Sabtu, 14 Desember 2013

Filled Under:

B h i m a s e n a

B h i m a s e n a


Maka Pandawa, kelima putra Pandu dan Kaurawa, keseratus putra Dhritarashtra, tumbuhlah makin besar dan hidup serta bermain bersama-sama dengan penuh kegembiraan di Hastinapura. Bhima, sebagai Pandawa yang kedua, adalah anak paling kuat phisiknya diantara semuanya. Ia bisa menundukkan Duryodhana dan Kaurawa lainnya dengan jalan menyeret rambut mereka dan menggebuki mereka, ia adalah juga jago renang dan sering membawa seorang Kaurawa atau lebih ke dalam kolam. Lalu dipeluknya mereka, di bawa menyelam dalam-dalam sampai kedasar kolam sehingga mereka kadang-kadang tidak berdaya lagi dan hampir tenggelam. Apabila mereka sedang bermain-main di atas pohon kayu, maka datanglah Bhima lalu menendangi pohon itu dan menggoyang-goyangnya sehingga mereka berjatuhan ibarat buah-buahan gugur saja layaknya.

Tidak jarang anak-anak Dhritarashtra babak belur akibat olok-olok atau permainan Bhima. Tidaklah mengherankan kalau-kalau di kelak kemudian hari dalam hati Kaurawa tumbuh rasa benci kepada Bhima yang dipupuk sejak mereka masih merupakan bocah-bocah kecil.

Berhubung mereka semuanya telah tumbuh makin besar, maka Mahaguru Kripa mengajarkan mereka tekhnik panah-memanah dan mempergunakan alat-alat dan senjata perang serta ilmu-ilmu lainnya yang patut menjadi pengetahuan pemuda-pemuda sebagai putra-putra raja.

Irihati dan dengki Duryodhana kepada Bhima menyebabkan ia suka berbohong dan berbuat yang tidak-tidak terhadap Bhima. Duryodhana sesungguhnyasangat benci dan khawatir, karena ayahnya buta dan kerajaan diperintah oleh Pandu, pamannya. Apabila Pandu meninggal, Yudhishthira sebagai akhli warisnya sudah barang tentu pada waktunya nanti akan menjadi raja. Oleh karena ayahnya buta dan tidak bisa berbuat apa-apa, maka Duryodhana berpendapat bahwa ia harus menghalang-halangi Yudhishthira naik takhta dengan jalan merencanakan pembunuhan Bhima. Ia lalu membuat persiapan untuk melaksanakan ketetapan hatinya sebab ia berpikir, bahwa dengan matinya Bhima kekuatan Pandawa pasti akan menjadi hancur.

Duryodhana bersama-sama saudara-saudaranya merencanakan untuk melemparkan Bhima ke dasar Sungai Ganga, membekuk Arjuna dan Yudishthira, dan merampas kerajaan. Demikianlah Duryodhana dengan disertai oleh saudara-saudaranya dan Pandawa pergi ke Sungai Ganga untuk berenang. Setelah habis berenang-renang, mereka lelah, lalu beristirahat dalam kemah mereka. Bhima Juga merasa lelah sekali karena ia lebih banyak berenang dari pada lainnya. Dan karena makanannya diisi racun, Bhima merasa puyeng gentayangan lalu merebahkan diri dipinggir sungai. Dengan tergesa-gesa Duryodhana mengikat Bhima dengan pohon-pohonan berduri dan dedaunan yang gatal lalu melemparkan Bhima ke tempat yang telah dipasangi paku-paku tajam sengaja dibuat untuk itu dengan, maksud kalau Bhima jatuh di atasnya ia pasti mati akibat luka-Iuka kena paku-paku tajam beracun.

Tetapi Bhima tidak jatuh di tempat berpaku-paku itu, melainkan hanyut ke dalam sungai. Ular-ular air yang sangat berbisa mematuk-matuk dia dan berkat lindungan Tuhan Yang Maha Esa, bisa ular itu berlawanan dengan racun yang diisikan dalam makanan Bhima sehingga itu dapat dinetralisasikan dalam tubuhnya dan tidak menyebabkan bahaya apa-apa baginya. Bhima hanyut dibawa arus dan tidak jauh dari tempat itu ia dihempaskan oleh aliran air ke tepi sungai.

Duryodhana menyangka Bhima pasti sudah mati, karena keracunan makanan, karena tusukan paku-paku tajam dan karena gigitan ular-ular berbisa. Ia kembali ke kota bersama-sama rombongannya dengan penuh kegembiraan dan kebahagiaan.

Ketika Yudhishthira bertanya ke mana perginya Bhima, Duryodhana mengatakan bahwa Bhima telah kembali ke kota lebih dahulu, Yudhishthira percaya akan perkataan Duryodhana dan segera sesampainya dirumah bertanya kepada ibunya kalau-kalau Bhima sudah kembali. Ternyata Bhima belum kembali dan timbullah kecurigaan, bahwa tentu ada terjadi apa-apa sengaja direncanakan terhadap Bhima. Yudhishthira pergi bersama-sama Arjuna kembali ke tempat perkemahan dalam hutan di pinggir sungai dan mencari Bhima di mana-mana. Mereka kembali dengan perasaan sedih.

Beberapa waktu kemudian Bhima siuman, lalu bangkit dan mencoba berjalan dengan susah payah kembali pulang. Kunti dan Yudhishthira menerima Bhima dengan sangat girang dan perasaan bahagia. Berkat campuran dan peredaran secara kimia racun dalam badannya, maka Bhima menjadi bertambah kuat dan kebal.

Kunti menyampaikan semua rencana rahasia ini kepada Widura : “Duryodhana adalah jahat dan kejam. Ia telah mencoba membunuh Bhima karena ia ingin memerintah kerajaan ini. Aku merasa cemas”. Widura menjawab : “Apa yang engkau katakan itu adalah benar, tetapi simpanlah-semua itu di dalam hatimu sendiri, sebab kalau Duryodhana yang jahat itu dituduh dan disalahkan, kemarahan dan kebenciannya hanya akan bertambah-tambah. Anak-anakmu adalah mendapat restu untuk hidup lama. Engkau tidak usah cemas akan hal itu”.
Yudhishthira juga menasehatkan kepada Bhima dan berkata : “Berdiamlah engkau akan hal itu. Mulai sekarang kita harus hati-hati dan waspada, bahu-membahu untuk membela diri kita bersama”.

Duryodhana sangat terkejut melihat Bhima hidup kembali. Perasaan irihati dan dengkinya makin menjadi-jadi. Ia bernafas dalam-dalam untuk menanamkan kebencian yang tidak terkendalikan Iagi dalam lubuk hatinya. Nafas dalam dan panjang ini dikuncinya : “Bhima harus dimusnahkan!” Dan menurut kehendak Kaurawa, sebetulnya Guru besar Drona-lah yang mestinya dapat membinasakan Bhima sebagai biang keladinya malapetaka.

Bhima memiliki kekuatan phisik hebat perkasa, sedangkan Guru Besar Drona adalah seorang mahir dalam ilmu perang tanding dan ahli strategi pertempuran total dan sakti dengan kekuatan gaibnya. Dengan diam-diam Guru besar Drona menyuruh Bhima pergi mencari tirtha prawidhi, air suci dengan pesan : “Barang siapa memiliki air ini akan dapat memahami hidup ini dan akan dapat mengenal asal, arah dan tujuan hidup manusia, Sangkan Paraning Dhumadhi”. Tetapi barang siapa ragu-ragu, pasti akan tidak sampai.

Bhima, yang tidak pernah banyak berpikir untuk suatu tindakan, asal ia yakin, tidak ragu-ragu bertindak. Walaupun ibunya, Dewi Kunti sering mencemaskan hal ini, namun Bhima bersiap untuk pergi, tancap gas lari sekencang-kencangnya masuk hutan belantara, mencari air hidup prawidhi dalam gua di kaki gunung Chandramukha. Hutan belantara penuh binatang buas, raksasa, setan-jin-dedemit dan sebangsanya di mana Bhima tidak ambil pusing. Suatu saat ia harus berhadapan dengan dua raksasa, Rukmukha dan Rukmakhala. Keduanya ia tantang dan perkelahian hebat tidak bisa dihindarkan. Dengan kekuatan phisiknya bagaikan gunung berapi meletus ia menerjang kedua raksasa, Rukmukha dan Rukmakhala hingga tewas di kala itu juga. Tidak disangka kedua raksasa ini adalah penjelmaan Batara Indra dan Batara Wayu, ayah Bhima sendiri, yang sesaat setelah Rukmukha dan Rukmakhala roboh mati kembali dalam wujud semula.

Dari Batara Indra dan Batara Wayu Bhima menerima hadiah sebuah mantra dan satu ikat pinggang sebagai bekal kekuatan untuk mengarungi samudera paling dalam mana pun di dunia ini. Dari Batara Wayu ia mendapat petunjuk bahwa air hidup yang dimaksud terletak dalam telaga Gumuling, di tengah-tengah rimba Palasara. Di dalam rimba belantara inilah Bhima mesti berhadapan dengan seekor naga raksasa sebesar Gunung Sumeru bernama Anantaboga.

Naga raksasa Anantaboga menyerang Bhima, mengibas ekornya dan membelit seluruh badan pahlawan Pandawa ini. Dengan kukunya yang terkenal dengan julukan Pancanaka, Bhima mencekik batang leher Anantaboga, menembus tenggorokannya tempat gantungan nyawanya terakhir. Anantaboga menggelepar, menggeletak tewas seketika. Setelah mati, naga raksasa ini menjelma Dewi Maheswari, yang karena kutuk-pastu Pramesti Guru terpaksa menjalani hukuman menjadi naga raksasa ini. Dari Dewi Maheswari, Bhima mendapat petunjuk untuk mencari air hidup prawidhi di dalam samudera raya.

Dengan mantra Jalasengara, Bhima mengarungi samudera dalam penuh gelombang bergulung-gulung setinggi gunung. Di dalam Samudera Selatan ini ia berhadapan lagi dengan naga besar Nawatnawa yang menyemburkan hujan bisa penuh racun kepadanya. Tetapi berkat pengalaman di sungai Ganga dulu, badannya menjadi kebal, dan berkat ikat pinggang hadiah Batara Wayu, Bhima mudah saja mengambang di samudera raya. Dengan tangkas ia dapat menaklukkan naga Nawatnawa, mencekik batang lehernya dengan kukunya Pancanaka, hingga mati. Tetapi Bhima sendiri kini sangat letih, diombang-ambing gelombang-gelombang raksasa, sehingga terempas ke sebuah pulau karang emas. Bhima tiada sadarkan dirinya menggeletak di atas karang emas seorang. diri, tanpa pertolongan pada kecelakaan pertama. Dewa Ruci sangat belas kasihan kepada Bhima, lalu memamerkan sinar sangat cemerlang, menyebabkan Bhima siuman. Ia sangat kaget berhadapan dengan manusia liliput, sangat kerdil, persis menyerupai dirinya.

“Aku ini Dewa Ruci, orang juga menyebut namaku Nawaruci. Aku berada di tempat ini karena hendak menolong engkau Bhimasena. Masuklah engkau, hai pahlawan perkasa, ke dalam telingaku. Engkau akan menemui apa yang kau cari !” Bhima sangat bertambah kaget lagi mendengar perintah aneh dari manusia Liliput ini, yang selanjutnya berucap: “Sebenarnya di tempat ini tidak ada apa-apa, sunyi tanpa busana tanpa boga, serba sempurna. Selama ini rupa-rupanya engkau hanya setia kepada ucapan, mengabdi kepada gema, sebagai bentuk segala kepalsuan”. 

Uraian philosofis gaib ini menyebabkan Bhima melongo. Dewa Ruci berkata lagi: “Siapakah yang lebih besar, wahai Panduputra, kamu ataukah alam semesta ini yang ada dalam tubuhku ini? Makrokosmos ini adalah Aku, dan engkau sebagai mikrokosmos ada di dalamnya”. Bhima yang tadinya menduga bahwa bagaimana mungkin ia bisa masuk ke dalam lubang telinga Liliput ini sedangkan kelingkingnya saja tidak mungkin masuk, kini mengerti dan dengan tidak ragu-ragu lagi melaksanakan perintah gaib itu.

Tanpa disadari Bhima kini merasa berada di tengah-tengah alam kosong berhadapan dengan sebuah boneka dalam bentuk gading memancarkan sinar putih, merah, kuning dan hitam, perlambang dari jiwa manusia dengan sifat-sifat murni, jujur, berangasan, lekas marah, baik hati, berbudi, angkara murka dan serakah. Kemudian Bhima menyaksikan tiga buah boneka emas, gading dan permata yang melambangkan ketiga-tiga dunia, yaitu Jnanaloka, Guruloka dan Indraloka (badan jasmani, alam kesadaran dan dunia rohani manusia). Tanpa disadari pula Dewa Ruci, manusia Liliput gaib dan agung itu lenyap dari pandangannya. Kini Bhima kiranya dapat menangkap makna air suci, air hidup prawidhi yang harus dicarinya.  ***

 
Bima bertemu Nawaruci.
***

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright @ 2013 PEJUANG ISLAM.