Minggu, 02 Februari 2014

Filled Under:

Bali: Raja-raja Pemecutan 5

Puri Gianyar

Untuk mendukung rencana tersebut maka I Dewa Gde Ngurah pemecutan menyediakan ahli bangunan dari Kerajaan Taman Bali diantaranya I Tarukan, I Karang dan I Gunung. Tidak berapa lama Kerajaan Baru telah selesai didirikan dan diberi nama Geriya Anyar karena didirikan diatas Geriya Ida Pedanda Tarukan. Lama kelamaan Geriya Anyar berubah menjadi Puri Agung Gianyar dan Dewa Manggis Api
dinobatkan sebagai Raja I Puri Gianyar dengan gelar I Dewa Manggis Sukawati tahun 1771 Masehi.

Kembali lagi kepada I Dewa Agung Made setelah sekian lama beliau berdiam di Kerajaan Badung minta perlindungan Ida Bhatara Sakti, beliau ingin mengembalikan kedudukannya sebagai raja di Puri Peliatan. Ida Bhatara Sakti dapat mengerti hal tersebut dan setelah dilakukan perundingan dengan putra putra beliau maka diputuskan untuk memberi tugas kepada Kiyayi Anglurah Wayahan Gerenceng untuk melaksanakan tugas tersebut.

Ida Bhatara Sakti memerintahkan untuk mengempur kerajaan Sukawati sampai bertekuk lutut
, Kiyayi Anglurah Wayahan Gerenceng mohon restu Ida Bhatara Sakti dan meninggalkan bale penangkilan puri Agung Pemecutan dan mempersiapkan laskar Badung untuk menggempur Kerajaan Sukawati dengan kekuatan inti warga Pulasari karena ibu beliau berasal dari warga Pulasari, maka Kiyayi Anglurah Wayahan Gerenceng dianggap sebagai kewangen oleh warga Pulasari dan mereka akan membantu sampai titik darah penghabisan.

Diceritakan laskar Pemecutan dibawah pimpinan K
iyayi Anglurah Wayahan Gerenceng sudah berada di seberang sungai disebelah Barat Puri Sukawati, Rakyat Sukawati yang sudah mengetahui kedatangan musuh tersebut mengadakan perlawanan dengan hebat, korban berjatuhan diantara kedua belah pihak. Karena kewalahan menghadapi serangan tersebut laskar Sukawati yang ada di Puri Peliatan terpaksa ditarik untuk mempertahankan Puri Sukawati.

Namun usaha tersebut gagal karena kuatnya perlawanan dari laskar Badung maka Raja Sukawati I Dewa Agung Gde merintahkan kepada seluruh pasukannya untuk mundur dan menyingkir ke Tojan Blahbatuh. Namun karena di desa Blahbatuh dirasa masih kurang aman
maka beliau memutuskan untuk minta perlindungan kepada I Dewa Manggis Sukewati yang baru dinobatkan sebagai Raja Gianyar.

Laskar Badung terus menyerbu kedalam Puri Sukawati dan berhasil menduduki Puri Sukawati. Sungai yang dipakai untuk medan pertempuran kemudian dinamakan sungai Gerenceng dan lama kelamaan disebut sungai Cengceng. Kembali kepada adik Raja Sukawati yaitu I Dewa Agung Made yang minta perlindungan kepada Raja Pemecutan, setelah mendengar kekalahan I Dewa Agung Gde, beliau kemudian mohon pamit kepada Ida Bhatara Sakti untuk kembali ke Purinya di Peliatan.

I Dewa Agung Gde yang minta perlindungan kepada Raja Gianyar I Dewa Manggis, disana beliau diterima dengan sangat baik karena I Dewa Manggis merasa berhutang budi kepada ayah beliau semasa I Dewa Manggis mengabdi di kerajaan Sukawati. Dibawah bimbingan raja Gianyar tersebut tingkah laku
I Dewa Agung Gde banyak mengalami perubahan, dimana dulunya tidak hirau dengan ilmu kenegaraan maka sekarang beliau dapat belajar banyak dari I Dewa Manggis tentang bagamana seharusnya tingkah laku sebagai seorang Raja sehingga dicintai oleh rakyat.

Melihat perubahan sikap I Dewa Agung Gde tersebut timbul niat Raja Gianyar I Dewa Manggis untuk mengembalilan posisi I Dewa Agung Gde sebagai Raja Sukawati. Untuk maksud tersebut sebagai tahap awal I Dewa Manggis mengadakan kontak dengan I Dewa Agung Made Raja Peliatan untuk menjelaskan maksud beliau agar kedua Raja bersaudara tersebut bisa hidup rukun kembali.

I Dewa Manggis mengharapkan keiklasan I Dewa Agung Made untuk datang ke Kerajaan Badung mohon kepada Ida Bhatara Sakti untuk menarik laskar pemecutan dibawah pimpinan Kiyayi Anglurah Wayahan Gerenceng di Kerajaan Sukawati.

I Dewa Agung Made dapat menyetujui saran tersebut dan setelah melalui beberapa kali perundingan antara Raja Peliatan dengan Raja Badung maka akhirnya diputuskan untuk menarik laskar Badung dari Kerajaan Sukawati.
Kiyayi Anglurah Wayahan Gerenceng selama menjalankan pemerintahan di Kerajaan Sukawati pernah membangun Banjar Pemecutan dan peninggalan tersebut masih ada sampai sekarang.

Dan sebagai rasa terima kasih raja Gianyar I Dewa Manggis Sukawati kepada pimpinan laskar Badung
Kiyayi Anglurah Wayahan Gerenceng maka seorang gadis keturunan Meranggi putri pembesar kerajaan Gianyar diserahkan kepada Kiyayi Anglurah Wayahan Gerenceng. Putri tersebut akhirnya diberikan kepada Putra beliau yaitu Kiyayi Agung Made Gerenceng sehingga melahirkan keturunan Kiyayi Agung Gde Meranggi.

Untuk menjamin suasana perdamaian tersebut maka Raja Gianyar I Dewa Manggis memberikan maklumat kepada kedua raja bersaudara tersebut bahwa bila ada salah satu dari Raja tersebut menyerang Raja lainnya maka Raja Gianyar akan memihak kepada Raja yang diserang. Maka mulai saat itu kedua kerajaan bersaudara tersebut ada dibawah kekuasaan Raja Gianyar.

I Dewa Agung Gde kemudian kembali memerintah kerajaan Sukawati dan menurukan pertisentana (keturunan) Cokorda Ubud, Cokorda Payangan dan Cokorda Singapadu. Demikianlah akhir dari ekspedisi Laskar Pemecutan ke daerah Sukawati dan Kiyayi Anglurah Wayahan Gerenceng kembali ke Puri Pemecutan.


MENGADAKAN HUBUNGAN DENGAN HINDIA BELANDA


Semasa Pemerintahan Kiyayi Anglurah Pemecutan III telah terjadi Kontak langsung dengan Pemerintah Hindia Belanda yang berpusat di Batavia. Pada tahun 1808 Herman Willem Deandles, Gubernur Jendral Hindia Belanda mengirimkan utusan Letnan Lesnet ke Bali untuk merekrut putra putra Bali untuk dijadikan prajurit Belanda.


 (gambar kiri adalah Gubernur Jenderal Daendels)

Direkrutnya putra putra bali sebagai prajurit belanda karena putra putra Bali terkenal dengan keberanian dan ketangkasannya. Letnan Lisnet tiba di Bali pada pertengahan tahun 1808 dan langsung berhubungan dengan I Gusti Ngurah Made Pemecutan. Namun usaha Lisnet untuk mengumpulkan putra putra Bali mengalami hambatan sehingga hanya 37 orang yang berhasil direkrut untuk menjadi prajurit Belanda.

Lebih lanjut kiranya perlu diketahui lebih banyak tentang kepemimpinan serta kepribadian Kiyayi Anglurah Pemecutan III/ Ida Bhatara Sakti Pemecutan dalam usaha beliau mempersatukan wilayah Badung dibawah kekuasaan Puri Agung Pemecutan. Menurut lontar Babad Badung yang disusun oleh Kiyayi Anglurah Kurambitan X disebutkan bahwa Kiyayi Anglurah Pemecutan III terkenal dengan ketampanan wajahnya demikian pula prilakunya yang bijaksana, memhami ajaran agama dan tatwa tatwa yang berkaitan dengan kehidupan lahir batin atau sekala niskala karena itu beliau diberikan gelar Ida Bhatara Sakti.

Penyatuan seluruh warga di wilayah Badung diwujudkan dalam bentuk pembangunan pelinggih-pelinggih paibon dari semua warga yang berjasa terkait sejarah berdirinya dan tegaknya kerajaan Badung di Pura Tambangan Badung. Apa yang beliau lakukan kemudian diteruskan oleh keturunan beliau hingga saat ini sehingga
kita mewarisi Pura Tambangan Badung.

(Gambar kiri: Prajurit Bali)

karena demikian besar fungsi pura Tambangan Badung tersebut maka Pura Tambangan Badung ditetapkan sebagai Pura Kerajaan Badung. Hubungan langsung antara raja dengan warga penyungsung pelinggih pelinggih penyunngsung pura tersebut terwujud terutama pada hari hari besar keagamaan seperti hari raya mekiyis atau melis ke segara kuta sebelum hari raya Nyepi dan pada saat pujawali di Pura Tambangan Badung.

Demikianlah Ida Bhatara Sakti berhasil memepersatukan seluruh wilayah Badung menjadi satu Kerajaan yang kuat bahkan pengaruh beliau sampai keluar wilayah Badung dengan berhasil mengalahkan beberapa Kerajaan di luar wilayah Badung.





SEJARAH WARGA BUGIS DI PEMECUTAN

(Gambar kiri: Prajurit Bugis)

Warga Bugis memiliki kaitan erat dan sejarah panjang dengan Puri Pemecutan Denpasar, karena para pemuda perantauan dari Bugis yang merantau ke Bali juga ikut serta berperang melawan penjajah bersama para prajurit Puri Pemecutan Denpasar dalam perang Puputan Badung.

Kampung Islam Bugis, begitulah desa ini lebih dikenal masyarakat. Desa yang merupakan salah satu saksi sejarah keberadaan agama Islam di Bali ini terletak di Pulau Serangan, pulau kecil yang terpisah dengan daratan Pulau Bali berjarak 17 Kilometer arah selatan kota Denpasar. Namun kedua pulau ini tidak lagi terpisah, sebab pada tahun 1995 dibangunlah sebuah dermaga kecil dan jembatan yang menghubungkan Pulau Bali dan pulau Serangan.

 (Gambar kiri: Kesenian Rodat)

Kampung seluas 2,5 hektar ini dihuni oleh sekitar 70 kepala keluarga atau 280 warga muslim. Warga kampung yang dikelilingi oleh perkampungan Hindu dengan sejumlah Pura ini memiliki mata pencaharian sebagai nelayan karena letaknya yang dekat dengan pesisir pantai.

"Beberapa peniliti mengatakan kampung ini sudah ada sejak abad ke-17 masehi, Menurut cerita, keberadaan kampung ini berawal dari kedatangan seorang bangsawan bernama Syeikh Haji Mu dan 40 anak buah kapalnya (ABK) melarikan diri dari Makasar, Ujung Pandang karena tidak sefaham dengan Belanda sebagai efek dari perjanjian Bongaya.

(Gambar kanan: Makam tua di Sengaran)

Kedatangan mereka didengar oleh Raja Badung yang menguasai Pulau Serangan. Kelompok Syekh Haji Mukmin diundang ke kerajaan dan dimintai keterangan maksud datang ke Pulau Serangan. "Tapi, saat Syeikh Haji Mu tiba di pulau ini justru dicurigai pihak kerajaan Badung Bali sebagai mata-mata Belanda. Kemudian ditawanlah Syeikh Haji," jelas Mansyur.

Selama ditawan oleh kerajaan Badung Bali, Syeikh Haji Mu dan anak buahnya berhasil meyakinkan Raja Badung, Ida Cokorda Pemecutan III, bahwa Syeikh bukanlah mata-mata Belanda. Akhirnya rombongan Syeikh Haji Mu dibebaskan dan tinggal di Istana Puri Pemecutan untuk sementara. "Hingga kemudian mendiami kampung Gelagi Gendong, sebelah barat kerajaan agar tidak bercampur dengan warga. Kebiasaan dan keahlian perantau Bugis itu melaut, membuat mereka semakin di senangi. Hingga akhirnya mereka dipindahkan dari Kampung Gelagi Gendong ke Pulau Serangan yang saat itu masih berupa hutan.

Sejak itulah Syiekh Haji Mu dan pengikutnya menetap Pulau Serangan. Hubungan antara perantau Bugis dengan Kerajaan Badung yang terus terjalin dengan baik. Karena hubungannya yang erat dengan kerajaan Badung, Haji Mu meminta ijin kepada Raja Pemecutan untuk membuatkan satu tempat kecil untuk beribadah, atau mushola. Hingga kini masih berdiri kokoh, namun sudah direnovasi dan berubah menjadi masjid yang diberi nama As-syuhada.

Dikampung itu pula terdapat sebuah kuburan Bugis Kuno yang saat ini khusus digunakan untuk mengubur warga kampung Islam Bugis. Di makam yang kuno tersebutlah Syeikh Haji Mu dimakamkan, beserta pengikutnya, hingga turun temurun.


 (Gambar kiri: Makam Syaikh Haji Mu)

Toleransi dan sikap saling menghormati diantara warga Hindu dan Islam berjalan dengan sangat baik sejak berabad-abad lalu. Kehidupan disepanjang pesisir Pulau Serangan telah melahirkan generasi-generasi keturunan Bugis, Makassar. Di perkampungan Islam Bugis, bahasa yang dipergunakan sehari-hari menggunakan bahasa Bugis. Dahulu, rumah-rumah di pesisir Serangan memiliki bentuk dan corak khas Bugis.

Namun, sejak pembangunan terus berlangsung, kini warga Muslim Pulau Serangan hanya menyisakan satu-satunya rumah asli Bugis di tengah-tengah perkampungan Islam. Rumah asli Bugis tersebut telah berusia hampir 3 abad dan masih dalam kondisi terawat milik salah seorang tokoh Bugis Serangan.

Pelabuhan tua Pulau Serangan nenjadi saksi bisu kedatangan Ulama dan saudagar Bugis sudah tidak berfungsi lagi. Pelabuhan tua Serangan tinggal menyisakan kenangan sejarah awal kedatangan Laskar Bugis, pendiri dan Ulama penyebar Islam di Kampung Islam ini.

Masjid tua bernama Assyuhada konon dibangun akhir Abad XVII itu menyimpan bukti-bukti peninggalan bersejarah Islam. Salah satunya mimbar yang dibuat oleh para ulama-ulama pendahulu perintis Kampung Islam Pulau Serangan.

Masjid yang awalnya hanya dibangun di atas tanah seluas 8 meter x 7 meter tersebut sangat sederhana. Terbuat dari bahan kayu menyerupai rumah panggung (bangunan khas Bugis). Akibat kondisi Masjid tua sudah termakan usia, pembangungan serta renovasi pun dilakukan. Masjid Assyuhada kini berdiri cukup megah ditengah perkampungan. Sumber Jazirah menjelaskan, masih terdapat bukti-bukti bersejarah lainnya berupa tombak, panji-panji perang, pedang dan Al-Qur'an yang kini tersimpan di kediaman seorang tokoh Bugis.


 (Gambar kiri: pakaian adat Bugis)

Raja Badung, Ida Cokorda Pemecutan XI membenarkan, masyarakat Pulau Serangan punya ikatan sejarah dan darah dengan orang-orang Bugis. “Leluhur kami ada menikah dengan seorang putri raja di Jawa. Ini bukan soal Bugis saja. Maduranya ada, masih campur mereka. Tapi apapun masa lalunya, kita ada hubungan erat dengan Bugis,” kata Ida Cokorda.

Ida Cokorda menunjukkan lokasi di luar Pulau Serangan, namun karena pada dasarnya mereka merupakan suku yang dekat dengan laut. Mereka memohon untuk pindah kembali ke Pulau Serangan. Permohonan mereka dikabulkan. Usman dan Ali juga merupakan contoh orang-orang yang tetap menekuni dunia nelayan.

AKHIR PEMERINTAHAN IDA BHATARA MAHARAJA SAKTI

Kyai Anglurah Pemecutan III wafat pada tahun 1813 M dan dibuatkan pelinggih di Pemerajan Puri Agung Pemecutan sebagai tempat beliau di puja dan disembah oleh seluruh keluarga Besar Pemecutan hingga saat ini. Setelah akhir pemerintahan Ida Bhatara Sakti maka kekuasaan wilayah Badung diberikan kepada ketiga putra beliau dari dari istri keturunan prami (keluarga Raja ) yaitu :
  1. I Gusti Gede Pemecutan di Puri Pemecutan - Ibu dari Puri Gelogor anak dari Kiyayi Anglurah Tumbak Bayuh
  2. I Gusti Made Pemecutan/ I Gusti Ngurah Kesiman di Puri Kesiman- Ibu dari Puri Gelogor anak dari Kiyayi Anglurah Tumbak Bayuh
  3. I Gusti Jambe Denpasar/ I Gusti Ngurah Kaleran di Jero Kaleran Kawan- ibu dari Ibu Bongan putri Raja Mengwi
Sedangkan putra putra beliau dari ibu penawing (para Lanang) telah keluar dari lingkungan Puri Pemecutan dan mendirikan jero masing masing tersebar di seluruh wilayah Badung untuk menjaga wilayah Kekuasaan Puri Agung Pemecutan.
Kiyayi Anglurah Pemecutan III telah mempersatukan semua warga terutama para penyungsung paibon, semua prasanak Dalem Tambangan Badung dan warga warga lainnya yang terkait dalam sejarah Pemecutan sehingga patutlah beliau mendapat julukan sebagai Cikal Bakal Warga Ageng Pemecutan dan pendiri Kerajaan Badung seutuhnya sebgai Raja yang pertama berpuri di Puri Agung Pemecutan.




Sumber

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright @ 2013 PEJUANG ISLAM.