Minggu, 19 Januari 2014

Filled Under:

Tokoh dan Raja Majapahit 3

8. Mahisa Anabrang

Mahisa Anabrang atau Kebo Anabrang atau Lembu Anabrang (lahir: ? – wafat: 1295) adalah nama seorang perwira Kerajaan Singhasari yang menjadi komandan Ekspedisi Pamalayu tahun 12751293.

Komandan Pamalayu

Pada tahun 1275 Kertanagara raja Singhasari, mengirimkan utusan untuk menjalin persahabatan dengan Kerajaan Dharmasraya di Sumatera. Pengiriman utusan ini terkenal dengan sebutan Ekspedisi Pamalayu. Baik Nagarakretagama ataupun Pararaton sama sekali tidak menyebutkan siapa nama utusan ekspedisi ini.
Kidung Panji Wijayakrama menyebutkan nama utusan Ekspedisi Pamalayu tersebut, yaitu Mahisa Anabrang, yang artinya ialah “kerbau yang menyeberang”. Terdapat kemungkinan bahwa ini bukan nama asli, atau pengarang kidung tersebut juga tidak mengetahui dengan pasti siapa nama asli sang komandan.
Ekspedisi Pamalayu yang dipimpin Mahisa Anabrang memperoleh keberhasilan. Nagarakretagama mencatat Melayu masuk ke dalam daftar jajahan Singhasari selain Bali, Pahang, Gurun, dan Bakulapura. Utusan Pamalayu kembali ke Jawa tahun 1293 dengan membawa dua orang putri bernama Dara Jingga dan Dara Petak, semula untuk dijodohkan dengan Kertanagara. Namun Kertanagara telah tewas setahun sebelumnya akibat pemberontakan Jayakatwang. Menantu Kertanagara yang bernama Raden Wijaya telah berhasil mengalahkan Jayakatwang dan mendirikan Kerajaan Majapahit, sehingga ia yang menerima perjodohan tersebut.

Gugur dalam tugas

Pada tahun 1295 terjadi pemberontakan pertama terhadap Kerajaan Majapahit yang dilakukan oleh adipati Tuban Ranggalawe. Peristiwa ini disinggung dalam Pararaton namun naskah ini tidak menyebutkan siapa tokoh yang berhasil membunuh Ranggalawe. Kidung Panji Wijayakrama dan Kidung Ranggalawe menguraikan kisah kematian Ranggalawe dengan panjang lebar, serta menyebutkan bahwa yang berhasil membunuh adipati Tuban tersebut adalah Mahisa Anabrang.
Dikisahkan bahwa pasukan Majapahit dipimpin Nambi, Lembu Sora, dan Mahisa Anabrang berangkat untuk menumpas Ranggalawe. Perang terjadi di dekat Sungai Tambak Beras. Mahisa Anabrang bertarung melawan Ranggalawe di dalam sungai, yang dimenangkan oleh Mahisa Anabrang. Lembu Sora yang adalah paman Ranggalawe, tidak rela melihat keponakannya dibunuh. Ia lalu membunuh Mahisa Anabrang, rekannya sendiri, dari belakang. Tewasnya Ranggalawe mengakhiri perang saudara pertama dalam sejarah Majapahit.
Kidung Sorandaka mengisahkan keluarga Mahisa Anabrang tidak berani menuntut hukuman untuk Lembu Sora karena ia merupakan pembantu kesayangan Raden Wijaya. Baru pada tahun 1300 seorang putra Mahisa Anabrang bernama Mahisa Taruna mendapat bantuan seorang tokoh bernama Mahapati.[rujukan?] Mereka pun berhasil menyingkirkan Lembu Sora dari jajaran pemerintahan Majapahit. Peristiwa yang terjadi selanjutnya ialah pembunuhan Lembu Sora oleh pasukan Nambi akibat fitnah yang dilancarkan Mahapati.

Identifikasi dengan Adwayabrahma

Mahisa Anabrang kembali ke Jawa pada tahun 1293 dengan membawa dua orang putri Minangkabau bernama Dara Jingga dan Dara Petak. Menurut Pararaton, Raden Wijaya mengambil Dara Petak sebagai istri dan menyerahkan Dara Jingga kepada seorang “dewa” (sira alaki dewa), yang berarti seorang bangsawan. Dara Jingga kemudian melahirkan seorang putra bernama Tuhan Janaka yang kemudian menjadi raja Minangkabau bergelar Mantrolot Warmadewa. Beberapa sumber mengatakan bahwa ini adalah nama lain dari Adityawarman. Namun profesor Uli Kozok meyakini bahwa yang bergelar Warmadewa tersebut adalah Akarendrawarman, paman dari Adityawarman.
Nama ayah Adityawarman adalah Adwayawarman menurut prasasti Kuburajo atau Adwayadwaja menurut prasasti Bukit Gombak. Gelar yang hampir serupa ialah Dyah Adwayabrahma, juga terdapat dalam prasasti Padangroco, sebagai salah seorang pengawal arca Amoghapasa yang dibawa ke Sumatra tahun 1286. Tertulis dalam prasasti bahwa Adwayabrahma yang menjabat rakryan mahamantri, suatu jabatan tinggi bagi bangsawan kerabat raja. Demikianlah terdapat anggapan bahwa tokoh Adwayabrahma ini adalah tokoh yang sama dengan Mahisa Anabrang utusan Pamalayu. Namun demikian dugaan bahwa utusan Pamalayu adalah sama dengan pemimpin rombongan Amoghapasa masih memerlukan bukti tambahan yang memperkuatnya.

Identifikasi dengan Indrawarman

Menurut sumber dari Batak[rujukan?], nama komandan pasukan Singhasari yang dikirim untuk menaklukkan Sumatra adalah Indrawarman. Tokoh ini kemudian menolak mengakui kedaulatan Majapahit sebagai kelanjutan Singhasari. Indrawarman kemudian mendirikan Kerajaan Silo di Simalungun.
Pada tahun 1339 datang pasukan Majapahit dipimpin Adityawarman dalam rangka pelaksanaan Sumpah Palapa. Adityawarman sebagai wakil raja Majapahit berhasil menaklukkan Silo. Indrawarman diberitakan tewas oleh serangan tersebut. Menurut legenda, Indrawarman tidak pernah kembali ke Jawa, sehingga sulit untuk menyamakannya dengan tokoh Mahisa Anabrang yang kembali ke Jawa tahun 1293.

Sumber
=========================================================================

9. Jayanagara

Jayanagara (lahir: 1294 - wafat: 1328) adalah raja kedua Kerajaan Majapahit yang memerintah pada tahun 1309-1328, dengan bergelar Sri Maharaja Wiralandagopala Sri Sundarapandya Dewa Adhiswara. Pemerintahan Jayanagara terkenal sebagai masa pergolakan dalam sejarah awal Kerajaan Majapahit. Ia sendiri meninggal akibat dibunuh oleh tabib istananya.

Asal-Usul

Menurut Pararaton, nama asli Jayanagara adalah Raden Kalagemet putra Raden Wijaya dan Dara Petak. Ibunya ini berasal dari Kerajaan Dharmasraya di Pulau Sumatra. Ia dibawa Kebo Anabrang ke tanah Jawa sepuluh hari setelah pengusiran pasukan Mongol oleh pihak Majapahit. Raden Wijaya yang sebelumnya telah memiliki dua orang istri putri Kertanagara, kemudian menjadikan Dara Petak sebagai Stri Tinuheng Pura, atau "istri yang dituakan di istana".
Menurut Pararaton, pengusiran pasukan Mongol dan berdirinya Kerajaan Majapahit terjadi pada tahun 1294. Sedangkan menurut kronik Cina dari dinasti Yuan, pasukan yang dipimpin oleh Ike Mese itu meninggalkan Jawa tanggal 24 April 1293. Naskah Nagarakretagama juga menyebut angka tahun 1293. Sehingga, jika berita-berita di atas dipadukan, maka kedatangan Kebo Anabrang dan Dara Petak dapat diperkirakan terjadi pada tanggal 4 Mei 1293, dan kelahiran Jayanagara terjadi dalam tahun 1294.
Nama Dara Petak tidak dijumpai dalam Nagarakretagama dan prasasti-prasasti peninggalan Majapahit. Menurut Nagarakretagama, Raden Wijaya bukan hanya menikahi dua, tetapi empat orang putri Kertanagara, yaitu Tribhuwaneswari, Narendraduhita, Jayendradewi, dan Gayatri. Sedangkan Jayanagara dilahirkan dari istri yang bernama Indreswari. Hal ini menimbulkan dugaan kalau Indreswari adalah nama lain Dara Petak.

Naik Takhta

Nagarakretagama menyebutkan Jayanagara diangkat sebagai yuwaraja atau raja muda di Kadiri atau Daha pada tahun 1295. Nama Jayanagara juga muncul dalam prasasti Penanggungan tahun 1296 sebagai putra mahkota. Mengingat Raden Wijaya menikahi Dara Petak pada tahun 1293, maka Jayanagara dapat dipastikan masih sangat kecil ketika diangkat sebagai raja muda. Tentu saja pemerintahannya diwakili oleh Lembu Sora yang disebutkan dalam prasasti Pananggungan menjabat sebagai patih Daha.
Dari prasasti tersebut dapat diketahui pula bahwa Jayanagara adalah nama asli sejak kecil atau garbhopati, bukan nama gelar atau abhiseka. Sementara nama Kalagemet yang diperkenalkan Pararaton jelas bernada ejekan, karena nama tersebut bermakna "jahat" dan "lemah", hal itu dikarenakan kepribadian Jayanagara yang dipenuhi prilaku amoral namun lemah sebagai penguasa sehingga banyak pemberontakan yang timbul dalam masa pemerintahannya.
Jayanagara naik takhta menjadi raja Majapahit menggantikan ayahnya yang menurut Nagarakretagama meninggal dunia tahun 1309.
Dari Piagam Sidateka yang bertarikh 1323, Jayanagara menetapkan susunan mahamantri katrini dalam membantu pemerintahannya, yaitu sebagai berikut:
  1. Rakryan Mahamantri Hino: Dyah Sri Rangganata
  2. Rakryan Mahamantri Sirikan: Dyah Kameswara
  3. Rakryan Mahamantri Halu: Dyah Wiswanata

Pemberontakan yang Terjadi

Menurut Pararaton, pemerintahan Jayanagara diwarnai banyak pemberontakan oleh para pengikut ayahnya. Hal ini disebabkan karena Jayanagara adalah raja berdarah campuran Jawa-Melayu, bukan keturunan Kertanagara murni.
Pemberontakan pertama terjadi ketika Jayanagara naik takhta, yaitu dilakukan oleh Ranggalawe pada tahun 1295 dan kemudian Lembu Sora pada tahun 1300. Dalam hal ini pengarang Pararaton kurang teliti karena Jayanagara baru menjadi raja pada tahun 1309. Mungkin yang benar ialah, pemberontakan Ranggalawe terjadi ketika Jayanagara diangkat sebagai raja muda atau putra mahkota.
Pararaton juga memberitakan pemberontakan Juru Demung tahun 1313, Gajah Biru tahun 1314, Mandana dan Pawagal tahun 1316, serta Ra Semi tahun 1318. Akan tetapi, menurut Kidung Sorandaka, Juru Demung dan Gajah Biru mati bersama Lembu Sora tahun 1300, sedangkan Mandana, Pawagal, dan Ra Semi mati bersama Nambi tahun 1316.
Berita pemberontakan Nambi tahun 1316 dalam Pararaton juga disebutkan dalam Nagarakretagama, dan diuraikan panjang lebar dalam Kidung Sorandaka. Menurut Nagarakretagama, pemberontakan Nambi tersebut dipadamkan langsung oleh Jayanagara sendiri.
Di antara pemberontakan-pemberontakan yang diberitakan Pararaton, yang paling berbahaya adalah pemberontakan Ra Kuti tahun 1319. Ibu kota Majapahit bahkan berhasil direbut kaum pemberontak, sedangkan Jayanagara sekeluarga terpaksa mengungsi ke desa Badander dikawal para prajurit bhayangkari.
Pemimpin prajurit bhayangkari yang bernama Gajah Mada kembali ke ibu kota menyusun kekuatan. Berkat kerja sama antara para pejabat dan rakyat ibu kota, Kelompok Ra Kuti dapat dihancurkan.

Hubungan dengan Cina

Daratan Cina saat itu dikuasai oleh Dinasti Yuan atau bangsa Mongol. Pada tahun 1321 seorang pengembara misionaris bernama Odorico da Pordenone mengunjungi Pulau Jawa dan sempat menyaksikan pemerintahan Jayanagara. Ia mencatat pasukan Mongol kembali datang untuk menjajah Jawa, namun berhasil dipukul mundur oleh pihak Majapahit. Hal ini mengulangi kegagalan mereka pada tahun 1293.
Namun hubungan antara Majapahit dengan Mongol kemudian membaik. Catatan dinasti Yuan menyebutkan pada tahun 1325 pihak Jawa mengirim duta besar bernama Seng-kia-lie-yulan untuk misi diplomatik. Tokoh ini diterjemahkan sebagai Adityawarman putra Dara Jingga, atau sepupu Jayanagara sendiri.

Kematian Jayanagara

Pararaton mengisahkan Jayanagara dilanda rasa takut kehilangan takhtanya. Ia pun melarang kedua adiknya, yaitu Dyah Gitarja dan Dyah Wiyat menikah karena khawatir iparnya bisa menjadi saingan. Bahkan muncul desas-desus kalau kedua putri yang lahir dari Gayatri itu hendak dinikahi oleh Jayanagara sendiri.
Desas-desus itu disampaikan Ra Tanca kepada Gajah Mada yang saat itu sudah menjadi abdi kesayangan Jayanagara. Ra Tanca juga menceritakan tentang istrinya yang diganggu oleh Jayanagara. Namun Gajah Mada seolah tidak peduli pada laporan tersebut.
Ra Tanca adalah tabib istana. Suatu hari ia dipanggil untuk mengobati sakit bisul Jayanagara. Dalam kesempatan itu Tanca berhasil membunuh Jayanagara di atas tempat tidur. Gajah Mada yang menunggui jalannya pengobatan segera menghukum mati Tanca di tempat itu juga, tanpa proses pengadilan.
Peristiwa itu terjadi tahun 1328. Menurut Pararaton Jayanagara didharmakan dalam candi Srenggapura di Kapopongan dengan arca di Antawulan, gapura paduraksa Bajang Ratu kemungkinan besar adalah gapura yang tersisa dari kompleks Srenggapura. Sedangkan menurut Nagarakretagama ia dimakamkan di dalam pura berlambang arca Wisnuparama. Jayanagara juga dicandikan di Silapetak dan Bubat sebagai Wisnu serta di Sukalila sebagai Buddha jelmaan Amoghasiddhi.
Jayanagara meninggal dunia tanpa memiliki keturunan. Oleh karena itu takhta Majapahit kemudian jatuh kepada adiknya, yaitu Dyah Gitarja yang bergelar Tribhuwana Tunggadewi

Sumber
=======================================================================

10. Ken Sora

Mpu Sora (lahir: ? - wafat: Majapahit, 1300) adalah nama salah seorang pengikut Raden Wijaya yang berjasa besar dalam perjuangan mendirikan Kerajaan Majapahit. Ia sering dianggap sebagai abdi Raden Wijaya yang paling setia, namun akhirnya mati sebagai pemberontak di halaman istana Majapahit.
Dalam beberapa karya sastra, Mpu Sora juga disebut dengan nama Lembu Sora, Ken Sora, Andaka Sora, atau kadang disingkat Sora saja.

Peran dalam Perjuangan

Pararaton mengisahkan Sora ikut mengawal Raden Wijaya sewaktu menghindari kejaran pasukan Jayakatwang pada tahun 1292. Kidung Panji Wijayakrama menyebutkan, Sora dengan setia menyediakan perutnya sebagai tempat duduk Raden Wijaya dan istrinya saat keduanya beristirahat. Ia juga menggendong istri Wijaya saat menyeberangi sungai dan rawa-rawa.
Pada tahun 1293 Raden Wijaya dibantu pasukan Mongol menyerang Jayakatwang di Kadiri. Dalam pertempuran tersebut, Sora bertugas menggempur benteng selatan dan berhasil membunuh patih Kadiri yang bernama Kebo Mundarang.
Dalam siasat selanjutnya, Raden Wijaya mengusir pasukan Mongol yang sedang berpesta pora merayakan jatuhnya Kadiri. Dalam pertempuran tersebut, Sora dan keponakannya yang bernama Ranggalawe bertindak sebagai pembantai orang-orang Mongol tersebut.

Jabatan di Majapahit

Setelah Jayakatwang berhasil dikalahkan dan pasukan Mongol yang dipimpin Ike Mese diusir dari Pulau Jawa, Raden Wijaya pun mendirikan mendirikan Kerajaan Majapahit pada tahun 1293. Naskah Pararaton menyebutkan jabatan Sora dalam kerajaan baru tersebut adalah rakryan demung.
Berita di atas kurang tepat karena dalam prasasti Sukamreta tahun 1296, tertulis nama rakryan demung Majapahit adalah Mpu Renteng, sedangkan Mpu Sora menjabat sebagai rakryan patih ri Daha, atau patih bawahan di Kadiri.
Keputusan Raden Wijaya tersebut konon memicu pemberontakan Ranggalawe pada tahun 1295. Ranggalawe berpendapat bahwa Sora lebih pantas diangkat sebagai rakryan patih Majapahit daripada Nambi. Namun meskipun Ranggalawe adalah keponakan Sora, namun Sora justru mendukung Raden Wijaya supaya tetap mempertahankan Nambi sebagai patih Majapahit.

Kematian Akibat Fitnah

Kematian Sora menurut Pararaton terjadi pada tahun 1300 yang diuraikan panjang lebar dalam Kidung Sorandaka. Menurut Pararaton kematiannya terjadi pada pemerintahan Jayanagara, sedangkan menurut Kidung Sorandaka terjadi pada pemerintahan Raden Wijaya. Dalam hal ini pengarang Pararaton kurang teliti karena menurut Nagarakretagama Jayanagara naik takhta menggantikan Raden Wijaya baru pada tahun 1309.
Dikisahkan bahwa, Sora ikut serta dalam pasukan Majapahit yang bergerak menumpas pemberontakan Ranggalawe di Tuban tahun 1295. Dalam pertempuran di Sungai Tambak Beras, Ranggalawe mati di tangan Kebo Anabrang. Diam-diam Sora merasa sakit hati melihat keponakannya dibunuh secara kejam. Ia pun berbalik ganti membunuh Kebo Anabrang dari belakang.
Peristiwa pembunuhan terhadap rekan satu pasukan tersebut seolah-olah didiamkan begitu saja. hal itu dikarenakan keluarga Kebo Anabrang segan menuntut hukuman pengadilan karena Sora dianggap sebagai abdi kesayangan Raden Wijaya.
Suasana kusut itu akhirnya dimanfaatkan oleh Mahapati, seorang tokoh licik yang mengincar jabatan rakryan patih. Ia menghasut putra Kebo Anabrang yang bernama Mahisa Taruna supaya berani menuntut pengadilan untuk Sora. Ia juga melapor kepada Raden Wijaya bahwa para menteri merasa resah karena raja seolah-olah melindungi kesalahan Sora.
Raden Wijaya tersinggung karena dituduh berlaku tidak adil. Ia pun memberhentikan Sora dari jabatannya untuk menunggu keputusan lebih lanjut. Mahapati segera mengusulkan supaya Sora jangan dihukum mati mengingat jasa-jasanya yang sangat besar. Atas pertimbangan tersebut, Raden Wijaya pun memutuskan bahwa Sora akan dihukum buang ke Tulembang.
Mahapati menemui Sora di rumahnya untuk menyampaikan surat keputusan raja. Sora sedih atas keputusan itu. Ia berniat ke ibu kota meminta hukuman mati daripada harus diusir meninggalkan tanah airnya.
Mahapati lebih dulu menghasut Nambi dengan mengatakan bahwa Sora akan datang untuk membuat kekacauan karena tidak puas atas keputusan raja. Setelah mendesak Raden Wijaya, Nambi pun diizinkan menghadang Sora yang datang bersama dua orang sahabatnya, yaitu Gajah Biru dan Juru Demung. Maka terjadilah peristiwa di mana Sora dan kedua temannya itu mati dikeroyok tentara Majapahit di halaman istana.
Kisah dalam Kidung Sorandaka di atas sedikit berbeda dengan Pararaton yang menyebut kematian Juru Demung terjadi pada tahun 1313, sedangkan Gajah Biru pada tahun 1314. Kematian kedua sahabat Sora tersebut terjadi pada masa pemerintahan Jayanagara putra Raden Wijaya.



Sumber

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright @ 2013 PEJUANG ISLAM.