Rabu, 25 Desember 2013

Filled Under:

Membentuk Kepribadian Islam

Oleh: Rusydatun Nasiroh

Mukaddimah
hayatulislam.net – Ketika membahas kepribadian, sering kali dihubungkan dengan penampilan fisik seseorang, seperti bagaimana cara berjalan seseorang, bagaimana gaya dia dalam berpakaian, bagaimana cara makan. Dan bahkan di Indonesia sedang marak diadakan sekolah-sekolah kepribadian seperti sekolah kepribadian ‘John Robert Power’. Jadi sering kali apabila orang yang menggunakan pakaian bagus, mahal dan elegant, itulah orang yang berkepribadian tinggi, meskipun dia jauh dari ketaqwaan terhadap Allah. Dan sebaliknya orang yang pakainnya biasa saja, bahkan bisa dikatakan kumuh, namun masjid merupakan rumah utama dia, dan Allahlah menjadi pelindungnya, dia disebut orang yang kepribadian rendah, bahkan bisa disebut orang yang tidak berkepribadian.

Setiap manusia memiliki dua hal yang nampak pada dirinya yang pertama, berkaitan dengan penampilan fisiknya, seperti bentuk tubuh, wajah dan pakaian. Kedua, berkaitan dengan aktivitas dan gerak-gerik manusia. Bagian manakah yang menentukan kepribadian seseorang, sehingga bisa disebut orang yang mempunyai kepribadian luhur atau orang yang memiliki kepribadian binatang. Apakah penampilannya seperti pendapat orang kebanyakan saat ini? atau apakah aktivitasnya?

Kepribadian Islam

Kalau kita perhatikan lebih jeli tentang apa yang membedakan manusia satu dengan yang lainnya adalah perbuatannya. Kita sering kali mengidentikan sifat seseorang dengan perbuatannya. Misalkan kita sering menyebut Pak Ahmad yang dermawan, Pak Cholil yang pemarah, bahkan dijaman Rosulullah SAW dan sahabat sering kali orang dipanggil sesuai dengan perbuatannya misalkan Musailamah al Khazab. Jarang sekali kita mengidentikkan seseorang dengan penampilan fisiknya, karena yang paling menonjol dari seseorang itu memanglah perbuatannya. Dan perbuatan inilah yang membedakan antara mansia yang satu dengan manusia yang lainnya. Kumpulan dari perbuatan yang merupakan gambaran dari tingkah laku (suluk) itulah yang menentukan tinggi rendahnya kepribadian seseorang. Sedangkan tingkah laku (suluk) seseorang sangat ditentukan oleh mafhumnya, sehingga tingkah laku itu pastinya tidak akan pernah terpisah dengan mafhum seseorang. Misalkan seseorang yang mempunyai pemahaman bahwasannya Jihad itu wajib maka meskipun dia diancam atau diberi imbalan yang sangat besar agar meninggalkan Jihad ketika ada panggilan untuk berjihad, maka secara tegas dan teguh dia akan menolak untuk meninggalkannya, apalagi dia tahu bagaimana besar pahala orang yang berjihad dijalan Allah.

Tingkah laku adalah aktifitas yang di lakukan dalam rangka memenuhi gharizah (naluri) atau kebutuhan jasmaninya. Tidak satupun perbuatan manusia dilakukan untuk memenuhi kepentingan yang lain, selain memenuhi kebutuhan jasmani dan naluri tersebut.

Meskipun yang mendorong seseorang untuk melakukan perbuatan adalah kebutuhan jasmani dan naluri, namun tidak secara langsung dorongan tersebut akan dipenuhi oleh manusia. Sebab, yang menentukan apakah dorongan tersebut dipenuhi atau tidak adalah kecenderungan (muyul) dan mafhum orang tersebut. Oleh karena itu yang yang membentuk kepribadian seseorang itu sesungguhnya adalah pemahamannya terhadap sesuatu serta kecenderungannya pada realita tersebut. Atau dengan istilah lain kepribadian manusia itu merupakan akumulasi daripada aqliyah dan nafsiyahnya. Inilah yang digambarkan oleh Rosulullah SAW dalam sebuah hadist riwayat Muslim dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah:

“Sesungguhnya Allah tidak akan menilai atas rupa kamu serta harta kekayaan kamu, akan tetapi Dia hanya menilai hati dan amal perbuatan kamu”[HR Muslim dan Ibnu Majah]



Unsur kepribadian manusia yang pertama adalah Aqliyah. Kata Aqliyah berasalah daripada bahasa Arab, yaitu dari kata aqal. Sedangkan pengertian aqal adalah kemampuan untuk memutuskan realita tertentu, baik yang berkenaan dengan perbuatan maupun benda, yang didasarkan pada pandangan hidup tertentu. Sehingga makna aqliyah didefinisikan sebagai cara yang digunakan untuk memahami atau mengambil kesimpulan tentang suatu realita atau fakta tertentu. Sehingga perbedaan aqidah seseorang maka akan terjadi pula perbedaan aqliyah. Apabila aqidah seseorang adalah Islam maka aqliyahnya-pun merupakan aqliyah Islam. Namun itupun dengan ketentuan bahwasannya aqidah tersebut dijadikan sebagai asas berfikirnya. Sebab, adakalanya seseorang secara zahir beraqidah Islam, tetapi aqidah tersebut tidak digunakan sebagai asas berfikirnya, maka aqliyah orang tersebut bukan aqliyah Islam.

Unsur kedua adalah Nafsiyah, berasal dari kata nafsu, sedangkan nafsu itu sendiri maknanya sama dengan hawa, yaitu kecenderungan yang ada didalam diri manusia untuk melakukan sesuatu, karena dorongan jasmani dan nalurinya berdasarkan standart tertentu (Pada aqidah tertentu). Dengan demikian nafsiyah-lah yang menjadikan manusia terdorong melakukan perbuatan atau meninggalkannya. Sehingga nafsiyah seseorang itu dikontrol oleh pemahaman dia terhadap sesuatu, atau dengan kata lain nafsiyah seseorang berdasarkan pada aqidahnya. Sehingga perbedaan aqidah pastilah akan menyebabkan perbedaan nafsiyah.

Kepribadian Islam merupakan kepribadian yang unik, dimana aqliyah dan nafsiyahnya berasal dari jenis aqidah yang sama, yaitu aqidah Islam. Meskipun kuat dan lemahnya kepribadian tersebut berbeda-beda antara satu orang dengan orang yang lain berbeda-beda. Banyak contoh kekhasan kepribadian Islam yang digambarkan oleh kepribadian Rosulullah dan para sahabat. Kita bisa membacanya dalam buku 60 Karakteristik Sahabat Rosul. Salah satu contoh adalah kisah turun ayat pelarangan Khomer:


“Sesungguhnya syaitah itu ingin menciptakan permusuhan dan kebencian diantara kamu karena khamer dan judi. Juga ingin memalingkan kamu daripada zikir kepada Allah dan shalat. Maka berhentilah kamu.” (Qs. al-Maaidah [5]: 91).

Saat itu para sahabat berkata “Apabila kami mendengar ayat ini maka kami seketika itu juga menghentikannya”. Setelah itu mereka membuang khomer yang mereka miliki dijalan-jalan dikota Medinah, dan mereka tidak mau meminumnya kembali. Bahkan dalam sebuah buku siroh, digambarkan jalanan di kota Medinah sampai seperti banjir. Disini kita melihat bahwasannya perbuatan mereka selalu mereka sandarkan pada pemahaman atau aqidah yang mereka punyai. Ketika Aqidah mereka menyatakan Khomer haram, maka nafsiyahnya secara otomatis tidak mendekati lagi khomer itu.

Kesimpulannya, Kepribadian Islam adalah su­sunan antara cara berfikir Islami (aq­liyyah Islamiyah) seseorang yang dipadu dengan sikap jiwa Isla­minya (nafsiyyah Islamiyyah). Persoalannya, bagaimana mem­buat susunan itu dalam diri se­seorang? Bagimana pula me­ningkatkan kualitas kepribadian­nya? Apa sifat-sifat yang mun­cul?


Langkah Menyusun Ke­pribadian Islam


Untuk menyusun kepriba­dian Islam dalam diri seseorang, langkah pertama yang harus diintroduksikan dan ditanamkan pada diri seseorang adalah aqi­dah Islam. Sehingga seseorang sadar bahwa dirinya adalah seorang muslim. Bukan seorang Kristen, bukan Katolik, bukan Budha, bukan Yahudi, bukan Hindu, dan bukan Athe­is. Pendeknya dia seorang mus­lim, bukan kafir. Ia bersaksi bah­wa tiada Tuhan yang patut di­sembah (laa ma’buuda) kecuali Allah, lailahaillallah. Dia juga bersaksi bahwa Nabi Muhammad saw. adalah rasul utusan Allah. Artinya tidak, ada satu bentuk cara penyembahan (ibadah) ke­pada Allah, dalam arti sempit maupun umum, kecuali cara yang telah diterangkan dan di­contohkan oleh Sayyidina Mu­hammad rasulullah saw.

Iman kepada dua kalimat syahadat itu disadarinya sebagai iman kepada seluruh persoalan yang harus diimani menurut ajaran Islam, baik iman kepada sifat-sifat Allah dan asmaul hus­naNya, iman kepada para malai­kat-Nya, iman kepada kitab-ki­tab-Nya, iman kepada para Ra­sul utusan-Nya, iman kepada ha­ri kiamat, dan iman kepada qodlo dan qodar-Nya, yang baik mau­pun yang buruk.

Iman kepada hari akhir dia fahami sebagai tempat pertang­gungjawaban seluruh keimanan dengan segala konsekuensi dan konsistensi dalam kehidupan di dunia. Ia paham bahwa dunia adalah ladang menanam keba­jikan untuk dituai buahnya di akhirat. Sebaliknya, orang yang lalai akan ceroboh dan berbuat yang justru membahayakan diri­nya sendiri di akhirat nanti. Barang siapa menabur angin, akan menuai badai. Allah SWT memang menciptakan hidup dan mati ini untuk diuji siapa yang terbaik amalannya. Dia berfir­man:

“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.
Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (Qs. Al Mulk [67]: 2).


Langkah kedua, adalah bertekad menjadikan aqidah Is­lam sebagai landasan dalam berfikir menilai segala se­suatu dan dijadikan landasan dalam bersikap dan ber­perilaku. Dengan tekad itu, telah seorang memiliki cara berfikir Islami (aqliyah Islamiyah) dan si­kap jiwa Islami (nafsiyah Isla­mi).

Dengan langkah kedua ini seorang muslim telah selesai dalam pembentukan kepribadian Islam. Dia telah dikatakan telah memiliki kepribadian Islam (syakhshiyyah Islamiyah) sekalipun baru tahap awal dalam berfikir secara Islami dan mengolah sikap jiwa secara Islami.

Seorang muslim sudah di­katakan sudah memiliki cara ber­fikir Islam walaupun belum bisa berbahasa Arab apalagi berijti­had seperti Imam As Syafi’I rahi­mahullah. Dia sudah dikatakan telah berfikir Islami walaupun baru tahu sholat lima waktu itu wajib, sholat berjama’ah di mas­jid itu lebih utama 25-27 kali da­ripada sholat di rumah, judi dan khomer serta undian itu adalah permainan syaithon yang harus dijauhi, menyuap maupun mene­rima suap itu hukumnya haram. Seorang yang berfikir Islami memang tidak disyaratkan mesti canggih dulu berfikirnya.

Seorang muslim dikatakan telah memiliki sikap jiwa Islami apabila telah bertekad untuk me­ngubah sikap hidupnya secara total mengikuti Islam dan isti­qomah. Ketika ada orang me­minta nasihat kepada Rasulullah saw. yang dengan nasihat itu dia tidak bertanya lagi, beliau saw. menjawab:

“Katakanlah aku beriman kepada Allah, lalu bersikaplah istiqomah.” [HR. Muslim].

Asal orang sudah bertekad seperti itu, dia dikatakan telah memiliki sikap jiwa Islami (naf­siyah islamiyah) sekalipun belum banyak beribadah.
Sekalipun dia baru melaksanakan sholat wajib dan sedikit sholat sunnah. Se­kalipun dia baru belajar sholat tahajjud. Sekalipun dia baru be­lajar membaca Al Fatihah dan Qulhu. Sikap jiwa dan istiqomah untuk selalu mengendalikan perilaku dengan ajaran Islamlah yang membuat seorang memiliki sikap jiwa Islami. Rasulullah saw. bersabda:

“Tiada beriman salah seorang di antara kamu sehingga memper­siapkan hawa nafsunya mengi­kuti ajaran Islam yang kubawa.”
[HR. An-Nawawi].

Meningkatkan kualitas kepribadian Islam


Namun untuk mencapai ke­sempurnaan hidup, agar men­jadi manusia yang lulus terbaik dalam ujian Allah SWT dalam kehidu­pan di dunia, seorang muslim ti­dak boleh hanya berhenti di te­kad atau status telah memiliki ke­pribadian Islam. Tapi dia harus memiliki tekad untuk menyem­purnakan dirinya menjadi muk­min yang muttaqin.

Oleh karena itu, langkah ketiga, seorang muslim itu mem­bina cara berfikir Islaminya de­ngan meningkatkan pengetahu­annya tentang ilmu-ilmu Islam, baik aqidah Islamiyah itu sendiri, Al Qur’an, As Sunnah, Tafsir ayat-ayat Al Qur’an, Fiqh, hadits, siroh, bahasa Arab dan lain-lain yang diperlukan untuk mening­katkan kualitas cara berfikirnya yang senantiasa menghubung­kan segala sesuatu yang difikir­kannya dengan informasi Islam.

Seorang muslim perlu me­nambah keyakinannya dengan tambahan pengetahuan tentang aqidah Islam dari Al Qur’an mau­pun As Sunnah. Dia akan mene­mukan Allah SWT menyatakan bahwa agama Islamlah yang diridloi oleh Allah dan mencari agama selain Alloh adalah keru­gian yang besar. Dalam Quran Surat Ali Imron 19 dan Quran surat Ali Imran 85.Dengan keyakinan ini dia akan menjaga keislamannya sampai akhir hayatnya sebagaimana tun­tunan Allah dalam firman-Nya:

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebe­nar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Isla.” (Qs. Ali-Imran [3]: 102).


Untuk bisa sebenar-benar­nya taqwa dan beristiqomah sampai akhir hayat, maka sikap totalitas dalam hidup secara Islam harus dicanangkan. Seba­gaimana firman Allah dalm Qs. al-Baqarah [2]: 208. Dia sadar harus menerima dan memahami petunjuk Allah yang berkaitan dengan sikap dan perilakunya secara total, tidak pilih-pilih. Sebab pilih-pilih akan membuat fatal, tersesat dari jalan Allah, dan berujung kepada kehi­naan dan kesengsaraan. Dari se­mangatnya membolak-balik lem­baran Al Qur’an seorang muslim akan menemukan firman-Nya:


“Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian da­ripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pa­da hari kiamat mereka dikem­balikan kepada siksa yang sa­ngat berat.” (Qs. al-Baqarah [2]: 85).


Sedangkan untuk meningkatkan kualitas nafsiyahnya, kita mestilah hidup dalam suasana keimanan. Bergaul dengan orang-orang yang shaleh, memilih teman yang baik, serta menjauhi orang-orang yang berbuat maksiat. Atau dengan cara menciptakan suanan keimanan, dengan jalan memperbanyak amalan-amalan nafilah. Seperti membaca Alqur’an, Tadabur Alam, Menghayati dan mengkaji Siroh Rosul dengan tujuan untuk mencari tauladan, khusuk dalam sholat. Membaca doa dan qiyamul lail untuk meningkatkan ruhiyahnya. Sehingga ketika hubungan kita dengan Allah dekat, InsyaAllah kita akan merasa mudah untuk menjalankan Islam dalam kehidupan sehari-hari secara kaffah, tidak ada rasa keberatan sedikitpun dan tidak ada rasa malas lagi. Ini akan menjadikan sikap kita ketika mendengar perintah Allah akan berkata “Kami dengar dan kami Taat”

Khatimah


Tentu saja seorang muslim tidak ingin hidup hina di dunia dan sengsara di akhirat. Sem­boyan seorang muslim tentunya adalah hidup mulia dan mati syahid. Oleh karena itu, dia akan berjuang sekuat tenaga untuk menjadi manusia yang mulia de­ngan ilmu Allah SWT dan de­ngan ketaqwaan yang dihiaskan dalam dirinya. Secara serius dia mengkaji Islam dan belajar bahasa Arab bukan hanya untuk mengisi waktu yang luang atau hanya untuk kepauasan batin semata, tetapi semata-mata untuk mema­hami Al Qur’an dan As Sunnah supaya bisa melaksanakan keta­atan lebih sempurna. Dengan itu kepribadiannya akan sempurna. Wallahu a’lam bis showab!






Sumber




0 komentar:

Posting Komentar

Copyright @ 2013 PEJUANG ISLAM.