Prinsip damai
Kerajaan Gowa dalam menyebarluaskan Islam dapat dicermati ketika Raja
Gowa XIV Sultan Alauddin bersama Mangkubumi (Raja Tallo) Sultan Awwalul
Islam dan pasukannya mendatangi Bone untuk mengajak memeluk Islam.
Mereka tiba di Bone dan mengambil tempat di Palette. La Tenriruwa, Raja
Bone XI, adalah raja Bone yang pertama memeluk agama Islam. Setelah
mengadakan pembicaraan antara Raja Gowa dan Raja Bone, rakyat Bone
dikumpulkan di suatu lapangan terbuka karena Raja akan menyampaikan
sesuatu kepada mereka. Berkatalah Raja Bone La Tenriruwa kepada rakyat
banyak:
Hai rakyat Bone, saya sampaikan padamu, bahwa kini Raja Gowa datang ke Bone menunjukkan jalan lurus bagi kita sekalian ialah agama Islam, mari kita sekalian terima baik Raja Gowa itu. Karena bagi saya sendiri sudah tidak ada kesangsian apa-apa. Saya sudah yakin benar bahwa Islam inilah agama yang benar, yaitu menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa dan mengikut Nabi Muhammad saw.
Selanjutnya Raja Bone La Tenriruwa berkata lagi:
Memang ada kata sepakat moyang kami dengan Raja Gowa yang mengatakan, bahwa barangsiapa di antara kita mendapat kebaikan, dialah menuntun di depan. Raja Gowa berkata bahwa bila agama Islam diterima oleh kita, maka Gowa dan Bone adalah dua sejoli yang paling tangguh di tengah lapangan. Bila kita terima agama Islam, maka kita tetap pada tempat kita semula. Akan tetapi, bila kita diperangi dahulu dan dikalahkan, baru kita terima agama Islam, maka jelas rakyat Bone akan menjadi budak dari Gowa. Saya kemukakan keterangan ini, kata Raja Bone La Tenriruwa, bukan karena saya takut berperang lawan orang-orang Makassar. Tapi kalau semua kata-kata dan janji Raja Gowa itu diingkarinya, maka saya akan turun ke gelanggang, kita akan lihat saya ataukah Raja Gowa yang mati.
Demikian isi pidato Raja Bone La Tenriruwa kepada rakyat banyak.1
Kalau kita
mencermati petikan pidato di atas dapat dipahami, bahwa betapa Raja Gowa
memiliki maksud yang baik kepada Raja Bone dan Rakyat Bone untuk hanya
semata-mata agar memeluk Islam. Bahkan dikatakan kepada mereka, jika mau
memeluk Islam maka Kerajaan Bone dan Gowa hidup sejoli yang saling
menguatkan satu sama lain. Namun, sekalipun Raja Bone La Tenriruwa sudah
memeluk Islam lalu mengajak rakyatnya, maka rakyatnya pun menolak
bahkan Ade’ Pitue (Hadat Tujuh) memecat La Tenriruwa dari tahtanya, dan
bermufakat mengangkat La Tenripale to Akkapeang menjadi raja Bone XII
(1611-1625). Akhirnya, Raja Bone XII inilah yang berperang dengan Raja
Gowa sehingga ditaklukkan oleh Gowa, kemudian mereka masuk Islam.
Abdul Razak
Daeng Patunru’ (1969: 21) menguraikan bagaimana Gowa mengajak
kerajaan-kerajaan memeluk Islam, “Pada hakekatnya Raja Gowa sebagai
seorang Muslim dan memegang teguh prinsip agama Islam, bahwa penyebaran
Islam harus dilakukan secara damai. Pada mulanya sama sekali tidak
bermaksud untuk memaksa raja-raja menerima Islam, tetapi karena ternyata
kepada Baginda, bahwa selain raja-raja itu menolak seruan Baginda,
mereka pun mengambil sikap dan tindakan yang nyata untuk menentang
kekuasaan dan pengaruh Gowa yang sejak dahulu telah tertanam di
tanah-tanah Bugis pada umumnya.”
Hubungan Kerajaan Gowa dengan Khilafah Islamiyah
Hubungan
Kerajaan Gowa dengan Khilafah Islamiyah pada waktu itu, yang dapat kita
pahami adalah dalam hal pemberian gelar “sultan” kepada raja-raja Gowa
yang diberikan oleh Mufti Makkah menurut penuturan Andi Kumala Idjo, SH
sebagaimana sudah disebutkan sebelumnya.
Mirip dengan pernyataan Prof. DR. M. Ahmad Sewang, pakar Sejarah UIN Alauddin Makassar,2 bahwa
memang pada masa kerajaan-kerajaan dulu telah masuk Islam, ada semacam
pengakuan atau legitimasi yang harus datang dari Turki Utsmani sebagai spiritual power
(Dunia Islam masa itu) kepada raja terpilih. Beliau mencontohkan
legitimasi Sultan Buton oleh Turki Utsmani sekalipun beliau mengatakan
tidak sejauh itu pernah membahas masalah ini. Hanya saja, Bapak Prof.
Sewang menambahkan, bahwa Turki Utsmani adalah Khalifah.
Selain itu
yang dapat kita lihat adalah foto Raja Gowa yang ke-33, I Mallingkaan
Daeng Nyonri Sultan Idris (1893-1895), yang terpajang di Museum
Ballalompoa saat ini, menurut Andi Kumala Idjo, SH adalah pakaian Turki
dilihat dari baju dan songkok Turkinya.3 [Gus Uwik]
Catatan kaki:
- H.A. Massiara Dg. Rapi, Menyingkap Tabir Sejarah dan Budaya di Sulawesi Selatan (hlm. 63-91), Lembaga Penelitian dan Pelestarian Sejarah dan Budaya Sulawesi Selatan TOMANURUNG, 1988.
- Prof. Dr. Ahmad Sewang, MA, “Wawancara”, LF HTI Gowa, Desember 2007
- Andi Kumala Idjo, SH. “Wawancara”, LF HTI Gowa, Desember 2007
Sumber
0 komentar:
Posting Komentar