Tumpukan batu sepanjang kurang lebih 60 meter yang menghadap laut itu
sungguh tak terawat. Pepohonan tinggi berbatang kuat dan semak-semak
belukar tampak menghiasi. Hanya sebuah plakat berwarna emas kemerahan
yang didirikan oleh BRR Aceh Nias yang menjadi penanda bahwa disini
dulunya adalah tempat bersejarah di tanah Aceh. Tempat perjuangan heroik
seorang Laksamana Malahayati. Plakat sebagai penanda tempat bersejarah
itu saya tahu didirikan setelah musibah tsunami 7 tahun yang lalu. Lalu,
apakah tumpukan batu yang dulunya gagah itu juga hancur karena gempa
dan tsunami? Atau apakah sebelum gempa dan tsunami terjadi juga tak
terawat? Ah, benteng Inong Balee yang terkenal itu ternyata sekarang
hanya menjadi tumpukan puing-puing batu rusak.
Dengan gagah berani, berdiri di balik benteng, Laksamana Malahayati yang
didampingi para Laskar Inong Balee menatap nanar penuh kemarahan ke
arah selat Malaka. Ribuan kapal Belanda tampak di kejauhan, menyemuti
lautan, siap menyerang Aceh. Laksamana Malahayati tak gentar menatap
kapal yang dipenuhi ribuan tentara Belanda. Darahnya mendidih. Murka.
Nalurinya mempertahankan tanah air membuncah. Seketika, perempuan
perkasa itu menghunus rencong dari sarungnya yang selalu tersampir di
pinggang. Dengan nada tegas dan yakin, beliau memerintahkan anak buahnya
untuk menyiapkan kapal perang. Dengan langkah gesit dan pasti, beliau
menaiki kapal perangnya untuk beradu kekuatan melawan tentara penjajah
di tengah laut. Setelah memejamkan mata sejenak, mengucap Bismillah,
perintah menyerang keluar dari mulut beliau. Beliau bertekad, kalaupun
mati hari ini, beliau akan mati syahid. Ini jihad beliau. Tak
terelakkan, pertempuran yang akan dicatat oleh sejarah terjadi hari itu.
11 September 1599. Alih-alih bisa meruntuhkan Aceh, armada Belanda yang
dipimpin oleh Cornelis de Houtman itu porak poranda berhadapan dengan
Laksamana Malahayati dan pasukannya. Dan di akhir perang, ditutup dengan
kemenangan Laksamana Malahayati dengan membunuh Cornelis de Houtman
dengan tusukan rencongnya.
Itu lah gambaran yang ada di kepala saya ketika berkunjung ke benteng
Inong Balee. Pasti pada masanya benteng ini megah sekali. Benteng
pertahanan sekaligus tempat penampungan para janda perang yang dilatih
menjadi laskar Inong Balee ini pasti kokoh sekali pada waktu itu. Sudah
tak terhitung jumlah lagi benteng ini mampu menahan serangan-serangan
dari para penjajajah Belanda dan Portugis. Menjadi saksi bisu keberanian
dan keperkasaan Laksamana Malahayati dan laskar Inong Balee. Menjadi
saksi bisu perjuangan Laksamana Malahayati, salah satu pejuang Aceh yang
paling berani yang pernah ada.
Tidak lama saya menghabiskan waktu berkunjung ke benteng Inong Balee.
Saya melanjutkan perjalanan menuju makam Laksamana Malahayati. Setelah
wafat dalam pertempuran Teluk Krueng Raya, beliau dimakamkan tidak jauh
dari benteng Inong Balee, di sebuah bukit kecil yang sekarang letaknya
sekitar 500m dari Pelabuhan Malahayati, Krueng Raya. Dikelilingi dengan
pagar putih, dengan pepohonan tinggi menjulang, kompleks makam
Malahayati tampak bersih, rapi, dan asri. Siang itu hanya saya dan
seorang kawan yang berkunjung. Pintu besi berwarna hijau kami buka dan
bergegas menaiki satu persatu anak tangga menuju makam yang berada di
puncak bukit. Sampai di puncak, kami menemukan ada tiga makam yang
dinaungi oleh sebuah cungkup. Disana terbaring jasad Laksamana
Malahayati, suaminya, dan seorang anaknya. Saya diam termenung.
Merenungi kisah kepahlawanan Laksamana Malahayati. Mungkin tanpa beliau
tanah Aceh tidak akan seperti ini sekarang. Yang bisa saya lakukan hanya
berdoa semoga beliau mendapat tempat yang istimewa di sisi Allah SWT.
Keteladanan, semangat, dan perjuangan beliau wajib kita contoh. Salah
satunya dengan cara sama-sama menjaga kedamaian di bumi Serambi Mekah
ini. Kita jaga sama-sama kedamaian tanah air tercinta, Indonesia.
Sumber
Rabu, 29 Januari 2014
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar