Senin, 20 Januari 2014

Filled Under:

Daftar Sultan dan Tokoh Kutai 2

Transformasi Pendidikan
                Transformasi pendidikan merupakan jalan linear menuju peradaban. Dalam setiap kelompok masyarakat, pendidikan itu diselenggarakan baik secara formal melalui sebuah lembaga pendidikan formal, maupun secara informal melalui beragam bentuk komunikasi sosial, begitulah kata almarhum Kuntowijoyo.[20] Kita mulai dari seorang intelektual Banjar yang hidup pada akhir abad XVIII dan awal abad XX, yaitu Syeh Arsyad Al Banjari. Saya merasa perlu mengetengahkan intelektual ini, karena ia berperan paling depan sebagai pionir dalam membangun pembentukan sistem pengetahuan masyarakat Banjar.
                Mohamad Arsyad dari kecil sudah masyhur kecerdasannya, sehingga sultan pada masa itu merasa perlu untuk menyekolahkannya ke Mekah. Pengiriman studi Mohamad Arsyad merupakan contoh betapa pedulinya penguasa pada dunia pendidikan. Di  akhir masa studinya Syekh Arsyad Al Banjari, ia diberikan izin untuk mengajar  di Mesjidil Haram.
                Ketika  kembali Ke Banjarmasin pada tahun 1773, sultan sangat menghargai keintelektualannya, ia tidak dipaksa untuk menuruti kerangka sosial budaya keraton, tetapi  malah diberikan wewenang dan diakui hak-hak pribadinya. Contoh penghargaan sultan terhadap keintelektualaannya, sultan tidak marah, ketika Mohamad Arsyad Al Banjari mengeluarkan fatwa tentang pertanyaan apakah sultan berhak menghukum orang yang tidak sembahyang Jumat dengan pembayaran denda kepadanya.[21] Selain itu, Syekh Arsyad Al Banjari menyumbang pikiran dan membentuk jabatan mufti dalam struktur kepegawaian Kesultanan Banjar. Syech Mohamad Arsyad Al Banjari banyak menulis buku, salah satu karyanya yang monomental adalah kitab Sabilal Muhtadin.
                Keintelektualan Syekh Arsyad Al Banjari tidak melulu dalam bidang keagamaan, persoalan di luar keagamaanpun ia mumpuni. Misalnya, ketika ia membangun sebuah  kampung baru  di areal tanah kosong jauh dari keraton yang sekarang dikenal dengan sebutan dalam Pagar. Ia juga menggali  saluran air baru  (kanal) berfungsi sebagai  irigrasi untuk kepentingan pertanian. Sekarang daerah itu dikenal dengan nama  Kampung Sungai Tuan yang juga dijadikan tempat pendidikan agama Islam dengan model sorongan .
                Kampung Sungai Tuan yang dibangun oleh Syekh Mohamad Arsyad Al Banjari, mengisyaratkan, bahwa transformasi pendidikan yang dialaminya menghasilkan kearifan aktual. Katakan saja, dalam sosok Syekh Mohamad Arsyad Al Banjari memancarkan  sesosok ulama yang sangat diperlukan baik oleh kesultanan maupun oleh rakyat.  Kampung Sungai Tuan juga merupakan refleksi  dari pembentukan sosok budaya Banjar Islam yang egaliter.
Pada awal Abad XX, semangat belajar manusia Banjar semakin tinggi.  Untuk memfasilitasi semangat belajar di Martapura1914 berdiri sekolah Islam  Darusalam, tahun 1940 di Amuntai berdiri sekolah  Arabische School yang kemudian berubah menjadi  Ma ahad Rasyidiyah dan pada tahun 1932 di Barabai berdiri sekolah Diniyah Islamiyah. Kemudian diikuti oleh madrasah Persatuan perguruan Islam, Madrasah  Sarekat Islam, Madrasah  Musyawatuttalibin, Sekolah Muhamadiyah, Sekolah taman Siswa dan terakhir Perguruan rakyat Parindra. Pendidikan yang disebutkan itu semacam proses inisiasi dari remaja ke dewasa. Kelak  alumi dari sekolah-sekolah itu  menjadi aktivis  pemuda Islam yang bergerak dalam bidang politik, sosial maupun kemasyarakatan.[22] Dapat dikatakan juga, bahwa sekolah-sekolah itu mempunyai andil besar dalam membangun sesosok budaya Banjar yang egaliter dan terkadang ide-ide apabila dicermati, kita akan acungkan jempol. Begitu juga dalam kehausan menuntut ilmu, banyak para ulama yang belajar agama ke Mekah, dan banyak juga pemuda Banjar belajar baik agama maupun non ke agamaan ke Jawa.
Pengembaraan orang Banjar menuntut ilmu membuahkan hasil, paling tidak dalam melemparkan ide.  Katakan saja, pada tahun 1949 masyarakat Banjar yang diwakili oleh Brigjen K.H. Hasan Basery menyatakan diri, bahwa Kalimantan adalah bagian dari  Negara Kesatuan Indonesia. Begitu juga keberanian warga kalimantan Selatan yang bersama-sama dengan Sumatra Selatan dan Sulawasi Selatan berani membubarkan PKI yang saat itu masih kuat pamornya. Pada masa gerakan mahasiswa 1966, seorang pemuda mahasiswa Fakultas Hukum UNLAM. Banjar bernama Hasanuddin Mugdi mati tertembak dalam suatu demonstrasi mahasiswa. Gugurnya Hassnuddin Mugdi apabila dilihat waktunya, ia gugur lebih awal ketimbang Arif Rahman Hakim ( UI ) Jakarta dan  KAPPI lainnya.
Paparan di atas mengisyaratkan, bawa roh dari pendidikan memberikan kesadaran manusia Banjar untuk selalu berubah. Ide-ide dan keberanian mengambil resiko merupakan buah dari pendidikan yang cerdas.  Perubahan budaya dalam bentuk transformasi pendidikan masih berjalan atau masih berdialog. Dialog dalam transformasi yang akan melahirkan peradaban baru dari budaya Banjar.

Rekayasa Budaya

Perubahan  budaya yang artifisal atau direkayasa biasanya diselenggarakan melalui kekuasaan, begitu hemat Kuntowijoyo.[23] Mendiskusikan  fokus dari relasi kekuasaan sedikitnya terdapat kata dominasi dan hegamoni. Dalam setiap dominasi akan selalu terdapat relasi kekuasaan. Relasi kekuasaan itu kemudian  dimantapkan dengan strategi menguasai sehingga tercipta hubungan yang berlangsung dalam tempo yang panjang walaupun di tengah jalan mengalami keterpurukan. Relasi hegamonik berupaya menciptakan ketundukan melalui perundingan konsensus secara aktif sehingga kekuasaan itu tampak dalam pelupuk mata.
Dalam konteks rekayasa budaya di Banua Banjar dapat dilacak, ketika bersinggungan dengan budaya Barat, khususnya kolonial Belanda. Pemerintah kolonial Belanda dalam merekayasa budaya, melalui perjanjian-perjanjian yang mengikat dan melemahkan. Awalnya melalui perjanjian pada pertengahan Abad XVIII antar kesultanan Banjar dengan Belanda membuat kesultanan yang awalnya memiliki etos perdagangan yang mobil dan bercorak urban kehilangan mobilitasnya.Tuntutan budaya Belanda yang mengandalkan kepada rasionalitas, efesiensi dan produktivitas ditambah dengan keserakahan sistem kolonial tidak memberikan ruang secuilpun kepada para elite lokal untuk berdialog secara kreatif.[24] Fakta sejarah malah menyebutkan, banyak kaum bangsawan memposisikan dirinya menjadi bagian dari kekuasaan dari pemerintah kolonial. Apabila sebelumnya, para bangsawan patuh kepada sultan akhirnya berubah kepatuhannya kepada pemerintah kolonial. Bisa jadi, kondisi ini yang disebut sebagai terjadinya pertukaran patron.
Ketika Perang Banjar meledak, pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1860 menghapuskan Kesultanan Banjar. Sejak saat itu, wilayah kesultanan Banjar menjadi bagian dari Pemerintahan Hindia Belanda. Kemudian, Pemerintahan Hindia Belanda oleh banyak akhli disebut sebagai  sebagai suatu beamstaat( negara birokrasi) yang bertopang kepada kuatnya gelembung birokrasi, bukan pada dinamika politik yang bermuara dari masyarakat Banjar.
Pemerintah Hindia Belanda dengan mesin birokrasinya yang modern  berhasil meluluhlantakan birokrasi tradisional  yang diselimuti oleh aura mitologi.  Akan tetapi,  Pemerintah Hindia Belanda rupanya bersifat mendua dalam menerapkan sistem pemerintah di negara jajahan. Kemenduan bersikap terlihat ketika ia menerapkan sistem in derect rule.  Konsep beamstaat  bermuasal dari perkembangan pemikiran Barat yang berproses dari abad XV sampai abad XIX. Konsep beamstaat memanfaatkan aparat pemerintahan tradisional  (kaum bangsawan kesultanan) untuk dijadikan bagian dari birokrasi Pemerintahan Hindia Belanda. Penerapan konsep beamstaat oleh pemerintah Hindia Belanda oleh Umar Kayam almarhum disebut sebagai suatu proses yang hakekatnya merupakan pergeseran konsep kosmologis dari manusia Barat yang  sekuler, rasional dan materialis.[25]
Negara birokrasi Hindia Belanda merupakan hasil rekayasa budaya yang diarsiteki oleh Belanda yang diterapkan kepada wilayah nusantara untuk kepentingan politik dan ekonominya. Untuk mengisi kekosongan aparat yang memiliki kapasitas bukan geneologis bagi negara birokrasinya ia mendirikan sekolah sesuai dengan anjuran salah satu dari politik etis yaitu pendidikan.   Tentunya termasuk wilayah Kalimantan Selatan yang  dalam administrasi Pemerintah Hindia Belanda disebut dengan sebutan Zuid- en Oostkust van Borneo didirikan sekolah. Sekolah yang akan mencetak pegawai-pegawai rendahan untuk kepentingan pemerintahan Hindia Belanda ataupun untuk kepentingan pengusaha-pengusaha partikelir.
 Pendidikan secara ideal tidak mengenal diskriminasi. Akan tetapi bagi pemerintahan Hindia Belanda  sebagai penguasa diskriminasi diperlukan sebagai pembeda antara kelas penguasa dan yang dikuasai. Untuk merealisasi rencanyanya, maka pemerintahan hindia Belanda mengeluarkan kebijakan pembagian masyarakat menjadi tiga bagian, yaitu orang Asing Barat, Asing Timur dan pribumi. Dapat dikatakan, pembagian masyarakat dalam kelas ini merupakan awal dari pencitraan bangsa kita  yang majemuk yang direkayasa oleh kolonial.
Dalam relasi masyarakat majemuk biasanya  terdapat kultur dominan yang berperan sebagai wadah pembauran.   Tentunya predikat kultur dominan  disandang oleh penguasa yaitu Pemerintah Hindia Belanda. Dalam konsep kultur dominan ini, maka masyarakat dikonstruksi untuk mengakui, mematuhi, menjiplak kebudayaan penguasa. Tentunya hal ini berlaku juga di sekolah-sekolah pada masa itu.
Dominasi penguasa untuk membangun diskriminasi tidak hanya dilihat dari perbedaan warna kulit. Bahkan diskriminasi  untuk sesama bumiputera di ruang pendidikan itupun digelar. Katakan saja, bumi putera oleh Pemerintah Hindia Belanda dibagi  atas 3 katagori, katagori pertama, yaitu katagori A yang diperuntukan bagi mereka yang menyandang predikat bangsawan, pejabat tinngi dan penguasa; (2) katagori B, diperuntukan bagi mereka yang orang tuanya  memperoleh pendidikan di MULO, sedangkan (3) katagori C mereka yang orang tua termasuk pegawai rendahan.
Di Banjarmasin antara tahun 1875-1889 pemerintah kolonial telah mendirikan sekolah kelas 2 yang diperuntukan untuk mencetak pegawai-pegawai rendahan menjadi guru dan sekolah kelas 1 bagi anak-anak dari golongan masyarakat atas dengan bahasa pengantar adalah bahasa Melayu. Sekolah itu disebut dengan sekolah raja atau Kweekschool  voor  Inlandse  Onderwijzers.[26]
 Kondisi ini membuat tidak terjadinya dialog budaya, malah memunculkan relasi penguasa dan yang dikuasai, akhirnya budaya Banjar mengalami kemandegan kultural. Katakan saja, rekayasa budaya yang diintrodusir oleh kolonial Belanda bukan suatu pembangunan untuk masyarakat akan tetapi untuk kepentingan politik kekuasaan




Penutup

                Perubahan kebudayaan dilalui melalui dua cara, yakni transformasi dan rekayasa.
Masyakat Banjar mengalami proses transformasi budaya dalam segala aspek melalui proses waktu yang panjang. Transformasi yang paling elok adalah dialog budaya antara masyarakat Pra- Banjar dengan Jawa dan Islam. Pada akhirnya dialog budaya itu melahirkan dan memberikan identitas ke Banjaran sebagai pembeda dengan sukubangsa lainnya yang memiliki sifat mobil yang tinggi
Dalam sisi lain,  kedatangan orang Belanda sebagai  penguasa dengan kekuasaannya  mengkonstruksi budaya bagi masyarakat Banjar untuk kepentingan politik membuat kemandagen budaya. Dalam arti lain, kebudayaan yang direkayasa oleh pemerintah kolonial  tidak boleh terulang, karena akan memunculkan ketumpulan kreativitas.
Kedepannya, belajar dari pengalaman sejarah di atas maka perubahan kebudayaan melalui rekayasa budaya untuk mengeksplotasi masyarakat oleh individu, kelompok maupun negara  dengan  tujuan politisasi harus dikubur.  




Catatan Kaki:
 
[1] Umar Kayam,1989, ” Transformasi  Budaya Kita” dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar Universitas Gadjah Mada Ilmu-ilmu Humaniora, 2000. (Yogyakarta; Gadjah Mada University), hlm.183
[2] Ibid
[3] Kuntowijoyo,1997, Identitas Politik Umat Islam. (Bandung: Mizan},hlm.152-153
[4] Ibid
[5] Hans .J. Daeng,2000., Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan.Yogykarta: Pustaka Pelajar.
[6] Sumardjo Jakob, 2002, Arkeologi Budaya Indonesia. (Yogyakarta: Qalam)
[7] Lihat Fridolin Ukur, 1971, Tentang Jawab Suku Dayak. (Jakarta: Sekolah Tinggi Theologi), hlm.27-40
[8] A.A. Cence, 1928, De Kroniek van Bandjarmasin. Proefschrift. (Amsterdam: Mees Antpoort), hlm.147-148
[9] W.A.van Rees,1865., De Bandjarmasinsche Krigt van 1859-1863. (Arnhem: Thema),hlm.28-29
[10] Tentang gelar dan fungsi aparat pemerintahan Negara Dipa dan Daha lihat M. Suriansyah Ideham, dkk, 2007., Sejarah Banjar. (Banjarmasin: Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan). Lihat juga Vida Pervaya Rasianti Kusmartono,2002,” Pemerintahan Early State Negara Dipa di Kalimantan Tenggara” makalah dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi IX dan Kongres IAAI 2002 di Kediri,23-27 2002:
[11] Anthony Reid, 1992., Asia Tenggara dalam Kurun Niaga tahun 1450-1686. (Jakarta: yayasan Obor),hlm.141
[12] Kuntowijoyo, 1997, op.cit, hlm.193
[13] Denys Lombard dan Claudine Salmon,1991. “ Islam Dan Ketionghoan” dalam Ilmu Humaniora  Persembahan bagi Prof. Dra. Siti Baroroh dan Prof. Dr. Sulastin Sutrisno Fakultas sastra UGM 4-5 Maret 1991. (Jogyakarta: Gadjah Mada University Pers), hlm.431-435
[14] Bernard Dorleans, 2006,  Orang Indonesia & Orang Prancis dari Abad XVI sampai Abad XX.(Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia),hlm.23
[15] Ibid
[16] Jean Gelman Taylor,2005,” Kostum dan Gender di Jawa Kolonial 1800-1940” dalam Henk Schulte Nordholt (ed.), Outward Appearrances trend, Identitas, Kepentingan. (Yogyakarta: Lkis), hlm.134.
[17]Tentang Kedekatan Budaya Banjar dengan Islaml lihat Alfani Daud, 1997., Islam & Masyarakat Banjar. ( Jakarta:  raja Grafindo Persada).
[18]Penjelasan tentang seni ukir Banjar lihat, Saleh, M. Idwar, 1978., Rumah  daerah Kalimantan Selatan. Banjarmasin: Depdibud.
[19] H.J. De Graaf,1986, Puncak Kekuasaan Mataram. (Jakarta:  Grafiti Pers)
[20] Kuntowijoyo,1987., Budaya dan masyarakat.(Yogyakarta: Tiara Wacana), hlm.37.
[21]Karel A Steenbrink, 1984.,  Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia pada Abad XIX.(Jakarta: Bulan Bintang), hlm.92-93.
[22] Suriansyah Ideham, dkk. Op.cit.,hlm.382.
[23] Kuntowijoyo,1997, op.cit   hlm 153-154   
[24] Umar Kayam, Op.cit., hlm.198-199
[25]Umar Kyam, op.cit., hlm.202
[26]Entang sekolah yang dibangun oleh pemerintah colonial Belanda di banjarmasin lihat Suriansyah Ideham,dkk, Op.cit., hlm.381

Sumber

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright @ 2013 PEJUANG ISLAM.