Rabu, 29 Januari 2014

Filled Under:

Laksamana Malahayati, Pelaut Wanita Hebat Asal Aceh

Tumpukan batu sepanjang kurang lebih 60 meter yang menghadap laut itu sungguh tak terawat. Pepohonan tinggi berbatang kuat dan semak-semak belukar tampak menghiasi. Hanya sebuah plakat berwarna emas kemerahan yang didirikan oleh BRR Aceh Nias yang menjadi penanda bahwa disini dulunya adalah tempat bersejarah di tanah Aceh. Tempat perjuangan heroik seorang Laksamana Malahayati. Plakat sebagai penanda tempat bersejarah itu saya tahu didirikan setelah musibah tsunami 7 tahun yang lalu. Lalu, apakah tumpukan batu yang dulunya gagah itu juga hancur karena gempa dan tsunami? Atau apakah sebelum gempa dan tsunami terjadi juga tak terawat? Ah, benteng Inong Balee yang terkenal itu ternyata sekarang hanya menjadi tumpukan puing-puing batu rusak.
Dengan gagah berani, berdiri di balik benteng, Laksamana Malahayati yang didampingi para Laskar Inong Balee menatap nanar penuh kemarahan ke arah selat Malaka. Ribuan kapal Belanda tampak di kejauhan, menyemuti lautan, siap menyerang Aceh. Laksamana Malahayati tak gentar menatap kapal yang dipenuhi ribuan tentara Belanda. Darahnya mendidih. Murka. Nalurinya mempertahankan tanah air membuncah. Seketika, perempuan perkasa itu menghunus rencong dari sarungnya yang selalu tersampir di pinggang. Dengan nada tegas dan yakin, beliau memerintahkan anak buahnya untuk menyiapkan kapal perang. Dengan langkah gesit dan pasti, beliau menaiki kapal perangnya untuk beradu kekuatan melawan tentara penjajah di tengah laut. Setelah memejamkan mata sejenak, mengucap Bismillah, perintah menyerang keluar dari mulut beliau. Beliau bertekad, kalaupun mati hari ini, beliau akan mati syahid. Ini jihad beliau. Tak terelakkan, pertempuran yang akan dicatat oleh sejarah terjadi hari itu. 11 September 1599. Alih-alih bisa meruntuhkan Aceh, armada Belanda yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman itu porak poranda berhadapan dengan Laksamana Malahayati dan pasukannya. Dan di akhir perang, ditutup dengan kemenangan Laksamana Malahayati dengan membunuh Cornelis de Houtman dengan tusukan rencongnya.
Itu lah gambaran yang ada di kepala saya ketika berkunjung ke benteng Inong Balee. Pasti pada masanya benteng ini megah sekali. Benteng pertahanan sekaligus tempat penampungan para janda perang yang dilatih menjadi laskar Inong Balee ini pasti kokoh sekali pada waktu itu. Sudah tak terhitung jumlah lagi benteng ini mampu menahan serangan-serangan dari para penjajajah Belanda dan Portugis. Menjadi saksi bisu keberanian dan keperkasaan Laksamana Malahayati dan laskar Inong Balee. Menjadi saksi bisu perjuangan Laksamana Malahayati, salah satu pejuang Aceh yang paling berani yang pernah ada.
Tidak lama saya menghabiskan waktu berkunjung ke benteng Inong Balee. Saya melanjutkan perjalanan menuju makam Laksamana Malahayati. Setelah wafat dalam pertempuran Teluk Krueng Raya, beliau dimakamkan tidak jauh dari benteng Inong Balee, di sebuah bukit kecil yang sekarang letaknya sekitar 500m dari Pelabuhan Malahayati, Krueng Raya. Dikelilingi dengan pagar putih, dengan pepohonan tinggi menjulang, kompleks makam Malahayati tampak bersih, rapi, dan asri. Siang itu hanya saya dan seorang kawan yang berkunjung. Pintu besi berwarna hijau kami buka dan bergegas menaiki satu persatu anak tangga menuju makam yang berada di puncak bukit. Sampai di puncak, kami menemukan ada tiga makam yang dinaungi oleh sebuah cungkup. Disana terbaring jasad Laksamana Malahayati, suaminya, dan seorang anaknya. Saya diam termenung. Merenungi kisah kepahlawanan Laksamana Malahayati. Mungkin tanpa beliau tanah Aceh tidak akan seperti ini sekarang. Yang bisa saya lakukan hanya berdoa semoga beliau mendapat tempat yang istimewa di sisi Allah SWT. Keteladanan, semangat, dan perjuangan beliau wajib kita contoh. Salah satunya dengan cara sama-sama menjaga kedamaian di bumi Serambi Mekah ini. Kita jaga sama-sama kedamaian tanah air tercinta, Indonesia.




Sumber

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright @ 2013 PEJUANG ISLAM.