1. Trailokyaraja
Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa merupakan seorang maharaja Melayu di Dharmasraya dan dianggap juga sebagai Maharaja Sriwijaya.Secara etimologi Trailokya dalam Bahasa Sanskerta dapat bermaksud "tiga dunia",[1][2][3][4][5] "tiga tingkatan",[3] "tiga kehidupan", "tiga alam" dan "tiga wilayah".[4]
Biografi
Munculnya Trailokyaraja sebagai seorang Maharaja Melayu berdasarkan prasasti Grahi di selatan Thailand yang berangka tahun 1183, dan selanjutnya dikaitkan dengan nama seorang Maharaja Dharmasraya tahun 1286 berdasarkan prasasti Padang Roco. Kemudian sejarawan menganggap bahwa pada masa Trailokyaraja ini telah terjadi perubahan kekuasaan di bhumi malayu, di mana dahulunya kawasan yang disebut dengan San-fo-ts'i berdasarkan kronik Tiongkok, dirujuk kepada Sriwijaya namun telah digantikan oleh Dharmasraya.[6]Rujukan
- ^ Monier-Williams (1899), p. 460, col. 1, (http://www.sanskrit-lexicon.uni-koeln.de/scans/MWScan/MWScanpdf/mw0460-trimala.pdf) and p. 462, col. 2, (http://www.sanskrit-lexicon.uni-koeln.de/scans/MWScan/MWScanpdf/mw0462-tripu.pdf).
- ^ Rhys Davids & Stede (1921-25), p. 301, (http://dsal.uchicago.edu/cgi-bin/philologic/getobject.pl?p.1:129.pali)
- ^ a b Fischer-Schreiber, Ingrid, Franz-Karl Ehrhard, Michael S. Diener and Michael H. Kohn (trans.) (1991). The Shambhala Dictionary of Buddhism and Zen. Boston: Shambhala Publications. ISBN 0-87773-520-4., sinonim dari triloka termasuk trailokya dan traidhātuka.
- ^ a b Blavatsky (1892), pp. 336-7, (http://www.phx-ult-lodge.org/ATUVWXYZ.htm#t).
- ^ Purucker (1999), (http://www.theosociety.org/pasadena/etgloss/tho-tre.htm).
- ^ Muljana, Slamet (2006). Sriwijaya. Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara. ISBN 978-979-8451-62-1.
2. Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa
Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa merupakan salah seorang Maharaja Melayu yang pernah memerintah di Dharmasraya (sekarang Kabupaten Dharmasraya). Namanya disebutkan pada Prasasti Padang Roco sebagai penguasa di Bumi Melayu. Sementara jika membandingkan dengan Sulalatus Salatin, terdapat kemiripan namanya dengan tokoh pendiri Singapura yaitu Sri Tri Buana (Sang Nila Utama).[1]Biografi
Tribhuwanaraja sendiri kemungkinan besar adalah merupakan keturunan dari Maharaja Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa yang disebut dalam Prasasti Grahi (selatan Thailand).Munculnya nama Dharmasraya sebagai kerajaan melayu menunjukan luasnya pengaruh kerajaan ini sampai ke pulai Jawa, sehingga raja Singhasari waktu itu Kertanagara perlu melakukan suatu kerjasama dengan kerajaan ini, sehingga muncullah Ekspedisi Pamalayu, dan pada tahun 1286 Kertanagara menghadiahkan Arca Amoghapasa sebagai hadiah persahabatan, sekaligus pengakuan dari Dharmasraya sebagai bahagian dari Singhasari.
Selanjutnya dari Pararaton dan Nagarakretagama, raja Melayu setelah menerima Arca Amoghapasa, menjodohkankan dua orang putrinya yaitu Dara Jingga dan Dara Petak untuk disunting oleh Kertanagara, namun dalam kepulangan kembali tim ekspedisi ini, Singhasari telah runtuh dan digantikan oleh Majapahit, Raden Wijaya sebagai ahli waris mempersunting Dara Petak, yang kemudian hari melahirkan raja kedua Majapahit yaitu Jayanagara, sedangkan Dara Jingga diserahkan kepada dewa (salah seorang bangsawan), sehingga Dara Jingga disebut juga dengan sira alaki dewa, yang kemudian hari melahirkan Adityawarman.[2][3] Namun Profesor Uli Kozok seorang filolog meragukan kalau Adityawarman adalah putra langsung dari Dara Jingga, tetapi memang keturunannya. Selanjutnya Uli Kozok meyakini bahwa yang dimaksud putra Dara Jingga tersebut adalah Akarendrawarman.[4]
Rujukan
- ^ Raffles, T. S., (1821), Malay annals (trans. John Leyden), Longman, Hurst, Rees, Orme, and Brown
- ^ Mangkudimedja, R.M., (1979), Serat Pararaton, Alih aksara dan alih bahasa Hardjana HP, Jakarta, Departemen P dan K, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.
- ^ Muljana, Slamet, (2006), Tafsir Sejarah Nagarakretagama, Yogyakarta: LKIS, ISBN 979-25-5254-5
- ^ us.detiknews.com Sejarah Adityawarman (diakses pada 11 Juli 2010)
3. Akarendrawarman
Akarendrawarman merupakan salah seorang raja Melayu, naik tahta menggantikan Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa pada tahun 1316.[1]Biografi
Berdasarkan prasasti Suruaso,[2] ia telah memulai pembangunan saluran irigasi untuk mengairi lahan pertanian di Surawasa (sekarang Suruaso). Kemudian pekerjaan ini diteruskan oleh raja penerusnya yaitu keponakannya sendiri, Adityawarman.[3]Novel
Wisran Hadi menyebutkan namanya sebagai Angkerawarman dalam Novelnya Generasi Ketujuh.Rujukan
- ^ Andaya, L. Y., (2008). Leaves of the same tree: trade and ethnicity in the Straits of Melaka. University of Hawaii Press. ISBN 0-8248-3189-6.
- ^ Casparis, J.G. (1990). "An ancient garden in West Sumatra". Kalpataru (9): 40–49.
- ^ Kozok, U., (2006). Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah: Naskah Melayu yang Tertua. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. ISBN 979-461-603-6.
4. Adityawarman
Untuk artikel Adityawarman anda bisa membuka pada Tokoh dan Raja Majapahit5. Ananggawarman
Ananggawarman adalah seorang raja di kerajaan Malayapura antara tahun 1375 sampai 1417.[rujukan?] Ia adalah putra sekaligus pewaris dari Adityawarman, sebagaimana tersebut dalam Prasasti Batusangkar. Setelah Ananggawarman, pengaruh kekuasaan Majapahit dan agama Hindu-Buddha berangsur-angsur menghilang di wilayah kerajaan Pagaruyung atau Minangkabau.Arti nama
Nama Ananggawarman berasal dari bahasa Sanskerta. Artinya kurang lebih ialah "Yang perisainya tak berbadan".Masa pemerintahan
Menurut cerita adat (tambo) Minangkabau, Ananggawarman adalah anak dari Adityawarman dan Puti Reno Jalito. Ananggawarman menikah dengan Puti Reno Dewi, dan memiliki tiga orang putri yaitu Puti Panjang Rambuik, Puti Salareh Pinang Masak, dan Puti Bongsu. Ketiga putrinya kemudian menikah dengan para pemuka adat, yang kemudian membentuk kaum bangsawan Pagaruyung.[rujukan?]Pada masa Ananggawarman[1], kerajaan Majapahit mencoba menundukan kembali bhumi malayu, hal ini dimulai pada tahun 1409, Majapahit yang saat itu di bawah kekuasaan Wikramawardhana (menantu Hayam Wuruk), sempat mengirim pasukan dalam jumlah besar untuk menaklukkan negeri ini. Ananggawarman dapat mengalahkan pasukan tersebut dalam pertempuran yang diperkirakan terjadi di Padang Sibusuk, sebuah nagari di Kabupaten Sijunjung. Legenda-legenda Minangkabau menyebutkan peristiwa heroik ini[2].
Setelah meninggalnya Ananggawarman, pengaruh kekuasaan Majapahit dan agama Hindu-Buddha berangsur-angsur menghilang di wilayah kerajaan Pagaruyung atau Minangkabau.
Penerus Ananggawarman
Karena Ananggawarman tidak mempunyai seorang putera pun, maka sepeninggalnya Pagaruyung mengalami huru-hara politik yang hebat seiring dengan kurangnya dukungan rakyat Pagaruyung atau Minangkabau terhadap sistem politik warisan Anannggawarman.Minangkabau sebagai wilayah budaya atau Pagaruyung sebagai wilayah kekuasaan di Minangkabau mengalami kevakuman selama lebih dari satu abad kemudian. Di zaman ini banyak rakyat yang melakukan migrasi ke berbagai daerah rantau akibat ketidaknyamanan hidup di Luhak sebagai pusat kekuasaan. Sebagian merantau ke Kubuang Tigo Baleh terus ke Lubuk Kilangan dan sekitarnya (sebagian besar wilayah kota Padang sekarang) dan ke wilayah utara Bandar Sepuluh, sebagian lain migrasi ke Sungai Pagu Muaro Labuh terus ke Bandar Sepuluh bertemu dengan rakyat Kesultanan Inderapura dan berbagai daerah lainnya.
Polemik keberadaan kisah Bundo Kandung dan Cindur Mato diduga terjadi di zaman kevakuman yang penuh misteri ini.
Referensi
Sumber
0 komentar:
Posting Komentar