Minggu, 19 Januari 2014

Filled Under:

Kerajaan Singhasari 4

Ekspedisi Pamalayu

Model kapal tahun 800-an Masehi yang terdapat pada candi Borobudur.

Ekspedisi Pamalayu adalah sebuah diplomasi melalui operasi kewibawaan militer[1] yang dilakukan Kerajaan Singhasari dibawah perintah Raja Kertanagara pada tahun 12751293 terhadap Kerajaan Melayu di Dharmasraya di Pulau Sumatera.

Latar belakang

Kertanagara menjadi raja Singhasari sejak tahun 1268. Berbeda dengan raja-raja sebelumnya, ia berniat memperluas daerah kekuasaan sampai ke luar Pulau Jawa. Gagasan tersebut dimulai tahun 1275 dengan pengiriman pasukan di bawah pimpinan Kebo Anabrang untuk menaklukan bhumi malayu.
Nagarakretagama[2] mengisahkan bahwa tujuan Ekspedisi Pamalayu sebenarnya untuk menundukkan Swarnnabhumi secara baik-baik. Namun, tujuan tersebut mengalami perubahan karena raja Swarnnabhumi ternyata melakukan perlawanan. Meskipun demikian, pasukan Singhasari tetap berhasil memperoleh kemenangan.
Menurut analisis para sejarawan, latar belakang pengiriman Ekspedisi Pamalayu adalah untuk membendung serbuan bangsa Mongol. Saat itu kekuasaan Kubilai Khan raja Mongol (atau Dinasti Yuan) sedang mengancam wilayah Asia Tenggara. Untuk itu, Kertanagara mencoba mendahuluinya dengan menguasai Sumatera sebelum datang serbuan dari pihak asing tersebut. Namun ada juga pendapat lain mengatakan bahwa tujuan dari ekspedisi ini adalah untuk menggalang kekuatan di Nusantara dibawah satu komando Singhasari yang bertujuan untuk menahan kemungkinan serangan dari Mongol.

Sasaran ekspedisi

Beberapa literatur menyebut sasaran Ekspedisi Pamalayu adalah untuk menguasai negeri Melayu sebagai batu loncatan untuk menaklukkan Sriwijaya. Dengan demikian, posisi Sriwijaya sebagai penguasa Asia Tenggara dapat diperlemah. Namun pendapat ini kurang tepat karena pada saat itu kerajaan Sriwijaya sudah musnah. Nagarakretagama yang ditulis tahun 1365 juga tidak pernah menyebutkan adanya negeri bernama Sriwijaya lagi, tetapi melainkan bernama Palembang. Itu artinya pada zaman tersebut, nama Sriwijaya sudah tidak dikenal lagi.
Catatan dari Dinasti Ming memang menyebutkan bahwa pada tahun 1377 tentara Jawa menghancurkan pemberontakan San-fo-tsi. Meskipun demikian, istilah San-fo-tsi tidak harus bermakna Sriwijaya. Dalam catatan Dinasti Song istilah San-fo-tsi memang identik dengan Sriwijaya, namun dalam naskah Chu-fan-chi yang ditulis tahun 1225, istilah San-fo-tsi identik dengan Dharmasraya. Dengan kata lain, San-fo-tsi adalah sebutan bangsa Cina untuk pulau Sumatera, sebagaimana mereka menyebut Jawa dengan istilah Cho-po.
Jadi, sasaran Ekspedisi Pamalayu adalah inspeksi pada Kerajaan Melayu karena dalam Nagarakretagama telah disebutkan bahwa kerajaan wilayah Melayu merupakan daerah bawahan di antara sekian banyak daerah jajahan Majapahit, dimana penyebutan Malayu tersebut dirujuk kepada beberapa negeri yang ada di pulau Sumatera dan Semenanjung Malaya.
Sketsa dari kapal zaman era Majapahit.lihat: Kidung Sunda[3]

Dharmasraya pengganti Sriwijaya

Istilah Pamalayu dapat bermakna “perang melawan Malayu”[rujukan?] atau kalau alih dari bahasa Sanskrit berarti "tidak melepaskan Malayu".[Note 1] Hal ini terjadi karena kawasan Melayu yang sebelumnya berada dibawah kekuasaan Sriwijaya sebagaimana tersebut pada Prasasti Kedukan Bukit yang beraksara tahun 682 Dan kemudian munculnya Dharmasraya mengantikan peran Sriwijaya sebagai penguasa pulau Sumatera dan Semenanjung Malaya, seiring dengan melemahnya pengaruh Sriwijaya setelah serangan pasukan Rajendra Chola dari Koromandel, India sekitar tahun 1025, dimana dari Prasasti Tanyore menyebutkan bahwa serangan tersebut berhasil menaklukan dan menawan raja dari Sriwijaya.
Kebangkitan kembali Kerajaan Melayu di bawah pimpinan Srimat Trailokyabhusana Mauli Warmadewa sebagaimana yang tertulis dalam Prasasti Grahi tahun 1183[4].

Sebuah model kapal zaman era tahun 800-an Masehi.(berdasarkan relief yang terdapat pada candi Borobudur)

Pengiriman Arca Amoghapasa

Setelah kerajaan Melayu di Dharmasraya dengan rajanya waktu itu Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa takluk dan menjadi daerah bawahan, maka pada tahun 1286 Kertanagara mengirim Arca Amoghapasa untuk ditempatkan di Dharmasraya[5]. Prasasti Padangroco, tempat dipahatkannya Arca Amoghapasa menyebutkan bahwa arca tersebut adalah hadiah persahabatan dari Maharajadhiraja Kertanagara untuk Maharaja Tribhuwanaraja. Sehingga jika ditinjau dari gelar yang dipakai, terlihat kalau Singhasari telah menjadi atasan Dharmasraya.
Prasasti Padangroco juga menyebutkan bahwa arca Amoghapasa diberangkatkan dari Jawa menuju Sumatera dengan diiringgi beberapa pejabat penting Singhasari di antaranya ialah Rakryan Mahamantri Dyah Adwayabrahma, Rakryan Sirikan Dyah Sugatabrahma, Payaman Hyang Dipangkaradasa, dan Rakryan Demung Mpu Wira.
Setelah penyerahkan arca tersebut, Raja Melayu kemudian menghadiahkan dua putrinya, Dara Jingga dan Dara Petak, untuk dinikahkan dengan Kertanagara di Singhasari.

Arca Amoghapasa, Koleksi Musium Nasional di Jakarta

Kembali ke Jawa

Pararaton[6] menyebutkan bahwa pasukan Pamalayu yang berangkat tahun 1275 akhirnya pulang ke Jawa sepuluh hari setelah kepergian bangsa Mongol tahun 1294[7].
Menurut catatan Dinasti Yuan, Kaisar Khubilai Khan mengirim pasukan Mongol untuk menyerang kerajaan Singhasari tahun 1292. Namun, Singhasari ternyata sudah runtuh akibat pemberontakan Jayakatwang. Pasukan Mongol kemudian bekerja sama dengan Raden Wijaya penguasa Majapahit untuk menghancurkan Jayakatwang.
Sesudah itu, Raden Wijaya ganti mengusir pasukan Mongol dari Pulau Jawa. Kepergian pasukan yang dipimpin Ike Mese itu terjadi pada tanggal 23 April 1293. Jadi, pemberitaan Pararaton meleset satu tahun. Dengan demikian, kepulangan pasukan Pamalayu tiba di Jawa sekitar tanggal 3 Mei 1293.
Dan selanjutnya kedua orang putri Melayu tersebut, Raden Wijaya sebagai ahli waris Kertanagara mengambil Dara Petak sebagai istri, dan menyerahkan Dara Jingga kepada seorang dewa. Dimana dari Dara Petak lahirlah nantinya Jayanagara raja Majapahit penganti Raden Wijaya.
Sedangkan Dara Jingga kemudian melahirkan seorang anak laki-laki bernama Tuhanku Janaka atau Mantrolot Warmadewa yang identik dengan Adityawarman[8], yang kemudian hari menjadi raja di Malayapura. Adityawarman sendiri mengaku sebagai putra Adwayawarman. Nama ini mirip dengan salah satu nama pengawal yang mengantar arca Amoghapasa sebelumnya, yaitu Adwayabrahma yang menjabat sebagai Rakryan Mahamantri. Jabatan ini merupakan jabatan tingkat tinggi dalam pemerintahan Singhasari. Mungkin istilah dewa dalam Pararaton merujuk kepada jabatan ini.
Namun ada pendapat lain terutama dari Prof. Uli Kozok yang mengatakan bahwa anak dari Dara Jingga tersebut adalah yang bernama Akarendrawarman.

Sisa pasukan Pamalayu

Menurut sumber dari Batak, pasukan Pamalayu dipimpin oleh Indrawarman, bukan Kebo Anabrang. Tokoh Indrawarman ini tidak pernah kembali ke Jawa, melainkan menetap di Sumatra dan menolak kekuasaan Majapahit sebagai kelanjutan dari Singhasari. Mungkin, Indrawarman bukan komandan Pamalayu, melainkan wakilnya. Jadi, ketika Kebo Anabrang kembali ke Jawa, ia tidak membawa semua pasukan, tetapi meninggalkan sebagian di bawah pimpinan Indrawarman untuk menjaga keamanan Sumatra. Nama Indrawarman inilah yang tercatat dalam ingatan masyarakat Batak[7].
Dikisahkan bahwa Indrawarman bermarkas di tepi Sungai Asahan. Ia menolak mengakui kedaulatan Majapahit yang didirikan oleh Raden Wijaya sebagai ahli waris Kertanagara. Namun, ia juga tidak mampu mempertahankan daerah Kuntu–Kampar yang direbut oleh Kesultanan Aru–Barumun pada tahun 1299. Indrawarman takut apabila kerajaan Majapahit datang untuk meminta pertanggungjawabannya. Ia pun meninggalkan daerah Asahan untuk membangun kerajaan bernama Silo di daerah Simalungun. Pada tahun 1339 datang pasukan Majapahit di bawah pimpinan Adityawarman menghancurkan kerajaan ini.

Kepustakaan

  1. ^ dalam Kidung Panji Wijayakrama diseebutkan bahwa nama utusan Ekspedisi Pamalayu tersebut, yaitu Mahisa Anabrang yang mempunyai arti ialah “kerbau yang menyeberang”
  1. ^ Reid, Anthony (2001). "Understanding Melayu (Malay) as a Source of Diverse Modern Identities". Journal of Southeast Asian Studies 32 (3): 295–313. doi:10.1017/S0022463401000157.
  2. ^ Muljana, Slamet, (2006), Tafsir Sejarah Nagarakretagama, Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara, ISBN 979-25-5254-5.
  3. ^ C.C. (1927) Kidung Sunda.">Berg, C.C. 1927. Kidung Sunda. Inleiding, tekst, vertaling en aanteekeningen. ‘s Grav., BKI.
  4. ^ Muljana, Slamet, (2006), Sriwijaya, Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara, ISBN 979-8451-62-7.
  5. ^ Andaya, Leonard Y. (2001). "The Search for the ‘Origins’ of Melayu". Journal of Southeast Asian Studies 32 (3): 315–330. doi:10.1017/S0022463401000169.
  6. ^ Mangkudimedja, R.M., (1979), Serat Pararaton, Jilid 2, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.
  7. ^ a b Muljana, Slamet, (2005), Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara, Yogyakarta: LKiS, ISBN 979-98451-16-3.
  8. ^ Berg, C.C., (1985), Penulisan Sejarah Jawa, (terj.), Jakarta: Bhratara.


Sumber

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright @ 2013 PEJUANG ISLAM.