Rabu, 25 Desember 2013

Filled Under:
,

Dinar dan Dirham (1)


 1. Dinar Dan Dirham Dalam Sejarah Islam
Bismillahirrahmanirrahim. Memasuki tahun baru 1432 H atau 2011  tidak terasa perjalanan IMN dan kembalinya dinar dan dirham di Indonesia telah berjalan 12 tahun di Nusantara, alhamdulillah. Sejarah dinar dan dirham di Indonesia di mulai pertamakali tahun 1999  oleh tiga muslim dari Indonesia yang bernasab kepada Walisongo, dan mereka juga yang membentuk  Islamic Mint Nusantara (IMN-World Islamic Standard) yang membangun dasar dan awal pertama pencetakan dinar dan dirham serta  juga sosialisasi yang tiada henti kepada berbagai kalangan tanpa perlu disebut nama. Sejak IMN-World Islamic Standard melakukan pencetakan masal pada tahun 2000 maka hal ini telah menjadi pendorong dikenalnya gerakan dinar dan dirham di tingkat wilayah Asia Tenggara dan dunia.
Pada tahun 2007 IMN-World Islamic Standard merintis pencetakan dinar dan dirham mandiri pertama di Indonesia, yang bertujuan melayani umat agar memudahkan mendapatkan dinar dan dirham, IMN secara bersamaan aktif memperkenalkan kembali model muamalah Islam seperti pasar, baitulmal, kafilah dagang, paguyuban, dan pelaksanaan zakat ditarik kembali dengan dinar dan dirham (murni). Semua bangunan muamalah ini sebetulnya sudah ada dalam warisan budaya kita muslim di Nusantara, perlu di bangun kembali dengan ilmu dan hikmah yang tinggi. Kami memanggil semua muslim untuk bersatu terlibat secara langsung dalam mengamalkan hal-hal yang sudah kami sebutkan di atas, mengembalikan muamalah kita tanpa sistem riba atau praktek riba.
Dasar dari kita semua kembali mengamalkan dinar dan dirham adalah kepada keimanan dan ketakwaan, bukan yang lain, yang merupakan bagian urusan akidah Islam dan berkaitan erat dengan salah satu rukun Islam yaitu tiang zakat maal, dimana semua 4 Ulama Madhab menyatakan bahwa zakat maal harus ditarik sebanyak 20 Mitsqal untuk Zakat Emas dan 200 Dirham untuk Zakat Perak.1
Imam Hanafi mengatakan tentang hal ini:
“Bahwa ukuran Nisab Zakat yang disepakati ulama’ bagi emas adalah 20 Mitsqal, dan telah mencapai haul (1 tahun) dan bagi perak adalah 200 dirham”2
Imam Asy-Syafi’I berkata dalam Kitab Al-Umm, Volume 2:
“Rabi’ meriwayatkan bahwasanya Imam Asy-Syafi’I berkata: Tidak ada perbedaan pendapat (ikhtilaf) bahwasanya Dalam Zakat Emas itu adalah 20 Mitsqal (Dinar)”.3
Standarisasi Dinar ini, sebenarnya sudah terjadi sekian lama, jauh sebelum Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam lahir, yaitu yang pertama kali menggunakan dinar dan dirham adalah Nabi Adam AS, dapat di lihat dalam Tafsir ad-Durrul Mantsur fi Tafsir bil Ma’tsur (Vol. I hal, 326) yang disusun oleh Imam Jalaluddin Suyuthi mengatakan, (dikeluarkan oleh Ibn Abi Syuibah dalam Kitab Al-Mushonnaf). Pada masa Nabi Idris ‘alaihis Salam, 9000 tahun Sebelum Masehi, sebagai Rasul Ke-2 yang pertama kali hidup menetap, mengenal tambang emas dan perak, dan mengolahnya menjadi sebuah mata uang yang diberi nama “raqim”4 untuk mata uang emas, dan “wariq”5 untuk mata uang perak.
Sejarah mata uang Raqim dan Wariq ini, berlangsung cukup lama mulai dari periode Nabi Idris6, dilanjutkan ke periode Nabi Nuh, ke periode Hud, ke periode Nabi Sholih, ke periode Nabi Dzulqarnain, ke periode Ashabulkahfi, ke periode Nabi Ibrahim, ke periode Nabi Luth, ke periode Nabi Isma’il dan ke periode Nabi Ishaq. Peristiwa penting ini secara implisit dijelaskan dalam Al-Qur’an di 403 ayat dalam Al-Qur’an.7
Penamaan Dinar sebagai mata uang emas, dan Dirham sebagai mata uang perak, baru terjadi Periode Nabi Ya’qub dan Nabi Yusuf. Hal ini termaktub dalam Surah Ali-Imran (3): 75,8 dan Surah Yusuf [12]: 20.9
Standarisasi Ukuran Dinar dan Dirham pada masa Rasulullah Saw sama dengan ukuran Raqim dan Wariq pada masa Nabi Idris sampai Nabi Ishaq, dan sama pula ukurannya dengan Dinar dan Dirham pada masa Nabi Ya’qub sampai Nabi Muhammad Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam. Ukuran ini adalah ukuran yang telah disepakati oleh Jumhur Ulama’. Yaitu: nisab zakat harta yang harus ditarik sebanyak 20 Dinar untuk Zakat Emas dan 200 Dirham untuk Zakat Perak.10
Nabi Muhammad Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam, menerapkan kaidah standarisasi dinar dan dirham ini sesuai dengan “(berat) 7 Dinar harus setara dengan (berat) 10 Dirham”. Sunnah Dinar dan Dirham ini kemudian diikuti oleh para Khulafâ’ur Rasyidun yang berlangsung selama 30 tahun, yaitu sejak tahun 11 H sampai 40 H, berlangsung di Madinah yaitu Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq, Khalifah Umar bin Khattab, Khalifah Utsman bin ‘Affan dan Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib.11
Standarisasi Dinar dan Dirham di atas juga dijaga tradisinya pada masa Bani Umayyah, berjalan selama 92 tahun, sejak tahun 40 H sampai 132 H. dengan 14 orang Khalifah yang berpusat di Damaskus. Khalifah-Khalifah itu yaitu: Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Yazid bin Mu’awiyyah, Mu’awiyyah II bin Yazid, Marwan bin Al-Hakam, Abdul Malik bin Marwan, Walid bin Abdul Malik, Sulaiman bin Abdul Malik, Umar bin Abdul ‘Aziz, Yazid II bin Abdul Malik, Hisyam bin Abdul Malik, Walid II bin Yazid, Yazid III bin Walid, Ibrahim bin Walid dan Marwan II bin Ja’diy.12
Standarisasi Dinar dan Dirham di atas juga dijaga tradisinya pada masa Bani ‘Abbasiyyah, berjalan selama 518 tahun, sejak tahun 132 H sampai 656 H. dengan 37 orang Khalifah yang berpusat di Baghdad. Khalifah-Khalifah itu yaitu: Abul ‘Abbas As-Saffah, Abu Ja’far Al-Manshur, Mahdi bin Al-Manshur, Hadi bin Mahdi, Harun ar-Rasyid bin Mahdi, Al-Amin bin Harun Ar-Rasyid, Al-Ma’mun bin Harun Ar-Rasyid, Al-Mu’tashim bin Harun Ar-Rasyid, Al-Watsiq bin Mu’tasyim, Al-Mutawakkil bin Mu’tashim, Al-Mutashir bin Al-Mutawakkil, Al-Musta’in bin Mu’tashim, Al-Mu’tazz bin Mutawakkil, Muhtadi bin Al-Watsiq, Mu’tamid bin Mutawakkil, Mu’tadid bin Al-Muwaffiq, Muktafi bin Mustadhid, Ar-Radhi bin Muqtadir, Al-Muqtaqi bin Muqtadir, Mustaqfi bin Mustaqfi, Al-Mu’thi bin Muqtadir, At-Ta’bin Al-Mu’thi, Al-Qadir bin Ishaq, Al-Qaim bin Al-Qadir, Muqtadi bin Muhammad, Mustazhir bin Muqtadi, Murtashid bin Mustashir, Ar-Rashid bin Murtasyid, al-Muqtafi bin Mu’atshir, Mustanjid bin Muqtafi, Mustadi bin Al-Muqtadi, An-Nashir bin Muatahdi, Az-Zhahir bin An-Nashir, Mustanshir bin Az-Zhahir, Musta’sihim bin Mustansir.13
Standarisasi Dinar dan Dirham di atas juga dijaga tradisinya pada masa Kerajaan-Kerajaan Kecil (Mulukut Thawâif), baik di benua Timur maupun di benua Barat (Andalusia) yang masuk menyelusup di masa Bani ‘Abbasiyyah, yaitu dari tahun 321 H sampai 685 H berjalan selama 350 tahun.14
Standarisasi Dinar dan Dirham di atas juga dijaga tradisinya pada masa Turki Utsmani, berjalan selama 666 tahun, sejak tahun 687 H sampai 1343 H (1924 M) dengan 38 orang Sultan yang berpusat di Istanbul (Kontantinopel).15
Bahkan pada masa Sultan Muhammad II Al-Fatah (Sultan Ke-7 dari Kesultanan Turki Utsmani), tahun 855H/ 1451M, Dinar dan Dirham dibawa oleh Duta Muballigh Islam yang dikenal dengan “Walisongo” melalui perdagangan bersistem Dinar Dirham di Wilayah Nusantara (Asia Tenggara).16
Dalam catatan Syekh Muhyiddin Khayyat dalam “Durusut Tarekh Al-Islamiy” Juz V, dan Catatan Jarji Zaidan dalam Tarekh Tamaddun Al-Iskamiy, Juz III, menyebutkan bahwa: Standarisasi Dinar dan Dirham di atas juga dijaga tradisinya di beberapa negara-negara Islam, seperti Kesultanan Umayyah di Adaluzie Eropa, mulai tahun 138 H = 755M sampai 407 H/ 1016 M. Juga diterapkan di Kesultanan Fathimiyyah di Afrika Utara dan Mesir sejak tahun 279 H/ 909 M sampai 567H/ 1171M, juga diterapkan di Kesultanan Ayyubiyyah di Mesir dan Syiria sejak tahun 567H/1171 M sampai 657H/1260 M, juga diterapkan di Kerajaan Geznewiyah di Afghanistan dan India sejak tahun 366 H/976M sampai 579H/1183M. Dan di Kesultanan Mongolia di India sejak tahun 932H/1526M sampai 1274 H/1857M.17

2. Timbangan Berat Dan Kadar, Dinar Dan Dirham Islam Dalam Fikih Islam
Berdasarkan rumus “(berat) 7 Dinar harus setara dengan (berat) 10 Dirham”. Wahyu Allah menyebut emas dan perak serta mengaitkannya dengan berbagai hukum , misalnya zakat, perkawinan, hudud dan lain-lain.
Menurut Ibnu Khaldun dalam Mukaddimah, Allamah Muhammad bin Abdurrahman ad Dimasyqi dalam fikih 4 Madzhab, menyatakan bahwa : Berdasarkan wahyu Allah, Emas dan Perak harus nyata dan memiliki ukuran dan penilaian tertentu (untuk zakat dan lainnya) yang mendasari segala ketentuannya, bukan atas sesuatu yang tak berdasarkan syari’ah (kertas dan logam lainnya). Ketahuilah bahwa terdapat persetujuan umum (ijma) sejak permulaan Islam dan masa Para Nabi dan Rasul, masa Nabi Muhammad, Khulafa’ur Rasyidun, Sahabat serta tabi’in, tabi’it tabi’in bahwa dirham yang sesuai syari’ah adalah yang sepuluh kepingnya seberat 7 mitsqal (bobot dinar) emas. Berat 1 mitsqal emas adalah 72 butir gandum, sehingga dirham yang bobotnya 7/10-nya setara dengan 50-2/5 butir. Ijma telah menetapkan dengan tegas seluruh ukuran ini.18
Rujukan di atas adalah prinsip yang menjadi jalan pembuka untuk kami mengkaji ulang mengenai ukuran berat dan kadar dinar dan dirham terhadap nishab zakat. Setelah beberapa pertemuan dan pembicaraan dan masukan formal dan informal yang kami lakukan baik dengan beberapa kolega kami di Jakarta, Bandung dan Yogjakarta baik secara langsung ataupun melalui email, kami akan mengemukakan beberapa hal penting terkait dengan standar dinar (emas) dan dirham (perak) terutama terhadap perhitungan nisab zakat di Nusantara dan dunia yang tentunya ini kami kemukakan bertujuan kepada ketakwaan dan kelurusan dalam mengamalkan dinar dirham dalam muamalat islam secara benar dan tepat sesuai dengan Syari’at Islam (Kitabullah dan Sunnah Rasulullah).
Dari berbagai sumber kitab Islam diketahui bahwa nishab zakat emas adalah 89 gram, 91 gram dan 93 gram, sedangkan nishab 85 gram adalah baru muncul dan dikenal kemudian yang banyak ditemui dalam buku-buku fikih zakat  kontemporer, disebutkan juga dalam berbagai buku fikih zakat termasuk dalam buku Shaykh Utsaimin dan Dr. Yusuf Qardhawi, yang menyatakan pendapat nishab 85 gram ini, atau dengan kata lain mengambil berat yang teringan (Buku Fikih Islam, Prof Dr. Wahbah Az-Zuhaili) yang digunakan dalam timbangan zakat profesi dari perbankan Islam (zakat profesi sendiri tidak pernah ada dalam Islam). Shaykh Utsaimin dan Dr. Yusuf Qardhawi dan kebanyakan ‘ulama’ hari ini menyamakan dinar dan dirham dengan uang kertas, apa yang dilakukan oleh mereka ini bukanlah kehati-hatian dan bukan pula berdasarkan apa yang sudah kami jelaskan di atas.

3. Dinar 4.25 (91.7) Mengandung Kekeliruan Mendasar
Kekeliruan mendasar yang perlu disadari bahwa dinar dan dirham yang di minta dalam ketentuan syariah dinyatakan berbahan murni atau semurni mungkin (dzahab khalis) yang dalam bahasa al Quran disebut kayla (kadar), dan ini tidak ada perubahan, hal kemurnian ini yang dikatakan dalam fikih 4 Imam Madhab terkait pelaksanaan zakat maal. Dan alasan bahwa emas murni lunak sehingga tidak dapat digunakan untuk dinar, adalah pendapat yang lemah dan tidak perlu di ikuti, karena pada kenyataannya dari bukti sejarah dan arkeologis koin-koin emas murni tersebut telah dapat bertahan hingga 700 tahun, bukan tiga tahun. Kalau ada kekhawatiran koin tersebut rusak atau beratnya berkurang, maka yang justru perlu dilakukan adalah mendukung pencetakan dinar dan dirham mandiri yang dibiayai atas wakaf dari umat muslim, agar koin-koin yang rusak atau berkurang beratnya karena digunakan dalam muamalah dapat diganti dengan yang baru.
Penjelasan mengenai kadar berdasarkan perintah zakat maal tersebut adalah yang membedakan dinar dengan koin emas lain, jadi penelitian ini dibuat bukan karena ingin berbeda tapi untuk mendapati kesempurnaan dalam timbangan (adil) yang terkait dengan mumalah Islam. Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa banyak dinar yang telah beredar saat ini mempunyai berat 4.25 (91.7) atau tidak murni, lalu dimana letak kekeliruannya? secara mendasar kita dapat kita lihat dalam perhitungan nishab zakat maal sebesar 20 dinar,akan di jelaskan sebagai berikut:
85 gram : 20 mitsqal= 4.25 gr (dzahab khalis)
Nishab adalah 4.25 gr x 20 = 85 gr (dzahab khalis)
Dalam 1 Dinar 4.25 (91.7) mengandung 3.89 gram emas murni
Nishab adalah 3.89 gram x 20 = 77.8 gram
20 mitsqal (tidak murni) yang sama dengan 77.8 gram sangat jauh dari fikih kontemporer nishab zakat  85 gram emas (dzahab khalis), apalagi kepada fikih tradisional 89 gr, 91 gr dan 93 gr emas murni
Dari penjelasan di atas menjadi jelas bahwa nishab 85 gram emas murni tidak tercapai, artinya jika mengikuti fikih kontemporer aspek kesempurnaan berat dan kadar terabaikan, karena dinar ini yang dimaksud menurut jumhur Ulama yang adalah emas murni (dzahab khalis) bukan emas campuran ataupun sengaja di campur, tentu hal ini tidak bisa diterima dan tidak bisa diabaikan, dalam praktek perhitungan mitsqal emas campuran bukan lagi menjadi 20 Dinar melainkan menjadi 22 Dinar, maka perhitungannya menjadi berbeda jika menggunakan emas campuran atau emas 22K (91.7), perhitungannya menjadi sebagai berikut:
(24/22) x (85/20)= 4.63 gr (91.7)
nishab emas campuran menjadi 4,63 gr x 20 = 92.6 gr
Sekarang dapat dilihat perbedaan ukuran antara 1 Dinar (22K/917) = 4.63 gr dan 1 Dinar (24K/9999) = 4.25 gr jadi kesimpulannya adalah, kalau nishab dihitung dalam dengan standar 1 dinar = 4.25 gr (22K) hanya terkandung 78 gr emas (murni), dimana ini tidak mencapai nishab zakat mal yang seharusnya adalah 85 gram emas (murni).
Dan mengenai pendapat yang menyatakan dinar adalah 22K (91.7) atau tidak murni menyelisihi dan tidak mengikuti 4 madzhab yang mutabar, dan tentu pendapat ini sangat lemah karena tidak berdasarkan kepada nash-nash syar’i 19 .
Dalam Catatan sejarah, nishab zakat emas dan perak yang dapat kami temui adalah 89, 91 dan 93 sedangkan nishab zakat 85 gram adalah baru dikenal pada abad 20 yang di dukung oleh pendapat Muhammad Bin Shalih Al Utsaimin dan Dr Yusuh Qardhawi, Fiqh al-Zakah, jilid I. Sumber nishab zakat 93 gram lihat Ibn Qayyim al Jawziyyah, Zad al Ma’ad fi Hadyi Khayr al’ibad (Makkah: al-Maktabah al-’ilmiyyah) jilid I, hh 147-148. Sumber nishab 89 gram lihat Al Isyadat-us Saniyah fi al ahkam il Fiqiyah, bahagian ke-2 halaman 157). Baca juga Mentaati Perintah Kewajiban Zakat Maal Dengan Yang Murni
Penjelasan fikih nishab zakat mal untuk emas dan perak dapat dibaca selengkapnya pada tulisan Kembalinya Dinar Murni, Penjelasan Nishab Zakat Mal Dan Mithqal

4. Penelitian Dan Timbangan Mitsqal Untuk Nishab Zakat Emas dan Perak Dalam Gram
Ketahuilah bahwa terdapat persetujuan umum (ijma) sejak permulaan islam dan masa Para Nabi dan Rasul, masa Nabi Muhammad, Khulafa’ur rasyidun, sahabat-sahabat serta tabiin, tabiit tabiin bahwa dirham yang sesuai syariah adalah yang sepuluh kepingnya seberat 7 mistqal (dinar) emas. Berat 1 mistqal emas adalah 72 butir gandum, sehingga dirham yang nilainya 7/10 setara dengan 50 dan 2/5 butir. Ijma telah menetapkan dengan tegas seluruh ukuran ini (IbnuKhaldun dalam Muqaddimah)
Ijma semua madzhab fiqh bahwa 1 mitsqal = 1 Dinar. Meskipun demikian banyak otoritas menyelisihi ijma ini sehingga 1 Dinar kurang dari 1 mitsqal. Ibnu Khaldun menulis dalam Al-Muqaddimah “Maka bersepakat banyak sekali fuqaha, berat (dalam bentuk emas) dari Dinar syar’i adalah tujuh-puluh-dua ukuran rata-rata biji gandum sya’ir atau barley dipotong kedua ujungnya” (p. 316)
Dalam beberapa tahun ini IMN-World Islamic Standard telah melakukan penelitian terkait dejarah dinar dan dirham Islam, ada pertanyaan tentang apa yang disebut sebagai standar klasik mitsqal untuk dinar dan dirham menurut sumber Al Quran, Hadist, Fikih, Penelitian dan Sejarah. Seperti diketahui bahwa penggunaan dinar dan dirham telah dimulai sejak jaman nabi Adam AS. dan menjadi standar keuangan dari masa Rasululullah shallalahu alaihi wassalam dan Khulafa’ur Rasyidun hingga akhirnya hilang setelah runtuhnya Kekhalifahan Turki Utsmani (1924). IMN-World Islamic Standard berusaha menggali kembali penemuan standar klasik tersebut. Oleh karena itu cara terbaik untuk menentukan standar adalah dengan melihat definisi atau penjelasan yang diberikan oleh para pendahulu awal Islam melalui Ulama, Kitab-kitab Klasik Islam, Hadist dan Al Quran. Memang ada koin-koin yang ditemukan oleh arkeolog atau sekarang tersimpan di dalam museum, tapi tidak dapat diandalkan untuk tujuan ini karena koin tersebut umumnya telah keausan, rusak, berkurang berat atau mungkin terpotong.
Untuk mendapatkan kembali timbangan klasik mitsqal, maka kita perlu melihat kembali ke sumber awal Islam di Madinah, bukan sumber lain. Ibn Khaldun menyatakan bahwa sesuai ijma’ dan ketetapan Umar ibn Khattab RA, 1 mitsqal = 72 biji gandum barley (organik) ukuran sedang yang dipotong kedua ujung. Dapat dikatakan bahwa setara dengan berat sekitar 68-69 biji gandum utuh. Akan tetapi ada beberapa catatan yang mengatakan mitsqal di bawah berat 72 biji gandum barley, seperti 68 biji gandum Barley ukuran sedang dipotong kedua ujung. Pendapat ini tidak diterima karena sangat tidak populer.
Secara tradisional mengukur berat suatu benda didasarkan pada suatu standar berat suatu benda atau komoditas yang dianggap memiliki berat stabil secara relatif. Metodologi ini juga digunakan untuk menentukan berat dalam mitsqal (tradisional atau sunnah), sebagaimana pula digunakan sebagai standar untuk menghitung berat dalam gram (modern).
Ibn Khaldun dan banyak kitab fikih menetapkan mitsqal berdasarkan berat biji gandum barley. Dan banyak otoritas, amir, sultan, parameswara, prabu dan lain-lain memerintahkan master minter mereka untuk menimbang kembali berat biji gandum barley untuk menentukan standar mitsqal mereka. Dan mereka akan berkeputusan untuk menyetak sesuai atau tidak sesuai mitsqal tersebut.
Dengan demikian adalah sangat mungkin bagi kita saat ini menimbang biji gandum barley sebagaimana sunnah mengajarkan demikian. Dan dengan demikian pula, merupakan sesat metodologi apabila menentukan berat mitsqal hanya berdasarkan satu koin koleksi museum dan serta merta menjadikannya standar. Belum lagi koleksi yang dimaksud hanya satu dan diklaim tertua (padahal bukan) dengan fakta terdapat berbagai berat berat Dinar yang pernah ada dan beredar di berbagai wilayah negeri-negeri muslim.
Oleh karena itu, secara metodologi atau pendekatan, penimbangan biji gandum barley adalah metodologi utama, yang niscaya, sebagaimana amal Madinah. Yaitu untuk mengikuti “timbangan penduduk Madinah dan takaran penduduk Makkah”.
Adapun melakukan riset numismatik dari pelbagai koleksi koin, terutama koin-koin tertua adalah metode penunjang. Lebih penting untuk membaca kembali teks-teks fikih salaf (kuno) yang membahas mengenai nisab zakat, pasar, perdagangan, muamalat, uang dan alat pembayaran, juga mengenai mahar nikah, diyat dan lain lain. Karena dinar dan dirham harus berdasarkan syariah Islam bukan berdasarkan pendapat atau bukti numismatik semata. Ini yang menjadi pembeda dinar dan dirham dengan koin-koin numismatik.
Untuk memperkuat penelusuran dan sumber sejarah di atas dan juga terutama berdasarkan juga sumber dari, al Quran, Hadist, tafsir pendapat ulama masyur, fikih 4 Imam Madhab, tafsir literatur, sejarah Islam, metalurgi dan bukti-bukti arkeologis maka kami lebih jauh lagi melakukan penelitian yang seksama mengenai timbangan mitsqal tersebut maka kami menimbang kembali gandum barley untuk mendapatkan timbangan mitsqal hari ini dalam satuan gram, yang berhubungan langsung terhadap pelaksanaan perhitungan nisab zakat dan muamalah kaum muslim dan umum di Nusantara dan dunia.
(Bersambung)

1 komentar:

  1. Terimkasih, untuk tulisannya. sangat bermanfaat. Ada beberapa ulasan sejarah di atas belum dikasih catatan kaki. Ada baiknya dikasih sebagai bukti (referensi). 1 bukti (Referensi) itu saja belum cukup, karna ada macam-macam pandangan (perbedaan),semua dari satu dahan tapi ia bercabang-cabang. Tentu, semua mengharapkan kebenaran dari sumber sejarah yang terpercaya,saya kira begitu.

    BalasHapus

Copyright @ 2013 PEJUANG ISLAM.