Senin, 20 Januari 2014

Filled Under:

Raja Negara Dipa 1

1. Ampu Jatmaka bergelar Maharaja di Candi

2. Lambung Mangkurat

Lambung Mangkurat[1], merupakan pengucapan orang Banjar untuk Lambu Mangkurat[2] adalah raja atau pemangku Kerajaan Negara Dipa (cikal bakal Kesultanan Banjar).[3] Lambung Mangkurat menggantikan ayahandanya Ampu Jatmaka[1] atau Empu Jatmika[2] yang juga bergelar Maharaja di Candi, seorang saudagar kaya raya pendatang dari negeri Keling yang merupakan pendiri kerajaan Negara Dipa sekitar tahun 1387.[4] Ampu Jatmaka dengan pengikutnya yang terdiri orang-orang Keling dan Gujarat menaklukan secara damai penduduk pribumi yang mendiami cabang-cabang Sungai Bahan yang ada di Hulu Sungai dan kemudian mendirikan kerajaan Negara Dipa mula-mula berpusat di negeri Candi Laras (Margasari), kemudian dipindahkan ke hulu pada negeri Candi Agung (Amuntai).[1] Digambarkan dalam Hikayat Banjar, masyarakat pribumi senang dengan adanya pembentukan Negara Dipa, karena akhirnya mereka memiliki keteraturan tata pemerintahan. Asimilasi masyarakat pendatang dengan masyarakat asli di Kerajaan Negara Dipa inilah yang menjadi cikal bakal Proto Suku Banjar. Seperti dilukiskan dalam Hikayat banjar, Kerajaan Dipa menyatakan diri sebagai kerajaan pribumi Kalimantan ketika berhadapan dengan pihak luar/asing misalnya terhadap penguasa Kerajaan Majapahit di Pulau Jawa. Sehingga tidak mengherankan jika Lambung Mangkurat telah dianggap sebagai tokoh pribumi/Dayak.
Legenda suku Maanyan mempercayai bahwa Lambung Mangkurat, merupakan pengucapan lidah orang Melayu Banjar untuk menyebut nama Dambung Mangkurap, salah seorang dari tiga pemimpin masyarakat Dayak Maanyan yaitu masyarakat adat Pangunraun Jatuh.[5] Sedangkan menurut Babad Lombok, Dilembu Mangku Rat merupakan utusan Sunan Ratu Giri, penguasa Giri Kedaton untuk mengislamkan wilayah Kalimantan.[6] Menurut Tutur Candi, tokoh yang mula-mula membawa Islam dari Giri adalah Maharaja Sari Kaburungan, raja kerajaan Negara Daha. Tokoh ini yang identik dengan Dilembu Mangku Rat dalam babad Lombok.
Lambung Mangkurat yang bergelar Ratu Kuripan ini adalah putra kedua dari Maharaja di Candi[2] Maharaja di Candi merupakan gelar dari Ampu Jatmaka/Empu Jatmika yang merupakan seorang perantau saudagar kaya raya dari negeri Keling (Koromandel) yang datang ke pulau Hujung Tanah/Kalimantan[7] dengan armada Prabayaksa.[2] Di dalam naskah Hikayat Banjar versi Tutur Candi, secara tegas negeri Keling itu dimaknai sebagai suatu tempat di India yang ditempuh dalam perjalanan laut selama dua bulan.[1] Sementara Cerita Turunan Raja-raja Banjar dan Kotawaringin menjelaskan bahwa pelabuhan Majapahit dicapai dengan perjalanan laut selama empat hari dari Negara Dipa. Namun menurut Veerbek (1889:10) Keling, provinsi Majapahit di barat daya Kediri. Putra sulung Empu Jatmika adalah Ampu Mandastana[2] atau Lambung Jaya Wanagiri.[1]
Kerajaan Negara Dipa ini bukanlah kerajaan yang pertama, karena sudah berdiri kerajaan orang-orang pribumi Dayak yaitu Kerajaan Kuripan (Huripan/Kahuripan), karena itu Empu Jatmika mengabdikan dirinya menjadi bawahan Raja negeri Kuripan yang tidak memiliki keturunan.[1][8] Setelah mendirikan negeri Candi Laras (Margasari), ia meminta izin kepada Raja negeri Kuripan untuk membuat (menaklukan) negeri baru di sebelah hulu dari negeri Kuripan yang diberi nama negeri Candi Agung (Amuntai). Kemudian banyak penduduk Kuripan yang hijrah/migrasi ke negeri Candi Agung (Amuntai). Setelah kemangkatan Raja Kuripan, Empu Jatmika/Ampu Jatmaka menjadi penguasa negeri Candi Agung, negeri Candi Laras dan Kuripan. Kelak daerah Kuripan ini diwarisi oleh Lambung Mangkurat sehingga ia juga dikenal sebagai Ratu Kuripan.[1] Sedangkan negeri Candi Agung - ibukota kerajaan Negara Dipa yang baru diserahkan kepada Maharaja Suryanata yang didatangkan dari Majapahit sebagai suami Puteri Junjung Buih yang merupakan perkawinan politik. Puteri Junjung Buih merupakan saudara angkat Lambung Mangkurat. Raja Puteri Junjung Buih dipersiapkan sebagai Raja Negara Dipa, yang kemudian posisi ini diambil alih oleh suaminya Pangeran Suryanata yang bergelar Maharaja Suryanata. Sedangkan Lambung Mangkurat menjadi patih mangkubuminya dengan kekuasaan negeri Kuripan, karena hal tersebut maka Lambung Mangkurat bergelar Ratu Kuripan.
Selama memerintah Negara Dipa (Candi Agung, Candi Laras, Kuripan) Ampu Jatmaka melakukan penaklukan-penaklukan daerah-daerah sekitarnya yang berpenduduk pribumi suku Dayak. Ampu Jatmaka memerintahkan asisten kanan bernama Aria Magatsari menundukkan batang Tabalong, batang Balangan dan batang Pitap serta penduduk perbukitannya (suku Bukit). Ampu Jatmaka menitahkan asisten kiri bernama Tumanggung Tatah Jiwa menundukkan batang Alai, batang Amandit, batang Labuan Amas serta serta penduduk perbukitannya. Sedangkan pelabuhan perdagangan saat itu terletak di Muara Rampiau, tidak jauh dari Candi Laras.[2][9]
Ampu Jatmaka mendirikan sebuah kerajaan dengan nama Negara Dipa, namun sebagai rajanya, Empu Jatmika membuat patung yang khusus dibuat oleh ahli-ahli dari Cina. Ampu Jatmaka tidak menobatkan dirinya sebagai raja, karena merasa bukan keturunan raja-raja. Hal ini juga dipesankan kepada Lambu Mangkurat (Lambung Mangkurat) dan Ampu Mandastana (Lambung Jaya Wanagiri), bahwa keduannya juga tidak boleh menjadi raja.[2][1]
Ketika Ampu Jatmaka mangkat, Lambu Mangkurat dan Ampu Mandastana melaksanakan pesan orang tua mereka, yaitu mencari raja untuk Negara Dipa. Lambung Mangkurat melaksanakan pertapaan di pinggir sungai besar, sedangkan Empu Mandastana bertapa di pegunungan Meratus.[2]
Di akhir pertapaannya, Lambu Mangkurat menemukan sebuah buih besar yang didalamnya terdengar suara yang meminta Lambu Mangkurat untuk menyediakan kain sarung yang ditenun oleh 40 orang gadis dan perahu indah untuk membawa gadis jelita tersebut ke Istana. Perintah itu dilaksanakan Lambu Mangkurat dan dibawalah menuju Istana dengan sambutan meriah dan gadis itu mengenalkan dirinya sebagai Puteri Junjung Buih, yang selanjutnya dinobatkan sebagai Ratu Tunjung Buih di Kerajaan Negara Dipa dan Lambu Mangkurat menjadi mangkubumi kerajaan. Pada saat itu Lambung Mangkurat adalah seorang pemuda yang belum beristeri. Puteri Junjung Buih kemudian menikah dengan Raden Putra yang bergelar Maharaja Suryanata berasal dari Majapahit. Hubungan pasangan suami isteri ini adalah besan Lambung Mangkurat, karena puteri dari Lambung Mangkurat menikah dengan putera dari Puteri Junjung Buih. Lambung Mangkurat mencapai usia yang panjang dan menjabat mangkubumi/patih bagi beberapa generasi raja Negara Dipa.[2]
Dalam legenda diceritakan, Putri Junjung Buih sangat disayangi rakyat Negara Dipa, dimana Kecantikan dan Keramahannya tersebar hingga kenegara lainnya.
Puteri Junjung Buih selain dibesarkan dilingkungan Kerajaan, juga sama-sama tumbuh Keponakan Patih Lambung Mangkurat anak kembar dari Empu Mandastana, yaitu Bambang Patmaraga dan Bambang Sukmaraga. Mereka tumbuh menjadi dewasa dan bersama-sama, hingga kedekatan mereka bertiga membuat semua orang terpana.
Dari perhatian semua kerabat dan pejabat kerajaanm sangatlah tidak lazim karena mereka bertiga terlihat seperti sepasang kekasih yang tak bisa terpisahkan. Apalagi Puteri Junjung Buih sangat Menyukai kakak beradik kembar yang juga memang sangat Tampan dinegeri Dipa, selain juga anak kembar Bangsawan keponakannya Patih Lambung Mangkurat.
Hingga tiba pada tetua agama bersama patih Lambung Mangkurat mendapat pesan bahwa Jodoh dari Puteri Junjung Buih adalah seorang Putera Raja dari Kerajaan di Jawa, dimana Patih Lambung Mangkurat lah yang diutus nantinya untuk menjemput Calon Suami Puteri Junjung Buih untuk dinobatkan sebagai Ratu dikerajaan Dipa. Tetapi yang menjadi kendala adalah sepasang Kakak Beradik kembar yang begitu sangat dicintai Puteri Junjung Buih, bila terjadi Puteri Junjung Buih mengawini kakak beradik ini, akan menggemparkan Kerajaan dan diramalkan akan membuat Kehancuran karena Puteri Junjung Buih telah ditetapkan Dewata jodohnya adalah Pangeran dari tanah Jawa.
Untuk Menghindari hal2 yang tidak diinginkan, dilangsungkanlah musyawarah kerajaan dimana diputuskan agar Patih Lambung Mangkurat untuk memisahkan kedua Keponakannya itu dengan Putri Junjung Buih. Karena Patih Lambung Mangkurat merasa dipermalukan, maka akhirnya dia mengambil keputusan sendiri untuk membunuh kedua keponakannya yang sangat dicintai juga.
Suatu hari, Patih Lambung Mangkurat mengajak kemenakannya yaitu Bambang Patmaraga dan Bambang Sukmaraga untuk mencari ikan dan membawa segala perlengkapan yang dibutuhkan. Mulanya Ibu Kakak Beradik Sepasang Kembar berfirasat tidak enak, namun kedua anak Kembar itu berpesan kedapa Ibunya: "Ibunda, kami (sikembar) akan pergi mencari ikan bersama paman. Jika terjadi apa-apa dengan kami berdua (mati), maka Bunga Puspa ini akan layu dan mati. Tetapi bila kami berdua tidak terjadi apa, maka Bunga Puspa ini akan tetap Segar dan mewangi". Aneh Bunga Puspa itu tiba2 Menghilang dan sebelumnya Sepasang Kembar inipun juga ada memberikan Setangkai Bunga Puspa yang juga berpesan yang sama juga Lenyap pula ketika berada ditangan Puteri Junjung Buih.
Akhirnya pergilah si Kembar bersama Patih Lambung Mangkurat dengan menaiki Perahu mereka bertiga menuju Hulu selama berhari-hari, hingga tiba pada sebuah Lubuk yang anak dari Sungai Besayangan. Lubuk itu kini dikenal dengan Lubuk Badangsanak. Kedua kakak beradik kembar itu diperintah oleh Lambung Mangkurat untuk bercebur karena Kail untuk memancing tersangkut. Ketika Sukmaraga muncul kepermukan, Lambung Mangkurat langsung memukulkan Pengayuh Perahunya tepat dikepalanya dan tenggelamlah Sukmaraga. Begitu juga dengan Patmaraga yang juga mengalami nasib yang sama.
Setelah Lambung Mangkurat menyelesaikan niatnya, dia terduduk sambil menangis dan menunggu selama beberapa hari munculnya jasad kedua Sepasang Kembar Keponakannya, tetapi tidak juga muncul, hingga Lambung Mangkurat Berteriak memanggil mereka dan juga terjun kedalam Lubuk itu, tetapi tidak juga diketemukan, hingga akhirnya Lambung Mangkurat kembali pulang.
Kedua orang tua mereka, Empu Mandastana dan istri merasakan hal yang tidak wajar, karena apa yang dipesankan kedua anaknya, tidak seperti apa yang terjadi. Bunga Puspa itu lenyap dihadapan mereka dan mereka merasa yakin bila kedua anak Kembarnya itu masih hidup dan Empu Mandastana bersama Isterinya memutuskan untuk mencari dan mencari anaknya, hingga tidak pernah ada yang tahu lagi dimana kedua pasang suami isteri itu karena mencari anak Sepasang Kembar Kesayangan mereka.
Ketika Puteri Junjung Buih memegang dan mencium Bunga Puspa pemberian Kedua Kembar Bersaudara, tiba-tiba hilang begitu saja dari tangannya dikala Puteri Junjung Buih sedang duduk dijendela Keraton. Dengan Perasaan sedih Puteri Junjung Buih memandang kelangit dan melihat keduanya ada melambai kapadanya. Yakinlah Puteri Junjung Buih bahwa kedua saudara kembar yang dia cintai kini berada pada kayanganm tidak mati dan tidak hidup.

Rujukan

  1. ^ a b c d e f g h (Indonesia)Saleh, Mohamad Idwar (1986). Tutur Candi, sebuah karya sastra sejarah Banjarmasin. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.
  2. ^ a b c d e f g h i (Melayu)Ras, Johannes Jacobus (1990). Hikayat Banjar diterjemahkan oleh Siti Hawa Salleh. Malaysia: Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka. ISBN 9789836212405.ISBN 983-62-1240-X
  3. ^ (Inggris) Regnal chronology. "Regnal Chronologies".
  4. ^ (Inggris) Munoz, Paul Michel (2006). Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula. Editions Didier Millet. hlm. 281. ISBN 981-4155-67-5.ISBN 978-981-4155-67-0
  5. ^ (Indonesia) Susanto, A. Budi (2007). Masihkah Indonesia. Kanisius. hlm. 216. ISBN 9792116575.ISBN 9789792116571
  6. ^ Sejarah Kerajaan di Lombok
  7. ^ sekitar Tanah Laut (daerah Laut-Darat) yang berbentuk semenanjung berujung di Tanjung Silat/Tanjung Selatan
  8. ^ Diduga wilayah kerajaan Kuripan ini meliputi kawasan sungai-sungai di sekitar kecamatan Danau Panggang, Paminggir, Kuripan sekarang ini yang terdiri dari orang-orang Dayak yang berbahasa Melayu archais (rumpun Melayik) yang sekarang dinamakan suku Dayak Bukit, yang banyak mewariskan kosa kata ke dalam bahasa Banjar sekarang.
  9. ^ (Belanda) Tijdschrift voor Indische taal-, land- en volkenkunde (1857). Tijdschrift voor Indische taal-, land- en volkenkundem 6 (3). hlm. 227.


Sumber 

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright @ 2013 PEJUANG ISLAM.