Senin, 14 April 2014

Filled Under:

Kerajaan Gowa-Tallo; Ekspedisi Islam Oleh “Serambi Madinah” dari Timur (Bagian 1)

Sejarah Gowa tentu tidak dapat dipisahkan dengan Islam. Daerah ini menjadi salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan yang kini berpenduduk tidak kurang dari 600 ribu jiwa yang mayoritasnya adalah Muslim. Setelah Kerajaan Gowa-Tallo memeluk Islam, penyebaran Islam di Sulawesi dan bagian timur Indonesia sangat pesat. Kerajaan Gowa-Tallo berhasil menorehkan tinta emas sejarah peletakan dasar dan penyebaran Islam di bagian timur negeri ini. Kerajaan ini juga adalah kerajaan yang menerapkan syariah Islam. Karena itu, wajar kalau Gowa ini dikenal sebagai “Serambi Madinah”. Tulisan ini berupaya menyegarkan ingatan kita kembali tentang sejarah gemilang ini.

Awal Masuknya Islam

Penyebaran Islam di Nusantara pada awalnya tidak bisa dilepaskan dari aktivitas perdagangan. Demikian halnya dengan kedatangan Islam di Gowa. Penyebaran Islam yang dilakukan oleh para pedagang dimungkinkan karena di dalam ajaran Islam tidak dibedakan antara tugas keagamaan seorang Muslim, sebagai penyebar nilai-nilai kebenaran, dan profesinya sebagai pedagang. Setiap Muslim, apapun profesinya, dituntut untuk menyampaikan ajaran Islam sekalipun satu ayat. 

Sekalipun para pedagang Muslim sudah berada di Sulawesi Selatan sejak akhir Abad XV, tidak diperoleh keterangan secara pasti, baik dari sumber lokal maupun sumber dari luar, tentang terjadinya konversi ke dalam Islam oleh salah seorang raja setempat pada masa itu, sebagaimana yang terjadi pada agama Katolik. 

Agaknya inilah yang menjadi faktor pendorong para pedagang melayu mengundang tiga orang mubalig dari Koto Tangah (Kota Tengah1) Minangkabau ke Makassar untuk mengislamkan elit Kerajaan Gowa-Tallo. Inisiatif untuk mendatangkan mubalig khusus ke Makassar sudah ada sejak Anakkodah Bonang (Nahkodah Bonang2). Ia adalah seorang ulama dari Minangkabau sekaligus pedagang yang berada di Gowa pada pertengahan Abad XVI (1525).

Keberhasilan penyebaran Islam terjadi setelah memasuki awal Abad XVII dengan kehadiran tiga orang mubalig yang bergelar datuk dari Minangkabau.3 Lontara Wajo  menyebutkan bahwa ketiga datuk itu datang pada permulaan Abad XVII dari Koto Tangah, Minangkabau. Mereka dikenal dengan nama Datuk Tellue (Bugis) atau Datuk Tallua (Makassar), yaitu:

(1) Abdul Makmur, Khatib Tunggal, yang lebih populer dengan nama Datuk ri Bandang;
(2) Sulaiman, Khatib Sulung, yang lebih populer dengan nama Datuk Patimang;
(3) Abdul Jawad, Khatib Bungsu, yang lebih dikenal dengan nama Datuk ri Tiro.

Ketiga ulama tersebut yang berasal dari Kota Tengah Minangkabau, diutus secara khusus oleh Sultan Aceh dan Sultan Johor untuk mengembangkan dan menyiarkan agama Islam di Sulawesi Selatan. Mereka terlebih dulu mempelajari kebudayaan orang Bugis-Makassar, di Riau dan Johor, tempat orang-orang Bugis-Makassar berdiam. Sesampainya di Gowa, mereka memperoleh keterangan dari orang-orang Melayu yang banyak tinggal di Gowa, bahwa raja yang paling dimuliakan dan dihormati adalah Datuk Luwu’, sedangkan yang paling kuat dan berpengaruh ialah Raja Tallok dan Raja Gowa.4 

Graaf dan Pigeaud mengemukakan bahwa Datuk ri Bandang sebelum ke Makassar lebih dulu belajar di Giri. Datuk ri Bandang dan temannya yang lain, ketika tiba di Makassar, tidak langsung melaksanakan misinya, tetapi lebih dulu menyusun strategi dakwah. Mereka menanyakan kepada orang-orang Melayu yang sudah lama bermukim di Makassar tentang raja yang paling dihormati. Setelah mendapat penjelasan, mereka berangkat ke Luwu untuk menemui Datuk Luwu’, La Patiware Daeng Parabu. Datuk Luwu adalah raja yang paling dihormati, karena kerajaanya dianggap kerajaan tertua dan tempat asal nenek moyang raja-raja Sulawesi Selatan. Kedatangan Datuk Tellue mendapat sambutan hangat dari Datuk Luwu’, La Patiware Daeng Parabu.5 

Ekspedisi Islam oleh Kerajaan Gowa-Tallo’

Sejak agama Islam menjadi agama resmi di Gowa-Tallo’, Raja Gowa Sultan Alauddin makin kuat kedudukannya. Sebab, beliau juga diakui sebagai Amirul Mukminin (kepala agama Islam) dan kekuasaan Bate Salapanga diimbangi oleh qadhi, yang menjadi wakil raja untuk urusan keagamaan bahkan oleh orang-orang Makassar, Bugis dan Mandar yang telah lebih dulu memeluk agama Islam pada abad XVI. Sultan Alauddin dipandang sebagai pemimpin Islan di Sulawesi Selatan.
 
Cara pendekatan yang dilakukan oleh Sultan Alauddin dan Pembesar Kerajaan Gowa adalah mengingatkan perjanjian persaudaraan lama antara Gowa dan negeri atau kerajaan yang takluk atau bersahabat yang berbunyi antara lain: barangsiapa di antara kita (Gowa dan sekutunya atau daerah taklukannya) melihat suatu jalan kebajikan, maka salah satu dari mereka yang melihat itu harus menyampaikan kepada pihak lainnya.6

Karena itu, dengan dalih bahwa Gowa sekarang sudah melihat jalan kebajikan, yaitu agama Islam, Kerajaan Gowa meminta kepada kerajaan-kerajaan taklukannya agar turut memeluk agama Islam. [Gus Uwik]

Catatan Kaki:

1    Zainal Abidin, Andi, Prof. Mr. DR, Sejarah Sulawesi Selatan (hal:228-231), Hasanuddin University Press, 1999
2    ibid
3    Sewang, Ahmad, Prof. DR. H. MA, Makalah “Empat Abad Islam di Sulawesi Selatan”, Seminar Internasional dan Festival Kebudayaan, Pusat Kajian Islam (Centre For Middle Eastern Studies) Devisi Ilmu-ilmu Sosial dan humaniora PKP Unhas dan Pemkot Makassar, 5-7 September 20007
4    Zainal Abidin, Andi, Prof. Mr. DR, Sejarah Sulawesi Selatan (hal:228-231), Hasanuddin University Press, 1999
5    Sewang, Ahmad, Prof. DR. H. MA, Makalah “Empat Abad Islam di Sulawesi Selatan”, Seminar Internasional dan Festival Kebudayaan, Pusat Kajian Islam (Centre For Middle Eastern Studies) Devisi Ilmu-ilmu Sosial dan humaniora PKP Unhas dan Pemkot Makassar, 5-7 September 20007
6    H.A. Massiara Dg. Rapi, Menyingkap Tabir Sejarah dan Budaya di Sulawesi Selatan (hal. 55-62),  Lembaga Penelitian dan Pelestarian Sejarah dan Budaya Sulawesi Selatan TOMANURUNG, 1988.



Sumber

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright @ 2013 PEJUANG ISLAM.