Saksi Pergolakan Rakyat Aceh Mempertahankan Syariah
Masjid Baiturrahman telah menjadi simbol Aceh. Menelusuri sejarah masjid yang berada di jantung kota Banda Aceh ini ibarat melihat perjalanan bumi Serambi Makkah. Mulai dari masa Kesultanan, perlawanan terhadap penjajahan Belanda hingga bencana tsunami, rumah ibadah ini menyaksikan semuanya.
Masjid ini sudah berada di tengah kota Banda Aceh sejak zaman Kesultanan .Masjid ini didirikan pada abad 17, yakni pada masa kejayaan pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Nama Baiturrahman, menurut catatan sejarah, diberikan oleh Sultan Iskandar Muda. Pada masa itu masjid ini menjadi salah satu pusat pengembangan ajaran Islam wilayah kerajaan Aceh.1
Selain
sebagai tempat ibadah, pada masa penjajahan, Masjid Raya Baiturrahman
berfungsi sebagai markas pertahanan terhadap serangan kompeni. Fungsi tersebut mulai terasa semasa pemerintahan Sultan Alaidin Mahmud Syah (1870-1874). Di
masjid ini, sering pula diadakan musyawarah besar untuk membicarakan
strategi penyerangan dan kemungkinan serangan tentara Belanda terhadap
Kesultanan Aceh.2
Sumber
Saat Pemerintah
Hindia Belanda menancapkan kekuasaannya di Bumi Aceh pada 1873,
Kesultanan Aceh di bawah kepemimpinan Sultan Alaidin Mahmud Syah menolak
mentah-mentah kedaulatan pemerintahan penjajah tersebut.Penolakan ini membuat pihak Belanda tersinggung dan murka. Buntutnya, Pemerintah Hindia Belanda memaklumatkan perang terhadap Kesultanan Aceh.
Karena posisinya yang sangat penting dan strategis, tidak pelak Masjid Raya Baiturrahman menjadi ajang perebutan. Tercatat dalam sejarah, dua kali masjid kebanggaan kaum Muslim di Tanah Rencong ini dibakar Belanda. Pertama:
pada 10 April 1873, yaitu ketika pasukan Belanda melakukan serangan
besar-besaran sebagai upaya balas dendam atas kekalahan mereka. Belanda
menyatakan perang kepada Aceh, dan mulai melepaskan tembakan meriam ke
daratan Aceh dari kapal perang Citadel van Antwerpen. Pada 8 April 1873, Belanda mendarat di Pantai Ceureumen di bawah pimpinan Johan Harmen Rudolf Köhler. Belanda langsung bisa menguasai Masjid Raya Baiturrahman.Köhler saat itu membawa 3.198 tentara. Sebanyak 168 di antaranya para perwira.
Dalam serangan besar itu, Masjid Raya Baiturrahman tidak saja berhasil direbut, bahkan kemudian dibakar sebagian. Pada saat itu terjadi pertempuran besar: tentara Aceh melawan tentara Belanda. Gugurlah
perwira tinggi Belanda bernama Kohler. Pertempuran di masjid ini
dikenang lewat pembangunan Prasasti Kohler pada halaman masjid. Letak prasasti ada di bawah pohon Geuleumpang, yang tumbuh di dekat salah satu gerbang masjid.
Kedua: pada 6 Januari 1874. Meskipun
masjid ini dipertahankan mati-matian oleh seluruh rakyat Aceh, karena
keterbatasan dan kesederhanaan persenjataan, akhirnya rakyat Aceh harus
merelakan masjidnya jatuh ke tangan musuh. Tidak hanya direbut, kali ini pihak penjajah membakar habis bangunan Masjid Raya Baiturrahman. Saat
bersamaan, Belanda juga mengumumkan bahwa Kesultanan Aceh sudah
berhasil ditaklukkan dan berada di bawah kekuasaan Hindia Belanda.
Namun, untuk mengambil hati rakyat Aceh, Pemerintah Hindia Belanda berjanji akan membangun kembali masjid yang telah hancur itu. Peletakan
batu pertama pembangunan kembali masjid dilakukan tahun 1879 oleh
Tengku Malikul Adil, disaksikan oleh Gubernur Militer Hindia Belanda di
Aceh saat itu, G. J. van der Heijden.3
Belanda dalam upayanya ‘menundukkan dan meredam’ pergolakan perjuangan masyarakat Aceh menggunakan berbagai macam taktik. Salah satunya, taktik perang gerilya Aceh ditiru oleh Van Heutz. Saat itu dibentuk pasukanmaréchaussée yang dipimpin oleh Christoffel dengan pasukan Colone Macan.Pasukan
ini telah mampu menguasai pegunungan-pegunungan, hutan-hutan rimba raya
Aceh untuk mencari dan mengejar gerilyawan-gerilyawan Aceh.
Taktik Belanda berikutnya adalah penculikan anggota keluarga gerilyawan Aceh.Misalnya, Christoffel menculik permaisuri Sultan dan Tengku Putroe (1902).Van der Maaten menawan putra Sultan Tuanku Ibrahim. Akibatnya, Sultan menyerah pada tanggal 5 Januari 1902 ke Sigli dan berdamai. Van der Maaten dengan diam-diam menyergap Tangse kembali. Panglima
Polim dapat meloloskan diri, tetapi sebagai gantinya ditangkap putra
Panglima Polim, Cut Po Radeu, saudara perempuannya dan beberapa keluarga
terdekatnya.
Akibatnya, Panglima Polim meletakkan senjata dan menyerah ke Lhokseumawe pada Desember 1903. Setelah Panglima Polim menyerah, banyak penghulu-penghulu rakyat yang menyerah mengikuti jejak Panglima Polim. Taktik
selanjutnya, pembersihan dengan cara membunuh rakyat Aceh yang
dilakukan di bawah pimpinan Gotfried Coenraad Ernst van Daalen yang
menggantikan Van Heutz. Seperti pembunuhan di Kuta Reh (14 Juni 1904) yang menewaskan 2.922 orang, terdiri dari 1.773 laki-laki dan 1.149 perempuan.
Taktik terakhir, menangkap Cut Nyak Dhien, istri Teuku Umar, yang masih melakukan perlawanan secara gerilya. Akhirnya, Cut Nya Dien dapat ditangkap dan diasingkan ke Cianjur.
Selama Perang
Aceh, Van Heutz telah menciptakan surat pendek (Korte Verklaring,
Traktat Pendek) tentang penyerahan yang harus ditandatangani oleh para
pemimpin Aceh yang telah tertangkap dan menyerah. Surat
pendek penyerahan diri itu berisikan: Raja (Sultan) mengakui daerahnya
sebagai bagian dari daerah Hindia Belanda; Raja berjanji tidak akan
mengadakan hubungan dengan kekuasaan di luar negeri, berjanji akan
mematuhi seluruh perintah-perintah yang ditetapkan Belanda. Perjanjian pendek ini menggantikan perjanjian-perjanjian terdahulu yang rumit dan panjang dengan para pemimpin setempat.4 []
Catatan kaki:
1 http://idaylum.wordpress.com/2009/08/03/dibalik-cerita-masjid-baiturrahman-saksi-sejarah-aceh/
2 http://gayonusantara.blogspot.com/2013/05/masjid-baiturrahman-saksi-sejarah-kisah_1.html
3 idem
4 http://www.pbanyak.com/2011/03/sejarah-perang-aceh-melawan-belanda.html
0 komentar:
Posting Komentar