13. Sultan Iskandar Tsani
Sultan Iskandar Tsani Alauddin Mughayat Syah (meninggal tahun 1641) merupakan Sultan Aceh ketiga belas, menggantikan Sultan Iskandar Muda. Iskandar Tsani adalah putera dari Sultan Pahang, Ahmad Syah, yang dibawa ke Aceh ketika Aceh menguasai Pahang pada tahun 1617 oleh Sultan Iskandar Muda. Ia menikah dengan puteri Sultan, yang kemudian bernama Ratu Safiatuddin, dan menggantikan Iskandar Muda sebagai Sultan Aceh ketika ia wafat pada tahun 1636. "Tsani" dalam bahasa Arab berarti "dua".Memerintah sejak kemunduran dari Armada Aceh pada 1629, Iskandar Tsani tidak dapat melanjutkan kesuksesan pemerintah sebelumnya. Ia merupakan penguasa yang kuat, sanggup menekan orang kaya (bangsawan Aceh) dan berusaha untuk mensentralisasikan kekuasaan seperti yang dilakukan oleh Iskandar Muda.[1] Masa pemerintahannya terlalu pendek untuk membuat perubahan besar, bagaimanapun, setelah kematiannya kalangan elit memaksa pengaruh mereka, dan menempatkan jandanya, Ratu Safiatuddin, di kekuasaaan, sebagai yang pertama dari beberapa sultan yang lemah.[2]
Seperti Iskandar Muda, Istana Iskandar Tsani dikenal sebagai pusat dari pendidikan Islam. Ia merupakan pelindung dari Nuruddin ar-Raniri, seorang cendikiawan Islam dari Gujarat yang datang ke Aceh pada tahun 1637.
Referensi
Sumber14. Sultanah Shafiyatuddin
Sultanah Safiatuddin bergelar Paduka Sri Sultanah Ratu Safiatuddin Tajul-’Alam Syah Johan Berdaulat Zillu’llahi fi’l-’Alam binti al-Marhum Sri Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam Syah. Anak tertua dari Sultan Iskandar Muda dan dilahirkan pada tahun 1612[1] dengan nama Putri Sri Alam. Safiatud-din Tajul-’Alam memiliki arti “kemurnian iman, mahkota dunia.” Ia memerintah antara tahun 1641-1675. Diceritakan bahwa ia gemar mengarang sajak dan cerita serta membantu berdirinya perpustakaan di negerinya.[2] Safiatuddin meninggal pada tanggal 23 Oktober 1675.[1]Riwayat
Sebelum menjadi sultanah
Sebelum ia menjadi sultana, Aceh dipimpin oleh suaminya, yaitu Sultan Iskandar Tsani (1637-1641). Setelah Iskandar Tsani wafat amatlah sulit untuk mencari pengganti laki-laki yang masih berhubungan keluarga dekat. Terjadi kericuhan dalam mencari penggantinya. Kaum Ulama dan Wujudiah tidak menyetujui jika perempuan menjadi raja dengan alasan-alasan tertentu. Kemudian seorang Ulama Besar, Nurudin Ar Raniri, menengahi kericuhan itu dengan menolak argumen-argumen kaum Ulama, sehingga Sultana Safiatuddin diangkat menjadi sultana.[2]Masa pemerintahan
Sultanah Safiatuddin memerintah selama 35 tahun, dan membentuk barisan perempuan pengawal istana yang turut berperang dalam Perang Malaka tahun 1639. Ia juga meneruskan tradisi pemberian tanah kepada pahlawan-pahlawan perang sebagai hadiah dari kerajaan.Hubungan luar negeri
Sejarah pemerintahan Sultana Safiatuddin dapat dibaca dari catatan para musafir Portugis, Perancis, Inggris dan Belanda. Ia menjalankan pemerintahan dengan bijak, cakap dan cerdas. Pada pemerintahannya hukum, adat dan sastra berkembang baik.[2] Ia memerintah pada masa-masa yang paling sulit karena Malaka diperebutkan antara VOC dengan Portugis. Ia dihormati oleh rakyatnya dan disegani Belanda, Portugis, Inggris, India dan Arab.[1]Penasehat negara
Pada masa pemerintahannya yang terdapat dua orang ulama penasehat negara (mufti) yaitu, Nuruddin ar-Raniri dan Abdurrauf Singkil yang bergelar Teungku Syiah Kuala. Atas permintaan Ratu, Nuruddin menulis buku berjudul Hidayatul Imam yang ditujukan bagi kepentingan rakyat umum, dan atas permintaan Ratu pula, Abdurrauf Singkil menulis buku berjudul Mir'at al-Thullab fî Tasyil Mawa'iz al-Badî'rifat al-Ahkâm al-Syar'iyyah li Malik al-Wahhab, untuk menjadi pedoman bagi para qadhi dalam menjalankan tugasnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa ratu Safiatuddin bukan saja mengutamakan kesejahteraan negerinya tetapi juga berusaha menjalankan pemerintahannya sesuai dengan hukum Islam. [3]Referensi
- ^ a b c Perempuan-perempuan Aceh Tempo Dulu yang Perkasa. Kabari, 19 Maret 2008.
- ^ a b c Kronik Perempuan-perempuan Pejuang Aceh di Kalyanamedia
- ^ Posisi Perempuan Dalam Politik Melayu Aceh. (A. Hasjmi. 59 Tahun Atjeh Merdeka, h. 110)
15. Sultanah Naqiyatuddin
Sultanah Naqiatuddin Nurul Alam adalah puteri Malik Radiat Syah. Ia memerintah setelah wafatnya Sultanah Safiatuddin, pada tahun 1675. Masa pemerintahannya hanya berlangsung selama 3 tahun sampai tahun 1678.[1]Hal penting dan fundamental yang dilakukan oleh Naqiatuddin pada masa pemerintahannya adalah melakukan perubahan terhadap Undang Undang Dasar Kerajaan Aceh dan Adat Meukuta Alam.[1]
Aceh dibentuk menjadi tiga federasi yang disebut Tiga Sagi (lhee sagoe). Pemimpin Sagi disebut Panglima Sagi. Maksud dari pemerintahan macam ini agar birokrasi tersentralisasi dengan menyerahkan urusan pemerintahan dalam nagari-nagari yang terbagi Tiga Sagi itu. Untuk situasi sekarang, sistem pemerintahan Kerajaan Aceh dulu sama dengan otonomi daerah.[1]
Ia menghadapi tantangan yang lebih berat dari sultanah sebelumnya. Ia harus menghadapi ancaman dari kolonial Kristen (Belanda, Inggris dan Portugis), sementara konflik intern juga terjadi ketika komunitas Wujudiyah menyebarkan ajarannya. Selain itu, terdapat pula kelompok yang menentang pemerintahannya. Perlawanan terhadap pemerintahannya dilakukan melalui sabotase serta pembakaran Kota Aceh.[2]
Referensi
16. Sultanah Zaqiyatuddin
Sultanah Zaqiatuddin Inayat Syah menggantikan sultanah sebelumnya yang meninggal yaitu Sultanah Naqiatuddin Syah pada tahun 1678.[1]Menurut orang Inggris yang mengunjunginya tahun 1684, usianya ketika itu sekitar 40 tahun. Ia digambarkan sebagai orang bertubuh tegap dan suaranya lantang. Inggris yang hendak membangun sebuah benteng pertahanan guna melindungi kepentingan dagangnya ditolak Ratu dengan mengatakan, Inggris boleh berdagang, tetapi tidak dizinkan mempunyai benteng sendiri.[1]
Tamu lainnya adalah kedatangan utusan dari Mekkah. Tamu tersebut bernama al-Hajj Yusuf E. Qodri yang diutus oleh Raja Syarif Barakat yang datang tahun 1683. Ratu meninggal 3 Oktober 1688, lalu ia digantikan oleh Sultanah Zainatuddin Kamalat Syah.[1]
Menurut riwayat, Zaqiatuddin pernah memerintahkan kepada Teungku Syiah Kuala untuk menerjemahkan Hadits Arba'in karya Imam Nawawi.[2]
Referensi
- ^ a b c Perempuan-perempuan Aceh Tempo Dulu yang Perkasa. Kabari, 19 Maret 2008.
- ^ Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama: Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Penerbit Kencana, Jakarta. Cetakan I, 1998.
17. Sultanah Zainatuddin
Paduka Seri Baginda Sultana Zainatuddin Kamalat Syah binti al-Marhum Raja Umar (ada pula yang menyebut Ziatuddin[1]), mewarisi tahta kerajaan setelah kematian Sultanah Zaqiatuddin, pada tahun 1688.Ada dua versi tentang asal-usulnya. Pertama ia adalah putri dari Raja Umar bin Sutan Muda Muhammad Muhidudin sekaligus adik angkat dari Sultanah Zaqiatuddin Inayat Syah. Yang kedua ia adalah anak angkat Ratu Sultanah Safiatuddin Syah. Yang jelas, Ratu Zakiatuddin Syah berasal dari keluarga-keluarga Sultan Aceh juga.[2]
Pada masa Kamalat Syah bertahta, para pembesar kerajaan terpecah dalam dua pendirian. Orang kaya bersatu dengan golongan agama menginginkan kaum pria kembali menjadi Sultan. Kelompok yang tetap menginginkan wanita menjadi raja, adalah Panglima Sagi. Ia turun tahta pada bulan Oktober 1699. Pada masa pemerintahannya, ia mendapatkan kunjungan dari Persatuan Dagang Perancis dan serikat dagang Inggris, East Indian Company.[2]
Dia menikah dengan Sayid Ibrahim yang kemudian menggantikannya menjadi sultan dari Kesultanan Aceh dengan gelar Sultan Badrul Alam.
Dengan Sultan Badrul Alam, dia memiliki anak:
- Sayyid Jafar Bhadiq, yang kemudian menjadi Sultan Perkasa Alam Syarif Lamtawi.
- Sayyid Ali Zainal Abidin, yang juga kemudian menjadi Sultan Jamalul Alam Badrul Munir.
0 komentar:
Posting Komentar