Rabu, 25 Desember 2013

Khilafah Utsmani dan Aceh


 Kesultanan  Aceh Darussalam yang berasal dari penggabungan kerajaan-kerajaan Islam kecil seperti Kerajaan Islam Pereulak, Samudra Pasai, Benua, Lingga, Samainra, Jaya, dan Darussalam. Ketika portugiss merebut goa di India, lalu malaka pun akhirnya jatuh ketangan portugis, maka kerajaan-kerajaan Islam yang telah berdiri dipesisir utara Sumatra seperti kerajaan Aceh, Daya, Pidie, Pereulak(Perlak), Pase(Pasai), Teumieng, dan Aru dengan sendirinya merasa terancam oleh armada Salib Portugis. A. Hasjmi mengutip M. Said (Aceh sepanjang abad, hal 92-93). Diikat kesatuan aqidah yang kuat, Aceh Darussalam meningkatkan diri dengan kekhilafahan Islam Turki Utsmaniyyah.

 
Sebuah arsip Utsmani berisi peti Sultan Aladin Riayat Syah kepada Sultan Sulayman Al Qanuni, yang dibawa Husein Effendi, membuktikan jika Aceh mengakui penguasa Utsmani di Turki sebagai kekhilafahan Islam. Dokumen tersebut juga brisi laporan soal armada Salib Portugis yang sering mengganggu dan merampok kapal pedagang Muslim yang tengan berlayar dijalur pelayaran Turki-Aceh dan sebaliknya. Portugis juga sering menghadang jama'ah haji dari Aceh dan sekitarnya yang hendak menunaikan ibadah haji ke Makkah. Sebab itu, Aceh mendesak Turki Utsmaniyah mengirim armada perangnya untuk mengamankan jalur pelayaran tersebut dari gangguan armada kafir Farangi (Portugis). Sultan Sulayman Al Qanuni wafat pada 1566 M digantikan Sultan Selim II yang segera memerintahkan armada perangnya untuk melakukan ekspedisi militer ke Aceh. Sekitar bulan September 1567 M, Laksaman Turki di Suez, Kurtoglu Hizir Reis, diperintahkan berlayar menuju Aceh membawa sejumlah ahli senapan api, tentara, dan perlengkapan artileri.


                 Pasukan ini oleh Sultan diperintahkan berada di Aceh selam masih dibutuhkan oleh Sultan Aceh. Walau berangkat dalm jumlah yang amat besar, yang tiba diAceh hanya sebagiannya saja, karena ditengah perjalanan, sebagian armada Turki dialihkan ke Yaman guna mamadamkan pemberontaknan yang berakhir pada 1571 M. Di Aceh , kehadiran armada Turki disambut meriah. Sultan Aceh menganugerahkan Laksamana Kurtoglu Hizir Reizsebagai gubernur (wali) Nangroe Aceh Darussalam, utusan resmi Sultan Selim II yang ditempatkan diwilayah tersebut. Pasukan Turki tiba di Aceh secara bergelombang (1564-1577) berjumlah sekitar 500 orang, seluruhnya adalah ahli dalam seni bela diri dan mempergunakan senjata, seperti senjata api, penembak jitu, dan mekanik. Dengan bantuan tentarara Turki, Kesultanan Aceh menyerang Portugis di pusatnya, Malaka.
                 Rombongan ekspedisi kapal pasukan Turki Utsmani menuju Aceh agar aman dari gangguan perampok, Turki Utsmani juga mengizinkan kapal-kapal Aceh mengibarkan bendera Turki Utsmani dikapalnya. Laksaman Turk9i untuk wilayah Laut Merah, Selman Reiz, dengan cermat terus memantau tiap pergerakan armada perang Portugi di Samudra Hindia. Hasil pantauannya itu dilaporkan Selman ke pusat pemeritah kekhilafahan di Istanbul, Turki. Salah satu bunyi laporan yang dikutip Saleh Obaza sebagai berikut:
                “(Portugis) juga menguasai pelabuahan (Pasai) dipulau besar yang disebut Syamatirah (Sumatera)… Dikatakan, mereka mempunyai 200 orang kafir disana (Pasai). Dengan 200 orang kafir, mereka juga menguasai pelabuhan Malaka yang berhadapan dengan Sematera… Karena itu, ketika kapal-kapal kita sudah siap dan Insya Alloh, bergerak melawan mereka, maka kehancuran total mereka tidak akan terelakkan lagi, karena satu benteng tidak bisa menyokong yang lain, dan mereka tidak dapat membentuk perlawanan yang bersatu”.

                Namun Portugis tetap sombong. Raja Portugis Emanuel I dengan angkuh berkata, “Sesungguhnya tujuan dari pencarian jalan laut ke India adalah untuk menyebarkan agama Kristen, dan merampas kekayaan orang-orangTimur”. Sultan menciptakan bendera kerajaan Islam Aceh Darussalam yang dinamakan “Alam Zulfiqar” (Bendera Pedang) berwarna dasar merah darah dengan bulan sabit dan bintang di tengah serta sebilah pedang yang melintang di bawah berwarna putih.
 
 

FUTUHAT PENDALAMAN SUMATERA.

Sultan Alaidin Riayat Syah Al Qahhar dilantik pada 1537 M dan bertekad untuk membebaskan pendalaman Sumatera dari kaum kafir. Dengan bantuan pasukan Turki, Arab, Malabar,  dan Abesinia, dibawah komando Kekhilafahan Utsmani Aceh masuk kepedalaman Sumatera. Sekitar 160 Mujahidin Turki dan 200 Mujahidin Malaba menjadi tulang punggung pasukan. Mendez Pinto, pengamat perang antara pasukan Aceh dengan Batak, melaporkan komando pasukan seorang Turki bernama Hamid Khan, keponakan Pasya Utsmani dari Kairo. Sejarahwan Universitas Kebangsaan Malaysia, Lukman Thaib, memperkuat Pinto dan menyatakan ini merupakan bentuk nyata Ukhuwah Islamiyyah antara umat Islam yang memungkinkan bagi Turki melakukan serangan langsung terhadap tentara Salib diwilayah sekitar Aceh. Turki Utsmani bahkan diizinkan membangunstu akademi militer, “Askeri Beytul Mukaddas” diwilayah Aceh. Akademi pendidikan militer inilah yang kelak dikemudian hari melahirkan banyak pahlawan Aceh yang memiliki keterampilan dan keuletan tempur yang dalam sejarah perjuangan Indonesia dicatat dalam goresan tinta emas.
                Intelektual Aceh Nurudin Ar Raniri dalam kitab monumentalnya bejudul Bustanul Salathin meriwayatkan, Sultan Alaiddin Riayat Syah Al Qahhar mengirim utusan ke Istanbul untuk menghadap “Sultan Rum”. Utusan ini bernama Huseyn Effendi yang fasih berbahasa Arab. Ia dating ke Turki setelah menunaikan ibadah haji. Pada Juni 1562 M, utusan Aceh tersebut tiba di Istanbul untukmeminta bantuan militer Utsmani guna menghalau Portugi. Diperjalanan, Huseyn Effendi sempat dihadang armada Portugis. Setelah berhasil lolos, ia pun sampai di Istanbul yang segera mengirimkan bala-bantuan yang diperlukan, guna mendukung Kesultanan Aceh membangkitkan izzahnya sehingga mampu membebaskan Aru dan Johor pada 1564 M.

                Dalam peperangna dilaut, armada perang Kesulatanan Aceh terdiri dari kapal perang kecil yang mampu bergerak dengan gesit dan juga kapal berukuran besar. Sejarahwan Court menulis, kapal-kapal ini sangat besar, berukuran 500 sampai 2000 ton. Kapal-kapal besar dari Turki yang dilengkapi meriam dan persenjataan lainnya dipergunakan Aceh untuk menyerang penjajah dari Eropa yang ingin merampok wilayah-wilyah Muslim diseluruh Nusantara. Aceh benar-benar tampil sebagai kekuatan maritime yang besar dan sangat ditakuti Portugis di Nusantara karena mendapat bantuan penuh dari armada Turki Utsmanidengan segenap peralatan perangnya.
                
                Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M), dimana Kerajaan Aceh Darussalam mencapai msa kegemilanga, juga pernah mengirimkan satu armada kecil, terdiri dari 3 kapal, menuju Istanbu. Rombongan ini tiba di Istanbul setelah berlayar selama 12,5 tahun lewat Tanjung Harapan. Ketika misi ini kembali Ke Aceh, mereka diberi bantuan sejumlah senjata, 12 penasehat militer Turki, dan sepucuk surat yang merupakan sikap resmi Kekholifahan Utsmaniyyah yang menegaskan bahwa Aceh merupakan bagian dari Kekholifahan Turki Utsmani. Kedua belas pakar militer itu diterima dengan penuh hormat dan diberi penghargaan sebagai pahlawan Kerajaan Islam Aceh. Mereka tidak saja ahli dalam persenjataan, siasat, dan strategi militer, tetapi juga pandai dalam bidang konstruksi bangunan sehingga mereka bisa membantu Sultan Iskandar Muda dalam membangun benteng tangguh di Banda Aceh dan istana kesultanan.
                
                Dampak keberhasilan Khilafah Utsmaniyyah menghadang armada Salib Portugis di Samudra Hindia tersebut amatlah besar. Di antaranya mampu mempertahankan tempat-tempat suci dan rute ibadah haji dari Asia Tenggara Ke Makkah, memelihara kesinambungan pertukaran perniagaan antara India dengan pedagang Eropa dipasar Aleppo, Kairo, dan Istanbul, dan juga mengamankan jalur perdagangan laut utama Asia Selatan, dari Afrika dan Jazirah Arab-India-Selat Malaka-Jawa-dan ke China. Kesinambungan jalur-jalur perniagaan antara India dan Nusantara dan Timur jauh melalui Teluk Arab dan Laut Merah juga aman dari gangguan.


BUKAN HANYA ACEH

                Selain Aceh, sejumlah kesultanan di Nusantara juga telah bersatu dengan kekholifahan Turki Utsmaniyyah, seperti Kesultanan Buton, Sulawesi Selatan, Salah satu Sultan Buton,  Lakiponto, dilantik menjadi ‘sultan’ dengan gelar Qaim ad-Din yang memilki arti “penegak agama”, yang dilantik langsung oleh Syekh Abdul Wahid dari Makkah. Sejak itu, Sultan Lakiponto dikenal sebagai Sultan Marhum. Penggunaan gelar ‘sultan’ ini terjadi setelah diperoleh persetujuan dari Sultan Turki (ada yang menyebutkan dari penguasa Makkah). Jika kita bisa menelusuri lebih dalam literature klasik dari suber-sumber Islam, maka janganlah kaget bila kita akan menemukan bahwa banyak sekali kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara ini sesungguhnya merupakan bagian dari kekholifahan  Islam di bawah Turki Utsmaniyyah.
                
                Jadi bukan sekedar hubungan diplomatik seperti yang ada di zaman sekarang, namun hubungan diplomatik yang lebih didasari oleh kesamaan Iman dan Ukhuwah Islamiyyah. Jika satu Negara Islam diserang, maka Negara Islam lainnya akan membantu tanpa pamrih, semata-mata karena kecintaan mereka kepada saudara seimannya. Bukan tidak mungkin, konsep “Ukhuwah Islamiyyah” inilah yang kemudian diadopsi oleh Negara-negara Barat-Kristen (Christendom) di adab-20 ini dalam bentuk kerjasama militer (NATO, North Atlantic Treaty Organization), dan bentuk-bentuk kerjasama lainnya seperti Uni-Eropa, Commonwealth, G-7, dan sebagainya.


Sumber

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright @ 2013 PEJUANG ISLAM.