Penyebaran
Islam yang dilakukan oleh Kerajaan Gowa-Tallo di seluruh Sulawesi
Selatan, bahkan sampai kebagian timur Nusantara, telah memberikan
pengaruh dan perubahan terhadap kehidupan sosial-masyarakat yang
meliputi segala bidang; baik aspek politik, pemerintahan, ekonomi maupun
sosial-budaya. Tentu perubahan ini mengarah pada islamisasi segala
aspek kehidupan tersebut. Karena begitu kuatnya pengaruh Islam yang
dikembangkan oleh para mubalig dengan dukungan para raja-raja yang telah
memeluk Islam, maka rakyat kerajaan berbondong-bondong memeluk Islam
tanpa dipaksa ataupun diancam.
Ini
bisa kita lihat dari bagaimana proses islamisasi di Sulawesi Selatan
yang dimulai pada abad ke-17 ini dapat mengubah sendi-sendi
“Pangngadakkan (Makassar) atau Pangngaderreng (Bugis) yang menyebabkan
pranata-pranata kehidupan sosial-budaya orang Makassar dan Bugis, Mandar
dan lain-lain memperoleh warna baru, karena sara’ (syariah) telah masuk pula menjadi salah satu dari sendi-sendi adat-istiadat itu.
Pangadakkang/Pangngaderreng adalah sistem pranata sosial yang berisi kitab undang-undang dasar tertinggi orang Bugis/Makassar.1 Sistem
pranata sosial ini sudah lama mengakar dan diterapkan dalam kehidupan
masyarakat Bugis/Makassar. Sebelum Islam datang Pangngadakkan ini
terdiri 4 sendi yaitu: Ade’ (Adat istiadat), Rapang (Pengambilan keputusan berdasarkan perbandingan), Wari’ (Sitem protokoler kerajaan), dan Bicara (Sistem hukum). Kemudian bertambah satu sendi lagi, yakni Sara’ (syariah Islam) setelah Islam resmi diterima sebagai agama kerajaan.2
Dalam praktiknya, 4 (empat) dari yang pertama dipegang oleh Pampawa Ade’ (Pelaksana Adat), yaitu Raja dan Pembantu-pembatunya; yang kelima dipegang oleh Parewa Sara’
(perangkat Syariat) dipimpin oleh Ulama, Imam, Kadi (Qodhi), dan para
pembantunya. Kedua lembaga ini memiliki fungsi dan tugas sesuai dengan
bidangnya masing-masing dan memiliki kekuasaan otonomi tersendiri.
Pemimpin tertinggi Pampawa Ade’ adalah Raja yang khusus menangani pemerintahan. Pemimpin tertinggi Parewa sara’
adalah ulama yang menagani hal-hal yang berhubungan dengan syariah
Islam. Adanya dikotomi tugas ini berimplikasi pada sistem pengaturan
sosial selanjutnya, tetapi tidak berarti terjadi sekularisasi antara
urusan Kerajaan dan keagamaan (bukan pemisahan negara dengan Islam, pen.).
Sebab, dalam praktiknya, keduanya saling mengisi atau beriringan; namun
adat tetap tunduk pada ajaran (syariah) Islam. Yang terjadi kemudian
adalah syariah Islam tetap bertoleransi pada adat sepanjang tidak
bertentangan dengan pelaksanaan syariah Islam. Karena syariah Islam
telah masuk ke dalam sistem Pangngadakkan/Pangngaderreng, maka wibawa
dan kepatuhan rakyat pada Islam dan adat sama kuatnya.3
Syariah Islam di Bidang Sosial-Kemasyaraktan
Beberapa contoh penerapan syariah Islam dalam undang-undang Pangngadakkan/Pangngaderreng dapat dilihat di antaranya:
1. Perzinaan.
Wanita atau pria yang berzina setelah menikah, yang dalam Islam dirajam, kemudian diterjemahkan dalam bentuk dicemplungkan hidup-hidup ke dasar laut.4 Jika yang bezina adalah pria atau wanita lajang maka dia dihukum cambuk.5
2. Kawin Lari (Silariang [Makassar]).
Jika sepasang muda-mudi kawin lari (silariang) atau kabur, jika tiba di rumah Imam (Abballa’ imang/mabbola imang), ia akan dilindungi dari kejaran to masiri’na (mahram) demi menghargai otonomi Imam yang akan menikahkan mereka menurut syariah Islam. Jika ditemukan di luar rumah Imam, to masiri’na berhak menghukumnya sesuai dengan ketentuan adat karena berada di wilayah otonomi adat.6
3. Wanita dalam menerima tamu, safar dan berpakain.
Terkait dengan para penjaga wanita Bugis-Makassar, istilah mahram diterjemahkan to masiri’na7 (diadopsi dari budaya siri’) yang berfungsi menjaga dan melindungi nama dan harkat perempuan. Itulah sebabnya jika tidak ada to masiri’na di dalam rumah, wanita dilarang menerima tamu laki-laki. Begitu pula jika bepergian, dia harus dikawal oleh to masiri’na (mahram)
dan juga selalu menggunakan dua sarung, satu diikat dipinggang
(appalikang [Makassar]) dan satunya lagi dipakai menutup kepala
(berkerudung) atau “abbongong (Makassar)”. Begitu juga dalam pakain adat Gowa, sebelum Islam, sudah dikenal pakain Baju Bodo (baju yang lengannya pendek), lalu setelah Islam menjadi agama Kerajaan Gowa, maka baju Bodo diganti menjadi Baju Labbu.
Demikian seperti dituturkan oleh Andi Kumala Idjo, SH selaku putra
mahkota pewaris tahta Kerajaan Gowa sekarang ini, yang menggantikan Raja
Gowa ke-36 Andi Idjo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang (1946-1960).8 [Gus Uwik]
Catatan kaki:
1 DR.
Nurhayati Rahman, M.Hum, Makalah “Syariat Islam dan Sitem
Pangngaderreng”, Seminar Internasional dan Festival Kebudayaan, Pusat
Kajian Islam (Centre For Middle Eastern Studies) Devisi Ilmu-ilmu Sosial
dan humaniora PKP Unhas dan Pemkot Makassar, 5-8 September 2007
2 Idem.
3 Idem.
4 Idem.
5 Andi Kumala Idjo, SH. “Wawancara”, LF HTI Gowa, Desember 2007.
6 DR.
Nurhayati Rahman, M.UmH, Makalah “Syariat Islam dan Sitem
Pangngaderreng”, Seminar Internasional dan Festival Kebudayaan, Pusat
Kajian Islam (Centre For Middle Eastern Studies) Devisi Ilmu-ilmu Sosial
dan humaniora PKP Unhas dan Pemkot Makassar, 5-8 September 2007.
7 Idem.
8 Andi Kumala Idjo, SH. “Wawancara”, LF HTI Gowa, Desember 2007.Sumber
0 komentar:
Posting Komentar