Siapa tak kenal pahlawan asal Aceh seperti Cut Nyak Dien, Teuku Umar,
Panglima Polem, Tengku Chik Di Tiro, dan Laksamana Malahayati? Ya,
ibarat sebuah padepokan silat yang mencetak pendekar-pendekar sakti,
tanah rencong Aceh telah melahirkan pahlawan-pahlawan pemberani
penentang tirani penjajah. Selain nama di atas, ada sebuah nama lagi
yang tidak kalah hebat. Pocut Meurah Intan, pejuang yang sempat
mendapatkan label sebagai most wanted person dari penjajah Belanda ini
adalah seorang puteri dari keluarga bangsawan di Kerajaan Aceh. Dari
namanya sudah bisa ditebak. Pocut Meurah adalah nama panggilan khusus
bagi perempuan keturunan keluarga Sultan Aceh. Pocut Meurah Biheu,
begitu ia biasa dipanggil. Biheu adalah sebuah kenegerian yang pada masa
Kesultanan Aceh berada di bawah wilayah Sagi XXXI Mukim, Aceh Besar
yang kini telah berganti menjadi wilayah Pidie.
Raut wajah wanita cantik itu terlihat garang. Air mukanya memendam
dendam dan angkara murka. Tegas dia meminta kepada tuan qadhi untuk
mem-fasakh [memutuskan] ikatan perkawinannya dengan tuanku Abdul Madjid,
yang telah menyerah kepada kompeni Belanda. Sirna sudah rasa cinta yang
menumpuk di dada, lenyap sudah rasa hormat terhadap sang suami yang
selama ini begitu dia sanjung dan puja. Yang telah bersama-sama berjuang
mempertahankan tanah tumpah darah dari jajahan kompeni Belanda. Berang
dan kecewa rasa hatinya tak terkira, menyaksikan sang suami takluk dan
bertekuk lutut pada penjajah kafe [kafir] Ulanda [sebutan untuk Belanda
dalam bahasa Aceh]. Usai sudah perkawinannya, dan secara psikologis,
kini dirinya hanya bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri dan bebas
untuk menentukan langkah kehidupannya. Tak harus tunduk apalagi patuh
pada seorang pengkhianat negeri.
Satu pesan ayahandanya yang begitu melekat di hatinya adalah, bahwa
seorang muslim WAJIB berjuang mempertahankan negeri dan agamanya dari
tindasan penjajah, hingga ke tetes darah penghabisan. JANGAN PERNAH MENYERAH, JANGAN PERNAH TAKUT. Dan itulah yang akan diteruskannya, walau tak lagi ada teman setia [sang suami] yang menjadi mitra. Perang ini harus dilanjutkan, Islam harus ditegakkan dan kemerdekaan negeri ini harus tetap dipertahankan.
Maka bersama ketiga putranya, dibantu seorang kepercayaan [tangan
kanannya] bernama Pang Mahmud, wanita perkasa itu melanjutkan
perjuangan.
Pocut Meurah Intan, begitu wanita ini dikenal, memang bukan wanita
biasa. Darah biru yang mengalir kental di dalam tubuhnya adalah titisan
sang ayah, Teuku Meurah Intan, seorang hulubalang negeri Biheue [suatu
daerah yang terletak antara Sigli dan Padang Tiji], yang telah
menanamkan nilai-nilai agamis dan kecintaan terhadap tanah air pada
putri jelitanya, Pocut Meurah Intan, yang lahir pada tahun 1873, di desa
Lam Padang, mukim VI, Laweung, Pidie.
Patahnya semangat dan takluknya sang mantan suami pada Belanda, adalah
pemicu meningkatnya kebencian dirinya terhadap kafe Ulanda. Apalagi saat
itu situasi perang Aceh, memang sedang memasuki masa-masa sulit,
masa-masa kritis yang terkadang mampu melemahkan jiwa. Terlebih dengan
mangkatnya Sultan Alaidin Mahmud Syah dalam perang 'kuman' dan
digantikan oleh Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah yang masih berusia 10
tahun, sehingga pemerintahan harian terpaksa didelegasikan kepada tuanku
Hasyim Banta Muda.
Peperangan semakin dasyat, kekuatan Belanda semakin berlipat akibat
didatangkannya tambahan pasukan Belanda dari Betawi [Jakarta]. Ibukota
pemerintahan Aceh terpaksa ditarik ke Indrapuri, yang selanjutnya pindah
ke Keumala Dalam. Keadaan semakin memanas dan para pejuang Aceh
terpaksa melakukan berbagai manuver, mengubah perang frontal menjadi
perang gerilya raksasa di seluruh Aceh, baik di daerah pesisir,
pedalaman dan terutama di basis-basis pegunungan. Pertempuran terjadi
hampir setiap saat, dan menimbulkan kerugian yang tidak terhitung
jumlahnya, baik dalam segi materi maupun jiwa, dari kedua belah pihak.
Bersama para pengikutnya, didukung penuh oleh tiga putra tercinta yang
gagah berani, yaitu tuanku Budiman, tuanku Muhammad dan tuanku Nurdin,
serta Pang Mahmud sang tangan kanan, Pocut memimpin perjuangan untuk
daerah Laweung dan Batee [Kabupaten Pidie sekarang]. Dalam bukunya
berjudul Aceh, Zentgraaff menulis, bahwa wanita-wanita Aceh sangat gagah berani.
Dikisahkan tentang suatu kejadian ketika pasukan Belanda mengepung
sebuah kampung di Pidie, seorang suami tertembak dan rubuh dalam dekapan
istrinya. Menyadari bahwa sang suami dalam dekapannya telah tak
bernyawa, si wanita lalu mengambil rencong suaminya dan menyerbu brigade
dan menyerang mereka, namun seorang marsose berhasil memukul tangannya
hingga puntung. Bukannya menyerah, si wanita dengan tangan kirinya malah
memungut rencong yang berlumuran darah itu dan kembali menyerang hingga
dia sendiri tewas tertembus peluru marsose.
Kisah lain tentang keberanian para srikandi Aceh ini juga dituangkan
Zengraaff dalam bukunya sebagai berikut;
sepasukan Belanda telah mengetahui bahwa ada sekelompok pejuang yang
bersembunyi di sebuah rumah di Tangse. Lalu pasukan Belanda hendak
menggerebek namun seorang wanita, istri si pemilik rumah dengan gagah
berani menghadang marsose yang sedang menaiki tangga. Dengan lantang dia
berseru, melarang para marsose memasuki rumahnya. Tentu saja marsose
marah dan membentaknya, namun dengan lebih keras, dia balas membentak
para kafe Ulanda, melarang mereka menginjakkan kaki dirumahnya. Tentu
saja sikap ini semakin membuat para marsose naik pitam, dan memukul kaki
wanita ini dengan popor senjatanya, hingga si wanita terjatuh. Barulah
dia bergeser dan para marsose menyerbu ke dalam rumah. Adu mulut dalam
tenggang waktu beberapa menit tadi tentu memberi kesempatan bagi para
pejuang yang bersembunyi di dalam rumah untuk lari menyelamatkan diri,
alhasil, para marsose pulang dengan tangan kosong.
Kisah lain yang tak kalah heroik adalah ketika Geldorp dan tiga
pasukannya menyergap tempat persembunyian para pejuang yang terdiri dari
4 orang laki-laki beserta istri-istri mereka. Pertempuran yang tak
berimbang itu menyebabkan para lelaki mati syahid dan menyisakan para
wanita. Yang mengejutkan adalah, tindakan para wanita yang hendak mereka
sandera itu sungguh diluar dugaan. Dengan sigap mereka mengambil
senjata-senjata milik suami mereka dan mulai mengadakan perlawanan,
menyerang pasukan marsose dengan membabi buta hingga ke empatnya mati
syahid, menyusul sang suami.
Keberanian dan semangat baja nan pantang menyerah dalam diri Pocut dan
pasukannya, mau tak mau membuat pasukan Belanda semakin kesulitan dalam
menaklukkan daerah ini. Semakin digencet semakin liat. Pocut dan
pasukannya semakin gencar melakukan aksinya, beberapa peperangan tak
terhindarkan pun terjadi di Biheu, Laweung, Lam panah dan Lam Teuba.
Belanda semakin gusar dan marah, hingga semakin gencar melakukan
serangan-serangan untuk menghentikan aksi yang dipimpin Pocut. Belanda
mulai mencatat bahwa Pocut tak dapat diremehkan. Wanita ini sungguh
bernyali besar, cerdas dan tidak boleh dipandang sebelah mata. Wanita
ini sungguh berbahaya dan harus diantisipasi dengan cermat, atau malah
segera dibasmi sepak terjangnya.
Maka berbagai upaya pun dilakukan oleh pasukan Belanda untuk
menghentikan sepak terjang Pocut dan pasukannya, hingga suatu hari,
tepatnya pada awal November 1902, ketika pasukan Belanda yang dipimpin
oleh Mayjen T. J Veltman sedang melakukan patroli di daerah basis
gerilya, yaitu di daerah Laweung, Biheu, mereka menemukan seorang wanita
yang dari tatapannya terlihat jelas memendam kebencian terhadap mereka.
Pemeriksaan terhadap wanita ini pun dilakukan. Namun kala anggota
pasukan mendekatinya, dan hendak memeriksanya, wanita ini diluar dugaan
mencabut rencong yang terselip dibalik pakaiannya dan dengan segala
upaya, menyerang mereka sembari berteriak penuh amarah.
"Kalo begitu, biarlah aku mati syahid!" Dan pertempuran 1 lawan 18 orang anggota Marsose itu pun pecah.
Pocut masih berdiri tangguh kala serdadu serdadu itu menebas senjata.
Wanita itu masih berdiri kokoh seraya menghunus rencong kala pedang
marsose menebas dan meninggalkan dua luka di kepalanya, serta dua luka
di bahunya. Ia baru terjatuh ketika pedang tajam itu menghunus ke otot
tumitnya hingga putus. Terjatuh, rubuh, di atas tanah yang masih basah
oleh sisa hujan. Dengan dada yang berlubang, luka membujur di sekujur
tubuh dan banyak kehilangan darah, bahkan salah satu urat di keningnya
terputus! Terbaring di atas tanah berlumur lumpur dan darah, hingga
salah seorang anggota marsose yang tak tega menyaksikan penderitaan
Pocut, memohon ijin kepada Veltman agar diijinkan mengakhiri penderitaan
Pocut dengan menembakkan peluru ke tubuhnya agar tewas.
Tentu saja Veltman tak menyetujui, dan memerintahkan pasukannya untuk
berlalu, dan membiarkan Pocut terbaring untuk ditemukan oleh warga desa
dan diberikan pertolongan. Di lubuk hatinya, Veltman dan pasukannya
menyimpan rasa hormat dan takjub akan keberanian para wanita Aceh yang
begitu heroik dan gagah berani. Suatu hal yang sangat jarang mereka
saksikan di dunia ini, yang mungkin tidak akan ada pada wanita bangsa
mereka sendiri.
Pocut ditemukan dan dirawat oleh para penduduk, dan walau masih dalam
masa kritisnya, tetap bertekad untuk lanjutkan perjuangan. Tak hanya
itu, Pocut juga telah menyusun rencana untuk menghabisi si pengkhianat
negeri, musuh dalam selimut, yaitu penduduk desa yang telah menjadi
mata-mata Belanda.
Sementara itu, Veltman yang kemudian mengetahui bahwa wanita yang
bentrok dengan pasukannya itu adalah seorang pemimpin gerilya, berusaha
mencari tahu keberadaannya, dan hatinya sungguh terenyuh kala menyaksikan
Pocut terbaring lemah, tak berdaya dengan kain kusam yang membalut
luka-luka di tubuhnya. Yang lebih membuatnya terenyuh adalah, penduduk
desa menggunakan kotoran sapi sebagai antibiotik alami demi menyembuhkan
luka-luka Pocut. Sungguh mengiris hati, apalagi melihat wanita
pemberani itu menggigil dan mengerang penuh kesakitan.
Terketuk hatinya, pemimpin pasukan Belanda yang fasih berbahasa Aceh ini
berupaya keras membujuk Pocut agar bersedia diobati oleh dokter
Belanda. Pocut menolak keras, tak sudi tubuhnya disentuh/diobati oleh
tangan-tangan para kafe Ulanda. Namun akhirnya berkat bujukan Veltman,
Pocut menyerah dan bersedia untuk diobati. Proses penyembuhan memakan
waktu yang lama dan akhirnya walau pun sembuh, Pocut mengalami cacat
fisik [pincang] pada kakinya.
Mendengar keberanian Pocut melawan pasukan Veltman seorang diri hanya
dengan sebilah rencong, Komandan militer Scheuer memutuskan untuk
mengunjungi dan bertemu Pocut, yang tentu saja didampingi oleh Veltman,
yang juga bertindak sebagai penerjemah. Komandan Scheuer menaruh hormat
kepada Pocut, tanpa dibuat-buat, murni dari lubuk hatinya. Setulus hati
dia meminta Veltman untuk menyampaikan kepada Pocut, bahwa dirinya
sangat kagum pada Pocut. Sikapnya ini memancing rasa apresiasi dari
Pocut, membuat wanita itu mengangguk dan tersenyum padanya. Namun itu
tak berarti bahwa Pocut akan menghentikan peperangan dalam rangka
mempertahankan negerinya... Perang akan berlanjut dan para kafe Ulanda
harus angkat kaki dari tanah rencong ini!
Perjuangan memang terus berlanjut, bumi Aceh terus bergolak karena para
gerilyawan terus beraksi. Pocut masih belum sembuh total dan tetap dalam
pengawasan Belanda. Perjuangan dilanjutkan oleh ketiga putranya serta
Pang Mahmud yang setia. Sayangnya, pada bulan Februari 1900, Tuanku
Muhammad Batee tertangkap, dan karena dianggap sangat berbahaya bagi
keamanan penjajahan Belanda, maka pada tanggal 19 April 1900 beliau
diasingkan ke Tondano, Sulawesi Utara dengan Surat Keputusan Pemerintah
Hindia Belanda No. 25 pasar 47 R.R. Sementara dua putra Pocut yang
lainnya diasingkan ke tanah Jawa.
Ketika sembuh dari sakitnya, Pocut masih melanjutkan perjuangan bahkan
masih mampu memimpin pasukan, walau akhirnya berhasil ditangkap dan
dijadikan tahanan Belanda, dan bersama putranya tuanku Budiman
dimasukkan ke penjara Belanda, Kutaraja. Dalam waktu yang sama, tuanku
Nurdin tetap melanjutkan perjuangan dan memimpin para pejuang di kawasan
Laweung dan Kalee. Pada tanggal 18 Februari 1905, Belanda berhasil
menangkap tuanku Nurdin di tempat persembunyiannya di Desa Lhok Kaju.
Sebelumnya Belanda terlebih dahulu menangkap istri dari tuanku Nurdin
sebagai taktik untuk membuat tuanku Nurdin menyerah, namun ternyata
taktik ini tidak membawa hasil.
Kemudian, pada 6 Mei 1905, Pocut beserta kedua putranya yaitu tuanku
Nurdin dan tuanku Budiman serta seorang saudaranya, tuanku Ibrahim
diasingkan ke tanah Jawa, tepatnya di Blora, Jawa Tengah, berdasarkan
Surat Keputusan Pemerintah Hindia Belanda tanggal 6 Mei 1905, No. 24. .
Dan sejak itu, perjuangan Pocut dan putra-putranya tak lagi menemukan
kesempatan untuk berlanjut. Ketiganya hidup dalam pengasingan, dan
kemudian Pocut Meurah Intan menghembuskan napas terakhirnya pada 19
September 1937, di pengasingan. Jauh dari tanah rencong, tanah tumpah
darahnya tercinta.
Makamnya terletak di desa Temurejo, Blora, Jawa Tengah, dan pernah ada
rencana dari Pemerintah Aceh untuk memindahkan makam Pocut ke tanah
kelahirannya, namun amanah Pocut yang disampaikan pada salah seorang
sahabatnya di Blora, yaitu RM Ngabehi Dono Muhammad, bahwa Pocut lebih
senang bersemayam di Blora membuat rencana ini tak jadi dilanjutkan.
Sumber
Rabu, 29 Januari 2014
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar