Minggu, 19 Januari 2014

Filled Under:

Tokoh dan Raja Majapahit 6

16. Mahapati

Mahapati adalah nama seorang tokoh penghasut dalam sejarah awal Kerajaan Majapahit. Namanya disebut dalam Pararaton sebagai pemegang jabatan rakryan patih sejak tahun 1316. Kelicikan Mahapati dianggap sebagai penyebab kematian para pahlawan pendiri Majapahit, misalnya Ranggalawe, Lembu Sora, dan Nambi. Mahapati sendiri akhirnya dihukum mati setelah pemberontakan Ra Kuti tahun 1319.

Kisah Hidup

Nama Mahapati terdapat dalam naskah Pararaton dan Kidung Sorandaka. Ia dikisahkan sebagai tokoh licik yang gemar melancarkan fitnah dan adu domba demi meraih ambisinya, yaitu menjadi patih Majapahit.
Pada tahun 1295 Mahapati menghasut Ranggalawe supaya menentang pengangkatan Nambi sebagai patih. Sebaliknya, ia juga menghasut Nambi supaya menghukum kelancangan Ranggalawe. Akibat adu domba tersebut, perang saudara pertama pun meletus. Ranggalawe akhirnya tewas di tangan Kebo Anabrang dalam sebuah pertempuran di Sungai Tambak Beras. Namun, Kebo Anabrang sendiri juga tewas karena dibunuh dari belakang oleh Lembu Sora, paman Ranggalawe.
Pada tahun 1300 Mahapati menghasut Mahisa Taruna putra Kebo Anabrang supaya menuntut pengadilan untuk Lembu Sora. Mengingat jasa-jasanya selama perjuangan mendirikan kerajaan, Lembu Sora hanya dihukum buang oleh Raden Wijaya, raja Majapahit saat itu. Mahapati ganti menghasut Sora supaya meminta hukuman yang lebih pantas. Sora pun berangkat ke ibu kota untuk meminta hukuman mati. Di sana ia tewas dikeroyok tentara istana, karena Nambi sudah lebih dahulu dihasut Mahapati, bahwa Sora akan datang untuk membuat onar.
Pada tahun 1316 Mahapati mengadu domba Nambi dengan Jayanagara, raja kedua Majapahit pengganti Raden Wijaya. Suatu ketika Nambi mengambil cuti karena ayahnya di Lamajang meninggal dunia. Mahapati datang melayat sambil menyarankan supaya ia memperpanjang cuti. Mahapati bersedia menyampaikan permohonan izin kepada raja. Akan tetapi, di hadapan Jayanagara, Mahapati justru mengabarkan bahwa Nambi tidak mau kembali ke Majapahit karena sedang mempersiapkan pemberontakan. Jayanagara marah dan mengirim pasukan untuk menghancurkan Lamajang. Nambi sekeluarga pun tewas. Mahapati kemudian diangkat sebagai patih baru sesuai dengan cita-citanya.
Pada tahun 1319 terjadi pemberontakan Ra Kuti. Pemberontakan ini berhasil ditumpas oleh seorang pegawai bhayangkari bernama Gajah Mada yang kemudian menjadi abdi kesayangan Jayanagara.
Setelah pemberontakan Ra Kuti, hubungan antara Jayanagara dengan Mahapati mulai renggang. Akhirnya, semua kejahatan yang pernah dilakukan Mahapati pun terbongkar. Ia kemudian dihukum mati dengan cara cineleng-celeng, artinya "dicincang seperti babi hutan".

Identifikasi dengan Dyah Halayudha

Tokoh Mahapati hanya ditemukan dalam naskah Pararaton dan Kidung Sorandaka. Istilah maha bermakna "besar", sedangkan pati bermakna "penguasa". Maksudnya ialah "orang yang memiliki ambisi besar untuk menjadi penguasa". Hal ini menunjukkan, nama Mahapati bukanlah nama asli, melainkan nama julukan.
Nama Mahapati tidak dijumpai dalam prasasti apa pun, sehingga diduga merupakan nama ciptaan pengarang Pararaton. Nagarakretagama yang juga berisi sejarah Kerajaan Majapahit hanya mengisahkan kematian Nambi secara singkat tanpa menjelaskan apa penyebabnya.
Pararaton mengisahkan Mahapati menjadi patih setelah kematian Nambi tahun 1316. Sejarawan Slamet Muljana menganggap Mahapati identik dengan Dyah Halayudha, yaitu nama patih Majapahit yang tertulis dalam prasasti Sidateka tahun 1323.
Apabila dugaan Slamet Muljana benar, maka tokoh Mahapati alias Halayudha bukan orang biasa, namun masih keluarga bangsawan. Hal ini dikarenakan gelar yang ia pakai adalah dyah yang setara dengan raden pada zaman berikutnya. Misalnya, pendiri Majapahit dalam Nagarakretagama disebut Dyah Wijaya sedangkan dalam Pararaton disebut Raden Wijaya. Sementara itu Nambi dan Sora yang dalam prasasti Sukamreta hanya bergelar mpu.
Dengan demikian dapat dipahami mengapa Halayudha sakit hati ketika Nambi dan Sora yang bukan dari golongan bangsawan namun memperoleh kedudukan tinggi, masing-masing sebagai patih Majapahit dan patih Daha. Ia pun melancarkan aksi fitnah dan adu domba sehingga satu per satu para pahlawan pendiri kerajaan tersingkir.
Pengarang Pararaton mungkin tidak mengenal nama asli tokoh licik yang menyingkirkan Ranggalawe, Sora, dan Nambi sehingga ia pun menyebutnya dengan nama Mahapati atau sang "penguasa besar".

Sumber
========================================================================

18. Dharmaputra

Dharmaputra adalah sebuah jabatan yang dibentuk oleh Raden Wijaya raja pertama Kerajaan Majapahit, yang beranggotakan tujuh orang, antara lain, Ra Kuti, Ra Semi, Ra Tanca, Ra Wedeng, Ra Yuyu, Ra Banyak, dan Ra Pangsa. Ketujuh orang ini semuanya tewas sebagai pemberontak pada masa pemerintahan raja kedua, yaitu Jayanagara.

abatan Dharmaputra

Adanya jabatan Dharmaputra diketahui dari naskah Pararaton. Jabatan ini tidak pernah dijumpai dalam sumber-sumber sejarah lainnya, baik itu Nagarakretagama ataupun prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh raja-raja Majapahit.
Tidak diketahui dengan pasti apa tugas dan wewenang Dharmaputra. Pararaton hanya menyebutkan bahwa para Dharmaputra disebut sebagai pengalasan wineh suka, yang artinya "pegawai istimewa yang disayangi raja". Mereka dikisahkan diangkat oleh Raden Wijaya dan tidak diketahui lagi keberadaannya setelah tahun 1328.

Pemberontakan Ra Semi

Kidung Sorandaka menyebutkan pada tahun 1316 ayah Patih Nambi yang bernama Pranaraja meninggal dunia di Lumajang. Tokoh Ra Semi ikut dalam rombongan pelayat dari Majapahit. Kemudian terjadi peristiwa tragis di mana Nambi difitnah melakukan pemberontakan oleh seorang tokoh licik bernama Mahapati. Raja Majapahit saat itu adalah Jayanagara putra Raden Wijaya. Karena terlanjur percaya kepada hasutan Mahapati, ia pun mengirim pasukan untuk menghukum Nambi.
Saat pasukan Majapahit datang menyerang, Ra Semi masih berada di Lamajang bersama anggota rombongan lainnya. Mau tidak mau ia pun bergabung membela Nambi. Akhirnya, Nambi dikisahkan terbunuh beserta seluruh pendukungnya, termasuk Ra Semi.
Pararaton menyebutkan pada tahun 1318 Ra Semi melakukan pemberontakan terhadap Majapahit. Berita ini cukup berbeda dengan naskah Kidung Sorandaka yang menyebutkan Ra Semi tewas membela Nambi tahun 1316.
Pararaton mengisahkan secara singkat pemberontakan Ra Semi terhadap pemerintahan Jayanagara. Pemberontakannya itu ia lakukan di daerah Lasem. Akhirnya pemberontakan kecil ini dapat ditumpas oleh pihak Majapahit di mana Ra Semi akhirnya tewas dibunuh di bawah pohon kapuk.

Pemberontakan Ra Kuti

Pararaton selanjutnya mengisahkan adanya pemberontakan para Dharmaputra yang dipimpin Ra Kuti pada tahun 1319. Pemberontakan ini terjadi langsung di ibu kota Majapahit dan jauh lebih berbahaya dibandingkan dengan pemberontakan Ra Semi. Meskipun demikian, Jayanagara sekeluarga berhasil melarikan diri dengan dikawal para prajurit bhayangkari yang dipimpin seorang bekel bernama Gajah Mada.
Setelah mengamankan rajanya di desa Badander, Gajah Mada kembali ke ibu kota untuk mencari dukungan. Ia mengumpulkan para pejabat di rumah tumenggung amancanegara (semacam wali kota) dan mengabarkan kalau Jayanagara telah meninggal di pengungsian. Para pejabat tampak menangis sedih. Setelah meyakini kalau pemberontakan Ra Kuti ternyata tidak mendapat dukungan rakyat, maka Gajah Mada pun memberi tahu keadaan yang sesungguhnya, bahwa raja masih hidup.
Akhirnya, dengan kerja sama yang baik antara Gajah Mada, para pejabat, dan segenap rakyat ibu kota, Ra Kuti dan komplotannya berhasil dimusnahkan. Ra Kuti merupakan perwira Majapahit yang berasal dari daerah Pajarakan sekarang Kabupaten Probolinggo.

Peristiwa Ra Tanca

Ra Tanca adalah satu-satunya Dharmaputra yang masih hidup setelah peristiwa pemberontakan Ra Kuti tahun 1319.
Dikisahkan pada tahun 1328 Ra Tanca menemui Gajah Mada untuk menyampaikan keluhan istrinya. Istri Ra Tanca mendengar berita bahwa Jayanagara melarang kedua adiknya, yaitu Dyah Gitarja dan Dyah Wiyat untuk menikah. Konon Jayanagara sendiri berniat mengawini kedua adiknya itu. Tanca meminta agar Gajah Mada, yang saat itu menjadi abdi kesayangan Jayanagara, supaya mengambil tindakan pencegahan. Namun Gajah Mada seolah tidak peduli pada laporan Ra Tanca. Hal ini membuat Ra Tanca merasa tersinggung.
Ra Tanca merupakan ahli pengobatan istana. Suatu hari ia dipanggil untuk mengobati sakit bisul yang diderita Jayanagara. Di dalam kamar raja hanya ada ia, Jayanagara, dan Gajah Mada. Usai melakukan terapi pembedahan, tiba-tiba Tanca menusuk Jayanagara sampai tewas. Seketika itu pula Gajah Mada ganti membunuh Tanca.
Perbuatan Gajah Mada membunuh Tanca tanpa pengadilan menimbulkan kecurigaan. Sejarawan Slamet Muljana menyimpulkan kalau dalang pembunuhan Jayanagara sesungguhnya adalah Gajah Mada sendiri.
Menurut Pararaton saat itu Gajah Mada sedang menjabat sebagai patih Daha, di mana rajanya adalah Dyah Wiyat. Meskipun ia dekat dengan Jayanagara, pastinya ia pun lebih dekat dengan Dyah Wiyat. Nampaknya Gajah Mada sengaja memancing amarah Tanca dengan pura-pura tidak peduli supaya Tanca sendiri yang mengambil tindakan. Siasat Gajah Mada ini berjalan baik. Tanca pun membunuh raja, dan kemudian langsung dibunuh oleh Gajah Mada seolah untuk menghilangkan jejak.
Dengan demikian, Gajah Mada telah berhasil menyelamatkan Dyah Wiyat dari nafsu buruk Jayanagara tanpa harus mengotori tangannya dengan darah raja tersebut.

Sumber
========================================================================

19. Odorico da Pordenone

Odorico da Pordenone (nama asli Odorico Mattiussi, atau Mattiuzzi) (Villanova, Pordenone, k.1286 - Udine, Friuli, 14 Januari 1331) adalah seorang pendeta Ordo Fransiskan dan penjelajah terkenal Abad Pertengahan. Selain merupakan referensi bagi para penjelajah selanjutnya, catatan perjalanannya juga menggambarkan kesederhanaan, kegigihan dan tekadnya dalam menjalankan kegiatan misionaris.
Perjalanan Odorico ke Timur dimulai sekitar tahun 1316-1318 dari Venesia, kemudian melalui Konstantinopel, Jazirah Turki dan Iran menuju Hormuz di Teluk Persia. Dari Hormuz perjalanan dilanjutkan dengan berlayar, dan berturut-turut menyinggahi berbagai pelabuhan di Mumbai, Malabar, Srilangka, Madras, Sumatera, Jawa, pantai Kalimantan, Champa, dan akhirnya Guangzhou.
Sekitar tahun 1324-1327, Odorico tinggal di Cina yang saat itu di bawah kekuasaan Dinasti Yuan, untuk menjalankan tugas misionarisnya. Ia kemudian melakukan perjalanan pulang melalui jalan darat, rutenya diperkirakan melewati Mongolia, Tibet, Persia utara, dan Tabriz di perbatasan Iran dan Armenia.
Atas tugas-tugas misionarisnya, ia dijuluki "Rasul bagi Bangsa Cina". Dalam perjalanan ketika hendak melapor kepada Paus di Avignon, Odorico jatuh sakit di Pisa. Ia kemudian kembali ke Udine dan meninggal di sana tahun 1331. Pada bulan Juli tahun 1755, Odorico dibeatifikasi oleh Paus Benediktus XIV.



Sumber

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright @ 2013 PEJUANG ISLAM.