Minggu, 26 Januari 2014

Filled Under:

Perang Aceh (1876-1877)

Perang Aceh (1876-1877) adalah masa setelah meninggalnya Jend. Johannes Ludovicius Jakobus Hubertus Pel pada tahun 1876, ketika Belanda menerapkan strategi bertahan dan menunggu.

Latar belakang

Setelah tewasnya Pel dalam ekspedisi sebelumnya, Overste Engel diangkat sebagai komandan tertinggi dan maju dalam pertempuran di IX Mukim. Di hari setelah kedatangannya, mereka maju ke Silang, tempat seluruh angkatan berkumpul dan segera maju ke Kuala Gigieng. Pada tanggal 20 Maret, kubu dipersiapkan di sana dan dipersenjatai dengan 2 meriam dan 2 mortir berukuran 12 cm. Mereka tetap di sana dan di Kuta Pohama yang telah diduduki untuk menjaga komunikasi sepanjang garis pantai dan memastikan pasukan telah mengendalikan seluruh laguna tersebut, dan masyarakat setempat menyerahkan diri pada Belanda. Rencana operasi Jend. Pel sekarang dilaksanakan sepenuhnya. Pada tanggal 10 Maret, MayJend. GBT. Wiggers van Kerchem, pengganti Jend. Pel, menjadi komandan militer dan sipil. Ketika pemerintahan ditegakkan, ia mengetahui bahwa beberapa bagian Aceh Besar sudah ditaklukkan dan diduduki. Namun, sebagian besar pos lainnya harus melindungi daerah yang ditaklukkannya dan komunikasi antarpos tersebut diharapkan tetap terjalin, juga keamanan di wilayah-wilayah yang telah ditaklukkan. Hanya di daerah sekitaran Kutaraja (kini Banda Aceh) jalanan yang dapat dipergunakan dibangun. Namun lainnya harus dibatasi hingga pembersihan penting dan memungkinkan perataan tanah. Operasi tidak dilakukan untuk sementara waktu dan harus berkutat pada perbaikan tempat kedudukan terkini. Batas antara XXV Mukim dan XXII Mukim diputuskan melalui surat berantai, dan penduduk dilarang membawa senjata.

Pantai Perak.

Aceh di bawah Jenderal Wiggers van Kerchem

Dengan naiknya Jend. Wiggers van Kerchem, keadaan cukup tenang, namun keamanan tidak benar-benar terwujud. Di saat yang sama, pejuang Aceh mengadakan perang gerilya dan di Aceh Besar belum mengalami atau sedang memikirkan untuk merapat ke musuh.
Konvoi dan patroli terus-menerus terkena serangan tak terduga, orang-orang yang berani berada di luar gerbang akan menghadapi bahaya perampokan atau pembunuhan. Jenazah orang-orang yang demikian itu akan dipertontonkan dengan disabet-sabet kelewang atau dimutilasi secara mengerikan. Prajurit yang tertangkap musuh banyak yang disiksa habis-habisan sehingga mereka banyak yang memilih bunuh diri daripada tertangkap musuh. Sejumlah dinas diluncurkan dan banyak yang terserang penyakit serius, biasanya kolera, dan korban banyak berjatuhan. Pada tanggal 21 Maret, angkutan barang di bawah pimpinan LetTu. W. van Heeckeren van Molecaten diserang dekat Atu; perwira tersebut terluka dan 5 orang lainnya terbunuh; karena pejuang Aceh sudah merangsek ke tepi tenggara dari garis memanjang, Wiggers van Kerchem mengetahui apa yang diperlukan, bahwa di sana seorang perwira medan harus ditempatkan dan harus bisa memimpin serangan ke kubu tersebut; Kol. Karel van der Heijden (sejak tanggal 1 April menjadi komandan di Garis Tenggara) dibebani tugas itu. Pada malam 2 Mei, Lampagar jatuh; di sisi utara, musuh merangsek ke pos yang belum diperlengkapi dengan baik serta menyerang orang-orang di sana. Kapiten J.W.C.C. Hoynck van Papendrecht, Let. N. van de Roemer dan 5 prajurit pribumi terbunuh; 16 pria dan 5 wanita terluka parah. Apakah para tetua dan penduduk IV Mukim dan VI Mukim tidak percaya sekarang, keadaan di IX Mukim juga masih berbahaya dan diambil keputusan atas daerah ini dengan barisan berkekuatan memadai untuk ikut campur dan membasmi musuh. Oleh karena itu, 3 barisan disiapkan, di bawah pimpinan May. Diepenheim, Overste Engel dan Kol. Van der Heijden. Operasi harus dipimpin oleh Jend. Wiggers van Kerchem sendiri, yang ikut dalam barisan pertama. Aksi tersebut mengharuskan dibangunnya kubu baru di Bilul Selatan, yang pernah diserang pejuang Aceh.

Operasi militer selanjutnya

Sekitar waktu itu, Habib Abdurrahman azh-Zhahir, yang bantuan pertamanya telah dimanfaatkan oleh pemerintah Belanda, menjadi pimpinan perlawanan di Aceh Besar. Pedir tetap dianggap sebagai negeri yang paling terkemuka dan berpengaruh di Aceh dan Taklukannya; kemudian pemerintah Hindia-Belanda memutuskan untuk menempatkan asisten residen L. de Scheemaker di sana dan untuk melindungi dibangunlah kubu, di mana sebuah titik dekat pantai yang berdekatan dengan Krueng Pidie dipilih. Sikap penduduk Pedir amat bermusuhan sehingga May. H.K.F. van Teijn dikirim ke Pedir bersama dengan 1 kompi dari Batalyon VIII. Pada bulan Juli 1876, gagasan gerakan militer itu terlaksana dengan serbuan terhadap pejuang musuh di IV Mukim dan VI Mukim dan untuk melindungi tujuan tersebut, sebuah pos di Krueng Raba didirikan. 2 barisan beranggotakan 300 serdadu di bawah pimpinan May. Diepenheim dan Lubeck dikerahkan untuk tujuan ini; perintah tersebut dilaksanakan dan bangunan pos tidak dirusak. Namun, di bulan itu juga, sejumlah patroli diserang pada tanggal 14 dan 28 Juli.
Pada tanggal 1 September, 3 barisan di bawah May. Ruempol, Burgers dan Jeltes bertolak dari Kutaraja menuju Ulee Kareung; Overste Van Bennekom menjadi pimpinan umum, sementara Jend. Wiggers van Kerchem akan memimpin operasi selanjutnya bersama kepala staf. Meskipun terjadi perlawanan sengit dari musuh, tetap pasukan mencapai Tonga dan Lamnyong. Pada hari itu, 7 orang dan 3 perwira tewas sementara 42 orang lainnya terluka. Pada tanggal 26 September, musuh dikalahkan di mana-mana, 22 pucuk senjata dirampas dan sebuah pos dibangun di Kajhu, di mana Overste Ruempol dengan anak buahnya dapat kembali ke Kutaraja. Karena pandangan politiknya atas pemerintah Hindia-Belanda yang tak terpecah, Wiggers van Kerchem dibebastugaskan dari kedudukannya secara terhormat, digantikan oleh May. AJE. Diemont dan Diemont mengemban tugas menaklukkan Tanjung Seumantoh (pasukan yang dipimpin Hendrik Eduard Schoggers menunggu di sini) dan Simpang Ulim di pantai timur Sumatera, yang masih menunjukkan sikap permusuhan. Di akhir tahun 1876, kedudukan Belanda di Aceh lebih aman.

 Jembatan di Krueng Aceh, Kutaraja (kini Banda Aceh).

Operasi militer di bawah pimpinan MayJend. Diemont

Pada tanggal 25 Januari 1877, pasukan kembali dikerahkan ke daerah pantai Kuala Gigieng hingga Kuala Lue untuk merebutnya kembali (bagian terakhir rencana Jend. Pel yang belum terlaksana); Lamnga diduduki tanpa perlawanan dan kini musuh mencegat sepanjang pantai dari Pedir ke Kuala Lue dan berjalan lebih lanjut ke XXII Mukim; kini rencana itu dilaksanakan sepenuhnya untuk mempertimbangkan tindakan selanjutnya. Untuk itu, GubJend. Johan Wilhelm van Lansberge mengadakan kunjungan ke Aceh; sejumlah penguasa dan tetua tiba di Kutaraja untuk memberikan penghormatan pada gubernur dan dalam pidatonya mereka mendorong kerja sama untuk menciptakan keamanan dalam pemerintahan Belanda dan menjanjikan renovasi Masjid Raya. Akta pengakuan diberikan terhadap pimpinan di negeri-negeri pesisir yang belum ditaklukkan, yakni Simpang Ulim dan Kluang; Rigaih, Teunom, Teluk Kruet dan Sabee. Setelah itu, didirikanlah pemerintahan pribumi di XXV Mukim. Di awal tahun 1877, kekuatan pasukan penakluk berjumlah 351 perwira dan 9235 lainnya dan kekuatan perang tersebut tidak dapat berkurang karena negeri pesisir, seperti Samalanga, kekuatan persenjataan Belanda tersebut masih dirasakan. Walaupun demikian, diputuskan pula pembangunan rumah sakit militer yang besar di Pante Perak, tempat 2.000 pasien dirawat. Di samping itu, pada bulan April, Analabu diduduki dan tindakan militer diarahkan ke Lhoong, Baba Awe dan No di pantai selatan, yang akhirnya bisa ditaklukkan. Karena MayJend. Diemont sakit, kepemimpinan harus dialihkan kepada Kol. Van der Heijden pada tanggal 30 Juni, yang untuk mempersiapkan peraturan yang lebih rinci, diangkat sebagai gubernur sipil dan militer sementara di Aceh.

Reruntuhan benteng dekat Lamnyong di masa Hindia Belanda




Sumber

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright @ 2013 PEJUANG ISLAM.