Repelita Wahyu Oetomo
Balai Arkeologi Medan
Abstract
Lamuri
is known as a place in Aceh Besar, which supported by the existence of
grave complex and fortress. The result of archaeological activities
indicated that the gravestone in Aceh Besar is older than Samudera
Pasai.
Nama
Ramni (Abu Zaid Hasan), Lamuri (Prapanca), Lanpoli (Ma-Huan) dan Lambry
(Tome Pires) telah dikenal pada awal-awal penyebaran Islam dan telah
tersebar sampai ke mancanegara yang disebutkan dalam catatan perjalanan
bangsa-bangsa asing. Pada masa itu keberadaan Lamuri, Ramni ataupun
Lambri telah cukup diperhitungkan mengingat hasil alamnya yang sangat
penting dan menjadi mata dagangan yang cukup laku di perdagangan
internasional. Letak kerajaan seperti tersebut di atas cukup penting
yaitu berada di perairan Selat Malaka yang merupakan pintu gerbang,
penghubung dua pusat kebudayaan besar di Asia. Mengingat peran
pentingnya, sangat menarik perhatian petualang-petualang asing yang
diabadikan dalam catatan perjalanannya. Keberadaan Lamuri, Lambri, atau
yang disebut Ramni pada masa itu dapat disejajarkan dengan bandar-bandar
perdagangan terkenal lainnya di Asia Tenggara seperti Barus, Kota Cina,
Kampei di Sumatera Utara, Pasai, Singkil di NAD, Tumasik (Singapura),
Malaka, dan lain sebagainya.
Informasi awal tentang keberadaan Lamuri dapat dijumpai pada catatan Cina, oleh seorang perantau Muslim, Ma-Huan dalam bukunya Ying-yai Sheng-lan disebutkan terdapat nama Lam-Poli. De Casparis menyatakan nama Poli dapat disamakan dengan Puri, lengkapnya Lam-Poli atau Lam-puri—Dalam-Puri
— Lamri, namun sampai sejauh mana persamaan Poli dengan Lamuri belum
dapat dipastikan. Dalam catatan lain yang berasal dari tahun 960 M,
tersebut nama Lanli sebagai sebuah tempat persinggahan utusan-utusan
dari Parsi saat kembali dari Cina setelah menempuh perjalanan selama 40
hari menunggu musim yang baik untuk melanjutkan perjalanan pulang ke
negerinya (Montana, 1996/1997:84).
Dari
masa yang lebih muda keberadaan Lamuri disebutkan dalam Negarakertagama.
Disebutkan bahwa Lamuri, merupakan sebuah negeri yang takluk kepada
kerajaan Majapahit. Muhammad Said dalam bukunya yang berjudul Aceh
Sepanjang Abad menyebutkan tentang Lamuri dalam prasasti Tanjore (1030).
Dalam prasasti tersebut disebutkan berita tentang ekspedisi
Rajendracola I dari India; Ilamuridecam merupakan daerah taklukan Sriwijaya yang berhasil ditaklukkan Rajendracola pada tahun 1024 M (Nilakantasastri,1940).
Edwards
Mc. Kinnon menulis tentang kepopuleran Lambri, yang terletak di ujung
utara Aceh. Mengutip dari berbagai tulisan tentang Lambri, ia
menyebutkan bahwa pada tahun 916 M Lambri telah disebut oleh Abu Zaid
Hasan sebagai Rami/Ramni. Kepopuleran Ramni banyak diperbincangkan oleh
para ahli, termasuk Tome Pires dalam bukunya “The Suma Oriental of Tome
Pires”. Berdasarkan temuan arkeolgis berupa keramik Cina dan studi
geologi, Mc. Kinnon berkesimpulan bahwa Lambri terletak di Lambaro, di
daratan Kuala Pancu, berdekatan dengan Lhok Lambaro. Dari Lambaro inilah
Mc. Kinnon menduga terjadi pergeseran ucapan menjadi Lambri
(Kinnon,1998:102-121).
Codier
yang mengutip pandangan Groeneveldt, berpendapat bahwa Lambry dekat
dengan Aceh. Selanjutnya Codier memperkirakan Lambry terletak di suatu
tempat yang bernama Lamreh dekat dengan Tungkup. Pendapat Codier ini
kemungkinan lebih tepat, mengingat dalam bahasa-bahasa nusantara, vokal i dan e lebih mungkin mengalami pergeseran artikulasi, demikian juga dengan vokal u dan o, sehinggga ucapan Lamreh lebih mungkin bergeser menjadi Lamri, Lamuri ataupun Lambri (Montana,1996/1997:85).
II. Beberapa tinggalan arkeologis di Lamreh
Dari
catatan lain disebutkan, bahwa “penduduk Nan-wu-li sebagian berdiam di
bukit-bukit dan jumlah mereka sedikit”. Hal ini menunjukkan bahwa Lamri
tidaklah terletak di lembah Aceh, tetapi pada sejalur pantai kecil yang
diperkirakan berada di daerah sekitar Krueng Raya. Meskipun pusat
kerajaannya sempit namun wilayah kekuasaannya meluas sampai ke sebagian
lembah Aceh (Iskandar,1973: 28-30). Beberapa tinggalan arkeologis sampai
saat ini masih dapat kita temukan di sekitar Krueng Raya.
Tinggalan-tinggalan arkeologis tersebut tampak cukup megah di sepanjang
daratan sempit di daerah yang saat ini disebut Lamreh.
Tinggalan-tinggalan tersebut di antaranya adalah beberapa buah bangunan
benteng, kompleks pemakaman dan adanya jejak bekas hunian, yang ditandai
dengan adanya sebaran keramik. Beberapa tinggalan arkeologis tersebut
di antaranya adalah;II.1. Benteng Indrapatra
Benteng ini diperkirakan telah beralih fungsi. Beberapa ahli berpendapat bahwa bangunan tersebut mengalami perubahan fungsi hingga menjadi seperti yang ada sekarang ini. Pendapat tersebut didasarkan pada analisis data bangunan. Di beberapa bagian bangunan masih dijumpai motif-motif bangunan bercirikan pra-Islam. Menurut beberapa sumber bangunan ini merupakan salah satu peninggalan Kerajaan Hindu di Aceh yang dibangun oleh Putera Raja Harsya (keluarga raja Hindu di India) yang melarikan diri akibat serangan Bangsa Huna pada tahun 604 M. Latar belakang sejarah mengenai Benteng Indrapatra masih harus ditelusuri lebih jauh.
Selanjutnya, pada masa pemerintahan Sultan Ali Riayat Syah IV (1604 M -1607 M) Kerajaan Aceh sedang mengalami ketidakstabilan. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh Portugis untuk menyusun kekuatan di Benteng Kuta Lubuk. Pada masa itu muncullah Perkasa Alam (Iskandar Muda) keponakan dari Sultan Ali Riayat Syah IV. Penyerangan Iskandar Muda, mendatangkan kemenangan bagi Kerajaan Aceh dan orang-orang Portugis berhasil diusir dari Benteng Kuta Lubuk.
Saat
Sultan Ali Riayat Syah mangkat, Iskandar Muda naik takhta. Di masa
pemerintahan Sultan Iskandar Muda, kerajaan Aceh diperkuat dengan
mendirikan benteng-benteng pertahanan di sepanjang pantai Selat Malaka,
kemungkinan salah satunya adalah dibangunnya Benteng Iskandar Muda.
Sejarah penemuan benteng Kuta Lubuk disebutkan oleh Frederick de Houtman.
Dijelaskan bahwa benteng tersebut dibangun oleh orang Portugis yang
datang tanggal 15 November 1600 M, sebagai markas orang-orang Portugis
untuk berdagang di Aceh disaat hubungan Kerajaan Aceh dengan Portugis
terjalin dengan baik (Said,1961:257-330 ).
Dalam
buku Tarich Aceh dan Nusantara, terdapat catatan mengenai Sultan Ala
Addin Muhammad Syah yang memerintah tahun 1787-1795 M. Dalam suasana
damai itu orang-orang Portugis yang mendapat izin berdagang, juga
sekaligus mendapat izin dari sultan untuk membangun benteng di Kuta
Lubuk.
II.3. Nisan Plakpling
Desa
Lamreh terletak di Kecamatan Mesjid Raya, Kabupatan Aceh Besar, Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam. Di desa ini, tepatnya berada ketinggian bukit
antara Benteng Kuta Lubuk, dengan Benteng Inong Balee terdapat beberapa
buah nisan yang memiliki bentuk unik. Batu nisan tersebut secara umum
berbentuk batu tegak atau tugu persegi empat yang makin keatas makin
meruncing, membentuk piramida. Berdasarkan informasi penduduk, batu
nisan tersebut dinamakan nisan Plakpling. Batu-batu nisan
tersebut kemungkinan merupakan bentuk peralihan dari masa pra Islam ke
Islam. Beberapa peneliti sependapat bahwa nisan-nisan tersebut digunakan
pada makam orang-orang ternama atau ulama Aceh yang berasal dari abad
ke-16 atau lebih awal dari itu (Montana,1996/1997:90).
Bentuk nisan ini cukup unik karena menyerupai lingga ataupun menhir.
Nisan-nisan tersebut memiliki bentuk yang bersumber pada tradisi
sebelumnya, prasejarah dan klasik. Nisan tersebut dilengkapi dengan pola
hias, berupa pahatan flora, geometris atau kaligrafi. Nisan-nisan
tersebut meniru/menyerupai bentuk menhir atau lingga yang sangat umum
dipakai pada masa prasejarah dan masa klasik/Hindu-Buddha.Nisan 1
Terletak di dalam Benteng Kuta Lubuk. Nisan berukuran tinggi sekitar 80 cm. Berbentuk persegi empat berukuran lebar 20 cm, semakin ke atas semakin mengecil (piramid). Tiap sisi terdapat panil yang berisi hiasan berupa kaligrafi maupun motif sulur.
Nisan 2
Di bagian atas terdapat panil berukir motif flora. Bagian atap/kepala
berbentuk oval, horisontal.
Nisan 3
Terbuat dari jenis batuan andesit (batu Kali), dengan motif sangat menarik. Tinggi keseluruhan nisan diperkirakan sekitar 85 cm. Bagian dasar berukuran lebar sekitar 20 cm. pada tiap-tiap sisi terdapat panil-panil dengan kaligrafi. Bagian atas
dihiasi dengan ukiran dengan motif bunga kerawang (tembus). Kepala berbentuk bawang.
Nisan 4
Berbahan dasar batuan andesit (batu kali). Sisi-sisinya berukuran lebar 20 cm. Terdapat panil di tiap sisi, dengan ukiran bermotif
tanjung/lotus atau bunga teratai yang sedang mekar, dua sisi lainnya dihiasi dengan motif lotus yang sedang kuncup.
Nisan 5
Berbahan batuan kapur, berwarna putih kekuningan. Terdapat panil di keempat sisinya yang berisi kaligrafi dalam kondisi aus. Bagian atas terdapat panil yang berhiaskan sulur-suluran sampai ke bagian atas. Bagian atas berbentuk bawang, semakin ke atas makin mengecil.
III. Pembahasan
Kebesaran
Lamuri (kini disebut Lamreh) ditandai dengan keberadaan
bangunan-bangunan benteng diperkirakan merupakan perkembangan
selanjutnya atau bahkan bersamaan dengan keberadaan makam-makam
tersebut. Beberapa pendapat menyebutkan bahwa bangunan-bangunan
pertahanan yang ada merupakan peralihan fungsi dari bentuk yang ada
sebelumnya, sehingga dapat disimpulkan bahwa jauh sebelumnya, setidaknya
telah ada suatu pemukiman yang cukup maju. Pembangunan
bangunan-bangunan pertahanan tidak berhenti sampai disitu. Pada masa
belakangan, disaat kekuasaan dipegang oleh Sultan Ali Riayat Syah pada
sekitar tahun 1604 M terdapat pembangunan benteng yang dilakukan oleh
Portugis di Kuta Lubuk, hal ini sangat kontradiktif dengan kenyataan
bahwa di dalam benteng tersebut di temukan makam dengan nisan bertipe plakpling
yang dibaca oleh Suwedi Montana, yang menunjukkan angka tahun yang jauh
lebih tua daripada pembangunan pembangunan benteng tersebut. Pembacaan
yang dilakukan oleh Suwedi Montana terhadap salah satu nisan adalah
sebagai berikut:
….assulthan Sulaiman bin Abdullah bin al Basyir
Tsamaniata wa sita mi’ah
680 H ( 1211 M)
Suwedi
Montana menyebutkan, apabila kematian Sultan Sulaiman bin Abdullah bin
Al Basyir adalah pada tahun 680 H (1211 M), berarti jauh sebelum itu di
Lamreh, lokasi benteng Kutha Lubuk, sudah berkembang Agama Islam. Hal
ini diketahui dari nama ayah dan kakek Sultan Sulaiman (Abdullah bin
Basyir) yang berbau Islam (Montana,1997:87). Pertanggalan tersebut
menunjukkan umur yang lebih tua dibandingkan dengan nisan Sultan Malik
as-Shaleh di Samudera Pasai -yang berangka tahun 696 H (1297 M)- yang
dikenal sebagai daerah asal mula penyebaran Islam. Yang menjadi
pertanyaan adalah, apabila bangunan benteng tersebut dibangun pada masa
belakangan oleh Portugis, untuk apa keberadaan makam tersebut terawetkan
di dalam lokasi benteng ?, yang notabene merupakan makam-makam Sultan
yang merupakan lawan politiknya. Namun seperti kita ketahui bahwa
bangunan benteng tersebut sangat kental dengan unsur barat yaitu dengan
adanya bastion di sudutnya. Saat kekuasaan dipegang oleh Sultan Iskandar
Muda, pembangunan benteng-benteng pertahanan digalakkan kembali untuk
menjaga stabilitas dalam negeri dari ancaman bangsa lain. Hal itu
ditandai dengan pembangunan Benteng Iskandar Muda dan Benteng Inong
Bale.
Nisan bertipe plakpling,
di Lamreh menunjukkan bahwa di daerah tersebut terdapat komunitas yang
telah memeluk Islam sebelum Samudera Pasai, yang ditandai dengan
keberadaan nisan atasnama Sultan Sulaiman, yaitu di dalam Benteng Kuta
Lubuk. Tipe-tipe nisan sejenis terdapat di atas bukit berdekatan dengan
Benteng Inong Bale. Pembacaan sekilas menunjukkan nisan tersebut juga
cukup tua. Beberapa bangunan pertahanan kemungkinan melanjutkan tradisi
yang telah ada sebelumnya, yaitu melengkapi pemukimannya dengan
bangunan-bangunan pertahanan. Sayang sekali tidak ada penelitian yang
secara khusus mengungkap keberadaan bangunan-bangunan benteng di daerah
tersebut.
Nisan tipe plakpling
merupakan nisan-nisan tipe peralihan, pra-Islam ke Islam. Batu nisan
tipe ini berbentuk sederhana, sebelum dipakainya batu nisan yang disebut
“Batu Aceh”, (nisan tipe Aceh). Batu-batu ini umumnya memiliki gaya
sederhana namun diberi hiasan berupa relief dan/atau inskripsi
(kaligrafi). Nisan tipe ini merupakan awal perkembangan, melanjutkan
tradisi yang telah ada sebelumnya. Bentuk nisan ini mengadopsi
bentuk-bentuk phallus/lingga, meru dan menhir dengan
hiasan-hiasan yang disesuaikan. Tipe nisan seperti ini memiliki
persamaan dengan tinggalan arkeologis lain yang berasal dari masa yang
lebih tua, megalithik, yang dikenal sebagai menhir (Ambary,1991:1–21).
Tipe-tipe nisan tersebut di atas, menunjukkan pengaruh yang sangat
kental dari tradisi-tradisi megalithis dan Hinduistis. Adapun
bentuk-bentuk motif hiasan yang dipakai kemungkinan merupakan perpaduan
dari budaya tersebut.
Ambary menyebutkan, salah satu penyebab munculnya nisan tipe-tipe lokal (plakpling) adalah karena latar belakang sejarah budaya nusantara yang permisive
terhadap anasir yang datang dari luar. Kreativitas mengubah dan
menggubah anasir asing menjadi anasir nusantara merupakan strategi
adaptasi. Corak lokal merupakan wujud dari kebebasan seniman ataupun
model yang berkembang dalam mengekspresikan cita rasa keseniannya.
Perkembangan bentuk dari yang sederhana sampai pada yang rumit adalah
sebagai respon dari pengetahuan, teknologi yang mereka peroleh
(Ambary,1991:1–21).
Nisan plakpling
terdapat hampir diseluruh wilayah Aceh, dengan populasi terbanyak di
Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar. Menilik bentuk dari nisan-nisan
tipe ini, kemungkinan nisan ini merupakan tipe nisan yang dipakai
berkelanjutan, mulai dari masa-masa awal kedatangan Islam sampai pada
beberapa abad sesudahnya. Nisan tipe ini masih digunakan berdampingan
dengan periode sesudahnya, walaupun pada masa itu telah terjadi
perubahan trend tipe nisan, yaitu nisan tipe Gujarat atau tipe-tipe “Batu Aceh” lainnya.
IV. Penutup
Dengan
demikian kita sampai pada kesimpulan bahwa Lamuri pada masa sebelum
Pasai merupakan sebuah kerajaan Islam yang cukup besar. Kebesaran Lamuri
tidak hanya berlangsung sebentar, keberadaan bangunan benteng
pertahanan menunjukkan bahwa Lamuri yang kemudian berubah nama menjadi
kerajaan Aceh masa selanjutnya dapat dipertahankan bahkan diperbesar.
Puncak kejayaan Lamuri adalah pada masa tampuk kekuasaan dipegang oleh
Sultan Iskandar Muda. Hal ini menepis anggapan bahwa Samudera Pasai
dengan rajanya Malik as Shaleh merupakan kerajaan Islam tertua di
Nusantara.Sumber
0 komentar:
Posting Komentar