Minggu, 19 Januari 2014

Filled Under:

Tokoh dan Raja Majapahit 5

14. Nambi

Mpu Nambi (lahir: ? - wafat: Lamajang, 1316) adalah pemegang jabatan rakryan patih pertama dalam sejarah Kerajaan Majapahit. Ia ikut berjuang mendirikan kerajaan tersebut namun kemudian gugur sebagai korban fitnah pada pemerintahan raja kedua.
Pararaton dan Kidung Harsa Wijaya menceritakan bahwa Nambi adalah putra Arya Wiraraja. Di lain pihak Kidung Harsa Wijaya dan Kidung Sorandaka menceritakan bahwa Nambi adalah putra Pranaraja. Terjadi perdebatan panjang dimana Slamet Muljana menyatakan bahwa Nambi adalah putra Pranaraja sedang Ronggolawe adalah putra Arya Wiraraja. Namun dalam analisa terbarunya [[Mansur Hidayat]] mengemukakan pendapatnya bahwa Nambidan Ronggolawe dimungkinkan adalah putra Arya Wiraraja.

Peran Awal

Pararaton dan Kidung Panji Wijayakrama menyebut Nambi sebagai salah satu abdi Raden Wijaya yang ikut mengungsi ke tempat Arya Wiraraja di Songeneb (nama lama Sumenep) ketika Kerajaan Singasari runtuh diserang pasukan Jayakatwang tahun 1292. Sedangkan menurut Kidung Harsawijaya, Nambi adalah putra Arya Wiraraja yang baru kenal Raden Wijaya di Songeneb.
Pararaton mengatakan bahwa Nambi adalah seorang putra Arya Wiraraja yang telah menjadi sahabat Raden Wijaya sejak menjadi salah salatu panglima di Singhasari. Kidung Harsawijaya mengisahkan pula, Nambi kemudian dikirim ayahnya untuk membantu Raden Wijaya membuka Hutan Terik menjadi sebuah desa pemukiman bernama Majapahit. Kisah ini berlawanan dengan Kidung Panji Wijayakrama dan Kidung Ranggalawe yang menyebut nama putra yang dikirim Arya Wiraraja adalah Ranggalawe, bukan Nambi.
Pararaton selanjutnya mengisahkan, pada saat Raden Wijaya menyerang Kadiri pada tahun 1293, Nambi ikut berjasa membunuh seorang pengikut Jayakatwang yang bernama Kebo Rubuh. Dalam berbagai medan perjuangan, Nambi diceritakan orang yang mempunai kecerdikan administrasi dan intelektual sehingga di masa Majapahit berdiri ia dipercaya menjadi seorang Maha Patih pertama kerajaan ini.

Jabatan yang Disandang

Pararaton mengisahkan setelah kekalahan Jayakatwang tahun 1293, Raden Wijaya mendirikan Kerajaan Majapahit dan mengangkat diri menjadi raja. Jabatan patih atau semacam perdana menteri diserahkan kepada Nambi. Berita ini diperkuat oleh prasasti Sukamerta tahun 1296 yang memuat daftar nama para pejabat Majapahit, antara lain Rakryan Patih Mpu Tambi.
Menurut Kidung Panji Wijayakrama dan Kidung Ranggalawe, pengangkatan Nambi inilah yang memicu terjadinya pemberontakan Ranggalawe di Tuban tahun 1295. Ranggalawe merasa tidak puas atas keputusan tersebut karena Nambi dianggap kurang berjasa dalam peperangan. Atas izin Raden Wijaya, Nambi berangkat memimpin pasukan Majapahit menyerang Tuban. Dalam perang itu, Ranggalawe mati di tangan Kebo Anabrang.
Menurut [[Mansur Hidayat]], penulis sejarah , Arya Wiraraja dan Lamajang Tigang Juru ini, Nambi adalah salah seoarang putra Arya Wiraraja yang tetap ikut berperan di dalam intern kerajaan Majapahit. Pengangkatannya sebagai Maha Patih tidak disetujui oleh saudaranya sendiri yaitu Ranggalawe yang menginginkan Sora yang merupakan paman dari pihak ibu menjadi Patih karena dinilai punya keberanian. Akibat perang Ranggalawe ini, Ranggalawe yang merupakan seoarang putra kesayangan Arya Wiraraja gugur , sehingga menjadikan aahnya bersedih dan sangat marah. Arya Wiraraja kemudian membangun ibu kota berbenteng yang kemudian dikenal dengan nama Arnon atau Kuto Renon ang dalam bahasa Jawa kuno adalah "Kuto artinya kota berbenteng" dan "Renon atau Renu artinya marah". Jadi Kutorenon sendiri berarti sebuah ibu kota berbenteng ang dibangun karena marah. Akibat kejadian ini Nambi pun tidak diterima oleh Arya Wiraraja sampai masa sakitnya pada tahun 1314 Masehi.
Di dalam pemerintahan Majapahit sendiri, Mpu Nambi adalah salah seorang pendukung setia Wangsa Rajasa, sehingga ketika Prabu Jayanagara naik tahta dan menyingkirkan Tribuwana Tunggadewi, Mpu Nambilah yang berada di garda depan untuk menentangnya. Hal inilah yang membuat hubungan kedua petinggi Majapahit itu menjadi renggang dan kemudian dimanfaatkan oleh seorang tokoh bernama Mahapati.

Mati Karena Fitnah

Kematian Nambi terjadi pada tahun 1316. Kisahnya disinggung dalam Nagarakretagama dan Pararaton, serta diuraikan panjang lebar dalam Kidung Sorandaka.ja
Dikisahkan pada masa pemerintahan Jayanagara (1309-1328) putra Raden Wijaya, Nambi masih menjabat sebagai patih. Saat itu ada tokoh licik bernama Mahapati yang mengincar jabatannya. Ia selalu berusaha menciptakan ketegangan di antara Jayanagara dan Nambi.
Suatu hari terdengar berita bahwa ayah Nambi sakit keras. Nambi pun mengambil cuti untuk pulang ke Lamajang (nama lama Lumajang). Sesampai di sana, ayahnya telah meninggal. Mahapati datang melayat menyampaikan ucapan duka cita dari raja. Ia juga menyarankan agar Nambi memperpanjang cutinya. Nambi setuju. Mahapati lalu kembali ke ibu kota untuk menyampaikan permohonan izinnya.
Akan tetapi dihadapan raja, Mahapati menyampaikan berita bohong bahwa Nambi menolak untuk kembali ke ibu kota karena sedang mempersiapkan pemberontakan. Jayanagara termakan hasutan tersebut. Ia pun mengirim pasukan dipimpin Mahapati untuk menumpas Nambi.
Nambi tidak menduga datangnya serangan mendadak. Ia pun membangun benteng pertahanan di [Gending] dan [Pejarakan]. Namun keduanya dapat dihancurkan oleh pasukan Majapahit. Akhirnya Nambi sekeluarga pun tewas pula dalam peperangan itu. Babad Pararaton menceritakan kejatuhan Lamajang pada tahun saka "Naganahut-wulan" (Naga mengigit bulan) dan dalam Babad Negara Kertagama disebutkan tahun "Muktigunapaksarupa" yang keduanya menujukkan angka tahun 1238 Saka atau 1316 Masehi.
Pararaton mengisahkan Nambi mati dalam benteng pertahanannya di desa Rabut Buhayabang, karena dikeroyok oleh Jabung Tarewes, Lembu Peteng, dan Ikal-Ikalan Bang. Sedangkan menurut Nagarakretagama yang memimpin penumpasan Nambi bukan Mahapati, melainkan langsung oleh Jayanagara sendiri. Jatuhnya Lamajang ini kemudian membuat kota-kota pelabuhannya seperti Sadeng dan Patukangan melakukan perlawanan yang kemudian dikenal sebagai "Pasadeng" atau perang sadeng dan ketha pada tahun 1331 masehi.
Tentang meninggalnya Mpu Nambi sendiri, ada 2 pendapat yang sama kuatnya, dimana pertama Nambi meninggal di daerah bernama Randu Agung karena ada sebuah situs bernama Candi Agung yang dipercaya maysarakat sebagai tempat perabuan Nambi. Kedua adalah di ibu kota Arnon sendiri dimana perang Lamajang ang terakhir berlangsung di ibu kota dan Mpu Nambi bertahan habis-habisan sampai titik darah penghabisan. Dalam penelitian J. Mageman diberitakan bahwa di Situs Biting terdapat komplek percandian raja-raja Lamajang.

Nama Ayah

Nama ayah Nambi menurut Pararaton dan Kidung Harsawijaya adalah Arya Wiraraja, sedangkan dalam Kidung Sorandaka adalah Pranaraja. hal ini menimbulkan pendapat bahwa Pranaraja adalah nama lain Arya Wiraraja.
Pendapat tersebut tidak sesuai dengan naskah prasasti Kudadu tahun 1294 yang menyebut Arya Wiraraja dan Pranaraja sebagai dua orang tokoh yang berbeda. Keduanya sama-sama menjabat sebagai pasangguhan, di mana masing-masing bergelar Rakryan Mantri Arya Wiraraja Makapramuka dan Rakryan Mantri Pranaraja Mpu Sina.
Selain itu, Kidung Panji Wijayakrama dan Kidung Ranggalawe menyebut Arya Wiraraja adalah ayah dari Ranggalawe (alias Arya Adikara), yaitu saingan politik Nambi. Versi ini diperkuat oleh prasasti Kudadu (1294) yang menyebut adanya nama Arya Adikara dan Arya Wiraraja dalam daftar pejabat Majapahit, namun keduanya tidak ditemukan lagi dalam prasasti Sukamerta (1296), sedangkan nama Pranaraja Mpu Sina masih dijumpai.
Alasan yang bisa diajukan ialah, setelah kematian Ranggalawe tahun 1295, Arya Wiraraja merasa sakit hati dan mengundurkan diri dari jabatannya sebagai pasangguhan. Ia kemudian mendapatkan daerah Lamajang sesuai janji Raden Wijaya pada masa perjuangan. Adapun Pranaraja Mpu Sina diperkirakan juga berasal dari Lamajang. Sesudah pensiun, ia kembali ke daerah itu sampai akhir hayatnya pada tahun 1316.ang di daerah tempat kekuasaan Arya Wiraraja yang merupakan ayahnya.
Menurut [[Mansur Hidayat]], seoarang penulis buku Arya wiraraja dan Lamajang Tigang Juru, Namnbi dan Ronggolawe adalah sama-sama anak Arya Wiraraja karena sumber-sumber yang diceritakan sama-sama kuat. Contoh, bahwa Nambi adalah putra Arya Wirarakj karena ketika Arya Wiraraja sakit Nambi menjenguknya dan mengambil cuti dan kemudian juga berperang mempertahankan kerajaan ayahnya Lamajang Tigang Kuru.

Sumber
========================================================================

15. Ranggalawe

Ranggalawe atau Rangga Lawe (lahir: ? - wafat: 1295) adalah salah satu pengikut Raden Wijaya yang berjasa besar dalam perjuangan mendirikan Kerajaan Majapahit, namun meninggal sebagai pemberontak pertama dalam sejarah kerajaan ini. Nama besarnya dikenang sebagai pahlawan oleh masyarakat Tuban sampai saat ini.

Peran awal

Kidung Panji Wijayakrama dan Kidung Ranggalawe menyebut Ranggalawe sebagai putra Arya Wiraraja bupati Songeneb (nama lama Sumenep). Ia sendiri bertempat tinggal di Tanjung, yang terletak di Pulau Madura sebelah barat.
Pada tahun 1292 Ranggalawe dikirim ayahnya untuk membantu Raden Wijaya membuka Hutan Tarik (di sebelah barat Tarik, Sidoarjo sekarang) menjadi sebuah desa pemukiman bernama Majapahit. Konon, nama Rangga Lawe sendiri merupakan pemberian Raden Wijaya karena berkaitan dengan penyediaan 27 ekor kuda dari Sumbawa sebagai kendaraan perang Raden Wijaya dan para pengikutnya dalam perang melawan Jayakatwang raja Kadiri atau juga mempunyai arti rangga berarti ksatria / pegawai kerajaan dan Lawe merupakan sinonim dari wenang, yang berarti "benang",[1] atau dapat juga bermakna "kekuasaan" atau kemenangan. dan Ranggalawe kemudian diberi kekuasaan oleh Raden Wijaya untuk memimpin pembukaan hutan tersebut.
Penyerangan terhadap ibu kota Kadiri oleh gabungan pasukan Majapahit dan Mongol terjadi pada tahun 1293. Ranggalawe berada dalam pasukan yang menggempur benteng timur kota Kadiri. ia berhasil menewaskan pemimpin benteng tersebut yang bernama Sagara Winotan.

Jabatan di Majapahit

Setelah Kadiri runtuh, Raden Wijaya menjadi raja pertama Kerajaan Majapahit. Menurut Kidung Ranggalawe, atas jasa-jasanya dalam perjuangan Ranggalawe diangkat sebagai bupati Tuban yang merupakan pelabuhan utama Jawa Timur saat itu.
Prasasti Kudadu tahun 1294 yang memuat daftar nama para pejabat Majapahit pada awal berdirinya, ternyata tidak mencantumkan nama Ranggalawe. Yang ada ialah nama Arya Adikara dan Arya Wiraraja. Menurut Pararaton, Arya Adikara adalah nama lain Arya Wiraraja. Namun prasasti Kudadu menyebut dengan jelas bahwa keduanya adalah nama dua orang tokoh yang berbeda.
Sejarawan Slamet Muljana mengidentifikasi Arya Adikara sebagai nama lain Ranggalawe. Dalam tradisi Jawa ada istilah nunggak semi, yaitu nama ayah kemudian dipakai anak. Jadi, nama Arya Adikara yang merupakan nama lain Arya Wiraraja, kemudian dipakai sebagai nama gelar Ranggalawe ketika dirinya diangkat sebagai pejabat Majapahit.
Dalam prasasti Kudadu, ayah dan anak tersebut sama-sama menjabat sebagai pasangguhan, yang keduanya masing-masing bergelar Rakryan Mantri Arya Wiraraja Makapramuka dan Rakryan Mantri Dwipantara Arya Adikara.

Tahun pemberontakan

Pararaton menyebut pemberontakan Ranggalawe terjadi pada tahun 1295, namun dikisahkan sesudah kematian Raden Wijaya. Menurut naskah ini, pemberontakan tersebut bersamaan dengan Jayanagara naik takhta.
Menurut Nagarakretagama, Raden Wijaya meninggal dunia dan digantikan kedudukannya oleh Jayanagara terjadi pada tahun 1309.[2] Akibatnya, sebagian sejarawan berpendapat bahwa pemberontakan Ranggalawe terjadi pada tahun 1309, bukan 1295. Seolah-olah pengarang Pararaton melakukan kesalahan dalam penyebutan angka tahun.
Namun Nagarakretagama juga mengisahkan bahwa pada tahun 1295 Jayanagara diangkat sebagai yuwaraja atau "raja muda" di istana Daha. Selain itu Kidung Panji Wijayakrama dan Kidung Ranggalawe dengan jelas menceritakan bahwa pemberontakan Ranggalawe terjadi pada masa pemerintahan Raden Wijaya, bukan Jayanagara.
Fakta lain menunjukkan, nama Arya Wiraraja dan Arya Adikara sama-sama terdapat dalam prasasti Kudadu tahun 1294, namun kemudian keduanya sama-sama tidak terdapat lagi dalam prasasti Sukamreta tahun 1296. Ini pertanda bahwa Arya Adikara alias Ranggalawe kemungkinan besar memang meninggal pada tahun 1295, sedangkan Arya Wiraraja diduga mengundurkan diri dari pemerintahan setelah kematian anaknya itu.
Jadi, kematian Ranggalawe terjadi pada tahun 1295 bertepatan dengan pengangkatan Jayanagara putra Raden Wijaya sebagai raja muda. Dalam hal ini pengarang Pararaton tidak melakukan kesalahan dalam menyebut tahun, hanya saja salah menempatkan pembahasan peristiwa tersebut.
Sementara itu Nagarakretagama yang dalam banyak hal memiliki data lebih akurat dibanding Pararaton sama sekali tidak membahas pemberontakan Ranggalawe. Hal ini dapat dimaklumi karena naskah ini merupakan sastra pujian sehingga penulisnya, yaitu Mpu Prapanca merasa tidak perlu menceritakan pemberontakan seorang pahlawan yang dianggapnya sebagai aib.

Jalannya pertempuran

Pararaton mengisahkan Ranggalawe memberontak terhadap Kerajaan Majapahit karena dihasut seorang pejabat licik bernama Mahapati. Kisah yang lebih panjang terdapat dalam Kidung Panji Wijayakrama dan Kidung Ranggalawe.
Pemberontakan tersebut dipicu oleh ketidakpuasan Ranggalawe atas pengangkatan Nambi sebagai rakryan patih. Menurut Ranggalawe, jabatan patih sebaiknya diserahkan kepada Lembu Sora yang dinilainya jauh lebih berjasa dalam perjuangan daripada Nambi.
Ranggalawe yang bersifat pemberani dan emosional suatu hari menghadap Raden Wijaya di ibu kota dan langsung menuntut agar kedudukan Nambi digantikan Sora. Namun Sora sama sekali tidak menyetujui hal itu dan tetap mendukung Nambi sebagai patih.
Karena tuntutannya tidak dihiraukan, Ranggalawe membuat kekacauan di halaman istana. Sora keluar menasihati Ranggalawe, yang merupakan keponakannya sendiri, untuk meminta maaf kepada raja. Namun Ranggalawe memilih pulang ke Tuban.
Mahapati yang licik ganti menghasut Nambi dengan melaporkan bahwa Ranggalawe sedang menyusun pemberontakan di Tuban. Maka atas izin raja, Nambi berangkat memimpin pasukan Majapahit didampingi Lembu Sora dan Kebo Anabrang untuk menghukum Ranggalawe.
Mendengar datangnya serangan, Ranggalawe segera menyiapkan pasukannya. Ia menghadang pasukan Majapahit di dekat Sungai Tambak Beras. Perang pun terjadi di sana. Ranggalawe bertanding melawan Kebo Anabrang di dalam sungai. Kebo Anabrang yang pandai berenang akhirnya berhasil membunuh Ranggalawe secara kejam.
Melihat keponakannya disiksa sampai mati, Lembu Sora merasa tidak tahan. Ia pun membunuh Kebo Anabrang dari belakang. Pembunuhan terhadap rekan inilah yang kelak menjadi penyebab kematian Sora pada tahun 1300.

Silsilah Ranggalawe

Kidung Ranggalawe dan Kidung Panji Wijayakrama menyebut Ranggalawe memiliki dua orang istri bernama Martaraga dan Tirtawati. Mertuanya adalah gurunya sendiri, bernama Ki Ajar Pelandongan. Dari Martaraga lahir seorang putra bernama Kuda Anjampiani.
Kedua naskah di atas menyebut ayah Ranggalawe adalah Arya Wiraraja. Sementara itu, Pararaton menyebut Arya Wiraraja adalah ayah Nambi. Kidung Harsawijaya juga menyebutkan kalau putra Wiraraja yang dikirim untuk membantu pembukaan Hutan Tarik adalah Nambi, sedangkan Ranggalawe adalah perwira Kerajaan Singhasari yang kemudian menjadi patih pertama Majapahit.
Uraian Kidung Harsawijaya terbukti salah karena berdasarkan prasasti Sukamreta tahun 1296 diketahui nama patih pertama Majapahit adalah Nambi, bukan Ranggalawe.
Nama ayah Nambi menurut Kidung Sorandaka adalah Pranaraja. Sejarawan Dr. Brandes menganggap Pranaraja dan Wiraraja adalah orang yang sama. Namun, menurut Slamet Muljana keduanya sama-sama disebut dalam prasasti Kudadu sebagai dua orang tokoh yang berbeda.
Menurut Slamet Muljana, Nambi adalah putra Pranaraja, sedangkan Ranggalawe adalah putra Wiraraja. Hal ini ditandai dengan kemunculan nama Arya Wiraraja dan Arya Adikara dalam prasasti Kudadu, dan keduanya sama-sama menghilang dalam prasasti Sukamreta sebagaimana disinggung sebelumnya.

Versi dongeng

Nama besar Ranggalawe rupanya melekat dalam ingatan masyarakat Jawa. Penulis Serat Damarwulan atau Serat Kanda, mengenal adanya nama Ranggalawe namun tidak mengetahui dengan pasti bagaimana kisah hidupnya. Maka, ia pun menempatkan tokoh Ranggalawe hidup sezaman dengan Damarwulan dan Menak Jingga. Damarwulan sendiri merupakan tokoh fiksi, karena kisahnya tidak sesuai dengan bukti-bukti sejarah, serta tidak memiliki prasasti pendukung.
Dalam versi dongeng ini, Ranggalawe dikisahkan sebagai adipati Tuban yang juga merangkap sebagai panglima angkatan perang Majapahit pada masa pemerintahan Ratu Kencanawungu. Ketika Majapahit diserang oleh Menak Jingga adipati Blambangan, Ranggalawe ditugasi untuk menghadangnya. Dalam perang tersebut, Menak Jingga tidak mampu membunuh Ranggalawe karena selalu terlindung oleh payung pusakanya. Maka, Menak Jingga pun terlebih dulu membunuh abdi pemegang payung Ranggalawe yang bernama Wongsopati. Baru kemudian, Ranggalawe dapat ditewaskan oleh Menak Jingga.
Tokoh Ranggalawe dalam kisah ini memiliki dua orang putra, bernama Siralawe dan Buntarlawe, yang masing-masing kemudian menjadi bupati di Tuban dan Bojonegoro.

Referensi

  1. ^ dalam Kidung Panji Wijayakrama, Kidung Sorandaka dan Prasasti Penanggungan disebutkan mengenai nama Rangga Lawe putra Arya Wiraraja merupakan nama hadiah dari Narrya Sanggramawijaya atau secara umum disebut dengan Raden Wijaya
  2. ^ Terjemahan Lengkap Naskah Kakawin Nagarakretagama, dari situs sejarahnasional.org


Sumber

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright @ 2013 PEJUANG ISLAM.