By:Murdani
Kisah
cinta Sultan Iskandar Muda dengan permaisurinya Putroe Phang selalu
menarik perhatian masyarakat Aceh. Gunongan dan Taman Putroe Phang di
Kutaradja merupakan bukti abadi yang lahir dari cinta kasih mereka.
Karena cinta ini pula, keturunan Putroe Phang mencari kembali jejak
sultan Aceh.
Pihak berwenang dari Kesultanan Negeri Pahang
Malaysia, Kamis (31/3) lalu, yang mengaku sedang mencari pewaris tahta
murni kerajaan Aceh atau keturunan terakhir dari Sultan Mahammad Daud
Syah.
Untuk menjalankan niat mereka ini, Kesultanan Pahang
Malaysia, bahkan langsung mengutus Putrinya yang bergelar Tunku Hajjah
Azizah Aminah Maimunah Iskandariah binti Sultan Iskandar Al-Haj untuk
ikut bersama rombongan ke Aceh.
Menurut pengurus Kerajaan
Pahang, cacatan sejarah mengenai keturunan sultan terakhir Aceh ini
dinilai banyak yang sengaja dikaburkan sehingga menyebabkan banyak pihak
minim informasi tentang hal tersebut. Selain itu, juga banyak pihak
yang mengaku sebagai keturunan raja Aceh yang terakhir.
”Kesultanan Aceh sejak dulu sangat megah. Namun informasi sejarahnya
yang kami dapatkan terputus hingga Sultan terakhir Muhammad Daud Syah.
Kami tahu, ada keturunan dari Sultan Mahammad Daud Syah. Atas dasar
tersebut, kami mencoba mencari tahu soal kebenaran tersebut dan baru
kami temukan sekarang,” ungkap kerabat Kesultanan Pahang Malaysia, Tunku
Hajjah Azizah Aminah Maimunah Iskandariah binti Sultan Iskandar Al-Haj
beberapa waktu lalau di Banda Aceh.
Pada kesempatan tersebut,
Putri Pahang menjamu sosok bernama Tuanku Raja Yusuf Bin Tuanku Raja
Ibrahim Bin Sultan Mahammad Daud Syah, di ruang pertemuan sebuah hotel.
Keduanya kemudian kembali membahas sejarah dan hubungan mesra yang
sempat terjalin antara Pahang dengan Aceh.
Menurut putri Sultan
Iskandar atau Raja Pahang Malaysia ini, Aceh sebenarnya merupakan
sebuah daerah yang kaya akan budaya serta peninggalan sejarah. Salah
satunya, adalah gunongan dan taman yang diperuntukan kepada Putroe Phang
atau Putri Pahang indatu dari Tunku Hajjah Azizah yang berstatus
sebagai Putri Pahang saat ini. ”Makanya saya senang datang ke Aceh
karena ada taman yang dibuat khusus di sini,”canda Tunku Hajjah Azizah
di sela-sela makan.
Selama seminggu di Aceh, lanjut dia,
dirinya menggelar pertemuan dengan sejumlah pihak, termasuk Pemerintahan
Aceh. Dan selama seminggu pula, banyak pihak yang mengaku keturunan
sultan mencoba jumpai dengannya.
Setelah melalui berbagai
pertemuan tersebut, terutama dengan pakar sejarah yang ada di Aceh.
Dirinya mengaku baru bisa menyimpulkan siapa keturunan murni dari Sultan
Aceh yang terakhir. Sosok tersebut adalah Tuanku Raja Yusuf.
Sosok Tuanku Raja Yusuf adalah cucu murni dari Sultan Muhammad Daud
Syah. Namun anehnya, keberadaan sosok ini terkesan sengaja dihilangkan
dari cacatan sejarah Aceh. Masyarakat di Aceh seharusnya lebih
mengetahui sejarah bangsanya dibandingkan dengan warga luar seperti
dirinya. Anehnya lagi, masyarakat Aceh saat ini justru lebih mengenal
jabatan Wali Nanggroe ketimbang cucu sultan yang sah.
Kerajaan
Aceh dengan Pahang, lanjut dia, memiliki hubungan sejarah yang paling
emosional. Hubungan ini tidak hanya terjadi karena perkawinan Sultan
Iskandar Muda dengan Putri Pahang. Hubungan Aceh-Pahang sudah terjalin
sejak abad ke-16 setelah jatuhnya Malaka ke tangan Portugis. Kerajaan
Pahang atau Pahang Darul Makmur merupakan salah satu negara bagian di
Malaysia.
Sebagian besar negeri Pahang diselimuti hutan dan
sebagian besar Taman Negara terletak dalam negeri Pahang. Pahang
merupakan sebuah negeri ber-raja.Wujudnya negeri Pahang adalah sebelum
wujudnya kerajaan Melayu Melaka. Pahang mempunyai susur galur tamadun
yang panjang, sejak dari zaman pra-sejarah lagi. Dahulunya kerajaan
Pahang digelar Inderapura.
Negeri Pahang Darul Makmur ialah
sebuah negeri yang terbesar di Semenanjung Tanah Melayu dengan luas
35.515 kilometer persegi. Kemasyhuran dan kehebatan namanya pada masa
lalu menjadi rebutan kerajaan yang ada di sekelilingnya. Pada masa ini
Pahang adalah negeri di Semenanjung yang terbagi atas sebelas daerah
yaitu Kuantan, Pekan, Rompin, Maran, Temerloh, Jerantut, Bentong, Raub,
Lipis, Cameron Highlands dan Bera. Sedangkan penduduknya pula terdiri
dari berbagai kaum dan bangsa.
Sebenarnya, bagi orang Aceh,
negeri Melaka (Malaysia-red) atau kerajaan Pahang khususnya, tidaklah
asing. Kerajaan Aceh Darussalam bahkan pernah terlibat dalam perang
dengan Portugis selama 130 tahun (1511-1641) hanya untuk membebaskan
daerah tersebut dari jajahan Portugis.
Menurut sejarah Malem
Dagang, Sultan Iskandar Muda (1607-1636) dengan armada Cakra Donya-nya
berhasil membebaskan Sumatra dan Semenanjung tanah Melayu dari
penjajahan Portugis dan menjadi bagian dari kerajaan Aceh. Laksamana
Malem Dagang berhasil mempersatukan wilayah Sumatra dan Semenanjung
tanah Melayu. Disinilah kemudian terbangun kampung etnis melayu di Aceh
dan kampung Aceh di Pahang.
Hubungan Aceh dengan Pahang
kemudian dilanjutkan pada masa sultan Muhammad Daud Syah. Dimana, disaat
ibukota Aceh dipindahkan ke daerah Keumala di Pidie, Sultan Abubakar
yang menjadi Raja Pahang pada saat itu, pernah beberapa kali mengirimkan
utusan ke wilayah Keumala. Tujuannya, untuk memperkuat hubungan antar
kedua kerajaan.
”Selaku keturunan Sultan Abubakar, saya juga
ingin kembali memperkuat hubungan dengan Aceh,” tandas perempuan yang
memiliki gelar Kebawah Duli Yang Teramat Mulia Tengku Puan Pahang, usai
menjelaskan panjang lebar.
Sementara itu, bagi Tuanku Raja
Yusuf, diakhir jamuan makan, mengaku dirinya tersanjung dengan
keterangan dari Kesultanan Pahang Malaysia. Menurut dia, posisi dirinya
dan keluarganya saat ini sangatlah tidak sebanding jika disandingkan
dengan keluarga kesultanan Pahang. ”Rakyat Pahang masih mengakui raja
mereka. Namun di sini sudah tidak berlaku lagi. Saya ini telah lama
menjadi rakyat biasa, bahkan sejak lahir. Saya juga tidak mau
mengaku-gaku sebagai keturunan sultan demi mendapatkan kemegahan dan
ketenaran. Silahkan saja, orang lain yang mengaku. Tapi, atas kehormatan
yang diberikan Kesultanan Pahang Malaysia, saya ucapkan ribuan
terimakasih,” ungkap Tuanku Raja Yusuf.
Dalam pertemuan ini
juga dihadiri keluarga dari pihak Kerajaan Pahang lainnya dan keluarga
dari Tuanku Raja Yusuf, serta didampingi oleh Tuanku Maimun serta Tuanku
Aswan, cucu dari Teuku Hasyim Banta Muda yang pernah menjadi Wali
Nanggroe sewaktu Sultan Muhammad Daud Syah masih kecil.
Kerajaan Pahang juga mengundang para keturunan Sultan untuk mengunjungi
pihaknya dalam waktu yang dekat ini. Namun undangan ini tidak dapat
langsung dijawab oleh Tuanku Raja Yusuf. Pasalnya, pria yang berstatus
PNS biasa disalah satu dinas tingkat Provinsi Aceh ini mengaku masih
memiliki tanggungjawab yang besar pada negara ini. ”Undangan ini sangat
memuliakan kami sekeluarga. Kami pasti memenuhi undangan ini, tetapi
tidak dalam waktu dekat. Soalnya, saya sekarang adalah abdi negara
biasa,” pungkasnya.
Keturunan Sultan dan Rupiah
Sementara
itu, Menurut M. Adli Abdullah, mantan Panglima Laut Aceh, yang juga
gemar menulis tentang sejarah Aceh, yang hadir dalam pertemuan dua
kerabat raja tersebut, mengaku bahwa keberadaan sejumlah pihak yang
mengaku keturunan sultan terakhir memang sering terjadi. Faktor ini
dikarenakan kemuliaan dan rupiah yang melimpah yang dapat mereka peroleh
dengan prilaku tersebut.
”Banyak orang yang mengaku-ngaku
sebagai keturunan sultan terakhir dan wali saat ini. Ini semua dilakukan
untuk kepentingan politik pihak tertentu yang unjung-unjungnya adalah
memperoleh rupiah,” tutur Dosen Fakultas Hukum Unsyiah ini.
Menurutnya, tindakan dari Kerajaan Pahang yang sengaja mencari keturunan
murni dari sultan terakhir Aceh adalah suatu hal yang langka. Dimana,
cara ini justru tidak pernah dilakukan oleh Pemerintah Aceh sendiri,
selaku kaki tangan dari pemerintah pusat di Jakarta.
Selama
puluhan tahun, lanjut dia, rakyat Aceh diharuskan hidup ditengah-tengah
kebingungan dan ambisi pihak-pihak tertentu yang ingin menguasai daerah
ini walaupun harus menghapus cacatan sejarah bangsanya. Faktor ini
kemudian berimbas dengan hilangnya pengakuan rakyat terhadap kesultan
Aceh, serta beralih ke wali nanggroe. ”Rakyat Aceh seharusnya mengambil
contoh dari sikap negeri pahang. Di mana, mereka tidak lupa akan sejarah
bangsanya dan sejarah daerah mereka dengan Aceh,” ungkapnya.
Sementara itu, dalam cacatan sejarah Aceh, posisi Wali Nanggroe
sebenarnya diperuntukan untuk orang tertentu ketika daerah ini sedang
terjadi krisis atau perperangan. Namun ketika Aceh sudah kembali aman
seperti sekarang, maka seharusnya posisi wali dengan sendirinya menjadi
gugur dan daerah ini dikembalikan pada sultan atau pewarisnya. Namun,
yang berlaku di daerah ini, malah sebaliknya sehingga nasibnya kian
tidak jelas hingga kini.
Sumber
0 komentar:
Posting Komentar