Sabtu, 04 Januari 2014

Filled Under:

Kekaisaran Seleukia (2)

 Kekaisaran Seleukia diperlihatkan dalam warna kuning

Kekuasaan memudar dan kebangkitan kembali

Pada saat anak Antiokhos II, Seleukos II Kalinikos naik takhta sekitar 246 SM, kekuasaan Dinasti Seleukd tampak merosot. Selain dari pemisahan diri Parthia dan Baktria, Seleukos II secara dramatis dikalahkan dalam Perang Suriah Ketiga melawan Ptolemaios III dari Mesir, dan kemudian harus menghadapi perang saudara melawan saudaranya sendiri Antiokhos Hierax. Di Asia Kecil pula, Dinasti Seleukid tampaknya kehilangan kekuasaannya – bangsa Galia telah sepenuhnya memantapkan kekuasaannya di Galatia, kerajaan-kerajaan yang semi-independen semi-Helenis bermunculan di Bitinia, Pontus, dan Kapadosia, dan kota Pergamum di sebelah barat menyatakan kemerdekaannya di bawah Dinasti Attalid.
Tetapi Kekaisaran ini bangkit kembali ketika anak Seleukos II yang lebih muda, Antiokhos III yang Agung, naik takhta pada 223 SM. Meskipun mulanya gagal dalam Perang Suriah Keempat melawan Mesir, yang menyebabkan kekalahan yang memalukan pada Pertempuran Raphia (217 SM), Antiokhos belakangan membuktikan dirinya sebagai yang terbesar dari semua penguasa Seleukia setelah Seleukos I sendiri. Setelah kekalahannya di Raphia, ia menghabiskan 10 tahun berikutnya di Anabasisnya di seluruh bagian timur dari wilayah kekuasaannya. Ia memulihkan vasal-vasal yang memberontak seperti Parthia dan Baktria hingga sekurang-kurangnya secara nominal mereka menjadi taat, dan bahkan meniru Aleksander dengan melakukan ekspedisi ke India.
Ketika ia kembali ke barat pada 205 SM, Antiokhos menemukan bahwa dengan kematian Ptolemaios IV, situasinya kini tampak menguntungkan untuk melakukan peperangan lagi ke sebelah barat.
Antiokhos dan Philippos V dari Makedonia kemudian membuat suatu kesepakatan untuk membagi-bagi wilayah kekuasaan Ptolemaios di luar Mesir, dan dalam Perang Suriah Kelima, Dinasti Seleukid menggulingkan Ptolemaios V dari kekuasaannya atas Koele-Suriah. Pertempuran Panium (198 SM) mengukuhkan peralihan kekuasaan dari tangan keluarga Ptolemaios kepada Dinasti Seleukid. Antiokhos tampaknya, sekurang-kurangnya, berhasil memulihkan keagungan Kerajaan Seleukia.

Kekuasaan Romawi dan disintegrasi kembali

Namun keagungan Antiokhos tidak bertahan lama. Setelah kekalahan bekas sekutunya Philippos di tangan Romawi pada 197 SM, Antiokhos kini melihat kesempatan untuk berekspansi ke Yunani. Didorong oleh jenderal Kartago, Hannibal, dan setelah membangun aliansi dengan Liga Aitolia yang merasa tidak puas, Antiokhos [un menyerang Yunani. Malangnya, keputusan ini menyebabkan kejatuhannya: ia dikalahkan oleh pasukan Romawi di Thermopylae (191 SM) dan pada Magnesia (190 SM), dan dipaksa untuk mengadakan perdamaian dengan Romawi melalui Perjanjian Apamia (188 SM) yang memalukan – yang memaksanya untuk melepaskan semua wilayahnya di Eropa, menyerahkan semua daerah di sebelah utara Asia Kecil, Pegunungan Taurus, kepada Pergamum, dan menyetujui pembayaran ganti rugi yang sangat besar. Antiokhos meninggal pada 187 SM dalam sebuah ekspedisi lain ke timur; dengan ekspedisi ini ia berusaha mengumpulkan uang untuk membayar ganti rugi tersebut.
Pemerintahan oleh anak dan penggantinya, Seleukos IV Philopator (187-175 SM) pada umumnya dihabiskan dengan berbagai usaha untuk membayar ganti rugi yang besar itu, dan Seleukos pada akhirnya dibunuh oleh menterinya Heliodoros. Adik laki-laki Seleukos, Antiokhos IV Epiphanes, kini merebut takhta. Ia berusaha memulihkan wibawa Seleukia dengan mengadakan perang yang sukses melawan Mesir; namun demikian, meskipun ia berhasil memukul tentara Mesir mundur hingga ke Alexandria, ia sendiri dipaksa menarik mundur oleh utusan Romawi Popilius Laena, yang terkenal karena membuat lingkaran di pasir di sekeliling raja itu dan menyuruhnya untuk mengambil keputusan apakah ia mau mundur atau tidak dari Mesir sebelum ia meninggalkan lingkaran tersebut. Antiokhos memilih untuk mundur.
Pada masa pemerintahannya di kemudian hari, ia menyaksikan disintegrasi lebih jauh Kekaisarannya. Wilayah timur kekaisarannya hampir tidak bisa dikendalikan, ketika orang-orang Parthia mulai mengambil alih tanah Persia; dan upaya helenisasi Antiokhos yang agresif (atau de-Yahudisasi) menyebabkan bangkitnya pemberontakan bersenjata di Yudea – yaitu pemberontakan Makabe. Upaya-upaya untuk menangani bangsa Parthia dan orang-orang Yahudi terbukti sia-sia, dan Antiokhos sendiri mati dalam sebuah ekspedisi melawan bangsa Parthia pada 164 SM.

Perang saudara dan kehancuran lebih jauh

Setelah kematian Antiokhos IV Epiphanes, Kekaisaran Seleukia menjadi semakin tidak stabil. Berbagai perang saudara yang kerap kali terjadi menggoyahkan kekuasaan sentral. Anak Epiphanes yang masih muda, Antiokhos V Eupator, mula-mula digulingkan oleh anak Seleukos IV, Demetrios I Soter pada 161 SM. Demetrios I berusaha memulikan kekuasaan Seleukia di Yudea khususnya, namun ia digulingkan pada 150 SM oleh Aleksander Balas – seorang penipu yang (dengan dukungan Mesir) mengaku-ngaku sebagai anak Epiphanes. Aleksander Balas memerintah hingga 145 SM, ketika ia digulingkan oleh anak Demetrios I, Demetrios II Nikator. Namun demikian Demetrios II terbukti tidak mampu mengendalikan seluruh kerajaan. Sementara ia memerintah Babilonia dan Suriah bagian timur dari Damaskus, sisa-sisa pendukung Balas – mula-mula mendukung anak Balas, Antiokhos VI, dan kemudian mendukung jenderal yang merebut kekuasaan Diodotos Tryfon – ditahan di Antiokhia.
Sementara itu, terlepasnya daerah kekuasaan Kekaisaran terus berlangsung. Pada 143 SM, orang-orang Yahudi telah sepenuhnya mengukuhkan kemerdekaan mereka. Ekspansi Parthia juga berlanjut terus. Pada 139 SM, Demetrios II dikalahkan dalam pertempuran oleh orang-orang Parthia dan ditangkap. Pada saat ini, keseluruhan Dataran Tinggi Iran telah jatuh ke tangan Parthia. Saudara laki-laki Demetrios Nikator, Antiokhos VII, akhirnya mampu memulihkan kesatuan dan kekuatan untuk sementara waktu ke wilayah kekuasaan Seleukia, namun ia terbukti tidak setara dengan ancaman Parthia. Ia terbunuh dalam pertempuran dengan orang-orang Parthia pada 129 SM, yang menyebabkan keruntuhan terakhir kekuasaan Seleukia atas Babilonia. Setelah kematian Antiokhos VII, seluruh kekuasaan Seleukia praktis hancur, karena berbagai pihak memperebutkan kekuasaan atas apa yang tersisa dari wilayah Seleukia dalam perang saudara yang tidak habis-habisnya.

Keruntuhan Kekaisaran Seleukia

Pada 100 SM, Kekaisaran Seleukia yang pernah begitu digjaya kini hanya mencakup wilayah yang sedikit lebih luas daripada Antiokhia dan beberapa kota Suriah. Meskipun kekuasaannya jelas sudah hancur dan kerajaan mereka runtuh di sekitarnya, kaum bangsawannya terus memainkan peranan sebagai tokoh-tokoh berpengaruh dalam peta kekuatan di daerah itu, dengan sekali-sekali campur tangan dari Kerajaan Ptolemaik di Mesir dan kekuatan-kekuatan luar lainnya. Dinasti Seleukid ada semata-mata karena tidak ada bangsa lain yang ingin mencaplok mereka. Mereka dianggap sebagai peredam di antara tetangga-tetangga mereka. Dalam berbagai peperangan di Anatolia antara Mithridates VI dari Pontus dan Sulla dari Romawi, Dinasti Seleukid umumnya dibiarkan oleh para petarung utamanya.
Namun demikian, menantu Mithridates yang ambisius, Tigranes Agung, raja dari Armenia, melihat kesempatan untuk melakukan perluasan dalam untuk memperluas wilayahnya di tengah-tengah perang saudara yang berkelanjutan di selatan. Pada 83 SM, atas undangan dari salah satu pihak yang terlibat dalam perang saudara yang berkelanjutan itu, ia menyerang Suriah, dan segera menetapkan dirinya sebagai penguasa Suriah, dan praktis mengakhir kekuasaan Seleukia.
Namun demikian, kekuasaan Seleukia tidak sama sekali tamat. Setelah kemenangan jenderal Romawi Lucullus atas Mithridates dan Tigranes pada 69 SM, sisa-sisa kerajaan Seleukia dipulihkan di bawah Antiokhos XIII. Bahkan sekarang, perang saudara tidak dapat dicegah, karena seorang penguasa Seleukia lainnya, Filipus II, memperebutkan kekuasaan dengan Antiokhus. Setelah penaklukan Romawi atas Pontus, orang-orang Romawi menjadi semakin kuatir atas ketidakstabilan yang berkelanjutan di Suriah di bawah Dinasti Seleukid. Setelah Mithridates dikalahkan oleh Pompeius pada 63 SM, Pompeius berusaha menciptakan kembali wilayah Timur yang hellenis, dengan menciptakan kerajaan-kerajaan klien yang baru dan mendirikan provinsi-provinsi. Sementara negara-negara klien seperti Armenia dan Yudea dibiarkan tetap mempertahankan otonomi pada batas tertentu di bawah raja-raja setempat, Pompeius menganggap Dinasti Seleukid terlalu merepotkan untuk dibiarkan berlanjut. Sambil menyingkirkan kedua pangeran Seleukia yang merupakan lawannya, ia menjadikan Suriah sebagai sebuah provinsi Romawi.

Para penguasa Seleukia

Dalam media modern

Kekaisaran Seleukia (The Seleucid Empire ) adalah nama sejumlah faksi dalam permainan komputer 2004 Rome: Total War.
Maccabees (Kaum Makabe), yang mengusir bangsa Seleukia, adalah nama bir dan sejumlah tim olah raga (termasuk bola basket dan sepak bola) di Israel pada 2006.

Referensi

  1. ^ a b c d Taagepera, Rein (1979). "Size and Duration of Empires: Growth-Decline Curves, 600 B.C. to 600 A.D". Social Science History 3 (3/4): 115–138. doi:10.2307/1170959. JSTOR 1170959.
  2. ^ Jones, Kenneth Raymond (2006). Provincial reactions to Roman imperialism: the aftermath of the Jewish revolt, A.D. 66-70, Parts 66-70. University of California, Berkeley. hlm. 174. ISBN 0-542-82473-6, 9780542824739 Check |isbn= value (help). "... and the Greeks, or at least the Greco-Macedonian Seleucid Empire, replace the Persians as the Easterners."
  3. ^ Society for the Promotion of Hellenic Studies (London, England) (1993). The Journal of Hellenic studies, Volumes 113-114. Society for the Promotion of Hellenic Studies. hlm. 211. "The Seleucid kingdom has traditionally been regarded as basically a Greco-Macedonian state and its rulers thought of as successors to Alexander."
  4. ^ Baskin, Judith R. ; Seeskin, Kenneth (2010). The Cambridge Guide to Jewish History, Religion, and Culture. Cambridge University Press. hlm. 37. ISBN 0-521-68974-0, 9780521689748 Check |isbn= value (help). "The wars between the two most prominent Greek dynasties, the Ptolemies of Egypt and the Seleucids of Syria, unalterably change the history of the land of Israel…As a result the land of Israel became part of the empire of the Syrian Greek Seleucids."
  5. ^ a b c Glubb, Sir John Bagot (1967). Syria, Lebanon, Jordan. Thames & Hudson. hlm. 34. OCLC 585939. "In addition to the court and the army, Syrian cities were full of Greek businessmen, many of them pure Greeks from Greece. The senior posts in the civil service were also held by Greeks. Although the Ptolemies and the Seleucids were perpetual rivals, both dynasties were Greek and ruled by means of Greek officials and Greek soldiers. Both governmennts made great efforts to attract immigrants from Greece, thereby adding yet another racial element to the population."
  6. ^ a b Steven C. Hause, William S. Maltby (2004). Western civilization: a history of European society. Thomson Wadsworth. hlm. 76. ISBN 0-534-62164-3, 9780534621643 Check |isbn= value (help). "The Greco-Macedonian Elite. The Seleucids respected the cultural and religious sensibilities of their subjects but preferred to rely on Greek or Macedonian soldiers and administrators for the day-to-day business of governing. The Greek population of the cities, reinforced until the second century BCE by emigration from Greece, formed a dominant, although not especially cohesive, elite."
  7. ^ Victor, Royce M. (2010). Colonial education and class formation in early Judaism: a postcolonial reading. Continuum International Publishing Group. hlm. 55. ISBN 0-567-24719-8, 9780567247193 Check |isbn= value (help). "Like other Hellenistic kings, the Seleucids ruled with the help of their “friends” and a Greco-Macedonian elite class separate from the native populations whom they governed."
  8. ^ Britannica, Seleucid kingdom, 2008, O.Ed.


Sumber

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright @ 2013 PEJUANG ISLAM.