SAYA punya keyakinan, orang-orang tua di Cot Pulot
Jeumpa Aceh Besar tidak bisa melupakan tragedi Cot Pulot, Jeumpa dan
Leupeung yang terjadi 56 tahun. Tragedi terbesar pada masa orde lama ini
diawali dari bentakan militer Indonesia yang menyeret warga berdiri
berjejer di pantai.
Dalam amuk kemarahan yang membara-bara, prajurit TNI mengiring
anak-anak, pemuda dan orangtua ke pantai Samudera Indonesia. Mereka
diperintahkan menghadap lautan lepas. Beberapa detik kemudian, tanpa
ampun, moncong senjata otomatis memuntahkan ratusan peluru. Puluhan
tubuh pria tewas membasahi pasir. Dalam sejarah kelam, fakta ini dikenal
dengan peristiwa Cot Pulot Jeumpa di Gampông Cot Pulot dan Gampông
Jeumpa Kecamatan Leupung Kabupaten Aceh Besar pada Februari 1955.
Insiden yang meluluhlantakan nilai-nilai kemanusiaan diawali dari
sehari sebelumnya sebuah truk militer membawa berdrum-drum minyak dan 16
tentara melintasi Cot Pulot. Mendekat jembatan Krueng Raba Leupung,
tentara Darul Islam yang dipimpin oleh Pawang Leman menghadang. Pawang
Leman adalah mantan camat setempat yang pada zaman revolusi Indonesia
berpangkat mayor.
Tembakan beruntun menyebabkan truk terbakar. Semua prajurit Batalyon B
anak buah Kolonel Simbolon dan anggota Batalyon 142 dari Sumatera Barat
anak buah Mayor Sjuib berguguran dijilat kobaran api. Tentara Darul
Islam menyebut pasukan Republik Indonesia dengan Tentara Pancasila.
Esoknya, satu peleton (berkekuatan 20-40) Tentara Republik merazia
pelaku. Razia dari rumah ke rumah tidak membawa hasil. Kekesalan tentara
sudah di ubun-ubun. Anak-anak hingga kakek yang ditemukan di jalan atau
tempat bekerja digiring ke pantai.
Penembakan pertama pada Sabtu, 26 Februari 1955 yang dilakukan oleh
Batalyon 142 terhadap 25 petani di Cot Pulot. Penembakan kedua pada
Senin, 28 Februari 1955 oleh Batalyon 142 terhadap 64 nelayan di Jeumpa.
Penembakan ketiga pada tanggal 4 Maret 1955 di Kruengkala. Akibatnya 99
jiwa meregang nyawa dengan rincian di Cot Jeumpa 25 jiwa, di Pulot
Leupung 64 dan Kruengkala 10 jiwa. Usia termuda yang wafat yakni 11
tahun dan paling tua berusia 100 tahun. Pembantaian ini sebagai balas
dendam terhadap rekan-rekannya yang ditembak oleh tentara Darul Islam.
Indonesia menutup rapat-rapat pembantai warga sipil yang pertama
dilakukan di Aceh oleh negara.
Koran Peristiwa
Suasana kekalutan itu semakin gempar dengan pemberitaan surat kabar
Peristiwa pada awal Maret 1955. Isi koran yang terbit di Kutaradja ini
dikutip oleh berbagai media ibu kota di Jakarta dan internasional.
Peristiwa memuatnya dengan judul enam kolom di halaman pertama.
Disebutkan pada tanggal 26 Februari 1955 kira-kria jam 12 siang WSu
(Waktu Sumatera) sepasukan alat-alat negara menangkap seluruh lelaki
penduduk Cot Jeumpa yang didapati di rumah. Mereka dikumpulkan di
pinggir laut. Lalu tanpa periksa, seluruh pria itu ditembak hingga semua
rebah bermandikan darah.
Peristiwa mewartakan pada tanggal 28 Februari 1955, kira-kira jam 12
siang WSu, orang berpakain seragam menembak mati 64 warga Leupung.
Mereka ditangkap di rumah, sedang melempar jala, memancing dan
lain-lain. Kemudian dikumpulkan di pinggir laut. Peristiwa memberitakan,
mayat-mayat yang bergelimpangan itu dikuburkan dalam dua lubang besar.
Peristiwa memuat nama korban lengkap dengan umur dan tempat tinggal
Tentu militer Indonesia menolak publikasi Peristiwa. Komandan Tentara
Teritorium I Bukit Barisan Pada tanggal 10 Maret 1955 memberi
penjelasan kejadian sebagai berikut. Pada tanggal 22 Februari 1955
sepasukan tentara yang ditempatkan di Lhong berangkat pagi-pagi jam
06.30 WSu, 16 tentara dari Peleton 32 Batalyon 142 menuju Kompi II di
Lhok Nga untuk mengambil bahan makanan dan bensin. Pada sorenya satu
satu truk membawa perbekalan dan bensin menuju Lhoong.
Ibarat membungkus bangkai, pasti tercium bau. Pemimpin Redaksi
Peristiwa Achmad Chatib Aly (sering disingkat menjadi Acha) melakukan
investigasi yang luar biasa. Koran yang terbit di Jalan Merduati No. 98
Kutaradja menjadi tumpuan warga untuk mengetahui hal-hal yang coba
disamar-samarkan itu. Kala itu, militer Indonesia memblokir jalan ke
Tempat Kejadian Perkara (TKP). Acha tidak kehilangan akal dengan menyewa
boat nelayan. Tugas jurnalistik ditunaikan dengan baik. Seminggu
kemudian, Peristiwa edisi 3 Maret 1955 memuat laporan bernas di halaman
satu dengan judul “Bandjir Darah di Tanah Rentjong”. Peristiwa edisi 10
Maret 1955 mencantumkan daftar warga yang ditembak oleh Batalyon 142,
Peleton 32 dengan memakai senjata Bren, 2 mobil, 2 jeep, 2 truk.
Tak ayal, berita ini dikutip oleh beberapa harian yang terbit di
Jakarta seperti Indonesia Raya. kemudian dikutip oleh media terbitan
luar negeri sepeti New York Times, Washington Post yang terbit di
Amerika Serikat atau Asahi Simbun yang terbit di Jepang. Warga Aceh di
Jakarta melancarkan protes keras kepada Perdana Menteri Ali
Sastroamidjojo agar mengirim misi menyelidiki kasus itu.
Berdasarkan pemberitaan Peristiwa yang dirintis pada awal tahun 1954,
Hasan Tiro yang tinggal di New York Amerika Serikat mengetahui sepak
terjang Indonesia. Diplomat cerdas ini menilai eksekusi massa itu adalah
genosida. Hasan Tiro yang dicabut paspor diplomatik Indonesia pada
tahun 1954 semakin yakin, Aceh yang diibaratkan sebagai bagian dari
puluhan kamar yang berteduh dalam rumah bernama Indonesia sudah waktunya
dipertanyakan.
Berhasilkah Hasan Tiro menempatkan kasus Cot Jeumpa, Pulot dan
Leupeung dalam agenda PBB? Beberapa surat kabar terbitan Medan Sumatera
Utara seperti Lembaga, Tangkas, dan Warta Berita menulis kasus yang
dilapor oleh Hasan Tiro tertera dalam agenda PBB. “Bila kemudian tak
dibicarakan di PBB itu lain soal. Kejadian di Aceh itu sudah jadi
perhatian internasional,” tulis Zakaria M. Passe di Majalah Tempo edisi
24 Oktober 1987.
Kekerasan oleh negara pada tahun 1955 terulang lagi di Aceh pada era
reformasi seperti pembantaian di Beutong Ateueh, Simpang KKA, Bumi Flora
dan lain-lain. Pembantaian demi pembantaian menjadi pelajaran agar
hal-hal ini mesti dicegah dengan membangun konstruksi komunikasi. Tidak
ada manusia yang bisa mencegah gempa bumi dan tsunami. Namun sebaliknya,
masyarakat bisa mencegah konflik bersenjata.
Pada dimensi lain, peran media seperti yang dilakukan oleh Pak Acha
melalui koran Peristiwa dalam merawat ingatan generasi muda masa kini
dan depan tetap mendapat porsi tersendiri. Korban kekerasan tidak bisa
melupakan masa-masa pahit yang dialaminya. Korban kekerasan berpeluang
untuk memaafkan masa lalu sambil mencoba berdamai dengan masa kini untuk
merajut masa depan. Sedangkan bagi masyarakat, masa lalu adalah cermin
untuk tidak mengulangi kesalahan lalu. Jika masa lalu diibaratkan
seperti spion roda empat yang berukuran kecil dan diletakan di sisi kiri
dan kanan serta dilirik sejenak saja, maka kaca depan kendaraan adalah
masa kini dan masa depan yang mesti ditatap serius.
Penulis :
Murizal Hamzah
Penulis adalah editor Buku Biografi Wakapolri Jusuf Manggabarani, “Cahaya Bhayangkara”.
Sumber
Jumat, 31 Januari 2014
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar