Kesultanan Aceh Darussalam yang berasal dari penggabungan kerajaan-kerajaan Islam kecil seperti Kerajaan Islam Pereulak, Samudra Pasai, Benua, Lingga, Samainra, Jaya, dan Darussalam. Ketika portugiss merebut goa di India, lalu malaka pun akhirnya jatuh ketangan portugis, maka kerajaan-kerajaan Islam yang telah berdiri dipesisir utara Sumatra seperti kerajaan Aceh, Daya, Pidie, Pereulak(Perlak), Pase(Pasai), Teumieng, dan Aru dengan sendirinya merasa terancam oleh armada Salib Portugis. A. Hasjmi mengutip M. Said (Aceh sepanjang abad, hal 92-93). Diikat kesatuan aqidah yang kuat, Aceh Darussalam meningkatkan diri dengan kekhilafahan Islam Turki Utsmaniyyah.
Sebuah arsip Utsmani berisi peti Sultan Aladin Riayat Syah kepada Sultan Sulayman Al Qanuni, yang dibawa Husein Effendi, membuktikan jika Aceh mengakui penguasa Utsmani di Turki sebagai kekhilafahan Islam. Dokumen tersebut juga brisi laporan soal armada Salib Portugis yang sering mengganggu dan merampok kapal pedagang Muslim yang tengan berlayar dijalur pelayaran Turki-Aceh dan sebaliknya. Portugis juga sering menghadang jama'ah haji dari Aceh dan sekitarnya yang hendak menunaikan ibadah haji ke Makkah. Sebab itu, Aceh mendesak Turki Utsmaniyah mengirim armada perangnya untuk mengamankan jalur pelayaran tersebut dari gangguan armada kafir Farangi (Portugis). Sultan Sulayman Al Qanuni wafat pada 1566 M digantikan Sultan Selim II yang segera memerintahkan armada perangnya untuk melakukan ekspedisi militer ke Aceh. Sekitar bulan September 1567 M, Laksaman Turki di Suez, Kurtoglu Hizir Reis, diperintahkan berlayar menuju Aceh membawa sejumlah ahli senapan api, tentara, dan perlengkapan artileri.
Pasukan ini oleh Sultan diperintahkan berada di Aceh selam
masih dibutuhkan oleh Sultan Aceh. Walau berangkat dalm jumlah yang amat besar,
yang tiba diAceh hanya sebagiannya saja, karena ditengah perjalanan, sebagian
armada Turki dialihkan ke Yaman guna mamadamkan pemberontaknan yang berakhir
pada 1571 M. Di Aceh , kehadiran armada Turki disambut meriah. Sultan Aceh
menganugerahkan Laksamana Kurtoglu Hizir Reizsebagai gubernur (wali) Nangroe
Aceh Darussalam, utusan resmi Sultan Selim II yang ditempatkan diwilayah
tersebut. Pasukan Turki tiba di Aceh secara bergelombang (1564-1577) berjumlah
sekitar 500 orang, seluruhnya adalah ahli dalam seni bela diri dan
mempergunakan senjata, seperti senjata api, penembak jitu, dan mekanik. Dengan
bantuan tentarara Turki, Kesultanan Aceh menyerang Portugis di pusatnya,
Malaka.
Rombongan ekspedisi kapal
pasukan Turki Utsmani menuju Aceh agar aman dari gangguan perampok, Turki
Utsmani juga mengizinkan kapal-kapal Aceh mengibarkan bendera Turki Utsmani
dikapalnya. Laksaman Turk9i untuk wilayah Laut Merah, Selman Reiz, dengan
cermat terus memantau tiap pergerakan armada perang Portugi di Samudra Hindia.
Hasil pantauannya itu dilaporkan Selman ke pusat pemeritah kekhilafahan di
Istanbul, Turki. Salah satu bunyi laporan yang dikutip Saleh Obaza sebagai
berikut:
“(Portugis) juga menguasai
pelabuahan (Pasai) dipulau besar yang disebut Syamatirah (Sumatera)… Dikatakan,
mereka mempunyai 200 orang kafir disana (Pasai). Dengan 200 orang kafir, mereka
juga menguasai pelabuhan Malaka yang berhadapan dengan Sematera… Karena itu,
ketika kapal-kapal kita sudah siap dan Insya Alloh, bergerak melawan mereka,
maka kehancuran total mereka tidak akan terelakkan lagi, karena satu benteng
tidak bisa menyokong yang lain, dan mereka tidak dapat membentuk perlawanan
yang bersatu”.
Namun Portugis tetap sombong. Raja
Portugis Emanuel I dengan angkuh berkata, “Sesungguhnya tujuan dari
pencarian jalan laut ke India adalah untuk menyebarkan agama Kristen, dan
merampas kekayaan orang-orangTimur”. Sultan menciptakan bendera kerajaan
Islam Aceh Darussalam yang dinamakan “Alam Zulfiqar” (Bendera Pedang)
berwarna dasar merah darah dengan bulan sabit dan bintang di tengah serta sebilah
pedang yang melintang di bawah berwarna putih.
FUTUHAT PENDALAMAN SUMATERA.
Sultan Alaidin Riayat Syah Al Qahhar dilantik pada 1537 M dan bertekad untuk membebaskan pendalaman Sumatera dari kaum kafir. Dengan bantuan pasukan Turki, Arab, Malabar, dan Abesinia, dibawah komando Kekhilafahan Utsmani Aceh masuk kepedalaman Sumatera. Sekitar 160 Mujahidin Turki dan 200 Mujahidin Malaba menjadi tulang punggung pasukan. Mendez Pinto, pengamat perang antara pasukan Aceh dengan Batak, melaporkan komando pasukan seorang Turki bernama Hamid Khan, keponakan Pasya Utsmani dari Kairo. Sejarahwan Universitas Kebangsaan Malaysia, Lukman Thaib, memperkuat Pinto dan menyatakan ini merupakan bentuk nyata Ukhuwah Islamiyyah antara umat Islam yang memungkinkan bagi Turki melakukan serangan langsung terhadap tentara Salib diwilayah sekitar Aceh. Turki Utsmani bahkan diizinkan membangunstu akademi militer, “Askeri Beytul Mukaddas” diwilayah Aceh. Akademi pendidikan militer inilah yang kelak dikemudian hari melahirkan banyak pahlawan Aceh yang memiliki keterampilan dan keuletan tempur yang dalam sejarah perjuangan Indonesia dicatat dalam goresan tinta emas.
Dalam
peperangna dilaut, armada perang Kesulatanan Aceh terdiri dari kapal perang
kecil yang mampu bergerak dengan gesit dan juga kapal berukuran besar.
Sejarahwan Court menulis, kapal-kapal ini sangat besar, berukuran 500 sampai
2000 ton. Kapal-kapal besar dari Turki yang dilengkapi meriam dan persenjataan
lainnya dipergunakan Aceh untuk menyerang penjajah dari Eropa yang ingin
merampok wilayah-wilyah Muslim diseluruh Nusantara. Aceh benar-benar tampil
sebagai kekuatan maritime yang besar dan sangat ditakuti Portugis di Nusantara
karena mendapat bantuan penuh dari armada Turki Utsmanidengan segenap peralatan
perangnya.
Sultan Iskandar Muda (1607-1636
M), dimana Kerajaan Aceh Darussalam mencapai msa kegemilanga, juga pernah
mengirimkan satu armada kecil, terdiri dari 3 kapal, menuju Istanbu. Rombongan
ini tiba di Istanbul setelah berlayar selama 12,5 tahun lewat Tanjung Harapan.
Ketika misi ini kembali Ke Aceh, mereka diberi bantuan sejumlah senjata, 12 penasehat
militer Turki, dan sepucuk surat yang merupakan sikap resmi Kekholifahan
Utsmaniyyah yang menegaskan bahwa Aceh merupakan bagian dari Kekholifahan Turki
Utsmani. Kedua belas pakar militer itu diterima dengan penuh hormat dan diberi
penghargaan sebagai pahlawan Kerajaan Islam Aceh. Mereka tidak saja ahli dalam
persenjataan, siasat, dan strategi militer, tetapi juga pandai dalam bidang
konstruksi bangunan sehingga mereka bisa membantu Sultan Iskandar Muda dalam
membangun benteng tangguh di Banda Aceh dan istana kesultanan.
BUKAN
HANYA ACEH
Selain Aceh, sejumlah kesultanan
di Nusantara juga telah bersatu dengan kekholifahan Turki Utsmaniyyah, seperti
Kesultanan Buton, Sulawesi Selatan, Salah satu Sultan Buton, Lakiponto, dilantik menjadi ‘sultan’ dengan gelar Qaim ad-Din yang memilki
arti “penegak agama”, yang dilantik langsung oleh Syekh Abdul Wahid dari
Makkah. Sejak itu, Sultan Lakiponto dikenal sebagai Sultan Marhum. Penggunaan
gelar ‘sultan’ ini terjadi setelah diperoleh persetujuan dari Sultan Turki (ada
yang menyebutkan dari penguasa Makkah). Jika kita bisa menelusuri lebih dalam
literature klasik dari suber-sumber Islam, maka janganlah kaget bila kita akan
menemukan bahwa banyak sekali kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara ini
sesungguhnya merupakan bagian dari kekholifahan
Islam di bawah Turki Utsmaniyyah.
0 komentar:
Posting Komentar