Senin, 20 Januari 2014

Filled Under:
,

Sejarah Paser 1

Di sekitar abad ke lima, Kalimantan bagian Selatan, yang sekarang menjadi daerah Paser. Daerah ini terbagi dua bagian, Bagian Timur merupakan dataran rendah, landai hingga bergelombang memanjang dari Utara ke Selatan lebih melebar dibagian Selatan berawa-rawa dan daerah aliran sungai. Bagian Barat merupakan daerah bergelombang, berbukit-bukit dan bergunung-gunung sampai ke perbatasan provinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah, di daerah ini terdapat sungai yang cukup besar dan panjang.
Ditepi-tepi sungai inilah penduduk asli (pribumi) bermukim, mereka dikatakan ; masyarakat Bansu Tatau Datai Danum dengan artian Masyarakat hidup di tepi-tepi air / pantai. Mereka hidup berkelompok-kelompok, di tepi-tepi sungai yang dapat memberikan nutrisi, seperti ikan, kerang, air tawar dan lingkungan hutan yang memberikan umbi-umbian, buah-buahan juga binatang buruan hutan, cukup memberikan untuk kelangsungan hidup manusia.
Setiap kelompok dipimpin oleh seorang yang kuat dan pemberani baik fisik maupun mental. Digambarkan pada masa itu belum ada tataan aturan yang dapat untuk mengatur tata cara kehidupan dan penghidupan masyarakat. Di saat itu yang berlaku dalam hukum rimba, siapa kuat dialah yang berkuasa dan dapat berbuat sekehendak hatinya, jadi kekuasaan tertinggi terletak di tangan orang-orang kuat dan berani, sehingga segala sesuatunya tergantung di tangannya, hal ini dikenal dengan hukum rimba, sistem ini mirip dengan apa yang disebut diktator sekarang ini. Sedangkan hukum adat sebagai penangkal mencegah kesewenang-wenangan, kelaliman masa itu belum dikenal.
Kekuasaan seperti ini, semakin hari bertambah kurang karena mereka mulai menyadari, diluar dirinya masih ada kekuasaan yang lebih besar dari mereka, yaitu kekuasaan Dewa. Kepercayaan ini semakin meresap dalam kehidupan mereka, karena mereak beranggapan bahwa dewa-dewa dan roh-roh halus menenpati di setiap pepohonan kayu-batu besar,sehingga tempat-tempat itu dijadikan tempat-tempat pemujaan untuk meminta berkah, keselamatan, rezeki dan lain-lain.

Religi dan pengetahuan

Jauh sebelum mengenal agama, di daerah Paser ini, masyarakat Paser mengenal kepercayaan animisme supernatural, syamanisme dan sebagainya, mereka terikat dengan makhluk-makhluk halus, roh-roh halus, kekutan-kekuatan gaib dan kekuatan-kekuatan sakti. Di daerah Paser, dikenal dengan ilmu gaib, sebagai bentuk kepercayaan “Kuno” yang mempercayai adanya kekuatan maha dasyat terdapat di alam semesta. Desa yang diartikan sebagai penguasa tertinggi dalam kekuasaannya menguasai seluruh alam semesta, dalam sistem ini terlihat dalam tata cara pelaksanaan untuk maksud-maksud tertentu, misalkan pada saat pembukaan hutan untuk lahan perladangan atau persawahan, menanam padi dan sebagainya yang dilaksanakan oleh seorang dukun / mulung, yang mengetahui jampi-jampi atau soyong dalam bahasa Paser, diucapkan kata-kata permohonan sesuai dengan yang diharapkan.

Kepercayaan kepada makhluk halus

Dunia ini dihuni oleh beberapa makhluk halus, ada yang bersifat mengganggu manusia, ada yang membantu dan ada pula yang tidak menggangu, juga tidak berfaedah bagi manusia. Makhluk halus dikenal mendiami tempat-tempat tertentu, di hutan, di pepohonan kayu besar di rawa-rawa, di kuburan dan sebagainya. Menurut cerita rakyat, bahwa salah satu pusat kediaman makhluk-makhluk halus didaerah Paser adalah yang dikatakan “Raya” terletak di antara Pondong dan Air Mati. Jika diklasifikasikan, makhluk halus itu ada bermacam-macam, di antaranya :
  • Makhluk halus asal kejadiannya sudah gaib, seperti hantu atau uwok dalam bahasa Pasernya, jin dan setan.
  • Makhluk halus dari manusia yang lenyap tanpa melalui proses kematian seperti mahal imunan dan orang gaib.
  • Makhluk halus dari roh manusia yang meninggal tidak secara wajar, misalnya meninggal karena kecelakaan, meninggal karena dibunuh.
Dalam kepercayaan masyarakat, makhluk halus kadang-kadang menjelma dalam bentuk manusia, binatang atau menjelma dalam bentuk benda-benda dan lain sebagainya.

Tempat perlindungan

Masyarakat ini menempati rumah panggung segi empat panjang, atap miring empat puluh lima derajat kesamping kiri dan kanan, muka dan belakang, memakai dinding. Rumah ini tanpa ruang pemisah dan berdaun pintu, tinggi rumah dari permukaan tanah kurang lebih dua meter. Atap rumah terbuat dari daun nipah, bisa juga dari kulit kayu sungkai, lantai dari pohon niung atau bambu yang dipecah-pecah dan dijalin denga rotan, bahan bangunan dari anak-anak kayu bundar. Sebelum mengenal paku untuk bahan penikat masyarakat ini menggunakan rotan. Masyarakat Paser, termasuk masyarakat homogen, jadi sudah terbiasa tinggal dalam satu rumah dua atau tiga kepal keluarga yang terdiri dari anak menantu, saudara dari Ibu atau Bapak tinggal dalam satu rumah, hidup rukun dan damai. Bergotong royong atau nyempolo dalam bahasa Paser, bekerja bergotong royong tanpa mengharapkan upah dan balas jasa. Kegotongroyongan atau nyempolo dalam bahasa Paser adalah ciri khas masyarakat Paser yang sudah membudaya sejak nenek moyang mereka.

Gotong royong

Adanya kelompok kerjasama atau gotong royong bukanlah satu kelompok organisasi formal akan tetapi para pekerja dengan gotong royong itu secara spontan datang membantu petani lainnya yang membutuhkan bantuan. Pembagian kerja serta struktur organisasi tidak ada, informasi yang disampaikan hanya melalui mulut ke mulut, kerjasama ini oleh masyarakat Paser disebut nyempolo, gotong-royong setengah hari tanpa makan siang, gotong-royong satu hari penuh disediakan makan siang.

Cara penguburan

Jauh sebelum agama dikenal di daerah Paser ini upacara penguburan ada tiga pelaksanaan, hal ini tergantung dengan kelompok masing-masing :
  • Orang yang sudah mati / meninggal dibuatkan sebuah tebela atau yang mereka sebut Lungun, lungun dibuat dari sepotong batang kayu yang dibelah menjadi dua bagian, dan masing-masing belahan diberi lubang seukuran orang yang mati, setelah mayat dimasukkan kedalam lungun lalu ditutup dengan belahan tadi dan selanjutnya diikat dengan rotan, selanjutnya lungun yang sudah berisi orang mati dibawa ke dalam hutan jauh dari perkampungan penduduk, dan diletakkan kebawah pohon atau digantung di atas pohon, ada juga yang dimasukkan kedalam gua seperti dua kilometer dari Desa Kesunge Kecamatan Batu Kajang, ada terdapat sebuah gunung yang bernama Liang Lungun.
  • Ada juga orang yang sudah mati dibawa ke dalam hutan yang jauh dari perkampungan penduduk, disanalah si mayat didudukkan dan dilengkapi dengan sebilah parang atau otak dalam bahasa Pasernya diikatkan di pinggang si orang mati dan di tangan kanannya sebilah tombak.
Beberapa bulan kemudian setelah tulang belulang tengkorak menjadi kering, tulang tengkorak tersebut dikumpulkan menjadi satu, selanjutnya dikeramasi, dalam mengeramasi diiringi dengan upacara yang dipimpin oleh seorang dukun atau mulung, dan selanjutnya dibuat dalam sebuah rumah-rumah yang sengaja dibuat. Rumah-rumah ini diletakkan di ujung sebatang tihang.
Penguburan seperti ini, sebelum mereka mengenal agama, akan tetapi ada juga cara penguburan sampai hari ini mereka melakukan seperti berikut :
  • Orang mati dikuburkan dengan cara biasa saja akan tetapi di senja hari kerabat si mati berkumpul di halaman rumah, dengan dipimpin seorang mulung kematian membuat api unggun di halaman rumah, dengan membaca mantra atau bersoyong dalam bahasa Paser, jika asap api yang berasal dari api unggun tersebut lurus menuju kelangit, kerabat si mati bergembira sambil berkata naik ke langit atau dombo jaun, akan tetapi jika asap api tersebut tidak lurus karena ditiup angin para kerabat bersedih, karena anggapan mereka, jika tidak lurus berarti roh si mati tidak diterima oleh para dewa, sedangkan yang lurus roh si mati diterima oleh para dewa.

Awal masyarakat Paser

Perkembangan dan perjalanan masyarakat Paser diawali sejak zaman prasejarah, dengan datangnya para imigran Austronesia. Imigran Austronesia meliputi Taiwan atau Formosa di sebelah Utara hingga New Zealand di Selatan, antara Madagaskar di sebelah barat sehingga pulau Paska atau Eastor Island bagian Timur, suatu wilayah yang luas hampir separuh dunia.[1][2]
Dengan kemampuan dan pengetahuan pelayaran yang dimiliki, mereka mampu menyeberangi selat dan laut sehingga mencapai wilayah Asia Tenggara kepulauan dan kepulauan Fasifik. Salah satu jalur imigran tersebut adalah kelompok manusia yang bergerak dari Formosa kemudian ke Filipina, dari sini para imigran terpecah menjadi dua jalur. Kalimantan dan Sulawesi[3]

Fokler Oral Tradition

Dalam fokler oral tradition yang berhubungan dengan kerajaan di Tanah Paser. Pada zaman dahulu kala, pernah berdiri sebuah kerajaan yang bernama Padang Kero dengan rajanya yang bernama Nuas. Raja Nuas tidak lama memerintah, karena merasa uzur digantikan oleh si anak yang bernama Mandan. Begitu juga halnya dengan Raja Mandan, tidak lama kemudian raja meninggal dunia digantikan oleh si anak yang bemama Tampuk Gulung. Tampuk Gulung menyerahkan kekuasaan kerajaan kepada si anak yang bemama Selendo Tuo dan raja selanjutnya adalah Dato Tuo Puti Songkong. Tidak lama kemudian raja Dato Tuo Puti Songkong menyerahkan kepada si anak yang bernama Nalau, disaat pemerintahan raja Nalau masyarakat menjadi makmur, oleh sebab itu Nalau diberi nama oleh masyarakatnya Raja Tondoi atau Nalau pemimpin kemakmuran.
Pada masa pemerintahan Raja Nalau ini, salah seorang sepupunya yang bernana Gasing Putih merasa iri hati kepada Nalau Raja Tondoi, sehingga timbul perselisihan di antara kedua bersepupu, terjadi perang yang berkepanjangan dan akhirnya peperangan dimenangkan oleh Nalau Raja Tondoi. Beberapa saat kemudian Nalau menyerahkan kerajaan kepada anaknya yang bernama Sumping.
Di saat Sumping menjadi raja, ketiga anaknya mengadakan perjalanan hibah, perjalanan hibah ini terbagi dua kelompok, satu kelompok dipimpin oleh Andir Palai, anak Sumping dari istrinya yang pertama, satu kelompok lagi dipimpin oleh Nurang dan Anjang, anak Sumping dari istri yang kedua. Setelah melakukan perjalanan beberapa lamanya mereka akhirnya sampai di tepi sungai Lembok, disinilah Andir Palai bersama dengan pengikutnya bermukim.
Kelompok yang dipimpin oleh Nurang dan Ajang bertemu dengan sungai Kendilo. Di tepi sungai Kendilo inilah Nurang bersama kelompoknya bermukim. Sedangkan Anjang melanjutkan perjalanan bersama pengikutnya menuju ke arah Barat Laut, setelah beberapa lama dalam perjalanan akhirnya mereka sampai di sungai Komam. Di tepi sungai Komam ini Anjang meninggalkan pengikutnya sepertiga, dan yang lainnya melanjutkan perjalanan bersama Anjang ke arah Barat Daya dan akhirnya mereka bertemu dengan sungai Biu, Anjang bersama pengikutnya bermukim di tepi sungai Biu ini, akan tetapi Anjang memilih untuk tinggal di Samurangau.
Anjang mempunyai dua orang anak yang bernama Dengut dan Uma Dana. Anjang memberikan kekuasaan kepada Dengut untuk memimpin masyarakat di daerah sungai Komam, sedangkan Uma Dana memimpin di daerah sungai Biu. Anjang sendiri tetap di daerah Samurangau.
Sepeninggal Andir Palai, Nurang dan Anjang di kerajaan Padang Kero, raja Sumping mengadakan sesembahan kepada para dewa dan roh-roh halus, dengan mengadakan Belian selama 40 hari 40 malam, di saat malam yang ke 40, istana kerajaan bersama dengan rajanya beserta masyarakat hilang lenyap tanpa bekas. Itulah sebabnya masyarakat Paser tidak mau mengadakan belian sampai 40 hari 40 malam, takut terjadi seperti raja Sumping.
Lenyapnya kerajaan Padang Karo bersama dengan rajanya, diangkat Andir Palai menjadi raja dengan pusat kerajaan di Lembok. Andir Palai menyerahkan kerajaan kepada keponakannya yang bernama Talin. Talin beristrikan seorang perempuan yang bernama Tiong dari Selang Samuntae sekarang ini, justru itu diselang (Samuntae) ada kerajaan yang bemama Tiong Talin. Dari hasil perkawinan mereka melahirkan seorang anak perempuan yang diberi nama Puteri Salika. Saudara Talin yang bernama Lintung kawin dengan puteri yang bernama Selang, dari hasil perkawinan mereka melahirkan 6 orang anak lelaki, anak-anak mereka diberi nama sebagai berikut:
  1. Pego alias Temindong Doyong alias Kaka Ukop
  2. Temindong Tokiu
  3. Manungko
  4. Patang anak Dogut
  5. Seranta Tuleng Tunggel
  6. Bumbut Tuon Adang
Setelah Pego dewasa dikawinkan dengan puteri Salika sepupunya sendiri anak dari Talin. Setelah Pego beristerikan Puteri Salika Raja Talin membagi-bagikan daerah kekuasaan kepada anak-anaknya juga kepada Dengut dan Uma Dena, adapun daerah kekuasaan yang dibagikan:
  1. Pego, mendapat pembagian kekuasaan di daerah sungai Sadu Lempesu sekarang
  2. Temindong Tokiu, daerah batu miris Seratai.
  3. Manungko, di daerah Petalan, Suatang dan Pasir Belengkong.
  4. Patang anak Dogut, daerah Afier dan Tabruk.
  5. Seranta Tuleng Tunggal, daerah lngkur, Sepaku dan Balikpapan.
  6. Bumbut Tuon Adang, di daerah Lembok sampai Muara Adang dan Telake.
  7. Dengut, di daerah kepala sungai Kendilo dan Komam.
  8. Uma Dana, di daerah Biu dan Samurangau.
Setelah daerah-daerah dibagikan kepada Pego bersaudara, muncullah anak-anak suku Paser (etnis Paser) seperti berikut:
  1. Paser Pematang
  2. Paser Pembesi
  3. Paser Adang
  4. Paser Migi
  5. Paser Tikas
  6. Paser Tiong Talin
  7. Paser Balik
  8. Paser Lusan
Walaupun daerah-daerah sudah dibagi-bagikan oleh Talin kepada anak-anaknya akan tetapi mereka bukan menjadi raja di daerah masing-masing, mereka hanya menjadi penggawa. Karena Pego saudara yang tertua di antara saudaranya yang lain. Pegolah yang menjadi kepala penggawa. Itulah sebabnya dia diberi nama Temindong Doyong.
Pego atau Temindong Doyong ingin mengundurkan diri, dan meminta kepada saudara-saudaranya agar mau menggantikan dirinya sebagai kepala penggawa, akan tetapi saudara-saudaranya menolak permintaan Temindong Doyong, karena mereka mengharapkan, anak Temindong Doyong yang akan menjadi raja mereka. Sudah beberapa lama mereka menantikan agar putri Salika melahirkan anak akan tetapi yang diharapkan tidak kunjung ada. Sehingga mereka bersaudara berunding untuk mencari raja. Beberapa kali sudah melakukan perundingan akhirnya mendapat kata sepakat dan mufakat, agar mereka melakukan pelayaran dengan harapan dapat menemukan raja. Untuk melakukan pelayaran, disiapkan sebuah perahu atau Jong. Disaat akan mencari raja, disiapkan sebuah perahu (JONG) yang didatangkan dari Telake, Mendik milik dua orang yang bernama Turi dan Kunkun, konon jong tersebut dapat dari hasil semedi mereka dan dapat dipakai hanya satu kali berlayar.
Dalam pelayaran mencari raja tersebut. Menurut versi Aji Aqub, ada di beberapa orang sebagai berikut:
  1. Uma Dena, dari Telake
  2. Uma Kamal, dari Kesunge
  3. Petung anak Dokut, dari kepala Kandilo
  4. Seranta Tatau Lantungkau, dari Laburan
  5. Tanjung Kuti, dari Payang
  6. Dengu, dari Tebalong
  7. Bepaung, dari Aper
  8. Bumbut Tuwaw Adang, dari Adang
Setelah mengadakan perundingan dengan saudara-saudaranya termasuk Dengut dan Uma Dana, diambil keputusan untuk mencari raja. Misi pencari raja memulai perjalanan dari sungai Sadu, dengan menggunakan jong/perahu, Jong berlayar dengan tenang dan melaju di atas permukaan laut, angin bertiup dari belakang membuat layar berkembang diterpa angin.
Tiga bulan sudah misi pencari raja dalam perjalanan. Temindong Doyong bersama dengan saudaranya merasakan perahu mereka tidak bergerak maju, walaupun layar berkembang ditiup angin, Temindong Doyong meminta kepada salah seorang saudaranya untuk terjun ke laut memeriksa apa yang menjadi penyebab sehingga perahu mereka tidak dapat bergerak maju, temyata sepotong bambu yang terhalang di halauan perahu mereka, setelah bambu dilepaskan perahupun melancar di perrnukaan air laut dengan lajunya tiga kali bambu itu tersangkut dan yang ketiga kalinya terhalang di kemudi. Temindong Doyong meminta agar bambu tersebut dibawa naik ke atas perahu (jong). Tertunda tiga kali Temindong Doyong memberitahukan kepada juru mudi untuk memutar haluan menuju pulang. Ketika sampai di rumah Pego menyerahkan bambu tersebut kepada si isteri untuk disimpan. Pak Pego mengatakan kepada si isteri bambu tersebut pemberian Dayu Sang Liang.
Beberapa hari sudah beristirahat di rumah, misi pencari raja kembali berlayar mengarungi lautan luas, dan singgah di beberapa kerajaan mengutarakan maksud dan tujuan mereka. Akan tetapi setiap raja yang disinggahi memberi jawaban yang sama bahwa raja yang mereka cari sudah ada di kampung halaman mereka. Dua tahun sudah lamanya misi pencari raja dalam pelayaran, akhirnya mereka menuju pulang, dalam pelayaran pulang misi ini kekurangan air minum dan bahan pangan. Mereka singgah di sebuah pulau untuk mengisi air dan keperluan lain, setelah selesai misi pencari raja akan meninggalkan pulau, tetapi misi pencari raja diajak untuk mengikuti adu manusia oleh pimpinan pulau. Pertandingan adu manusia dengan menggunakan senjata tajam dan menaiki ayunan papan. Diantara misi pencari raja ada salah seorang bernama Usin. Sanggup untuk mengikuti pertandingan adu manusia, sejak dimulai sampai selesai Usin kalah dalam perlagaan dan mati.
Disaat mayat Usin akan dibawa ke perahu masyarakat pulau meminta agar mayat Usin diserahkan saja kepada mereka untuk merawatnya, Pak Pego menyetujui saja permintaan masyarakat pulau, akan tetapi jika Usin diserahkan kepada masyarakat pulau, Usin pun hidup kembali, Pak Pego melihat Usin hidup meminta kembali. Serah terima mayat Usin berlaku tujuh kali, akhimya masyarakat pulau berkata kepada Pak Pego, “tinggalkan saja Usin kepada kami, dan kami memberikan kepada kalian, satu buah gong tujuh buah bungkusan dan satu peti pendala tane, sebagai tanda persahabatan kita”.
Selesai pemberikan benda-benda tersebut, yang diterima Pak Pego, masyarakat pulau berpesan:
  • Sebelum sampai di Muara Paser, gong tersebut jangan dibunyikan, terkecuali sudah sampai.
  • Sebelum sampai di dalam daerah Paser, ketujuh bungkusan itu jangan dibuka, terkecuali sudah sampai.
  • Jika sudah sampai di tengah kampung halaman, peti bendala tana baru dibuka.
Dalam pelayaran menuju pulang cukup lama menyita waktu selama dua tahun, sehingga mereka merasa jauh di dalam perahu (jong) di antara saudara Pak Pego memukul gong juga ada yang membuka ketujuh bungkusan dan peti pendata tana. Walaupun mereka mengetahui pesan masyarakat pulau disaat akan berangkat. Ketika perahu misi pencari raja sampai di Muara Paser, gong dibunyikan, suaranya tidak seperti dipukul yang pertama, suaranya bergetar dan menggema, begitu juga dengan tujuh bungkusan ketika dibuka tidak ada reaksi apa-apa, juga peti pendala tana, ketika dibuka di tengah-tengah kampung tidak ada apa-apa kosong melompong, tidak seperti dibuka yang pertama, dari dalam peti tersebut memancarkan kuning.
Lama sudah Pak Pego atau Dato Temindong Doyong berada dirumah bersama Itak Pego, timbul pikiran untuk mengetahui bambu yang ditemukan saat dalam pelayaran mencari raja, bambu tersebut dibelah temyata berisikan sebutir telur, lalu disimpan di piring melawen beralaskan cadar kuning, sedangkan belahan bambu tersebut ditancapkan oleh Pak Pego ke tanah sebagai tanda atau peringatan kepada keturunan Paser. Sampai sekarang bambu tersebut tumbuh dengan subur di daerah Lempesu sekarang.
Telur yang disimpan dalam piring melawen setelah 40 hari 40 malam menetas, ternyata seorang bayi perempuan yang cantik dan molek. Pak Pego bersama Itak Pego terkejut dan bangun dari tidurnya yang lelap, mendengar suara tangisan bayi, betapa suka citanya kedua orang tua ini, melihat bayi di dalam piring melawen.
Bayi yang berasal dari bambu yang dibawa Pak Pego tidak mau menyusu, sudah beberapa orang ibu yang bersedia untuk menyusui Putri Petong, akan tetapi si bayi tidak mau menyusu. Bertepatan pada saat itu kerbau putih Pak Pego beranak, dari susu kerbau putih itulah Putri Petong mau menyusu. Pak Pego mempunyai sepasang kerbau putih, kerbau tersebut pandai dan penurut dengan perintah Pak Pego itulah sebabnya Pak Pego diberi nama Kakak Ukop artinya Kakek Ukop. Itulah masyarakat Paser tidak boleh atau pantang, Dion dalam bahasa Paser memakan daging kerbau.
(Bersambung)

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright @ 2013 PEJUANG ISLAM.