Sabtu, 14 Desember 2013

Filled Under:

W i d u r a

W i d u r a


Resi Mandawya, yang telah memperoleh kekuatan jiwa dan pengetahuan tentang kitab-kitab suci, melewatkan hari-harinya dengan jalan bertapa dan melaksanakan kebajikan-kebajikan seperti diisyaratkan oleh agama. Ia tinggal dalam sebuah pertapaan dalam hutan di tepi kota. Pada suatu hari ketika ia sedang khusuknya dalam pertapaan menyatukan jiwa dan pikirannya di bawah sebatang pohon kayu rindang di luar gubuknya, segerombolan penyamun telah melarikan diri ke dalam hutan dikejar-kejar oleh pasukan bala-tentara kerajaan. Gerombolan ini memasuki pertapaan itu karena menyangka bahwa tempat itu pasti akan dapat melindungi diri mereka. Mereka menyembunyikan diri mereka dan hasil perampokan mereka dalam suatu pojok. Balatentara kerajaan mengikuti jejak mereka ke pertapaan tersebut.

Pemimpin pasukan balatentara itu bertanya kepada Resi Mandawya, yang sedang tenggelam dalam pertapaan menyatukan jiwanya, dengan perintah keras : “Apakah kau melihat perampok lewat di sini ? Ke manakah mereka pergi ? Ayo, jawablah segera supaya kita dapat menangkap mereka seketika”. Resi itu, benar-benar tenggelam dalam yoganya, tidak menjawab apa-apa. Pemimpin itu mengulangi perintahnya dengan kasar.

Tetapi resi itu tidak mendengar apa-apa, sedangkan beberapa orang anggota pasukan memasuki pertapaan dan gubuknya dan menemukan barang-barang rampokan itu. Mereka melaporkan kepada pemimpin mereka hal tersebut, lalu menyerbu masuk dan diketemuilah semua barang-barang curian dan para perampoknya sekaligus yang bersembunyi di dalam pertapaan tersebut. Pemimpinnya berfikir bahwa : “Sekarang aku tahu sebab-sebabnya kenapa brahmana ini pura-pura saja diam, terbenam dalam semadinya” “Sesungguhnya ia inilah kepala penyamun ini. Ia yang merencanakan perampokan ini”.

Kemudian ia lalu memerintahkan anak-buahnya mengurung tempat itu dan ia sendiri pergi melaporkan ke istana bahwa Resi Mandawya telah ditangkap dengan semua barang rampasannya.

Raja sangat amarah atas kelancangan kepala penyamun itu yang telah berani menyamar menggunakan nama dan pakaian resi untuk menipu dunia. Tanpa ampun dan pemeriksaan fakta-fakta terlebih dahulu, raja memerintahkan penjahat licik itu untuk dianiaya dengan tombak. Komandan itu kembali ke pertapaan, menganiaya resi ini dengan jalan menusuk badannya dengan tombak hingga tembus dan kemudian memancangnya. Barang-barang rampasannya lalu dipersembahkan kepada raja.

Resi yang suci. penuh kebenaran itu walaupun telah ditusuk-tusuk, dipancang di ujung tombak namun ia tidak mati. Karena ia adalah sedang dalam yoga walaupun ditusuk-tusuk dengan tombak ia tetap hidup dengan kekuatan yoganya. Para resi yang tinggal di bagian lain dalam hutan itu pada datang ke tempat itu lalu bertanya kepada Resi Mandawya apa gerangan yang menyebabkan ia sampai menderita sekejam itu.

Mandawya menjawab : “Siapakah yang harus disalahkan ? Pasukan raja yang harus melindungi dunia ini telah melakukan hukuman ini”. Raja terkejut dan cemas mendengar bahwa resi yang telah ditusuk dengan tombak masih hidup dan sedang dikerumuni oleh para resi yang tinggal di seluruh hutan itu. Ia segera pergi ke hutan bersama-sama balatentaranya, dan segera memerintahkan supaya resi itu diturunkan dari tombak. Ia lalu berlutut sembari menyembah dengan sujudnya dan meminta ampun atas hukuman keji yang telah diperintahkannya.

Resi Mandawya tidak marah kepada raja. Ia segera pergi menghadap Bagawan Dharma, penyebar keadilan suci, yang sedang duduk di atas singgasananya, lalu bertanya : “Kejahatan apakah yang aku telah lakukan untuk menerima hukuman ini ?” Bagawan Dharma; yang mengetahui kekuatan gaib resi itu, menjawab dengan rendah hati : “Wahai Resi, engkau telah menyiksa burung-burung dan kumbang-kumbang. Engkau tidak sadar akan semua perbuatan itu. Kebaikan dan kejahatan, walaupun bagaimana kecilnya, pasti harus menerima akibatnya, baik atau keji”.

Mandawya terkejut mendengar jawaban Bagawan Dharma ini lalu bertanya lagi : “Kapankah aku telah berbuat kesalahan ini”, dan Bagawan Dharma menjawab : “Ketika engkau masih kanak-kanak”.

Resi Mandawya lalu mengucapkan kutuk-pastunya kepada Bagawan Dharma : “Hukuman yang engkau putuskan ini adalah keterlaluan, melampaui batas kesalahan yang diperbuat oleh kanak-kanak yang tidak tahu apa-apa. Karenanya, lahirlah engkau ke dunia sebagai manusia !”.

Bagawan Dharma yang dikutuk-pastu oleh Resi Mandawya numitis, menjelma, sebagai Widura dan lahir sebagai pelayan Ratu Ambalika istri maharaja Wichitrawirya.

Demikianiah kisahnya, bahwa sesungguhnya Widura adalah inkarnasi Bagawan Dharma. Orang orang di dunia menganggap Widura sebagai seorang mahatma tidak ada taranya dalam ilmu pengetahuan tentang dharma, peradilan sastra dan ketatanegaraan dan sama sekali tidak pernah mempunyai keinginan ambisi apa-apa dan tidak pernah marah. Bhishma tela mengangkat dia ketika ia masih berumur belasan tahun sebagai penasehat utama raja Dhritarashtra.

Menurut Bagawan Wyasa, tidak ada orang yang menandingi Widura di ketiga-tiga dunia ini, baik dalam ilmu pengetahuan maupun dalam soal-soal kebajikan. Ketika Dhritarashtra mengijinkan anak-anaknya berjudi, bermain dadu, Widura menyembah di kakinya sambil rnemprotes dengan sujudnya : “Oh Tuanku Raja, aku tidak dapat menyetujui perbuatan ini. Pertengkaran akan terjadi di antara putra-putra Tuanku akibat permainan ini. Berdoalah, jangan diijinkan hal ini”.

Tetapi karena cintanya sangat besar terhadap anak-anaknya, ia tidak kuasa menolaknya dan memutuskan untuk mengutus Yudhishthira guna menerima undangan bermain dadu itu. ***

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright @ 2013 PEJUANG ISLAM.