Minggu, 02 Februari 2014

Filled Under:

Bali: Sejarah Kerajaan Buleleng 1

(Gusti Ngurah Jelantik Raja Buleleng yang diasingkan oleh Belanda Ke Padang Sumatera Barat 1872)

Semoga tidak ada halangan Pranamyam sira dewam, bhuktimukti itarttaya, prawaksyatwa wijneyah, brahmanam ksatriyadih, patayeswarah.
Diceritakan setelah Pulau Bali berhasil ditaklukkan kerajaan Majapahit pada tahun 1343 maka Mahapatih Gajah Mada mengangkat Adipati berasal dari Jawa yang diberi gelar Dalem Ketut Kresna Kapakisan sebagai Raja Bali. Istana beliau berada di Samprangan, wilayah Gianyar sekarang, sebagai pusat pemerintahannya. Pada mulanya pemerintahan Dalem Samprangan mendapat reaksi dari masyarakat asli, Bali Aga, membuat Pulau Bali kurang aman.

Untuk menjaga kestabilan dan keamanan pemerintahan, pada tahun 1352 Patih Gajah Mada mengangkat Sri Nararya Kapakisan berasal dari Jawa Timur sebagai Perdana Menteri sekaligus sebagai Penasehat Dalem.

I GUSTI NGURAH JELANTIK VI
PANGLIMA PERANG KERAJAAN GELGEL

Alkisah setelah beberapa keturunan berlalu, disebutlah seorang dari keturunan Sri Nararya Kapakisan / I Gusti Nyuh Aya, yang bergelar I Gusti Ngurah Jelantik VI, menjabat sebagai Panglima Perang yang dihandalkan oleh raja yang bergelar Dalem Sagening yang istana dan pemerintahannya telah berpindah dari Samprangan ke Gelgel. I Gusti Ngurah Jelantik beristana di puri Jelantik - Swecalinggarsapura, tidak jauh dari istana raja di Gelgel.

Di puri Jelantik, banyak para abdi laki-laki dan perempuan yang berasal dari berbagai tempat. Di antara para abdi ada seorang perempuan pelayan (pariwara) yang sehari-harinya bertugas sebagai penjaga pintu, bernama Ni Pasek Gobleg. Pada suatu hari, I Gusti Ngurah Jelantik pulang dari bepergian. Pada saat beliau melangkahkan kaki masuk halaman puri, waktu itu sang pariwara Ni Pasek Gobleg baru saja selesai membuang air kecil (angunyuh).

I Gusti Ngurah Jelantik terkejut ketika beliau menginjak air yang dirasa hangat di telapak kakinya. Beliau meyakini air itu tidak lain adalah air kencing Ni Pasek Gobleg, pelayan dari desa Panji wilayah Den Bukit itu. Timbul gairah birahi I Gusti Ngurah Jelantik kepada Ni Pasek Gobleg dan serta merta menjamahnya.

Hubungan cinta kasih yang melibatkan I Gusti Ngurah Jelantik dengan pelayannya tidak diketahui oleh isterinya, I Gusti Ayu Brang-Singa. Dari larutnya hubungan itu, tidak berselang lama Ni Pasek Gobleg mengandung dan sampai pada waktunya, lahir seorang bayi laki-laki yang sempurna yang diberi nama I Gusti Gde Pasekan.

Nama itu diambil dari pihak sang ibu yang berasal dari trah Pasek. Beberapa waktu kemudian, sang pramiswari, I Gusti Ayu Brang-Singa, setelah kehamilannya cukup waktunya, juga melahirkan seorang bayi laki-laki, yang diberi nama I Gusti Gde Ngurah.

Prasasti Kerajaan Buleleng

I Gusti Gde Pasekan lebih tua dari I Gusti Gde Ngurah.Disebutkan, bahwa dari ubun-ubun I Gusti Gde Pasekan muncul berkas sinar, tambahan lagi lidahnya berbulu. Melihat keistimewaan I Gusti Gde Pasekan, muncul perasaan was­was I Gusti Ayu Brang-Singa, bilamana di kemudian hari nanti, I Gusti Gde Pasekan akan lebih disayang oleh I Gusti Ngurah Jelantik. Lagi pula akan bisa mengalahkan kedudukan I Gusti Gde Ngurah, putranya sendiri yang lebih berhak atas segala warisan. Ujar Ni Gusti Ayu Brang-singa:

  • „Kakanda Gusti Ngurah, dari manakah asal-usul anak bayi ini, kakanda?"Dijawab oleh I Gusti Ngurah Jelantik: „Baiklah adinda, bayi itu asalnya dari kakanda sendiri, dilahirkan dari seorang pariwara bernama Ni Pasek Gobleg, berhubungan hanya sekali".Menyahut Ni Gusti Brang-Singa dengan air muka sedih: „Kalau begitu baiklah. Tetapi bila bayi ini tetap berada disini, maka masalah ini membuat adinda akan menentang. Bilamana anak ini memiliki hak di Purl Jelantik".

Demikian kata-kata sang isteri kepada Ki Gusti Ngurah Jelantik yang langsung menjawab:

„ Jangan merasa gundah, adinda. Anak itu bersama ibunya akan meninggalkan tempat ini dan pergi ke Ler Gunung".

Mendapat jawaban demikian wajah Ni Gusti Ayu Brang-Singa kembali tampak berseri. Sampailah diceritakan, seseorang bernama I Wayahan Pasek dari desa Panji, dalam perjalanan telah sampai ke puri Jelantik, menjenguk Ni Pasek Gobleg, ibu I Gusti Gde Pasekan. Ki Wayahan Pasek adalah saudara mindon Ni Pasek Gobleg. Di dalam puri, I Gusti Ngurah Jelantik sudah siap menanti. Demikian sabda I Gusti Ngurah Jelantik:

  • „Wahai engkau Wayahan Pasek. Bawalah olehmu I Gde Pasekan ke Ler Gunung. Perintahku kepadamu, agar engkau memandang dia sebagai gusti-mu di sana. Lagi pula di dalam tata laksana upakara terhadapnya jangan dicemari (carub), karena dia adalah sejatinya berasal dari aku". Sembah atur I Wayahan Pasek: „Baiklah, hamba junjung tinggi wacanan Gusti. Semuanya sudah jelas bagi hamba." 1)1) Sabda Ki Gusti Ngurah: ,,E, kita Wayahan Pasěk, anakta Ki Gĕde Pasĕkan ajakĕn mara marêng Ler-Gunung. Manirâweh i kita,kitânggen gusti ring kana. Sadene sira angupakāra; aywa koruban acamah, apan agawe n manira jāti”.Matur ki Wayahan Pasěk:,,Inggih, kawulânuhun wacana n I gusti. Sampun anangçayêng twas”.

I Gusti Gde Pasekan sudah berumur 12 tahun. Sebelum perjalanan dimulai, beliau dibekali sebuah pusaka oleh sang ayah, I Gusti Ngurah Jelantik, berbentuk sebilah keris. Disamping itu diberikan juga pusaka leluhur berupa tombak-tulup bernama Ki Pangkajatattwa atau Ki Tunjungtutur. Setelah semuanya siap, perjalanan ke Ler Gunung dimulai. Disamping ibunya, Ni Pasek Gobleg dan pamannya, I Wayan Pasek, I Gusti Gde Pasekan diiringi oleh 40 orang pengawal, dipimpin oleh Ki Dumpyung dan Ki Dosot.

Di saat mulai melangkah, I Gusti Gde Pasekan merasa sedih meninggalkan tempat kelahirannya, teringat kembali akan pesan-pesan ayahnya. Teman-teman sepermainannya akan segera ditinggalkan menuju tempat jauh di Ler Gunung. Perasaanya penuh tanya dan keraguan. Terdengar suara seperti berasal dari keris pusaka:

  • "Ih, aywa semang" yang artinya “ Ih, jangan ragu”.

I Gusti Gde Pasekan tersentak heran, namun akhirnya senang karena keris pusaka yang diberikan ayahandanya mampu berbicara.Perjalanan pun dimulai. Pertama mengarah Barat selama sehari. Esoknya perjalanan berbelok mengarah ke Utara. Jalan yang dilintasi mulai menanjak dan berkelok-kelok. Rasa lelah mulai dirasakan oleh anggota rombongan, tetapi karena hawa mulai dirasakan makin sejuk.

Dalam bimbingan ibunya, Ni Pasek Gobleg dan pamannya, I Wayan Pasek, dengan cepat beliau belajar mengenal lingkungan desanya. Disamping itu ada dua pengasuh, Ki Dumpyung dan Ki Dosot. Sebagai seorang pemuda berusia 12 tahun, yang selalu ingin tahu tentang segala hal, I Gusti Gde Pasekan sering berpetualang. Naik bukit dan menjelajanh ke hutan melewati tegalan sampai ke pantai merupakan kegiatan rutin. Keris pemberian ayahnya, I Gusti Ngurah Jelantik, selalu terselip di pinggangnya.

Pada suatu sore yang panas, I Gusti Gde Pasekan merasa badannya gerah dan ingin mandi di sungai di tempat beliau sering mencari ikan. Tetapi di sungai dilihatnya ada buaya yang membuat orang-orang takut untuk mandi dan para perempuan takut mengambil air. Dengan segala pertimbangan yang cukup masak, I Gusti Gde Pasekan turun kesungai seorang diri. Dengan kelincahan dan kaki katangannya yang cekatan, buaya yang menakutkan itu bisa di bunuhnya. Setelah buaya dibunuhnya barulah beliau mandi dengan tenangnya dan menikmati sejuknya air sungai.

Penduduk desa Panji menjadi gempar, karena keberanian dan kewisesan I Gusti Gde Pasekan yang masih muda belia itu. I Gusti Gde Pasekan semakin dekat di hati masyarakat desa Panji, bahkan meluas keluar desa Panji.Di wilayah Den Bukit ada seorang yang sangat berkuasa bernama Ki Pungakan Gendis. Beliau sangat ditakuti oleh rakyak karena perangainya yang semena-mena, hanya mencari kesenangan berjudi dengan mengadu ayam setiap hari. Beliau bebergian dengan menaiki kudanya yang besar dan gagah. Di kanan kirinya berjalan beberapa orang pengawal. Suatu hari, I Gusti Panji sedang dalam perjalanan pulang.

Karena merasa lapar beliau berhenti untuk mencari umbi ketela di tegal. Keris pusaka leluhur yang selalu dibawanya itu lalu dihunusnya dan ditancapkan di tanah mencongkel umbi ketela. Sedang mencongkel- congkel tanah, tiba-tiba I Gusti Panji mendengar suara seperti keluar dari dalam keris

  • " ..... tan gaweyaŋ puyut kinarya anŋulati ewi..." yang artinya: "....jangan buyut dipakai untuk mencari umbi ketela...".Selanjutnya terdengar:..."aywa ki buyut semaŋ- semaŋ ri ki puyut... apan anapasupati-astra ring agraniŋ puyut....ana pinakasatrunta maŋaran ki puŋakan Gendis yogya pinatryan denta .." artinya: "Jangan ragu akan kesaktian buyut.....karena di ujumg buyut memiliki kesaktian.....disana ada musuh bernama Ki Pungakan Gendis yang harus dibinasakan....".

Mendengar sabdantara sedemikian, I Gusti Panji berhenti mencongkel umbi dan keris pusaka segera dimasukkan kesarungnya. I Gusti Panji mulai menyadari, bilamana suatu waktu dkemudian hari timbul keraguan di pikiran beliau, agar selalu ingat akan "Ki Semang", demikian nama kris pusaka tersebut. Mengalahkan Ki Pungakan Gendis. Diceritakan Ki Pungakan Gendis sedang dalam perjalanan pulang sehabis berjudi dan bersenang-senang. Beliau menunggang kuda diiringi oleh para pengawal.

Kebetulan I Gusti Panji juga dalam perjalanan. Ki Pungakan Gendis tiba-tiba terkejut berhadapan dengan seorang pemuda gagah yang berdiri didepannya. Seketika Ki Pungakan Gendis menghardik kudanya. Kudanya menjadi garang dan dengan kaki depannya sang kuda menggores dada I Gusti Panji hingga terjatuh, namun tidak terluka.

I Gusti Panji segera bangkit dan naik ke pohon lece. Ki Pungakan Gendis menyerang dengan kudanya, namun I Gusti Panji meloncat ke atas kuda dan keris pusaka menembus dada Ki Pungakan Gendis. Ki Pungakan gendis tidak segera menemui ajalnya karena memiliki ilmu kekebalan. Dengan tetap duduk di atas kudanya beliau meneruskan perjalanan pulang. Sampai dirumahnya barulah diketahui oleh para pengwalnya bahwa majikannya telah wafat karena tidak kuasa melawan kesaktian keris I Gusti Panji.

Keadaan penduduk desa Panji dan desa Gendis, sampai pada desa-desa sekitarnya tidak lagi merasa takut karena Ki Pungakan Gendis yang kelakuannya semena-mena terhadap penduduk telah tiada lagi. Sebaliknya, penduduk merasa mendapat perlindungan dan bimbingan dari I Gusti Panji yang dianggap pantas memimpin mereka.Menolong Perahu Terdampar.

Setelah beberapa lama, ada suatu kejadian, sebuah perahu bermuatan penuh barang dagangan terdampar di pantai Penimbangan. Perahu itu milik orang asing bernama Dempu Awang, seorang saudagar Cina. Dengan nada sedih sang saudagar minta tolong kepada Bendesa Gendis agar kapalnya bisa diselamatkan namun Bendesa Gendis tak sanggup menolong.

Kemudian datanglah I Gusti Ngurah Panji dan dengan cara yang penuh perhitungan beliau bisa melepaskan perahu dari jepitan batu karang, sehingga perahu itu kembali bebas. Sang saudagar Dempu Awang memberkan banyak hadiah kepada I Gusti Ngurah Panji berupa barang-barang mewah seperti piring - cangkir, cawan dan permadani, kain beludru yang mahal sampai bahan bangunan rumah. Selain itu juga uang kepeng atau jinah bolong alat pembayaran yang berlaku jaman itu.

Setelah mengucap syukur dan terima kasih kepada I Gusti Ngurah Panji, Dempu Awang pergi melajutkan pelayarannya.Dengan demikian, I Gusti Ngurah Panji mendapat harta yang cukup berlimpah yang diperlukan sebagai modal kelancaran geraknya dalam menjalankan tugas memimpin rakyat, disamping benda yang sudah dimiliki berupa keris pusaka Ki Semang dan tulup Ki Tunjungtutur yang mempunyai kekuatan magis sebagai kelengkapan dalam menjaga kewibawaan seorang pemimpin.
I Gusti Ngurah Panji sudah makin dewasa dalam umur dan juga dalam pengalaman. Setelah berumur melewati 20 tahun, beliau mengambil putri yang berparas ayu yang bernama I Dewayu Juruh. Gadis pilihannya itu tidak lain adalah putri Ki Pungakan Gendis almarhun yang dikalahkan dan gugur dalam perang tanding dahulu. Kemudian adik laki-laki I Dewayu Juruh tetap diberikan kekuasaan di Gendis dibawah asuhan Bendesa Gendis. Lama-kelamaan I Gusti Panji makin dikenal dan disegani di wilayah Den Bukit.Membangun Puri dan Pamerajan di desa Panji.
Setelah itu, I Gusti Ngurah Panji memindahkan pura yang berada di desa Gendis, yang disungsung oleh krama desa Gendis dan sekitarnya, ke pusat desa Panji. Seluruh masyarakat penyungsung pura tersebut menyatakan persetujuannya dan pura itu dijadikan Pura Desa Panji.Tidak berselang lama kemudian, I Gusti Ngurah Panji membangun puri terletak di sebelah timur jalan, bersebrangan dengan Pura Desa yang baru selesai.
Puri tersebut memang tidak dibangun secara mewah, namun sudah dilengkapi dengan merajan. Hal ini sesuai dengan petunjuk ayahnya I Gusti Ngurah Jelantik dahulu semasih di Gelgel sebagaimana ditegaskan kepada I Wayan Pasek agar dibuatkan Puri lengkap dengan Merajan. Semua merasa berbahagia, karena sekarang bisa terlaksana, yaitu I Gusti Ngurah Panji dinobatkan sebagai pemimpin dengan Puri serta Merajan. Namun sang ibu, Luh Pasek Gobleg tidak mau tinggal di dalam puri karena merasa dirinya kurang pantas dan tetap di rumahnya semula di sebelah utara. Semenjak itu penduduk bergembira dan sepakat untuk memberi beliau gelar "Ngurah", maka nama beliau menjadi I Gusti Ngurah Panji.

Membentuk Laskar Perang "Taruna Goak "Demikianlah I Gusti Ngurah Panji menjalankan kepemimpinannya dengan bijaksana dengan cara memberikan pengertian, pengayoman dan kemakmuran kepada rakyat di Den Bukit. Beliau sebagai seorang pemimpin perang, komandan pasukan, sang penakluk. Dengan pusaka keris Ki Semang dan Ki Tunjungtutur, seluruh rakyat Den Bukit tidak ada seorangpun berani menentang.

Dengan demikian beliau menjadi raja Den Bukit atau dengan nama Ler Gunung.Setelah usahanya berhasil menyatukan wilayah Den Bukit beliau membentuk laskar yang dsebut Teruna Gowak dibawah pimpinan Panglima Perang Ki Tamblang Sampun dan I Gusti Made Bahatan sebagai wakil Panglima Perang. Untuk menguatkan latihan perang, I Gusti Ngurah Panji mengangkat orang-orang bayaran, seperti orang Bugis dan orang Ambon sebagai pelatih perang.

Kemudian juga memasok senjata api yang diselundupkan orang-orang pelarian.Untuk menunjang kerajaan dari segi pembeayaan, perdagangan digiatkan.Beliau tidak segan-segan memperkerjakan orang asing seperti beberapa orang bangsa Cina, sebagai syahbandar dan Ambon, Makasar, juga beberapa orangBelanda sebagai untuk meningkatkan perdagangan.Patih I Gusti Agung Maruti mempengaruhi Dalem agar mengambil keris pusaka I Gusti Ngurah Jelantik.

Perlu diceritakan disini, bahwa sewaktu I Gusti Panji sedang memantapkan kedudukan di Den Bukit, terjadi kemelut dalam pemerintahan di istana Gelgel.Ini terjadi setelah Dalem Sagening wafat (tahun + 1650) yang kemudian digantikan oleh Dalem Pemayun yang masih muda. Pada waktu adanya peralihan jabatan itu muncul intrik dan fitnah antara kelompok para pejabatt Tinggi kerajaan untuk saling merebut kekuasaan.
I Gusti Ngurah Jelantik (ayah I Gusti Panji) di puri Jelantik, wafat karena umur lanjut. Beliau digantikan oleh putranya yang bernama I Gusti Gde Ngurah.yang tidak lain adalah adik (tiri) I Gusti Ngurah Panji. Setelah dinobatkan, I Gusti Gde Ngurah bergelar I Gusti Ngurah Jelantik, sama dengan gelar ayahnya. Karena masih muda beliau dibina oleh I Gusti Gde Pring, pamannya. Pada waktu itu yang menjadi Patih Dalem Gelgel adalah I Gusti Agung Maruti yang sangat ambisius, ingin mengambil kekuasaan kerajaan Gelgel.

Dalam pada itu I Gusti Agung Maruti bermaksud mengambil / memiliki keris sakti pusaka I Gusti Ngurah Jelantik yang bernama Ki Mertyu Jiwa /Pencok Sahang yang dulu dipakai mengalahkan Ki Dalem Dukut di Nusa. I Gusti Ngurah Jelantik menolak untuk menyerahkan keris pusaka warisan leluhurnya yang merupakan anugrah Ida Batara di Pura Besakih. I Gusti Agung Maruti berkali- kali mengerahkan pasukan bersenjata mau membunuh I Gusti Ngurah Jelantik atas nama Dalem, tetapi tidak berhasil.I Gusti Ngurah Jelantik Mengungsi keluar dari wilayah Gelgel.

Untuk menghindari kejadian yang makin meruncing I Gusti Ngurah Jelantik beserta pamannya I Gusti Gde Pring minta pertimbangan I Gusti Ngurah Panji di Den Bukit dengan bersurat-suratan. Dari pertimbangannya timbul keputusan agar I Gusti Ngurah Jelantik menyelamatkan diri, bersama seluruh keluarganya dengan cara mengungsi ke daerah Barat bersama para pendukung yang setia.
Sampailah mereka di tepi sungai Ayung waktu hari mulai gelap. Mereka berjalan beriringan dan berpegangan tangan melalui jembatan “titi gantung” diatas sungai Ayung. Setelah sampai di seberang sungai baru disadari bahwa putra kedua I Gusti Ngurah Jelantik lepas dari rombongan dan menghilang. Para pengiring diperintahkan untuk kembali ke seberang sungai dan mencari putranya yang berumur sekitar 4 tahun itu (Untung Surapati), namun sia-sia belaka tanpa hasil. Dengan rasa sedih perjalanan diteruskan sampai di desa Marga, Mengwi. Setelah I Gusti Ngurah Jelantik melepas tugas sebagai panglima perang kerajaan, malahan pergi mengungsi keluar Gelgel menyebabkan kemelut di Istana Gelgel kian menjadi-jadi. Sehingga banyak petinggi kerajaan ikut mengungsi ke luar wilayah Gelgel, ada yang ke wilayah Timur ada yang ke Barat.

Tetapi masih banyak kerabat dan rakyat yang setia dan tetap berada di wilayah desa Gelgel mendukung I Gusti Agung Maruti. Banyak keluarga warga masyarakat terpecah belah, bahkan para warga Arya juga terpecah karenanya sehingga terjadi konflik di sana-sini. Banyak diantara pecahan berbagai warga mengungsi ke Den Bukit minta perlindungan I Gusti Ngurah Panji.I Gusti Agung Maruti Mengambil Alih Pemerintahan Gelgel.Patih I Gusti Agung Maruti mendapat simpati dan dukungan yang cukup luas di kalangan pejabat istana juga dari para Manca dan Punggawa. Puri Gelgel dikepung, namun Dalem Di Made dengan bantuan Anglurah Singaharsa dapat meloloskan diri diiringi 300 orang rakyat yang setia. Di luar istana terjadi pertempuran sengit di Tukad Bubuh di selatan desa Gelgel. Perjalanan Dalem berhasil sampai di Guliang. Setelah beberapa lama berselang Dalem Di Made wafat di Guliang, meninggalkan 2 putra yaitu:
  1. Dewa Agung Mayun tinggal di Guliang membawa keris Ki Tanda Langlang, dan
  2. Dewa Agung Jambe tinggal di desa Sidemen diasuh oleh Anglurah Singharsa membawa keris samojaya.

I Gusti Agung Maruti mengangkat dirinya sebagai Dalem Gelgel dengan gelar Dalem Maruti Di Made (tahun 1655). Untuk memperkuat kedudukannya Dalem Maruti Di Made minta bantuan persenjataan bedil dan meriam kepada Belanda di Batavia. Namun pihak Belanda bingung adanya pergantian penguasa di Gelgel - Bali juga dengan nama Dalem.

Pertemuan di Puri Singharsa - Sidemen (Tahun 1685).Pemerintahan kerajaan Bali selama kekuasaan I Gusti Agung Maruti dijalankan dengan cara semena-mena. Lama-lama kondisi seperti itu menyebabkan banyak punggawa ataupun Manca di seluruh bagian wilayah Bali ingin melepaskan diri dari pemerintahan yang berpusat di Gelgel dan membentuk kerajaan sendiri-sendiri.

Setelah beberapa kali mengadakan musyawarah di Sidemen, Anglurah Singharsa atas nama Dewa Agung Jambe mengirim Surat Undangan ke pada I Gusti Anglurah Panji di Denbukit dan Anglurah Nambangan di Badung. Juga ke semua Punggawa sampai Manca yang masih setia untuk hadir di Puri Sidemen membicarakan keadaan Bali yang dalam bahaya perpecahan.I Gusti Anglurah Panji yang memang sudah paham isi surat segera memerintahkan Panglima Perang Ki Tamblang Sampun ke Sidemen untuk mewakili beliau.Pertemuan di Puri Sidemen di pimpin oleh Dewa Agung Jambe, Anglurah Singharsa dan Pedanda Wayan Buruan.
Mereka semua sepakat dengan tekad bulat untuk menghancurkan kekuasaan I Gusti Agung Maruti. Dewa Agung Jambe memberikan surat kepada Ki Tamblang Sampun supaya disampaikan kepada I Gusti Anglurah Panji di Den Bukit yang isinya meminta bantuan menggempur I Gusti Agung Maruti yang menguasai Istana Gelgel.

Pasukan "Teruna Gowak" Menyerang Gelgel. Gabungan pasukan koalisi Bali terdiri dari laskar "Taruna Gowak" dari Den Bukit dipimpin oleh Ki Tamblang Sampun dan I Gusti Made Batan bermarkas di desa Panasan, lengkap dengan sarwa senjata keris, tombak, bedil sebagian dengan berkuda. Juga tidak ketinggalan bunyi-bunyian perang, kendang bende, cengceng. Pada waktu yang sudah ditentukan mereka mulai menyerang Istana Gelgel dari arah Barat Laut.

Pasukan dari Badung dibawah pimpinan I Gusti Jambe Pule melalui arah pantai menyerang dari arah Selatan Istana lengkap dengan garangnya. Sedangkan laskar Singaharsa menyerang dari arah Timur Laut dengan terlebih dahulu menundukkan desa-desa sekitar Gelgel. I Gusti Agung Maruti segera memerintahkan pasukan untuk bertahan.
Sulit untuk menceritakan dahsyatnya pertempuran, saling serang, saling serbu sehingga banyak jatuh korban nyawa.Pasukan Gelgel dibawah pimpinan I Gusti Agung Maruti sedang sengitnya menggempur pasukan Badung di sebelah selatan Gelgel mengamuk sehingga pasukan Badung banyak jatuh korban sehingga I Gusti Jambe Pule terpaksa mundur.

Pasukan Gelgel dengan orang-orang Jumpai sangat kuat terus mengepung sehingga I Gusti Jambe Pule dari Badung akhirnya tewas. Setelah itu pasukan Gelgel muncul dibawah pimpinan Ki Padangkerta yang mengejar laskar Taruna Gowak dari Den Bukit yang lari tunggang langgang. Seorang pimpinan regu Teruna Gowak terbunuh sehingga pasukan Den Bukit terus mundur kembali ke desa Panasan. (Rakyat desa itu merasa panas dengan adanya laskar Den Bukit, maka desa dinamakan Panasan) Dengan mundurnya pasukan Badung dan Den Bukit maka Dalem Maruti Di Made tetap menguasai Istana Gelgel.
Rakyat menganggap I Gusti Agung Maruti sudah menang dan rakyat berbondong-bondong kembali ke Istana Gelgel mendukung kedudukan I Gusti Agung Maruti.Mendengar berita bahwa I Gusti Agung Maruti masih tetap bercokol di Istana Gelgel membuat I Gusti Anglurah Panji sangat kecewa dan marah. Segera memerintahkan menyusun kembali pasukannya dan segera melakukan penyerangan kembali langsung dibawah Panglima Perang I Gusti Tamblang dan I Gusti Made Batan dengan tambahan persenjataan bedil.

Penyerangan kembali dilancarkan sesuai perintah I Gusti Anglurah Panji dengan turunnya I Gusti Tamblang Sampun ke medan pertempuran. I Gusti Tamblang langsung berhadapan dengan Panglima Perang Gelgel, Ki Dukut Kerta. Perang tanding orang per orang berkecamuk dengan dahsyat antar jago silat, saling tebas saling tusuk. Keduanya sama berani dan tangguh. Selang berapa lama akhirnya Ki Tamblang mengeluarkan ajiannya dan dapat menipu Ki Dukut Kerta dengan gerakan yang tidak bisa ditangkap oleh penglihatan.
Tiba-tiba Ki Dukut Kerta roboh oleh senjata di tangan Panglima Perang "Teruna Goawak" Ki Tamblang Sampun.Seketika itu pasukan Gelgel lari tunggang langgang tak tentu arah menyelamatkan diri karena merasa ngeri dan ketakutan Setelah itu pasukan Anglurah Singharsa membuat ranjau di sekitar Istana Gelgel. Sedangkan laskar Dewa Agung Jambe menggempur pasukan pengawal I Gusti Agung Maruti yang masih berada di dalam Istana Gelgel dan tidak mau menyerah.

Pasukan Den Bukit juga ikut menggempur Istana Gelgel. Kembali terjadi pertempuran sengit kacau balau tidak jelas kawan dan lawan, sehingga banyak rakyat yang jadi korban terbunuh didalam istana. Orang berlarian cerai berai keluar istana, bahkan keluar kota Gelgel. Dalam keadaan hiruk pikuk, I Gusti Agung Maruti dapat lolos keluar istana dan melarikan diri ke arah Barat ditemani Kyai Kidul dan Ki Pasek karena sudah berjanji sehidup semati. Namun terus dikejar oleh pasukan Dewa Agung Jambe dan pasukan Anglurah Singharsa sampai di Jimbaran. Di Jimbaran disambut oleh pasukan bersenjata yang dipimpin oleh Ida Wayan Petung Gading. Akhirnya melarikan diri ke desa Kuramas.

Mengangkat Pedanda Kemenuh sebagai Purohita.Pada waktu pemerintahan Gelgel dikuasai I Gusti Agung Maruti dengan gelar Dalem Maruti Di Made, sebagaimana telah diceritakan, banyak petinggi kerajaan mengungsi ke luar wilayah Gelgel, ada yang ke wilayah Timur ada yang ke Barat, bahkan ada yang ke Den Bukit.Demikian juga dialami oleh seorang Pendeta Brahmana Kemenuh yang bergelar Pedanda Wiraghasandi ingin kembali ke Jawa karena merasa sudah tidak diperlukan lagi berada di Gelgel yang pemerintahannya tidak seperti dulu lagi.

Beliau dengan keluarga dan pengiring yang setia sudah beberapa lama berada di desa Kayuputih wilayah Den Bukit. Beliau diterima baik oleh Bendesa Ki Pasek Gobleg. Pedanda Wiraghasandi selain ahli dalam Weda juga pandai membuat senjata seperti keris bertuah, sehingga dikenal dengan "keris pakaryan Kayuputih".
Pada suatu hari Ida Pedanda bersiap untuk berangkat meneruskan perjalanannya kembali ke Jawa, karena sudak cukup lama berada di desa Kayuputih. Namun dicegah oleh Bendesa Ki Pasek Gobleg agar beliau jangan pergi dan mohon dengan sangat kesediaannya untuk terus menetap di Kayuputih. Ida Pedanda mengatakan, beliau merasa ragu untuk mengikuti permintaan Ki Bendesa karena belum mendapat ijin I Gusti Ngurah Panji. Seketika Ki Pasek Gobleg tersentak, bahwa benar apa yang dikatakan Ida Pedanda.

Maka segera Ki Pasek Gobleg minta diri dan segera menghadap I Gusti Ngurah Panji di Puri Panji.Setelah Ki Pasek Gobleg memaparkan peristiwa yang menimpa Ida Pedanda Wiraghasandi, segera I Gusti Ngurah Panji menyongsong ke Kayuputih. Singkat cerita, terjadilah pembicaraan yang akrab dan saling menghormati. I Gusti Ngurah Panji mengangkat Ida Pendanda Wiraghasandi sebagai Bagawanta atau Purohita dan dikenal dengan nama Pedanda Sakti Ngurah.

Beliau dipindahkan ke Asram Banjar Ambengan dengan menguasai wilayah sebelah Barat Kalibukbuk dengan penduduk 3000 orang.Dengan didampingi seorang Bagawanta, I Gusti Ngurah Panji setiap waktu bisa mendapat petunjuk mengenai tata cara dan melengkapi persyaratan dalam membentuk kerajaan yang kuat dan mandiri. Atas petunjuk yang diberikan oleh Sang Bagawanta dibangun Prangkat Tatabuhan sebagai salah satu kelengkapan sebuah Kaprabonan atau Kerajaan. Perangkat tatabuhan diberi nama Juruh Satukad, paling depan dan belakang adalah Terompong, karena suaranya sangat menyayat hati dan manis seperti madu mengalir memenuhi sungai.

Sepasang padahi disebut Bentar Kedaton karena suaranya seperti guruh membelah langit. Sebuah bende dinamai Ki Gagak Ora, suaranya seperti ribuan burung, sebuah petuk kajar dikenal dengan nama KI Tundung Musuh, dengan suara mengerikan membuat musuh lari terbririt-birit. Kemudian ada beri yang namanya Glagah Katunwan dengan suara seperti padi kebakaran yang sangat menakutkan. Kemudian ada sepasang gubar, suaranya seperti guntur bertalu-talu karenanya diberi nama Gelap Kesanga. Demikianlah Tatabuhan yang telah dimiliki oleh I Gusti Ngurah Panji yang telah menyatakan diri sebagai raja Buleleng (Den Bukit)

I Gusti Ngurah Jelantik kembali ke Gelgel.Keberadaan kota Gelgel berangsur pulih setelah I Gusti Agung Maruti dapat dikalahkan. Namun kondisi Puri Gelgel dengan pemerintahannya haruslah ditata kembali. Dewa Agung Jambe memohon agar Dewa Agung Mayun, kakaknya, mau duduk sebagai kepala pemerintahan sebagai penerus Sesuhunan Bali.Namun Dewa Agung Mayun tidak mau karena kemenangan bukan karena perjuangan beliau. Untuk menata kembali pemerintahan, Dewa Agung Jambe memanggil semua keluarga / kerabat keturunan para Arya yang dulu pernah setia untuk kembali bergabung sebagaimana yang dulu pernah dilakukan oleh para leluhur mereka.

Semuanya diingat kembali, terutama I Gusti Ngurah Jelantik yang sudah mengungsi di desa Selantik wilayah Mengwi. Setelah beliau wafat, diganti oleh putranya, I Gusti Ngurah Gde sudah bergelar I Gusti Ngurah Jelantik sebagaimana gelar ayahandanya. Dewa Agung teringat akan semua jasa I Gusti Ngurah Jelantik waktu pemerintahan dipegang leluhurnya dahulu.Dewa Agung Jambe mengetahui bahwa I Gusti Ngurah Jelantik faham perihal tattwa dan juga sudah “mabisheka”.

Namun beliau berada di desa Selantik tidak lagi di Gelgel. Maka ditugaskan seorang utusan untuk membawa surat ke desa Selantik. Sampailah utusan di Selantik dan masuk ke istana Jelantik yang sedang penuh sesak oleh para tamu dan pelayan istana.I Gusti Ngurah menyapa:
  • ,, Eh, kita anu, tan wruh manira! Wong saking ĕndi sira datĕng mara ngke? Warah manira!”(Ee, engkau siapa, aku belum kenal! Orang dari mana kamu datang kepadaku? Jelaskan kepadaku).Utusan menjawab: ,,Sējnĕ, ki gusti, kawula ingutus denira pĕduka bhattara ring Gelgel, sang apura ring Semarapura, kenendyan angaturakĕn puang cewalapatra”


(Mohon maaf ki gusti, hamba diutus beliau paduka batara di Gelgel, yang beristana di Semarapura, bertugas menghaturkan sebuah surat”).Surat itu pun diambil oleh I Gusti Ngurah. Isi suratnya:,,
  • Eh, kita Ngurah Jelantik, mulih po kita maring Gelgel! Ulihana weçmana mwah ana ring Jelantik. Aywa kita alah-aca, anut wyadhi ning bapanta nguni, apan citra ning dewa, mangke manira eling i kita, tan dadi laling citta, apang tan mageng pangayanta lawan manira, sangkaning kuna-kuna”.
  • (E, Ngurah Jelantik, pulanglah kembali ke Gelgel. Dan kembali tinggal di istana yang ada di Jelantik. Jangan kita salah pengertian, sesuaikan kembali sebagai ayahmu dulu, karena selalu ingat akan leluhur, sekarang aku ingat padamu, tidak boleh kita saling melupakan, karena besar tugas kita bersama-sama, sejak jaman dahulu).

(Bersambung)

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright @ 2013 PEJUANG ISLAM.