulatan Rakyat 23 Mei 2007
  28. ^ Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-undang. (Pasal 2 ayat (8) UU No 32/2004)
  29. ^ Yang dimaksud satuan-satuan pemerintahan yang bersifat khusus adalah daerah yang diberi otonomi khusus, sedangkan daerah istimewa adalah Daerah Istimewa Aceh dan Daerah Istimewa Yogyakarta. (Penjelasan Pasal 2 ayat (8) UU No 32/2004)
  30. ^ (1) Ketentuan dalam UU ini berlaku bagi Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Provinsi Papua, dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarata sepanjang tidak diataur secara khusus dalam UU tersendiri. (2) Keistimewaan untuk Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 22 Tahun 1999, adalah tetap dengan ketentuan bahwa penyelenggaraan pemerintahan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta didasarkan pada UU ini. (Pasal 226 ayat (1) dan (2) UU No 32/2004)
  31. ^ Yang dimaksud dengan UU tersendiri adalah UU Nomor 34 tentang Daerah Khusus Ibukota Jakarta, UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, jo UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. (Penjelasan pasal 226 ayat (1) UU No 32/2004)
  32. ^ Pernyataan bersejarah Sultan: "Selanjutnya setelah saya pertimbangkan secara mendalam dengan laku spiritual memohon petunjuk-Nya, maka saya harus mengambil ketegasan Sikap Spiritual Kultural yang saya tuangkan dalam sebuah Pernyataan Sejarah, sebagai berikut: 1. Dengan tulus ikhlas saya menyatakan tidak bersedia dipilih sebagai Gubernur/Kepala Daerah Provinsi DIY pada purna masa jabatan tahun 2003-2008 nanti. 2. Selanjutnya saya titipkan masyarakat DIY kepada Gubernur/Kepala Daerah Provinsi DIY yang akan datang." (Kompas Yogyakarta 9 April 2007)
  33. ^ HB X, 2007
  34. ^ a b Kompas 09 April 2007
  35. ^ Kompas Yogyakarta 09 April 2007A
  36. ^ a b Kompas Yogyakarta 09 April 2007C
  37. ^ Kedaulatan Rakyat 09 April 2007
  38. ^ a b Kompas Yogyakarta 19 April 2007
  39. ^ Kedaulatan Rakyat 19 April 2007
  40. ^ Kompas Yogyakarta 20 April 2007
  41. ^ Kompas Yogyakarta 10 April 2007
  42. ^ Kedaulatan Rakyat 15 Juni 2007
  43. ^ Kedaulatan Rakyat 03 Juli 2007
  44. ^ Joyokusumo atau selengkapnya Gusti Bendoro Pangeran Hario Joyokusumo yang lebih sering disapa Gusti Joyo adalah salah seorang Rayi Dalem (Adik Raja). Ia adalah Penghageng Kawedanan Hageng Panitrapura Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat, Pejabat Tinggi di Lembaga Tinggi Keraton Yogyakarta (lihat pemisahan Istana dan Negara di atas). Selain itu beliau adalah anggota DPR RI (masa bakti 1999-2004 dan 2004-2009) mewakili DIY dan berasal dari Partai Golkar.
  45. ^ Kedaulatan Rakyat 31 Agustus 2007 dan Kedaulatan Rakyat 22 September 2007
  46. ^ a b Kedaulatan Rakyat 18 Juni 2008
  47. ^ Kedaulatan Rakyat 20 September 2007
  48. ^ Kedaulatan Rakyat 26 Maret 2008
  49. ^ Kedaulatan Rakyat 11 April 2008
  50. ^ Kedaulatan Rakyat 24 April 2008
  51. ^ Kedaulatan Rakyat 2 Juni 2008
  52. ^ Kedaulatan Rakyat 7 Juni 2008
  53. ^ Siaran tunda TVRI lokal Yogyakarta, Rabu 2 Juli 2008
  54. ^ Situs Pemprov DIY "DPRD DIY: Tetapkan HB X dan PA IX Sebagai Gub. dan Wagub DIY 2008-2013; Sultan: Terserah Saja Itu Aspirasi"
  55. ^ Kedaulatan Rakyat 21 Agustus 2008
  56. ^ Kedaulatan Rakyat 2 dan 4 September 2008


Sumber

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright @ 2013 PEJUANG ISLAM.