Oleh: MR
Kurnia
Tuntutan
pemberlakuan syariat Islam kembali mengemuka.
Dorongannya adalah kesadaran bahwa hanya syariat Islam sajalah yang
mampu menjawab berbagai persoalan yang tengah membelit negara ini, baik di
lapangan ekonomi, politik, sosial, budaya dan pendidikan, setelah ideologi
sosialisme-komunisme dan kapitalisme dan kapitalisme gagal memenuhi
harapan. Hal ini dapat ditunjukkan
dengan semakin derasnya tuntutan penerapan syariat Islam, dan mengkristalnya
sikap kaum Muslim untuk hanya taat kepada aturan Islam. Meskipun demikian, tak urung ada juga
pihak-pihak yang tidak suka dengan tuntutan diterapkannya syariat Islam.
Dalam
kenyataannya, gagasan mulia itu tidaklah mudah untuk diwujudkan. Banyak ganjalan
yang dihadapi, bukan hanya datang dari kalangan non-muslim, tapi juga dari sebagian umat Islam sendiri termasuk
tokoh-tokohnya. Mereka misalnya, mempertanyakan dan meragukan syariat Islam
dengan alasan realitas, bentuk interaksi, dan kondisi masyarakat saat ini yang
jauh berbeda dengan masa Rasulullah SAW, shahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in.
Jadi, menurut mereka, perlu penambahan dan pengurangan atau modifikasi terhadap
syariat Islam sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat.
Sebenarnya,
hal ini dikarenakan:
pertama, adanya sejumlah kesalahpahaman
terhadap syariah sedemikian rupa sehingga dalam bayangan mereka syariah menjadi
sesuatu yang sangat menakutkan, mencengkeram kebebasan dan seolah akan
memundurkan kehidupan masyarakat modern sekarang ini ke jaman batu.
Kedua, memang ada kesengajaan
dari kalangan tertentu kalangan tertentu untuk menciptakan stigma negatif
terhadap syariah dan melakukan berbagai upaya untuk terus memelihara ketakutan
dan ketidaksukaan masyarakat pada syariat
Islam. Dan,
ketiga, pada
kenyataannya apapun yang dikatakan sebagai kebaikan-kebaikan yang akan
diberikan syariah belumlah terwujud secara nyata dalam kehidupan masyarakat
karena, memang, syariat Islam belum total diterapkan. Semua itu masih sebatas wacana, kecuali pada
realitas sejarah dimana tidak semua orang dapat menghayatinya, oleh karena hal
itu memang terjadi di masa lampau.
Berikutnya, muncul penolakan terhadap syariat Islam baik secara tegas
dan terang-terangan maupun dengan kepura-puraan.
Salah satu metode
mereka yang phobi maupun yang anti terhadap syariat Islam adalah membentuk
opini publik untuk menghambat maupun untuk menghentikan gerak laju pejuang
penegakan syariat Islam. Beberapa logika sederhana yang dikemukakan mereka
adalah : “Kata syariat sangat luas
artinya dan dapat digunakan di setiap waktu dan di setiap tempat. Karena yang
terpenting dari syariat itu prinsipnya, bukan materi hukumnya. Artinya, jika di
suatu negeri seperti Indonesia, tidak memungkinkan untuk ditegakkan syariat
Islam (ekonomi, politik, ‘uqubat, dll) maka cukup dilaksanakan prinsipnya saja
bukan hukum formalnya “.
Sunnatullâh
Pertarungan antara haq dengan bathil
terus berlangsung sejak lama. Saat
Rasulullah SAW diutus oleh Allah SWT menyampaikan Islam, masyarakat mulai membincangkan
dirinya dan dakwahnya. Pada awalnya,
bangsa Quraisy sedikit sekali membicarakan hal tersebut. Mereka menyangka bahwa Muhammad hanyalah
seorang ahli syi’ir sehingga ucapannya tidak akan pernah melampaui perkataan
para rahib dan pejabat mereka, dan masyarakat pun suatu waktu pasti kembali
kepada agama dan keyakinan nenek moyangnya.
Apabila mereka melewati Nabi
menyampaikan wahyu, mereka mencibirnya dengan kata-kata:’Inilah cucu Abdul
Muthalib sedang menyampaikan berita dari langit’. Beginilah terus mereka melakukan
pelecehan.
Berikutnya, kaum Quraisy mulai
menyadari bahaya dakwah Rasul terhadap kedudukan mereka. Bersepakatlah mereka untuk menentang,
memusuhi dan memeranginya. Mereka
menyadari, cara penting untuk menghancurkan dakwah Rasul adalah dengan
menjatuhkan pribadinga (‘pembunuhan karakter’) dan mendustakan
kenabiannya. Dimunculkanlah
tuduhan-tuduhan dan pertanyaan-pertanyaan memojokkan seperti:’Bagaimana
Muhammad ini, kok tidak dapat mengubah bukit Shofa dan Marwa menjadi emas’, ‘Mengapa
Jibril yang banyak disebut-sebut oleh Muhammad itu tidak pernah muncul di
hadapan masyarakat’, ‘Tuh, dia buktinya tidak dapat menghidupkan yang mati’,
‘Dia juga tidak dapat memindahkan perbukitan hingga Makkah tidak dikelilingi
oleh bukit’, ‘Mengapa dia tidak memancarkan air yang lebih segar dan banyak
daripada air zamzam padahal dia sangat tahu akan kebutuhan penduduk terhadap
air’, ‘Kalau benar bermanfaat, ‘Mengapa Tuhannya tidak menurunkan ketetapan
harga barang-barang untuk masa depan’, dan ungkapan lainnya. Intinya, menjatuhkan Rasulullah dengan
menuduh ajaran-ajaran dari Allah SWT yang disampaikannya dengan tujuan
masyarakat menjauhi beliau dan Islam yang dibawanya.
Tindakan tadi terus dilakukan
oleh
kaum Quraisy. Namun, semua itu tidak
menghentikan dakwah Rasul. Beliau terus
mendakwahi masyarakat untuk menganut dan menerapkan Islam, mengungkapkan
kebobrokan berhala-berhala yang mereka sembah, serta menunjukkan
kepandiran
akal para penyembahnya dan pandangan mereka yang mensucikannya.
Akhirnya, mereka pun melakukan berbagai cara
untuk merintangi dakwah Rasul. Cara
terpenting adalah penyiksaan, propaganda baik di dalam negeri maupun di
luar
negeri, serta blokade/embargo. Mereka
mulai menangkap Amr bin Yasir, Yasir ayahandanya, dan Sumayyah
ibundanya;
lantas dibunuhlah ketiganya. Semua ini
tidak dapat membendung dakwah Rasul dan umatnya. Quraisy mulailah
senjata lain dengan cara
propaganda memerangi Islam dan kaum muslim di setiap tempat; di dalam
negeri
Makkah, mendatangi para jamaah haji untuk melontarkan tuduhan miring
terhadap
Nabi dan Islam, berangkat ke luar daerah seperti Thaif dan Habsyah untuk
tujuan
yang sama. ‘Apa yang dibawa Muhammad
adalah buatan manusia, bukan wahyu,’ ungkap mereka. Lagi-lagi, upaya
ini pun gagal. Akhirnya, ditempuhlah tindakan fisik dengan
cara mengembargo Rasul dan para sahabatnya hingga kebutuhan pokok dari
para
pedagang tidak sampai pada mereka dan perencanaan pembunuhan Rasul pun
mulai
direncanakan.
Apa yang terjadi? Allah SWT memenangkan Rasul dan kaum
mukmin. Allah SWT menegaskan:
﴿وَإِذْ
يَمْكُرُ بِكَ الَّذِينَ كَفَرُوا لِيُثْبِتُوكَ أَوْ يَقْتُلُوكَ أَوْ
يُخْرِجُوكَ وَيَمْكُرُونَ وَيَمْكُرُ اللهُ وَاللهُ خَيْرُ الْمَاكِرِينَ﴾
“Dan
(ingatlah) ketika orang-orang kafir (Quraisy) membuat makar/tipu daya untuk
menangkap dan memenjarakanmu, atau membunuhmu atau mengusirmu. Mereka membuat tipu daya dan Allah membuat
tipu daya atas mereka. Dan Allah adalah sebaik-baik pembuat tipu daya.”(TQS.an-Anfâl
[8] : 30).
Tampaklah, tuduhan-tuduhan miring
terhadap syariat Islam dan para pengembannya terjadi pada masa Nabi. Ini merupakan bagian tak terpisahkan dari
upaya memerangi Islam dan tetap mempertahankan sistem hidup kufur sebagai
status quo. Karena itu, adanya berbagai
tuduhan terhadap syariat Islam sekarang ini sangat wajar terjadi. Dan, ujungnya, sekali lagi, kemenangan ada di
tangan kaum mukmin yang benar-benar mengimani wahyu Allah SWT. Jelas sekali firman Allah Pencipta Alam:
﴿إِنَّا
لَنَنْصُرُ رُسُلَنَا وَالَّذِينَ ءَامَنُوا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ
يَقُومُ الْأَشْهَادُ﴾
“
Sesungguhnya Kami pasti menolong para Rasul Kami dan orang-orang yang beriman
dalam kehidupan dunia ini serta pada hari ditegakkan kesaksian (kiamat)”
(TQS. Al Mukmin [40] : 51).
Opini Negatif
Berkenaan dengan gagasan penerapan
syariat Islam, ada sejumlah tuduhan
miring yang dilontarkan, yang kemudian menimbulkan kesalahpahaman di tengah
masyarakat. Tuduhan miring ini lebih
merupakan upaya penciptaan opini negatif terhadap citra syariat Islam. Disebut opini negatif karena opini tersebut
memang tidak sesuai dengan realitas syariat Islam itu sendiri. Opini negatif
terhadap syariat Islam ini bila dicermati pada dasarnya disandarkan pada dua
hal (i) konsepsi tentang Islam, dan (ii) kondisi faktual di masyarakat. Beberapa
opini negatif yang saat ini mulai disuarakan dengan lantang di berbagai media
massa sesuai dengan dua hal di atas adalah sebagai berikut :
I. Konsepsi
tentang Islam
a. Islam
tidak mengatur tentang negara, atau dengan kata lain tidak ada sistem negara
dalam Islam. Islam cukup diamalkan
secara pribadi tidak perlua diundangkan.
Pendapat seperti ini akan jelas kekeliruannya bila dikonfirmasikan
kepada apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW.
Negara, yang dalam bahasa Arabnya daulah, memang kata baru yang
mengandung makna istilah. Kata dûlah
dalam Al Quran bahkan tidak terkait dengan makna daulah (negara). Sekalipun demikian, makna negara dalam
konteks modern dilaksanakan oleh Nabi SAW.
Secara
umum, negara dalam istilah sekarang dimaknai sebagai suatu daerah teritorial
yang rakyatnya diperintah oleh sejumlah pejabat dan yang berhasil menuntut dari
warga negaranya ketaatan pada peraturan perundang-undangannya melalui
penguasaan (kontrol) monopolistis dari kekuasaan yang sah[1]. Nampak, ada 4 unsur hingga terbentuknya
negara, yaitu: daerah/teritorial, pemimpin/pejabat, rakyat, dan hukum. Keempat unsur ini ternyata dibuat oleh
Rasulullah SAW sejak mendirikan negara di Madinah. Daerah/teritorialnya adalah Madinah, kemudian
meluas ke Makkah, Yaman dan Jazirah Arab lainnya. Pada masa awal di Madinah beliau meminta 7
orang kalangan Anshor dan 7 orang kalangan Muhajirin sebagai tempat
bermusyawarah[2].
Mereka adalah Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Hamzah, Ibnu Mas’ud, Abu Dzarr,
Bilal, Sa’ad bin Ubadah, Mu’adz bin Jabal, Abdurrahman bin Auf, Abu Ubaidah,
Ubai bin Khalaf dan Zaid bin Tsabit.
Nabi SAW bertindak sebagai kepala negara. Beliau mengirim utusan kepada para kepala
negara saat itu (termasuk Heraklius) untuk menyebarkan Islam dan utusan
tersebut disambut dengan upacara kenegaraan.
Juga, beliau menunjuk para pejabat.
Sa’ad bin Ubadah pernah diangkat mewakili Rasulullah SAW mengurusi
pemerintahan saat beliau memimpin perang Al-Abwa` pada tahun pertama Hijriyah,
dan mengangkat Muhammad bin Maslamah untuk peranan yang sama saat beliau
memimpin Perang Tabuk[3]. Pada masa pemerintahannya beliau memiliki 2
pembantu umum, yaitu Abu Bakar dan Umar.
“Pembantuku dari penduduk bumi (madinah) adalah Abu Bakar dan Umar,”
sabda Nabi (HR. At Turmudzi dari Abi Sa’id al Khudriy). Beliau pun mengangkat Hudzaifah bin Yaman
sebagai Amir Sirr (semacam Sekretaris Negara) yang memegang hampir semua
rahasia dan kebijakan negara[4]. Nabi membagi pemerintahannya menjadi 12
wilayah. Diantara pemimpin wilayah yang
dipilihnya adalah At Taab bin Usaid sebagai wali Makkah setelah futuh Makkah,
mantan wakil raja Kisra, Bâdan bin Sassan, setelah masuk Islam diangkat sebagai
wali darah Yaman, Qada’ah ad Dausi sebagai amil (pemimpin daerah dibawah
Wilayah) di Yaman[5]. Ali bin Abi thalib pernah ditugasi sebagai
juru tulis perjanjian antarnegara, Zubair bin Awwam sebagai juru tulis keuangan
bidang zakat, dan Al Mughirah bin Shuba’ untuk bidang simpan-pinjam[6]. Selain itu, Rasulullah membagi angkatan
bersenjata menjadi beberapa pasukan (sarriyah) yang masing-masing dipimpin
seorang komandan. Ketika Nabi wafat
terdapat 30.000 personil angkatan darat dan 6000 pasukan berkuda[7]. Untuk menjaga keamanan masyarakat beliau
membentuk semacam polisi kota.
Diantaranya beliau pernah mengangkat Qaisy bin sa’ad menjabat kepala
polisi kota (Shâhib asy syuthah)[8]. Realitas demikian menunjukkan bahwa
Rasulullah SAW saat itu telah memiliki pejabat-pejabat untuk menjalankan roda
pemerintahan. Dilihat dari rakyatnya,
jelas, kaum muhajirin dan anshor. Dan
aturan yang diterapkannya adalah al Quran yang terus turun dan hadits, yang
salah satunya terwujud dalam Piagam Madinah (watsîqah Madînah).
Nampaklah,
Rasulullah SAW menjalankan sebuah negara menurut definisi modern. Sekalipun dilihat dari istilah negara
termasuk baru namun makna, kandungan dan fungsinya dijalankan oleh Rasul. Pihak yang phobi atau anti-Islam menyatakan
dalam Islam tidak dibahas persoalan negara padahal justru Rasulullah SAW
melakukannya. Ini adalah realitas. Manakah yang layak dipercaya, tudingan sekelompok
orang itu ataukah realitas yang dilakukan oleh Nabi SAW? Bagi orang yang beriman tentu saja akan
mengikuti apa yang dilakukan oleh Nabi sebagai utusan-Nya. Karenanya, pernyataan bahwa Islam tidak
mengenal negara, dan negara tidak boleh digabung dengan agama (Islam)
bertentangan dengan realitas yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW.
Juga,
para ulama salaf sepakat mengenai wajibnya mengangkat dan mewujudkan
pemerintahan dalam bentuk Khilafah Islam. Baik kalangan Ahlussunnah wal Jama'ah
maupun Syi'ah, Khawarij bahkan Mu'tazilah. Semuanya berpendapat bahwa umat ini
harus mempunyai seorang imam yang menerapkan syariat Islam. Dan hukum
mengangkatnya adalah wajib[9].
Kenyataan dari sirah Rasulullah SAW telah
menunjukkan bahwa ajaran Islam sama sekali tidak dibatasi pada pribadi-pribadi
pemeluknya. Bahkan beliau SAW menjadikannya sebagai asas Negara. Hal ini
tercantum dalam Piagam Madinah (watsiqoh
Madinah) yang dijadikan peraturan umum antara kaum Muslim dan non Muslim di
kota Madinah :
"Bahwasanya
apabila di antara orang-orang yang mengakui perjanjian ini terjadi suatu
perselisihan yang dikuatirkan akan menimbulkan kerusakan, maka tempat
kembalinya adalah kepada Allah dan kepada Muhammad Rasulullah SAW dan
bahwasanya Allah bersama orang yang teguh dan setia memegang perjanjian
ini."
Bila demikian, siapakah yang layak dipercaya,
manusia yang menyatakan bahwa cukup Islam itu diterapkan secara individual saja
tidak perlu dalam masalah kemasyarakatan dan negara, ataukah Allah SWT yang
justru mewajibkan kepada manusia untuk menjalankan Islam secara kaffah (lihat
Surat Al Baqârah[2]:208)?
b.
Adanya
ragam pendapat tentang sistem politik dan kenegaraan Islam; sistem mana yang
akan diterapkan? Alasan ini pun terlihat sangat dipaksakan. Sebab, dalam sistem
manapun, sulit hanya ada satu pendapat saja. Misalnya, banyak beragam pendapat
tentang sistem republik, presidensil, atau parlementer. Bentuknya pun
pro-kontra; apakah kesatuan, federalisme, ataukah kesatuan dengan otonomi
daerah. Pendapat dalam sistem pemilihan pun berbeda-beda, apakah harus
pemilihan langsung (seperti keyakinan J.J. Roussau), perwakilan, distrik, dan
sebagainya. Realitasnya, perbedaan pendapat ini tidak menghalangi mereka
menerapkan sistem demokrasi kapitalisme dalam berbagai bidang, termasuk
politik. Lalu, mengapa adanya perbedaan pandangan tentang beberapa hal politik
dan sistem kenegaraan Islam dijadikan dalih untuk tidak ditegakkannya syariat
Islam? Sebaliknya, mengapa untuk sistem selain Islam tidak diungkapkan alasan
serupa?
c.
Islam
itu yang penting substansinya, bukan formalitasnya.
Pendapat seperti ini bukan hanya berbahaya tetapi juga bertentangan dengan
realitas. Pertama, tidak ada aturan
yang diterapkan sekadar substansinya saja. Mengapa mereka begitu getol
memperjuangkan sekularisme, demokrasi, dan berupaya mempertahankan formalitas
sistem tersebut yang notabene warisan kolonial? Padahal, jika mereka konsisten
dengan pendapatnya, semestinya cukup hanya substansi demokrasi saja yang
dituntutnya, dan substansi sekularisme saja yang diinginkannya?! Akan tetapi,
kenyataannya tidaklah demikian. Kedua,
dengan tidak diformalkannya syariat Islam berarti hanya akan menciptakan
peluang untuk main hakim sendiri. Padahal, semua sepakat bahwa tidak boleh main
hakim sendiri.
Selain itu,
bila konsisten dengan istilah substansi, maka semestinya substansi dalam
keseluruhan ajaran Islam itu adalah ketaatan dan ketundukan kepada Allah SWT
secara total dalam semua hal. Itulah
yang disebut ibadah[10]. Dengan kata lain, mereka yang menghendaki
penerapan Islam substansinya saja (seperti yang penting adil, kesamaan, dsb)
gagal menangkap substansi ajaran Islam itu sendiri. Allah SWT sendiri tegas-tegas memfirmankan
hal ini, “Tidaklah Kami menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah
kepada-Ku” (TQS. Adz Dzariyat[51]:56).
Bila substansi yang dipahami seperti ini maka sikap yang diambil adalah
memperjuangkan dan menjalankan tegaknya syariat Islam.
d.
Sekarang
sudah dapat melaksanakan syariat Islam dengan baik, seperti ibadah, UU
perkawinan, UU peradilan agama, dsb. Kelengkapan Dinul Islam memantapkan
Islam sebagai satu-satunya sistem hidup yang berasal dari Allah SWT, Pencipta
seluruh makhluk, Yang Maha Adil dan Maha Mengetahui. Ajarannya yang rinci,
lengkap, dan mampu menjawab seluruh problematika umat manusia sepanjang zaman
telah dijamin sendiri oleh Allah SWT : "Dan
Kami turunkan kepadamu al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan
petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah
diri." (QS An Nahl : 89). Di sisi lain, Al Quran dan Sunnah
Nabi memuat hukum-hukum yang lengkap tentang ibadah, berpakaian, makanan,
minuman, hukum-hukum tentang ekonomi-perdagangan, harta, distribusi harta, ghanimah, fa’i, jizyah, kharaj, tentang peradilan tindakan kriminal, hudud, ta’zir, persaksian, pembuktian (bayyinaat), mahkamah, hingga ke perkara
jihad, gencatan senjata, mobilisasi, perjanjian damai, utusan/delegasi. Belum
lagi perkara-perkara yang menyangkut pendidikan, aturan sosial, keluarga/rumah
tangga dan seterusnya. Semua itu berupa sistem hukum yang cakupannya meliputi
seluruh bentuk perbuatan manusia, baik antara manusia satu dengan yang lain,
antara rakyat dan negara, antara negara Islam dengan negara lain, antara Muslim
dan non Muslim, antara hamba dengan Allah SWT sebagai Al Khalik. Para ulama dan
fuqaha terdahulu maupun sekarang senantiasa memenuhi kitab-kitab hukum/fiqih
karangan mereka dengan seluruh pembahasan-pembahasan tadi. Dimulai dari bab
Thaharah, sampai bab Peradilan, Jihad atau Imamah (Ulil Amri).
Allah SWT
mewajibkan kita melaksanakan semua itu.
Bila telah menjalankan sebagian tidak puas dengan itu saja, namun akan
melakukan yang lain sedemiian hingga dapat menerapkan Islam secara total. Banyak pertanyaan dapat dimunculkan, sudahkah
pakaian ditetapkan berdasar Islam?
Sudahkah produk makanan-minuman atas dasar Islam? Apakah aturan sosial antara pria-wanita,
struktur kewajiban nafkah diantara ahli waris, pendidikan, pengelolaan
sumberdaya alam, sistem perburuhan/ketenagakerjaan, ekonomi sudahkah dijalankan
atas dasar Islam? Apakah hak-hak anak
dan hak-hak rakyat umumnya telah diperolehnya sesuai dengan syariat Islam? Sudahkah hubungan luar negeri didasarkan pada
syariat Islam sehingga dakwah Islam oleh negara ke negara lain berjalan? Bila jawabannya belum, tidak layak menyatakan
tidak perlu menegakkan syariat Islam dengan dalih sudah diterapkannya
segelintir hukum Islam. Apa bedanya
hukum yang satu dengan hukum yang lain, padahal sama-sama berasal dari Allah
SWT? Tidak ada bedanya!
e.
Hukum
Islam itu kejam dan diskriminatif. Tuduhan ini sebenarnya
lebih menggambarkan ketakutan terhadap syariat Islam. Padahal, jika kita mau
berpikir, manakah sesungguhnya yang lebih baik, misalnya: apakah masyarakat
yang rata-rata kehidupan seksual para anggotanya bersih karena diberlakukan hukum
Islam ataukah masyarakat yang permisif dan kacau; yang di dalamnya industri
seks sudah dianggap sebagai hal yang lumrah, zina diaggap biasa dengan dalih
suka sama suka, aurat tidak boleh dihalangi untuk dipamerkan karena
diskriminatif, hukum ditentukan oleh yang kuat (hukum rimba)? Tentu, masyarakat
jenis pertama merupakan masyarakat yang lebih luhur dan lebih sesuai dengan
harkat dan martabat manusia. Sebaliknya, yang kedua pada hakikatnya menjurus
pada masyarakat binatang yang hidup di hutan belantara dengan hukum rimba, yang
tidak jauh berbeda dengan hewan ternak (Lihat QS al-A'râf [7]: 179).
Akan tetapi, anehnya, banyak masyarakat masih memandang bahwa masyarakat dan
negara sekular-kapitalistik yang serba permisif itulah yang dianggap masyarakat
modern (lebih tepat 'sok modern'), sedangkan masyarakat yang menerapkan dan
berupaya untuk menegakkan hukum Islam dipandang sebagai masyarakat tradisional,
konservatif, bahkan 'primitif'. Mana yang lebih kejam, hukum yang memotong
tangan pencuri yang betul-betul terbukti dalam pengadilan ataukah hukum yang
memenjarakannya yang justru lebih mendidiknya menjadi seorang penjahat kawakan?
Boleh jadi
orang yang dikenai hukuman Islam yang keras dan tegas menyatakan kejam.
Dari satu sisi karena ia ingin selamat, dan pada
sisi lain karena tidak yakin terhadap kemahaadilan Allah SWT yang telah
menetapkan hukum tersebut. Sebaliknya,
orang yang dizhalimi lalu pelaku kezhaliman tersebut akan terpenuhi rasa
keadilannya. Sebagai misal, ada
seseorang yang suaminya dibunuh. Setelah
melewati proses pembuktian, terbukti pelakunya si anu. Vonis pun
dijatuhkan hanya 14 tahun. Sang isteri pun kecewa, rasa keadilannya
terusik, ia pun tetap menuntut diberlakukan hukum bunuh atas pembunuh
suaminya
itu. Andai saja diberlakukan hukum
bunuh maka yang akan berteriak kejam adalah si pembunuh itu dan mereka
yang
mendukungnya! Orang lain siapapun dia
yang tidak pernah melakukan hal tersebut tidak khawatir sedikit pun.
Mengapa hukum qishash yang diberlakukan
setelah menjalani proses pembuktian dikatakan kejam sementara pembunuhan
yang
jelas-jelas telah dilakukan sesuai kehendaknya tidak dikatakan kejam?
Begitu pula dengan tindak kriminal lainnya.
Pernyataan
bahwa hukum Islam itu kejam, diskriminatif atau primitif merupakan dalil
ketakmengertian pengucapnya terhadap paradigma syariat Islam. Sebagai
contoh, pencurian. Dalam Islam, (1) pendidikan gratis sehingga
setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk ahli sesuatu, (2)
lapangan
kerja wajib disediakan oleh negara warga harus mencarinya, (3) bila
pendapatan
tidak cukup atau tidak dapat bekerja karena sakit tak tersenbuhkan maka
ahli
waris wajib menafkahinya, (4) bila ahli warisnya tidak menafkahi maka
negara
berhak dan berkewajiban memaksanya bahkan memberinya sanksi, (5) bila
ahli warisnya
tidak mampu, negara wajib menjamin kebutuhan pokoknya, (6) andai kas
negara
lagi kosong maka negara memobilisir kemampuan kaum muslim untuk
membantunya,
(7) dalam Islam pajak tidak ada secara permanen, yang ada hanya zakat,
itupun
untuk yang telah mencapai nishab, (8) bila sedang musim paceklik,
pencuri tidak
dipotong tangan. Andai saja dalam
kondisi syariat Islam ditegakkan seperti ini, lalu ada seseorang tetap
saja
mencuri lebih dari ¼ dinar (1 dinar=4,25 gram emas), maka mencuri dalam
realitas demikian memang ‘keterlaluan’.
Setelah terbukti, maka barulah diterapkan potong tangan. Orang yang
memahami paradigma demikian akan
menyatakan, wajar hukum Islam tegas seperti itu. Kondisi sudah tercipta
sedemikian rupa, tapi
tetap mencuri juga, bukankah orang yang melakukannya memang betul-betul
‘keterlaluan’? Apalagi orang mukmin,
mereka hanya menyatakan “Kami mendengar, dan kami mematuhi hukum Allah
SWT,
Dia-lah Dzat Maha Adil!” Begitu pula
dalam hukum rajam, qishash dan hukum lainnya.
Anehnya (atau barangkali tidak anehnya), justru yang diangkat
kepermukaan itu adalah hukum kriminal semata, sedangkan hukum Islam
dalam
masalah pendidikan, ekonomi bagi kepentingan rakyat dan sebagainya malah
ditimbun, disembunyikan. Tidak fair. Bila kondisinya demikian, nyatalah ungkapan
bahwa hukum Islam itu kejam tidak lebih dari sekedar tuduhan miring.
Benar, hukum
Islam berasal dari Allah Dzat Mahaadil.
Allahlah sebaik-baik pembuat hukum (Lihat surat At Tîn). Orang yang mengaku beriman bahwa Allah SWT
Mahaadil tidak akan menentang hukum-Nya dengan dalih kejam dan
diskriminatif.
f.
Syariat Islam itu primitif. Kembali kepada syariat Islam berarti kembali
ke jaman unta. Hal ini menggambarkan ketakpahaman mereka
yang menuding terhadap syariat Islam.
Disangkanya menerapkan syariat Islam berarti tidak boleh menggunakan
pesawat, mobil, motor, komputer baju necis, dan sebagainya. Sebaliknya, haruslah lusuh, kemana-mana
berjalan kaki, tak tersentuh teknologi.
Padahal, pandangan demikian merupakan cara untuk menghalangi umat dari
Islam. Siapapun yang paham akan syariat
Islam akan menyatakan bahwa Islam itu membentuk masyarakat modern yang beradab.
Islam tidak menolak modernisasi, bahkan bila
dirunut dalam sejarah, justru Islam-lah yang mengajari Barat yang sekarang dianggap sebagai kiblat modernisasi, ketika
mereka tengah hidup di abad kegelapan, menemukan dasar-dasar kehidupan modern.
Melalui pengembangan sains dan teknologi yang berkembang pesat di masa kejayaan
Islam, peradaban Islam telah memberikan kontribusi luar biasa bagi kemajuan
Barat.
Islam melalui syariatnya bukan akan menghentikan modernisasi,
melainkan meletakkan modernisasi agar tetap dalam kerangka pengabdian kepada
Allah. Bila modernisasi diartikan sebagai pengembangan madaniah, yakni
produk-produk teknologi yang bersifat material guna peningkatan mutu, keamanan,
kenyamanan dan kemudahan dalam kehidupan manusia baik dalam bidang komunikasi,
transportasi, produksi, kesehatan, pendidikan, perumahan, makanan, pakaian dan
sebagainya, Islam sama sekali tidak keberatan. Dan itu akan diteruskan, bahkan
akan ditingkatan oleh Islam. Artinya, manusia boleh saja menggunakan semua
perangkat hasil pengembangan sains dan teknologi. Hanya saja, pola kehidupannya baik dalam konteks
kehidupan pribadi, keluarga maupun masyarakat haruslah tetap dalam koridor
syariat. Bukan modernisasi yang justru mempurukkan derajat manusia sebagaimana
kini terlihat dalam kehidupan Barat, yang telah menghalalkan yang diharamkan
Allah dan mengharamkan yang dihalalkan-Nya.
Barat
telah salah mengartikan modernisasi. Apakah sebuah kemodernan (ataukah justru
primitif) bila wanita yang seharusnya dimuliakan justru dijadikan sebagai obyek
seksual, berjalan melenggak lenggok memperagakan model rancangan baju yang
nyaris telanjang di bawah tatapan ratusan pasang mata dan sorotan kamera atau
dipajang dalam ruang kaca untuk kemudian dinikmati kemolekan tubuhnya dengan
imbalan sekian lembar uang? Apakah juga sebuah kemodernan (ataukah justru
primitif) bila laki-laki dan perempuan berhubungan seksual tanpa ikatan
pernikahan dengan alasan suka sama suka atau “pernikahan” tapi antara laki-laki
dengan laki-laki dan perempuan dengan perempuan? Apakah sebuah kemodernan,
membiarkan sistem ekonomi berkembang liar dimana pemilik modal tak ubahnya
seperti lintah yang menghisap darah
manusia lain, atau orang mendapatkan keuntungan tanpa kerja sama sekali
sebagaimana tampak dalam pembungaan uang? Apakah sebuah kemodernan (atau justru
primitif) tindakan menjual barang-barang milik umum yang bukan milik negara kepada
sekelompok swasta baik pribumi maupun
asing hingga rakyat sebagai pemiliknya yang sah tak mendapatkan
apa-apa? Apakah sebuah kemodernan (atau
justru primitif) demi menguasai negara lain dua negara yang berdekatan
diprovokasi secara halus dan licik untuk berperang satu sama lain dimana
senjata kedua belah pihak dipasok olehnya?
Ini adalah sebagian contoh yang akan diluruskan oleh syariat dalam
proses modernisasi masyarakat.
g.
Syariat
Islam tidak bersifat tetap, sehingga perlu modifikasi terhadap syariat sesuai
dengan situasi dan kondisi masyarakat saat ini. Dengan
memahami fakta yang ada di tengah-tengah manusia tampak nyata realitas dan
hakikat benda itu tetap. Misalnya aktivitas mencuri. Dalam pandangan Islam
mencuri merupakan aktivitas mengambil barang secara sembunyi-sembunyi dari
pemiliknya atau yang mewakilinya dengan syarat telah mencapai ukuran yang
mengharuskan potong tangan. Hukum perbuatan mencuri adalah haram. Sanksinya
adalah potong tangan. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT:
﴿وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا
نَكَالاً مِنَ اللهِ وَاللهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ﴾
"Laki-laki yang mencuri
dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya sebagai pembalasan bagi
apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa
dan Bijaksana."(QS.
Al Ma’idah : 38)
Diriwayatkan dari Aisyah ra. bahwa Rasulullah
bersabda:
"Potong
tangan diterapkan pada pencurian seperempat dinar atau lebih"( HR. Imam
Bukhori).
Kini
berkembang sarana-sarana dan teknik pencurian, demikian pula untuk memelihara
harta diperlukan alat-alat penjagaan yang ketat termasuk peralatan elektronik,
sehingga pencurian pun menjadi aktivitas yang memerlukan kesungguhan berfikir
dan pengalaman. Namun, apakah perubahan dalam cara dan teknik seperti ini
mengubah hakikat pencurian dan realitasnya seperti yang dijelaskan oleh hukum
syara’? Jawabannya tentu saja tidak. Bila demikian, sementara Al Quran itu
tetap Al Quran dan Hadits pun tetap Hadits, bagaimana mungkin berfikir untuk mengubah
hukum? Bukankah hukum ini merupakan pemecahan yang benar yang telah ditetapkan
oleh Allah sebagai Pemilik Pahala dan Siksa, serta Pencipta alam semesta,
manusia dan kehidupan?
Contoh lain hakikat khamr. Sekalipun penamaannya
beraneka ragam, metode pembuatannya bermacam-macam, dan kemasannya juga
berbeda-beda seperti whisky, bir, sampagne, sake dan sebagainya,
hakikatnya tetap khamer, yakni minuman yang memabukkan dan merusak akal yang
hukumnya haram itu. Allah SWT berfirman:
﴿يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ
وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ
فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ﴾
"Wahai orang-orang yang beriman,sesungguhnya khamer, judi,
undian nasib dan berhala merupakan najis dan perbuatan syetan, maka jauhilah
oleh kalian agar kalian beruntung" (QS. Al Maidah 90).
Bila hakikat benda tersebut tetap tidak berubah,
mungkinkah orang berakal mengatakan bahwa hukum Allah dalam hal tersebut harus
berubah?
Siapa pun yang
mengelaborasi hakikat perbuatan dan benda-benda adalah tetap dari dulu sampai
sekarang sesuai dengan batasan-batasan hukum syara’. Memang, terjadi perubahan.
Hanya saja perubahan tersebut pada perkara teknis, cara ataupun bentuknya
semata. Sedangkan hakikatnya adalah sama saja. Jadi tetapnya hakikat perbuatan
dan benda disertai dengan terjaganya syariat Islam menunjukkan pula bahwa
syariat Islam itu bersifat tetap sampai hari kiamat. Yang berubah adalah objek hukum itu sendiri.
II. Kondisi
Faktual di Masyarakat
a.
Negara-negara Islam yang menerapkan
syariat Islam seperti Sudan, Afganistan, Arab Saudi, Iran tidak menunjukkan
kemajuan yang signifikan bahkan cenderung pada kegagalan.
Sebenarnya, negara-negara tersebut mengalami kegagalan justru karena tidak
menerapkan syariat Islam secara kaffah. Hal ini dapat menjadi pelajaran
bagi kita bahwa penerapan syariat Islam secara parsial akan memunculkan masalah
baru. Negara-negara tersebut memang telah menerapkan syariat Islam terbatas
pada hukum hudud, jinayat, dan al-ahwal asy-syakhshiyyah
(hukum perdata). Namun negara-negara tersebut tidak menjalankan hukum-hukum
Islam di bidang kebijakan ekonomi, pemerintahan dan ketatanegaraan, politik
dalam dan luar negeri, militer, pergaulan sosial, pendidikan, dan lain-lain.
Apalagi negara-negara tersebut dan negeri-negeri muslim lainnya sistem
keamanannya sangat bergantung kepada AS dan sekutunya. Karenanya,
ketakberhasilan yang terjadi di negeri-negeri muslim tersebut tidak dapat
dijadikan sebagai dalih untuk menolak syariat Islam. Sebaliknya, yang sudah benar-benar terjadi
adalah rusaknya kemanusiaan pada saat diterapkannya sistem
kapitalistik-sekuleristik.
b.
Akan terjadi tirani mayoritas (muslim)
terhadap minoritas (non-muslim) karena masyarakat bersifat pluralis yang
heterogen. Pertama, hal ini
sebenarnya mencerminkan kegagalan pihak tersebut memahami realitas masyarakat.
Pada kenyataannya, hukum manapun yang diterapkan tidaklah diperuntukkan hanya
bagi kalangan yang homogen saja. Contohnya, di Amerika tidak semua penduduknya
Kristen, akan tetapi aturan yang diterapkannya adalah kapitalisme. Di
Indonesia, terdapat 4 agama resmi yang diakui, tetapi hukum yang diterapkan
juga kapitalisme atas dasar sekularisme. Di Cina, puluhan juta umat Islam
tinggal di sana, namun aturan yang diberlakukan aturan sosialisme-komunisme.
Jadi, tidak rasional menolak ditegakkannya syariat Islam dengan alasan
heterogenitas penduduknya. Mereka sendiri tidak pernah melarang penerapan
sistem kapitalisme meskipun tidak semua penduduk berideologi kapitalisme; tidak
pernah juga berteriak tidak boleh menerapkan sosialisme-komunisme dengan alasan
tidak semua penduduknya berideologi sosialisme-komunisme. Sebenarnya
persoalannya bukan terletak pada homogen atau heterogen, tetapi terletak pada
sistem aturan mana yang akan diterapkan untuk mengatur penduduk (apapun
agamanya) demi terciptanya keadilan, kesejahteraan, dan kebahagiaan masyarakat.
Jawabannya, tentu saja Islam!
Kedua,
adanya ketidakpahaman terhadap kenyataan hidup Nabi Muhammad saw. dan para
sahabatnya. Sejarah menunjukkan bahwa penduduk negara Islam saat itu tidak
hanya Muslim, tetapi juga Yahudi dan Nasrani. Pada masa pemerintahan Nabi
Muhammad SAW dan para khalifah penerusnya selama lebih dari seribu tahun
orang-orang non Muslim bisa hidup sejahtera di bawah naungan Islam. Misalnya,
dimasa pemerintahan Khalifah Umar bin Khaththab, beliau menjatuhkan hukum qishas (pembalasan setimpal) kepada anak
pejabat Gubernur Mesir yang mencambuk seorang anak Nasrani dari suku Qibthi.
Rasulullah SAW bersabda :
"Barangsiapa
mengganggu seorang dzimmi (non Muslim yang menjadi warganegara Daulah
Islamiyah), sungguh (berarti) ia telah menggangguku. Dan barangsiapa yang
menggangguku, sungguh ia telah mengganggu Allah." (HR.
Thabrani).
Ketiga, tidak adanya penghayatan bahwa syariat Islam itu adalah untuk
kebaikan bersama. Sebagai contoh, ketika riba dilarang sebagai landasan
perekonomian, hal ini tidaklah ditujukan hanya bagi kepentingan kaum Muslim,
melainkan juga untuk kepentingan penduduk non-Muslim. Faktanya, akibat riba
kini Indonesia dijerat utang luar negeri. Semua penduduk, Muslim dan non-muslim
menanggung kerugian ini.
Dalam
sejarah peradaban Islam, bisa dikatakan tidak pernah penerapan syariat
dilakukan hanya dalam masyarakat homogen atau yang seluruh warganya muslim.
Masyarakat yang berhasil dibentuk di Madinah di awal perkembangan Islam
misalnya, atau di Irak dan Mesir pada perkembangan selanjutnya, selalu ada di
dalamnya warga non-muslim. Islam memang tidak memaksa orang untuk memeluk
aqidah Islam. Maka, sekalipun dalam
masyarakat Islam seperti saat Rasulullah memimpin di Madinah atau ketika Islam
telah berkembang sampai ke Irak atau Mesir, hidup dengan damai di tengah-tengah masyarakat
Islam, warga non-muslim sebagai ahl-dzimmah dimana harta, jiwa dan
kehormatan mereka dilindungi.
Siapa
saja yang mencederai mereka, mengambil hartanya atau menodai kehormatannya akan
dihukum setimpal kendati pelakunya beragama Islam. Dalam hal ini, ahl-dzimmah
diperlakukan sama dengan warga muslim. Andai Islam tidak memiliki ketentuan
yang gamblang tentang bagaimana memperlakukan warga non-muslim dan perilaku
orang-orang Islam katakanlah seperti serdadu Serbia yang membantai secara sadis
warga Bosnia, niscaya tidak akan terlahir mantan Sekjen PBB, Boutros Boutros
Ghali, anak keturunan suku Koptik di Mesir yang beragama Kristen dan Deputi PM
Irak, Thariq Azis, yang juga beragama Kristen, karena nenek moyangnya keburu
habis dibantai. Spanyol yang selama sekitar 800 tahun dikuasai oleh Islam
disebut Spanyol in three religion, karena disamping Islam yang berkuasa,
hidup damai dan sentausa warga beragama
Yahudi dan Nashrani.
Sepanjang
sejarah kehidupan Islam, tidak tercatat pengusiran apalagi pembantaian warga
minoritas non muslim oleh mayoritas muslim. Yang ada adalah justru sebaliknya,
pengusiran warga muslim oleh mayoritas non-muslim dimana-mana, seperti yang
terjadi di Bosnia, Kosovo, Timor Timur dan sebagainya.
Masyhur
akan keelokan budi orang-orang Islam dan ketangguhan sistem Islam dalam
melindungi warga non-muslim, membuat Islam dengan mudah masuk ke berbagai
wilayah yang semula penduduknya non-muslim. Amr bin Ash ketika menaklukkan
Mesir yang ketika itu dikuasai oleh Romawi Kristen, dibantu oleh penduduk suku
Koptik yang juga beragama Kristen. Pasukan Islam bahkan dielu-elukan di kanan
kiri jalan oleh penduduk ketika masuk Polandia.
Bila
terbaca bahwa Islam juga mencita-citakan tegaknya sebuah adikuasa melalui Khilafah Islam yang akan menaungi
umat Islam seluruh dunia dibawah kepemimpinan seorang Khalifah, semata-mata
sebagai satu-satunya sarana yang ditetapkan oleh syariat untuk sempurnanya
pelaksanaan syariat Islam secara menyeluruh. Khilafah berfungsi untuk
melindungi warganya, muslim dan non-muslim, dan mewujudkan kehidupan yang
Islami, damai, sejahtera dan sentausa. Khilafah juga melakukan dakwah dan jihad
yang berfungsi sebagai kekuatan untuk menggerakkan penyebaran risalah Islam
yang berintikan kalimah tauhid dan akan membentuk tata dunia baru yang sangat
berbeda dengan tata dunia yang dibentuk oleh negara-negara Barat sekarang ini.
Melalui tata dunia yang ada, Barat
menyebarkan ideologi sekularisme. Di
bidang ekonomi menyebarkan kapitalisme yang eksploitatif, di bidang politik
menyebarkan pertentangan, di bidang
budaya menyebarkan budaya permisif yang berintikan amoralisme, di bidang
pendidikan menyebarkan materialisme. Lembaga-lembaga dunia seperti PBB, IMF dan
World Bank dibentuk semata untuk melancarkan semua tujuan-tujuan ideologisnya
itu. Penindasan dan eksploitasi seakan menjadi
tindakan sah setelah dilegalkan oleh badan-badan dunia bentukan
negara-negara Barat itu. Sementara, melalui khilafah, Islam akan menyebarkan
tauhid yang berintikan pembebasan manusia dari penghambaan kepada manusia menuju penghambaan kepada Sang
Pencipta Alam Semesta. Melalui syariat yang harus dilaksanakan sebagai konsekuensi dari tauhid, akan tercipta
tatanan ekonomi yang adil, budaya yang luhur, pendidikan yang meneguhkan visi
dan misi penciptaan manusia, dan hubungan antar negara yang didasarkan pada
prinsip-prinsip aqidah Islam. Lebih dari 1000 tahun khilafah memimpin dunia,
telah terbentuk peradaban yang agung. Sementara kurang dari 200 tahun dominasi
Barat, yang muncul adalah peradaban yang kacau, pertentangan, eksploitasi,
perang tiada henti, ketidakadilan dan sebagainya.
c. Masyarakat masih belum siap untuk menerapkan
syariat Islam. Sebenarnya yang terjadi saat ini justru
sebaliknya, masyarakat yang notabenenya adalah kaum Muslim sangat merindukan
diterapkannya syariat Islam. Namun hal tersebut kemudian dibelokkan oleh
tokoh-tokoh Muslim yang berada di ormas-ormas maupun parpol Islam yang masih
ragu terhadap syariat Islam. Segelintir tokoh-tokoh tersebutlah sebenarnya yang
belum siap menerapkan syariat Islam yang kemudian mengatasnamakan masyarkat.
Kita pun layak untuk bertanya, ketika tokoh-tokoh ormas dan parpol tersebut
secara implisit maupun eksplisit menyatakan ketidaksetujuannya terhadap
formalisasi syariat dalam negara, apakah massanya dari kaum Muslim ditanya
terlebih dahulu kesiapannya terhadap hal itu? Ketika di Indonesia diterapkan
lebih dari 80% hukum Belanda (hingga sekarang), apakah rakyat ditanyai sudah
siap atau belum? Ketika aturan untuk menerapkan syariat Islam bagi Muslim
Indonesia dihapus oleh PPKI, apakah rakyat ditanya dulu siap atau tidak dengan
penghapusan itu? Dulu, saat diterapkan demokrasi terpimpin dan demokrasi
parlementer, apakah rakyat ditanyai kesiapannya lebih dulu? Di Indonesia,
sesuai hasil penelitian IAIN Syarief Hidayatullah yang ditayangkan Trans TV
(16/2/2002) menyatakan bahwa 64% penduduk Indonesia setuju diterapkan syariat Islam. Apalagi, kini tuntutan penegakkan syariat
Islam menggema di mana-mana. Bukan hanya
di Indonesia, tapi juga di negeri-negeri muslim lainnya.
d. Penerapan
syariat Islam akan memicu meruncingnya disintegrasi bangsa. Disintegrasi bangsa sebenarnya sangat tidak
berhubungan dengan masalah penerapan syariat Islam. Misalnya, lepasnya Timor
Timur bukan disebabkan oleh masalah penerapan syariat Islam. Masalah
disintegrasi yang dibenturkan dengan masalah penerapan syariat Islam sebenarnya
merupakan lagu lama yang direlease ulang. Kita masih ingat sejarah
ketika pada tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah Indonesia
merdeka, terjadi manuver licik yang dilakukan oleh PPPKI (Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia) dengan modus bahwa kalau ketetapan BPUPKI yang memuat
"kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya"
ditetapkan sebagai konstitusi negara, golongan Kristen dan Katolik dari
Indonesia bagian Timur akan memisahkan diri dari negara kesatuan Indonesia
karena merasa didiskriminasikan. Akhirnya Piagam Jakarta disingkirkan namun
Timor Timur memisahkan diri juga. Ancaman semacam ini memang akan dijadikan
senjata pamungkas untuk menolak penerapan syariat Islam. Kalau umat Islam
berhenti berjuang untuk menerapakan syariat Islam karena diisukan menyulut
disintegrasi bangsa, maka kita akan terperosok untuk yang kedua kalinya pada
lubang yang sama.
Bila tuduhan tersebut keluar dari mulut
orang kafir
barangkali dapat dimaklumi. Namun, jika
keluar dari ucapan seorang muslim patut kita bertanya apakah betul
ucapan Anda
bahwa Islam tidak dapat menyatukan manusia.
Padahal, dulu sebelum Islam datang, qobilah-qobilah senantiasa saling
bermusuhan. Tak henti-hentinya. Namun, pasca diutusnya Rasul dan
berhasil
mendirikan pemerintahan Islam di Madinah, sejarah mencatat Islam
berhasil
menyatukan manusia dari berbagai jenis tersebut. Ini adalah sejarah,
realitas! Bahkan, mampu menyatukan 2/3 dunia. Tuduhan jika Islam
diterapkan akan
menyebabkan disintegrasi sama saja dengan menolak realitas keberhasilan
Islam
menyatukan berbagai bangsa. Menolak
realitas sama saja dengan penolakan seseorang dilahirkan oleh seorang
ibu.
Lebih dari itu, Allah SWT menegaskan bahwa yang
dapat menyatukan itu adalah Islam itu sendiri (hablum minallâh). Berpegang pada Islam menyatu, melepaskan
Islam bercerai-berai. Allah SWT
berfirman:
﴿وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ
جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا﴾
“Dan berpegang teguhlah
kalian kepada tali Allah (Islam) semuanya dan janganlah bercerai-berai”
(TQS. Âli Imrân[3]:103).
﴿وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا
فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُوْا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ
ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ﴾
“Dan bahwa inilah jalan-Ku
yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan
(lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepada
kalian agar kalian bertaqwa” (TQS. Al An’âm[6]:153).
Jadi, manakah yang layak dipercaya, apakah
pernyataan manusia “Jika diterapkan Islam akan terjadi cerai-berai/desintegrasi”
ataukah firman Allah Dzat Maha Benar yang menyatakan bahwa justru jika Islam
ditegakkan akan terbentuk kesatuan dan jika tidak akan tercerai-berai?
e.
Para pendiri bangsa (the founding fathers)
telah merumuskan negara Indonesia seperti saat ini, yaitu syariat Islam berada
di luar aspek pengaturan negara. Hal ini menyangkut kenyataan
sejarah, oleh karena itu mari kita lihat sejarah masalah ini secara lebih cermat. Sesungguhnya
Piagam Jakarta yang ditandatangani pada tanggal 22 Juni 1945 oleh Panitia 9
(satu orang di antaranya Kristen dari pergerakan nasionalis, yakni Mr. A.A.
Maramis) adalah hasil rumusan resmi yang dikeluarkan oleh wakil bangsa yang
tergabung dalam BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia)
dan merupakan "gentleman’s
agreement". Dalam sidang BPUPKI 10 Juli 1945, Soekarno sebagai Ketua
Panitia 9 menyampaikan bahwa "Piagam Jakarta" merupakan hasil akhir
dari kompromi yang diperoleh secara susah payah dari kalangan nasionalis dan
kalangan Islam. Namun pada sidang 11 Juli seorang Protestan bernama Latuharhary
menolak kata kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya itu.
Pada sidang tanggal 14 Juli 1945 tokoh Muhammadiyah Ki Bagus Hadi Kusumo (yang didukung oleh Kyai Sanusi) usul agar
kata-kata "bagi pemeluk-pemeluknya" dihapus. Namun Sidang
akhirnya memutuskan dipertahankannya hasil kompromi tersebut. Berkaitan dengan
pasal 29 UUD 1945 yang dalam rancangan Batang Tubuh Konstitusi yang dibuat oleh
BPUPKI sebagai pasal 28, Ki Bagus Hadi Kusumo kembali mengusulkan agar kata
"bagi pemeluk-pemeluknya" dihapus. Namun sidang 15 Juli 1945 itu
kembali menolak usulan Ki Bagus Hadi Kusumo dan secara mufakat menyetujui hasil
panitia yang dilaporkan oleh Prof. Supomo yaitu: Pasal 28 Bab X tentang
Agama, (1) Negara berdasar atas Ke-Tuhanan, dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, (2) Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama lain dan untuk beribadat
menurut agamanya masing-masing. Kemudian hanya dalam tempo 2 jam 45 menit (dari
jam 11.30 sampai 13.45) isi pembukaan dan 7 kata dalam Piagam Jakarta itu
dihapus[11]. Padahal, perubahan yang ditolak oleh elite
politik tersebut adalah perubahan kepada konsep awal. Bila demikian, terlihat bahwa alasan ‘tidak
ingin mengkhianati para pendiri bangsa’ seakan-akan heroik, namun sebenarnya
hanyalah retorika untuk menolak syariat Islam.
Apalagi,
sejatinya syariat Islam itu bukan hanya untuk diterapkan pada kaum muslim
melainkan juga untuk seluruh warga.
Allah SWT memerintahkan agar syariat Islam diberlakukan bagi semua orang
yang hidup dibawah naungan Daulah Islamiyah.
Diantara ayat Al Quran yang memerintahkan itu adalah:
﴿إِنَّا
أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا
أَرَاكَ اللهُ﴾
“Sesungguhnya
Kami telah menurunkan Kitab ini (Al Quran) kepadamu dengan membawa kebenaran
supaya engkay menghukumi diantara manusia (an nâs) dengan apa yang telah Allah
wahyukan kepadamu…”(TQS. An Nisâ[4]:105).
Ayat
tersebut (dan ayat-ayat senada) bermakna umum untuk seluruh manusia. Artinya, syariat Islam bukan hanya wajib
diberlakukan bagi pemeluk-pemeluknya melainkan kepada semua manusia. Karenanya, dalam konteks Indonesia, tidak
cukup hanya amandemen pasal 29 saja tapi perlu UUD syariah (ad Dustûr al
Islâmiy). Selain itu, siapapun yang membaca sirah Rasul akan mengetahui
bahwa negara yang beliau bentuk sejak di Madinah bukan hanya terdiri dari kaum
muslim. Ternyata, justru Islam mampu
menyatukan Jazirah Arab yang terdiri dari banyak qobilah serta keyakinan yang
berbeda.
Dengan
demikian, secara i’tiqodiy, anggapan
bahwa penerapan syariat Islam hanya dapat dilakukan pada masyarakat yang
seluruhnya muslim adalah tidak tepat. Allah SWT memerintahkan agar syariat
Islam diberlakukan bagi semua orang yang hidup dibawah naungan Daulah
Islamiyah. Diantara ayat Al Quran yang
memerintahkan itu adalah:
﴿إِنَّا
أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا
أَرَاكَ اللهُ﴾
“Sesungguhnya
Kami telah menurunkan Kitab ini (Al Quran) kepadamu dengan membawa kebenaran
supaya engkay menghukumi diantara manusia (an nâs) dengan apa yang telah Allah
wahyukan kepadamu…”(TQS. An Nisâ[4]:105).
Ayat
tersebut (dan ayat-ayat senada) bermakna umum untuk seluruh manusia. Artinya, syariat Islam bukan hanya wajib
diberlakukan bagi pemeluk-pemeluknya melainkan kepada semua manusia. Selain itu, siapapun yang membaca sirah Rasul
akan mengetahui bahwa negara yang beliau bentuk sejak di Madinah bukan hanya
terdiri dari kaum muslim. Ternyata,
justru Islam mampu menyatukan Jazirah Arab yang terdiri dari banyak qobilah
serta keyakinan yang berbeda. Dengan
demikian, secara i’tiqodiy, anggapan
bahwa penerapan syariat Islam hanya dapat dilakukan pada masyarakat yang
seluruhnya muslim adalah tidak tepat.
Jelaslah
Allah SWT mewajibkan tegaknya syariat Islam, sementara dengan membawa-bawa nama
the founding fathers mereka justru menolak kewajiban tersebut. Padahal,
andai saja the founding fathers itu sekarang hidup dan melihat keadaan
yang carut marut jauh dari kemanusiaan seperti ini, sementara pada sisi lain
terdapat alternatif solusi berupa syariat Islam, maka niscaya mereka yang
berpikiran jernih akan mendukungnya.
Namun, lagi-lagi, penolakan syariat Islam seakan logis dengan dalih the founding fathers. Andaikan memang
demikian, layakkah sebagai seorang muslim yang mengaku beriman kepada Allah SWT
dan Al Quran menolak kewajiban dari Allah SWT untuk menerapkan dan melaksanakan
syariat Islam hanya dengan alasan para pendahulu? Berkaitan dengan hal
ini Allah SWT mengingatkan:
﴿وَإِذَا
فَعَلُوا فَاحِشَةً قَالُوْا وَجَدْنَا عَلَيْهَا ءَابَاءَنَا وَاللهُ أَمَرَنَا
بِهَا قُلْ إِنَّ اللهَ لاَ يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاءِ أَتَقُولُوْنَ عَلَى اللهِ
مَا لاَ تَعْلَمُوْنَ﴾
“Dan apabila
mereka melakukan perbuatan keji, mereka berkata:’Kami mendapati nenek moyang
kami mengerjakan yang demikian itu, dan Allah menyuruh kami
mengerjakannya’.
Katakanlah:’Sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatan
keji.’ Mengapa kalian mengada-adakan
terhadap Allah apa yang tidak kalian ketahui?” (TQS. Al A’râf[7]:28).
Sikap Kaum Muslim
Upaya mengembalikan aqidah dan hukum syariat Islam
sebagai konstitusi dan undang-undang dalam kehidupan masyarakat di dunia Islam
adalah merupakan usaha mulia yang harus diperjuangkan dengan sungguh-sungguh.
Lebih dari itu merupakan kewajiban dari Allah SWT bagi kita. Oleh karena itu, kini saatnya ujian iman bagi
kaum Muslim, turut memperjuangkan Islam demi kebahagiaan dunia-akhiratnya atau
netral bahkan menentangnya. Allah SWT
mengingatkan kita:
﴿أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِيْنَ
يَزْعُمُوْنَ أَنَّهُمْ ءَامَنُوْا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ
قَبْلِكَ يُرِيْدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوْا إِلَى الطَّاغُوْتِ وَقَدْ أُمِرُوْا
أَنْ يَكْفُرُوْا بِهِ وَيُرِيْدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلاَ لاً
بَعِيدًا﴾
Apakah kamu tidak memperhatikan
orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan
kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim
kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan
bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya." (QS. An-Nisaa' 60).
Alhamdulillâh.
Catatan Kaki
[1] Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, halaman 40.
[3] Sîrah Ibnu Hisyâm, Jilid I, halaman 591 dan
Jilid II halaman 519.
[4] Muhammad Abdullah asy Syabâni, Nizhamul Hukmi wal
Idârah fid Dawlah al Islâmiyyah, halaman 24.
[5] Al Qattaniy, Nizhâmul Hukûmah an Nabawiyyah,
Jilid I, halaman 241 – 244.
[6] Al Qattaniy, ibidem, halaman 180.
[7] Anwar ar Rifa’i, An nuzhum al islâmiyyah,
halaman 141.
[8] Lihat hadits riwayat Imam Muslim, nomor 3939.
[9] Imam asy-Syaukani, Nayl al-Authar, Jilid VIII, halaman 265.
[10] Menurut istilah syar’iy ibâdah berarti thâatullâh
wa khudhû’un lahû wa ilyizâmu mâ syara’ahu min ad dîn (taat kepada Allah,
tunduk kepadanya serta terikat dengan hukum agama (Islam) yang telah
disyariatkan-Nya).
0 komentar:
Posting Komentar